TINJAUAN YURIDIS PERLUASAN SUBJEK DAN OBJEK SENGKETA DALAM PERADILAN TATA USAHA NEGARA
on
TINJAUAN YURIDIS PERLUASAN SUBJEK DAN OBJEK SENGKETA DALAM PERADILAN TATA
USAHA NEGARA
Oleh:
Made Martha Widyadnyana
I Wayan Suardana,S.H,M.H
Program Kekhususan Hukum Pemerintahan Fakultas Hukum Universitas Udayana
ABSTRAK
Negara diserahkan sebuah kewajiban untuk menyelenggarakan sebuah kesejahteraan umum (bestuurzorg). Dalam penggunaan kekuasaan guna mewujudkan suatu kesejahteraan umum, negara kadang melakukan sebuah penyalahgunaan kekuasaan (abuses of power) sehingga Peradilan Tata Usaha Negara hadir sebagai “control of administration”. Dalam perkembangannya ternyata subjek dan objek sengketa dalam Peradilan Tata Usaha Negara mengalami sebuah perkembangan.
Dalam Penulisan ini, Penulis mencoba mengangkat 2 persoalan yaitu (1) Bagaimana Pembenaran Atas Perluasan Subjek Sengketa Dalam Peradilan Tata Usaha Negara (2) Bagaimana Implikasi Perbedaan Perluasan Objek Sengketa Dalam Peradilan Tata Usaha Negara. Metode yang digunakan menggunakan metode penelitian hukum normatif.
Pengaturan dari PTUN terhadap perluasan subjek sengketa dalam Peradilan Tata Usaha Negara ialah Pasal 53 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Kemudian telah terdapat beberapa yurisprusdensi yang membenarkan terkait dasar perluasan subjek dan objek sengketa tersebut. Perluasan objek sengketa dalam Peradilan Tata Usaha Negara dikenal dengan KTUN fiktif negatif ketika dianggap telah terdapatnya KTUN yang menolak sebuah permohonan sedangkan KTUN fiktif positif dianggap telah dikabulkannya permohonan yang diajukan.
Kata Kunci: Perluasan, Subjek Sengketa, Objek Sengketa.
ABSTRACT
The state is given an obligation to organize a public welfare (bestuurzorg). In the use of power to realize a general welfare, the state often carries out an abuse of power (abuses of power) so that the State Administrative Court is present as a "control of administration". In its development, the subject and object of the dispute in the State Administrative Court experienced.
legal problems in this study are (1) How is the justification for expanding the subject of disputes in the State Administrative Court (2) What is the Difference in the Expansion of the Objects of Disputes in State Administrative Courts and Their Implications The method used in this study uses normative legal research methods.
Based on the results of the research, it turns out that the justification for the expansion of the subject of disputes in the State Administrative Court is Article 53 of Law Number 9 of 2004 concerning Amendments to Law Number 5 of 1986 concerning State Administrative Courts. Then there have been several jurisprusdencies that justify this. Furthermore, the expansion of the object of dispute in the State Administrative Court is known as the Negative Positive KTUN when it is deemed that there has been a KTUN that has submitted a Positive Fictitious KTUN application which is considered to have been granted the submitted application.
Keywords: Expansion, Subject Of Dispute, Object Of Dispute.
Peradilan Tata Usaha Negara lahir dari dari adanya kesadaran bahwa sejatinya harus terdapat sebuah pengendalian atau control terhadap tindakan pemerintah yang melanggar ketentuan administrasi atau terhadap sebuah penyalahgunaan kekuasaan (abuses of power) yang mungkin saja dilakukan pemerintah. E. Utrecht menyatakan bahwa sejak negara turut serta aktif dalam pergaulan kemasyarakatan, maka lapangan pekerjaan pemerintah semakin luas. Administrasi negara mengandung makna adanya kewajiban untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum
(bestuurszorg).1”Dalam penggunaan kekuasaan yang dimiliki pemerintah yang seharusnya diarahkan untuk kesejahteraan umum inilah yang kemudian sering kali justru terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuses of power) dan tindakan-tindakan pemerintah yang melanggar ketentuan admnistrasi yang telah ditentukan. Peradilan Tata Usaha Negara sebagai bentuk control of administration adalah suatu pelaksanaan kehakiman terkhusus bagi rakyat para pencari keadilan. Menelaah lebih lanjut merujuk pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Selanjutnya disebut dengan UU PTUN) ditentukan dalam Pasal 47 bahwa terdapat tugas dan wewenang dari Pengadilan untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara. Ketentuan pasal ini kompetensi absolut pengadilan tata usaha negara dalam mengadili sengketa tata usaha negara.
Menelaah dalam Undang- Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dalam Pasal 1 angka 10 diatur bahwa yang dimaksud dengan Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian yang berdasarkan perundang-undangan. Dalam perkembangannya subjek dan objek gugatan dalam peradilan tata usaha negara mengalami sebuah perluasan, dimana dalam subjek peradilan tata usaha negara yakni gugatan dapat diajukan kepada orang atau badan hukum perdata, sedangkan berkaitan dengan perluasan”objek gugatan dalam peradilan tata usaha negara dikenal
adanya Keputusan Tata Usaha Negara Negatif dan Keputusan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut KTUN)”Positif. Berdasarkan hal-hal tersebut penulis berkeyakinan penting untuk membuat sebuah tulisan ilmiah yang berjudul “TINJAUAN YURIDIS PERLUASAN SUBJEK DAN OBJEK SENGKETA DALAM PERADILAN TATA USAHA NEGARA”.
-
1. Bagaimana Pembenaran Atas Perluasan Subjek Sengketa Dalam Peradilan Tata Usaha Negara ?
-
2. Bagaimana Implikasi Perbedaan Perluasan Objek Sengketa Dalam Peradilan Tata Usaha Negara ?
Penulisan makalah ini memiliki tujuan untuk mengetahui bagaimana perluasan terhadap subjek dan objek sengketa dalam Peradilan Tata Usaha negara.
“Penulisan jurnal tentang perluasan subjek dan objek sengketa dalam peradilan tata usaha negara ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, yaitu penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem norma yang disebuatkan adalah berkaitan asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin.2”Penelitian ini dilakukan dengan meniliti bahan pustaka yang ada seperti peraturan perundang-undangan kemudian mengadakan penelitian terhadap masalah hukum.3
-
2.2. Hasil dan Pembahasan
-
2.2.1. Bagaimana Pembenaran Atas Perluasan Subjek Sengketa Dalam Peradilan Tata Usaha Negara
-
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 pada Pasal 1 angka 10 pada pokoknya menentukan bahwa Sengketa Tata Usaha Negara merupakan sengketa yang terjadi dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan perundang-undangan yang ada. Dapat dipahami yang dapat menjadi subjek dalam sengketa tata usaha negara ialah orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara. Pada umumnya penggugat dalam sengketa PTUN adalah masyarakat yang merasakan suatu akibat hukum dari KTUN yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara dan mengalami kerugian setelah dikeluarkannya KTUN tersebut. Penggugat dalam PTUN di tentukan dalam“Pasal 53 ayat (1) UU PTUN bahwa orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan atau rehabilitasi.”
Merujuk pada Pasal 53 ayat (1) UU PTUN terdapat sebuah penekanan adanya suatu hal yang penting dan menentukan agar seseorang atau badan hukum perdata untuk dapat bertindak sebagai penggugat, hal tersebut adalah adanya unsur
“kepentingan”.4 Lebih lanjut menurut Indroharto kepentingan tersebut mengandung arti pada adanya suatu nilai yang harus dilindungi oleh hukum, dan kepentingan proses, dalam hal ini diartikan apa yang hendak dicapai dengan melakukan suatu proses gugatan yang bersangkutan.5 Mengenai pengertian kepentingan itu sendiri, S.F. Marbun menyatakan”bahwa kepentingan penggugat yang dirugikan haruslah bersifat “langsung terkena”, artinya kepentingan itu tidak boleh terselubung di balik kepentingan orang lain (rechtstreek belang) sebagaimana adagium hukum pernah berbunyi point d’interest, point d’action.6” Kemudian dalam hal pengaturan mengenai siapa yang dapat berkedudukan sebagai tergugat dalam PTUN pada pokoknya telah ditentukan dalam Pasal 1 angka 6 yakni Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang telah mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata. Lebih lanjut “Wewenang” dalam pengertian hukum publik yakni wewenang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.7 Selebihnya S.F Marbun menyatakan bahwa pengertian kewenangan dalam hukum administrasi adalah kekuasaan yang diformalkan, baik terhadap suatu bidang pemerintahan tertentu yang berasal dari kekuasaan legislatif maupun dari kekuasaan pemerintah, sedangkan pengertian”“wewenang” (competence, bevoegheid), hanyalah mengenai onderdil tertentu atau bidang tertentu saja.8 Secara
umum suatu gugatan tersebut diajukan terhadap ketetapan yang dikeluarkan oleh pemerintah seperti Keputusan Gubernur, Keputusan Walikota dan beberapa ketetapan yang dikeluarkan oleh pemerintah sebagai suatu tindakan administratif menjadi hal yang wajar dan diatur di dalam hukum positif Indonesia. Secara sederhana Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkan KTUN dipahami dapat menjadi tergugat dalam PTUN.
Kemudian berkaitan dengan perluasan Subjek Sengketa dalam PTUN terjadi perluasan pada pihak yang dapat
berkedudukan menjadi tergugat dalam PTUN. Dasar pembenaran untuk perluasan subjek sengketa ini ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara pada Pasal 53 ayat (1) menentukan yakni Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang memuat tuntutan agar Keputusan Tata Usaha yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah dengan/ tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi. Kemudian dalam ayat (2) pada pokoknya ditentukan bahwa terdapat alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yakni :
-
a) Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu telah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
-
b) Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu ternyata bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Lebih lanjut pengujian dari segi hukum yang dilakukan Pengadilan terhadap KTUN terbatas pada :
-
1. Apakah semua fakta yang relevan telah dikumpulkan agar dapat dipertimbangkan dalam mengeluarkan KTUN yang bersangkutan
-
2. Apakah badan atau pejabat TUN yang mengeluarkan KTUN yang tersebut pada waktu mempersiapkan, memutuskan, dan melaksanakannya telah sebelumnya memperhatikan dengan benar asas-asas yang berlaku
-
3. Apakah keputusan yang diambil juga akan sama dengan keputusan yang sedang digugat bilamana hal-hal pada angka 1 dan 2 telah diperhatikan.9”
Dalam perkembangannya memunculkan pertanyaan apakah majelis hakim akan menerima jika gugatan diajukan kepada peradilan tata usaha negara dengan mahasiswa sebagai penggugat dan Rektor Universitas swasta sebagai tergugat dalam hal perkara Keputusan Rektor yang melakukan Drop Out kepada mahasiswa universitasnya. Dalam Menjawab hal tersebut melalui Putusan Nomor 29/G/2014/PTUN-MDN Satria Adi Guna”mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Panca Budi Medan
melawan Rektor Universitas Pembangunan Panca Budi Medan
dengan objek sengketa Surat Keputusan Rektor Universitas Pembangunan Panca Budi Medan Nomor : 070/02/R/2014 Tentang Pemberhentian (Drop Out/DO) sebagai mahasiswa Universitas Pembangunan Panca Budi Medan adalah suatu yurisprudensi yang dapat dijadikan dasar pembenar. Dalam pokok perkara majelis hakim mempertimbangkan pokok perkara, bahwa Surat Keputusan Rektor Universitas Pembangunan Panca Budi No. 278/02/R/2012
tentang Peraturan Disiplin Mahasiswa untuk selanjutnya disebut Keputusan Rektor No. 278 diterbitkan berdasarkan amanat ketentuan Pasal 61 Statuta Universitas Pembangunan Panca Budi Medan yang mennentukann bahwa “Sanksi administrasi dan atau sanksi akademik dikenakan kepada mahasiswa yangmelakukan pelanggaran ketentuan administrasi dan atau pelanggaran ketentuan akademik diatur dengan peraturan Rektor”. Lebih lanjut menurut pendapat Majelis Hakim bahwa Surat Keputusan rektor universitas swasta tersebut dapat menjadi objek sengketa dalam PTUN dikarenakan ia merupakan sebuah peraturan kebijakan yang bersumber pada Statuta Universitas yang merupakan pedoman dasar bagi setiap universitas sebagai salah satu wujud dari otonomi perguruan tinggi dalam pengellolaan lembaga tersebut sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 24 ayat 2 UU No. 20 Tahun 2003. Perluasan subjek PTUN dalam hal ini adalah Rektor Universtas Pembangunan Panca Budi Medan dikarenakan seorang rektor universitas swasta tersebut menjalankan fungsi pemerintahan yakni dibidang pendidikan, inilah yang kemudian dapat dijadikan pertimbangan oleh hakim untuk menerima gugatan yang diajukan oleh mahasiswa Universitas Pembangunan Panca Budi Medan terhadap Rektor yang mengeluarkan keputusan terkait dengan Drop Out.
Objek sengketa Tata Usaha Negara adalah keputusan yang dikeluarkan oleh badan atau Pejabat tata usaha negara.10 Merujuk pada UU No 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No 51 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara pada Pasal 1 angka 9 bahwa Keputusan Tata Usaha Negara merupakan suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang memuat tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Unsur-unsur yang terdapat di dalam rumusan pasal ini yang dimaksud dengan KTUN yang dapat menjadi Objek sengketa tata usaha negara adalah :
-
1. Penetapan Tertulis adalah Dalam hal ini tidak menunjuk kepada bentuk keputusan itu akan tetapi merujuk kepada isi keputusan yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara tersebut. Lebih lanjut isi dalam keputusan tata usaha negara tersebut haruslah memuat :
-
a. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan tersebut;
-
b. Terdapat Maksud dan penjelasan mengenai hal apa isi tulisan itu;
-
c. Menjelaskan kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa hal yang ditetapkan di dala KTUN tersebut.
-
2. Dikeluarkan oleh badan atau Pejabat Tata Usaha Negara Pengertian badan atau pejabat Tata Usaha negara ini ialah badan atau pejabat di pusat dan daerah yang melakukan kegiatan bersifat eksekutif.”
-
3. Berisi Tindakan hukum TUN berdasarkan peraturan perundang-undangan.Tindakan hukum TUN adalah perbuatan hukum badan atau pejabat TUN yang bersumber pada ketentuan suatu hukum TUN yang dapat membuat timbulnya suatu hak atau kewajiban pada orang lain.
-
4. “Konkret, individual dan final adalah Konkret dalam hal ini diartikan bahwa objek yang diputuskan dalam KTUN tersebut tidak abstrak, namun berwujud, tertentu atau dapat ditentukan. Selanjutnya individual diartikan bahwa KTUN tersebut tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu berisi alamat dan hal yang dituju. Kemudian final diartikan telah definitif dan dapat menimbulkan akibat hukum.”
-
5. Menimbulkan akibat hukum bagi orang atau badan hukum perdata11 Penjelasan mengenai hal ini adalah bilamana perbuatan hukum yang diwujudkan dalam pembuatan KTUN tersebut dapat menimbulkan suatu hak atau kewajiban pada orang atau badan hukum perdata perdata.
Perbedaan antara Hukum Acara TUN dengan hukum acara perdata adalah dimana pangkal sengketa TUN adalah KTUN yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN yang mengandung perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh penguasa atau orechtmatig overheid daad, sedangkan dalam hukum acara perdata dimaknai sebagai perbuatan melawan hukum atau orechtmatig daad.”
Perluasan terhadap objek sengketa PTUN dikenal dengan KTUN Fiktif Negatif. Perluasan objek gugatan PTUN tidak hanya pada penetapan tertulis hal ini didasarkan dengan merujuk Pasal 3 ayat (1) UU PTUN bahwa apabila badan atau pejabat tata usaha negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu sejatinya menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara. Kemudian pada ayat (2) bilamana suatu badan atau pejabat tata usaha negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimmohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan data peraturan perundang-undangan dimaksud lewat, maka badan atau pejabat tata usaha negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksudkan kepadanya. Selanjutnya pada ayat (3) Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, badan atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan dianggap sudah mengeluarkan keputusan yang berisi suatu penolakan.”Ketentuan pasal inilah yang menjadi pembenaran terhadap perluasan objek sengketa dalam PTUN, bahwa dalam hal suatu keadaan dimana badan atau pejabat tata usaha negara tidak memenuhi kewajibannya dalam tenggat waktu yang telah ditentukan maka dapat diartikan dia telah mengeluarkan sebuah KTUN Negatif. Masyarakat kemudian dapat mengajukan gugatan ke PTUN dengan KTUN negatif tersebut sebagai objek sengketanya.”
Selanjutnya dalam perspektif lain nyatanya perluasan terhadap objek sengketa Tata Usaha Negara khususnya dalam memaknai KTUN sebagai objek sengketanya tidak hanya dikenal KTUN Negatif semata namun juga terdapat suatu KTUN Positif. Menelaah ketentuan yang terdapat di dalam Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (selanjutnya disebut dengan UU Administrasi Pemerintahan) dalam Pasal 53 bahwa ayat (1) ditentukan bahwa terdapat batas waktu kewajiban untuk menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan sesuai dengan ketentuan“peraturan perundang-undangan. Lebih lanjut dalam ayat (2) menentukan Jika ketentuan peraturan perundang-undangan tidak menentukan batas waktu kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintah. Kemudian dalam ayat (3) menentukan pada pokoknya apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan dan /atau Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan, maka permohonan tersebut dianggap dikabulkan secara hukum.”
Ketentuan inilah yang memberikan perluasan bahwa dalam keadaan dimana dalam tenggang waktu tertentu badan/atau pejabat tata usaha negara tidak menetapkan dan/atau mengeluarkan keputusan dan/atau tindakan maka permohonan tersebut dianggap telah dikabulkan secara hukum, inilah yang kemudian dikenal dengan KTUN Fiktif Positif.Dalam memahami KTUN Fiktif Positif dan Negatif perlulah dicermati terdapat sebuah perbedaan yang mendasar terhadap dua perluasan objek sengketa tata usaha negara ini, yakni dimana dalam KTUN Fiktif Negatif ketika badan atau pejabat tata usaha negara tidak menetapkam dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan maka ia dianggap telah mengeluarkan KTUN yang melakukan penolakan atas permohonan yang diajukan. Sedangkan dalam KTUN Fiktif
Positif dalam keadaan badan atau pejabat tata usaha negara tidak menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan sesuai tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan didalam perundang-undangan, yang dimana hal tersebut merupakan kewajibannya maka badan/atau pejabat tata usaha negara tersebut dianggap telah mengeluarkan sebuah keputusan tata usaha negara yang mengabulkan permohonan tersebut atau dikenal dengan KTUN Fiktif Positif. Berdasarkan hal-hal tersebut terdapat sebuah implikasi yang berbeda dalam proses pengajuan objek sengketa dalam PTUN, dalam hal objek sengketa tersebut merupakan KTUN fiktif negatif maka dalam proses pencarian keadilan dalam PTUN dilakukan dengan mengajukan gugatan terhadap KTUN fiktif negatif yang dianggap telah melakukan penolakan terhadap permohonan yang disampaikan dengan mengharapkan lahirnya sebuah putusan dari hakim PTUN. Sedangkan dalam hal objek sengketa tersebut merupakan KTUN fiktif positif maka dalam proses pencarian keadilan dalam PTUN ialah dengan mengajukan permohonan kepada PTUN dengan harapan dikeluarkannya suatu penetapan dari peradilan tata usaha negara terhadap permohonan tersebut.
-
II. PENUTUP
-
1. Pengaturan”mengenai objek sengketa ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 pada Pasal 1 angka 10 menentukan bahwa bahwa Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Kemudian penggugat dalam PTUN ditentukan dalam Pasal 53 ayat 1 UU PTUN. Lebih lanjut tergugat dalam PTUN telah mengalami perluasan dalam tataran praktik PTUN.”
-
2. Perluasan Objek Sengketa dalam PTUN dikenal adanya KTUN Fiktif Negatif dan KTUN Fiktif Positif dimana berkaitan dengan tanggung jawab badan atau pejabat TUN dalam memproses permohonan yang diajukan kepadanya. Perbedaan KTUN Fiktif Positif dan Negatif adalah dalam proses pencarian keadilannya, dalam hal ini KTUN Fiktif Negatif melalui pengajuan gugatan untuk diputuskan, dan KTUN Fiktif Positif mengajukan permohonan untuk mendapatkan suatu penetapan pengadilan.
-
1. Perluasan subjek sengketa dalam praktik PTUN haruslah diberikan penjelasan bahwa subjek sengketa PTUN juga melihat bagaimana subjek tersebut membuat beschikking dengan materi muatan dari fungsi penyelenggaraan pemerintahan di dalamnya sebagai contoh SK Rektor Universitas Swasta.
-
2. Perluasan objek sengketa dalam PTUN harus ditentukan secara jelas dalam Undang-Undang bahwa hukum positif hanya mengamini adanya KTUN Fiktif Positif atau KTUN Fiktif Negatif dalam praktik beracara PTUN sehingga tidak terdapat ketidakpastian hukum dalam hal implikasinya melalui mekanisme pengajuan gugatan atau permohonan.
DAFTAR PUSTAKA
C.S.T Kansil, 1996, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Cetakan III, PT Pradnya Paramita, Jakarta.
E. Utrecht, 1998, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Pustaka Tinta Mas, Surabaya.
Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku II, Cetakan IV, Sinar Harapan, Jakarta.
Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, 2017, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
R. Wiyono, 2008, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Cetakan II, Sinar Grafika, Jakarta.
S.F Marbun, 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, Edisi Pertama, Cetakan I, Sinar Harapan, Jakarta.
S.F Marbun, 2004, Analisis Teoritik Yuridis Kasus Ir. Akbar Tanjung
dari Optik Hukum Administrasi, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Soekanto, Soerjono, 2009, Penelitian Hukum Normatif Suat Tinjauan Singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
W. Riawan Tjandra, 1996, Teori & Praktik Peradilan Tata Usaha Negara, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta.
Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi Revisi, Rajawali Pers, Jakarta.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 77)
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4380)
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5079)
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5601)
Hendrik Salmon,2010, Eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) dalam mewujudkan suatu pemerintahan yang Baik,Jurnal Sasi Vol.16 No.4
17
Discussion and feedback