PENGATURAN MENGENAI LARANGAN PENANGKAPAN, PERLAKUAN DAN PENAHANAN SEWENANG-WENANG; PENGHILANGAN PAKSA; DAN PENYIKSAAN DALAM HUKUM INTERNASIONAL (Studi Kasus Konflik Ukraina dan Rusia)*
on
PENGATURAN MENGENAI LARANGAN PENANGKAPAN, PERLAKUAN DAN PENAHANAN SEWENANG-WENANG;
PENGHILANGAN PAKSA; DAN PENYIKSAAN DALAM HUKUM INTERNASIONAL
(Studi Kasus Konflik Ukraina dan Rusia)*
Oleh:
Ni Ngh Dwi Candra Kusumagandhi**
Made Maharta Yasa, S.H., MH***
Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana
ABSTRAK
Pelanggaran Hak Asasi Manusia telah terjadi dalam konflik bersenjata internasional antara Ukraina dan Rusia yaitu terjadi penyiksaan warga sipil yang ditahan secara sewenang-wenang dan tidak sah oleh Dinas Keamanan Ukraina.
Analisa konflik antara Ukraina dan Rusia akan berdasar pada Hukum Internasional yang relevan terutama yang berkaitan dengan larangan penyiksaan dan perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat, hak untuk kebebasan dan keamanan seseorang dan larangan penghilangan paksa yang kemudian melihat tanggung jawab negara untuk tindakan yang menyalahi aturan internasional.
Penangkapan dan penahanan sewenang-wenang; penghilangan paksa; penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang telah melanggar Hak Asasi Manusia dan hukum humaniter karena telah diatur “dalam semua keadaan dan untuk semua pihak, dan bagaimanapun penghinaan terhadap hak tersebut tidak diizinkan” dan negara bertanggung jawab atas pelanggaran kewajiban internasional tersebut.
Kata Kunci : Penangkapan dan Penahanan Sewenang-wenang, Pengilangan Paksa, Penyiksaan dan Perlakuan Sewenang-wenang lainnya; Hak Asasi Manusia; Hukum Humaniter; Tanggung jawab Negara
ABSTRACT
Human rights violations have occurred in the international conflict between Ukraine and Russia where there were arbitrary and illegal acts of civilians by the Ukrainian Security Service.
Analysis of conflicts between Ukraine and Russia will be based on relevant international law, especially those relating to the prohibition of torture and cruel, inhuman or degrading treatment or punishment, the right to freedom and security of a person and the prohibition of enforced disappearance which then sees the state's responsibility for actions that violate international rules.
Arbitrary arrest and detention; enforced disappearance; torture and ill-treatment have violated human rights and humanitarian law because it have been
regulated "in all circumstances and for all parties, and however an insult to such rights is not permitted" and the state is responsible for violating these international obligations.
Keywords : Arrest and Arbitrary Detention, Enforced Dissappearance, Torture and Other Ill-Treatment; Human Dissappearance; Humanitarian Law; State Responsibility
Dalam konflik bersenjata internasional antara Ukraina dan Rusia1 telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia, dimana terdapat kasus penyiksaan warga sipil yang ditahan secara sewenang-wenang dan tidak sah oleh Dinas Keamanan Ukraina2. Dalam laporan “You Don’t Exist” oleh Amnesty International dan Human Rights Watch dengan sumber dari kesaksian langsung para tahanan yang baru-baru ini dibebaskan, dilaporkan tahanan tersebut disiksa sebelum dipindahkan ke Dinas Keamanan Ukraina dan mereka dipukuli, disetrum listrik dan diancam dengan pemerkosaan, eksekusi dan pembalasan terhadap anggota keluarga untuk membujuk mereka mengaku terlibat dengan kegiatan kriminal yang terkait dengan separatisme dan pemberian informasi. Laporan PBB juni 2016 mencatat bahwa kasus-kasus penahanan dan penyiksaan telah menjadi perhatian pada akhir 2015 dan awal 2016 “sebagian besar melibatkan Dinas Keamanan Ukraina” dan secara khusus menyebut kompleks Dinas Keamanan Ukraina di Kharkiv sebagai tempat yang diduga sebagai tempat penahanan tidak resmi. Berdasarkan temuan penelitian, Amnesty International dan Human Rights Watch percaya bahwa penahanan
yang melanggar hukum telah terjadi di tempat Dinas Keamanan Ukraina di Kharkiv, Kramatorsk, Izyum, dan Mariupol3.
Hugh Williamson, Europe and Central Asia director at Human Rights Watch menyatakan bahwa layanan keamanan lokal beroperasi tanpa Checks and Balances (sistem yang saling mengawasi secara seimbang) dan adanya kekosongan aturan hukum di daerah-daerah yang dikuasai separatis yang mana menyangkal perlindungan hak orang yang ditahan dalam tahanan membuat mereka rentan terhadap pelecehan tanpa solusi yang efektif4. Tingginya ketidakpatuhan kepada norma hak asasi manusia membuktikan praktik negara telah menyangkal keberadaan struktur prinsip hak asasi manusia dalam hukum internasional.
Dalam pembukaan Deklarasi Universal Hak Asas Manusia (selanjutnya disingkat DUHAM) yang diadopsi pada 10 Desember 1948 menekankan bahwa “pengakuan martabat bawaan dan hak-hak yang sama dan mutlak pada semua umat manusia adalah dasar bagi kemerdekaan, keadilan dan perdamaian dunia”, yang mengartikan hak asasi manusia dalam struktur internasional telah diakui secara umum dimana konsep hak asasi manusia terkait erat dengan etika dan moralitas5. Hak untuk hidup sebagai prinsip yang dipegang teguh dan dilindungi baik pada masa perang maupun masa damai. Poin awal dari hak asasi manusia dan hukum humaniter adalah penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan martabat manusia itu sendiri. Kedua rezim
normatif ini merupakan “bagian inti umum dari standar fundamental yang berlaku sepanjang waktu, dalam semua keadaan dan untuk semua pihak, dan bagaimanapun penghinaan terhadap hak tersebut tidak diizinkan”6. Berdasarkan hal tersebut, penulis akan mengkaji analisa yang berjudul “PENGATURAN MENGENAI LARANGAN PENANGKAPAN, PERLAKUAN DAN PENAHANAN SEWENANG-WENANG; PENGHILANGAN PAKSA; DAN PENYIKSAAN DALAM HUKUM INTERNASIONAL (Studi Kasus Konflik Ukraina dan Rusia)”.
-
1. Bagaimanakah konflik antara Ukraina dan Rusia dengan berdasarkan hukum internasional yang relevan terutama yang berkaitan dengan larangan penangkapan, perlakuan dan penahanan sewenang-wenang; penghilangan paksa; dan penyiksaan?
-
2. Bagaimanakah tanggung jawab negara untuk tindakan yang menyalahi aturan internasional?
Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis pelanggaran yang dilakukan Ukraina dalam melakukan penangkapan dan penahanan sewenang-wenang; penghilangan paksa; penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang terhadap warga sipil berdasar pada huku internasional serta menganalisis tanggung jawab negara atas tindakan pelanggaran tersebut.
Tulisan ini adalah penelitian hukum normatif. Peter Mahmud Marzuki merumuskan penelitian hukum sebagai suatu
proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi7. Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) dan pendekatan kasus (Case Approach).
-
2.2 Hasil Analisa
-
2.2.1 Pengaturan Mengenai Larangan Penangkapan, Perlakuan dan Penahanan Sewenang-Wenang; Penghilangan Paksa; dan Penyiksaan dalam Hukum Internasional
-
Penangkapan dan penahanan sewenang-wenang; penghilangan paksa; penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya sebagai tindakan merendahkan martabat manusia yang menyimpang dari perjanjian mendasar seperti yang disebutkan dalam pembukaan piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) “whereas recognition of the inherent dignity and of the equal and inalienable rights of all members of the human family is the foundation of freedom, justice and peace in the world” dan ditegaskan kembali pada Pasal 1 bahwa “all humans beings are born free and equal in dignity and rights”. Deklarasi Hak Asasi Manusia (DUHAM) diadopsi oleh Majelis Umum PBB sebagai definisi internasional yang paling dogmatis tentnag hak asasi manusia dan sebagai interpretasi kontemporer dari perjanjian mengenai kewajiban semua negara anggota PBB untuk “take joint and separate action” dalam mempromosikan “universal respect for, and observace of, human rights...”, Pasal 3 DUHAM menyatakan “No one shall be subjected to torture or to cruel, inhuman or
degrading treatment or punishment”8. Menurut hukum internasional, hubungan antara martabat manusia dan hak asasi manusia dimana hak berasal dari martabat manusia, martabat manusia bukanlah sejenis hak super, atau istilah kolektif untuk merujuk pada hal, tetapi lebih merupakan sumber utama dari semua hak9.
Berbeda dengan DUHAM, Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) membuat ketentuan yang terpisah dan lebih luas tentang hak-hak dalam keadaan darurat nasional dan/atau internasional. Pasal 7 dari Konvenan Sipil dan Politik mengulang Pasal 3 dari DUHAM, menambahkan satu larangan lebih lanjut, baik secara fisik maupun mental, yang secara sengaja ditimpakan pada seseorang untuk tujuan-tujuan seperti memperoleh informasi/suatu pengakuan darinya atau orang ketiga, menghukumnya karena tindakan yang dia atau orang ketiga telah melakukan/dicurigai melakukan, atau mengintimidasi/memaksa dia atau orang ketiga atau karena alasan apapun berdasarkan diskriminasi dalam bentuk apapun, ketika rasa sakit/penderitaan semacam itu ditimbulkan oleh atau pada dorongan atau dengan persetujuan dari persetujuan pejabat publik atau orang lain yang bertindak dalam kapasitas resmi.
Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment tahun 1984 merupakan perjanjian internasional paling komprehensif yang berhubungan dengan penyiksaan, yang kemudian kepatuhan negara-negara pihak ditinjau oleh Comittee Against Torture dalam pelaksanaan kewajiban perjanjian mereka. Conventions Against Torture tidak
hanya menyerukan agar negara-negara pihak10 mencegah tindakan penyiksaan, tetapi juga memberikan pengaturan dalam Pasal 2 (2) bahwa tidak ada keadaan luar biasa apapun, baik itu suatu keadaan perang atau ancaman perang, ketidakstabilan politik internal atau hal darurat publik lainnya, sebagai alasan pembenaran tindakan penyiksaan. Selanjutnya, Pasal 2 (3) menjelaskan bahwa “perintah dari atasan atau otoritas publik tidak boleh diguakn sebagai pembenaran penyiksaan”.
Kebebasan dari tindakan penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman yang kejam dan merendahkan martabat manusia merupakan non-derogable right berdasar pada hukum internasional, hukum hak asasi manusia internasional dan hukum humaniter internasional. Hak tersebut harus dihormati dan dilindungi dalam semua keadaan termasuk saat konflik bersenjata internal maupun internasional atau keadaan darurat publik lainnya. Larangan atas tindakan penyiksaan merupakan norma hukum internasional tanpa adanya batasan teritorial dan dalam penerapannya di pengadilan internasional, regional dan domestik telah diakui juga larangan atas perlakuan atau penghukuman yang kejam dan tidak manusiawi sebagai hukum kebiasaan internasional11. Telah diatur juga pada Pasal 6 (b) The Charter of The International Military at Nuremberg yang sebelumnya sudah memasukkan “perbuatan sewenang-wenang” terhadap warga sipil dan tahanan perang sebagai kejahatan perang.
Konvensi Jenewa merupakan konvensi yang penerimaannya paling luas karena seluruh dunia menjadi pihak yang terikat dalam konvensi tersebut12. Kumpulan konvensi-konvensi Jenewa
tahun 1949 dikenal dengan nama hukum jenewa yang menagtur perlindungan terhadap mereka yang menjadi korban perang13. Konvensi Jenewa keempat tentang The Protection of Civilians Persons, dalam Pasal 32 mengenai konflik bersenjata internasional, menetapkan : Pihak-pihak Peserta Agung
teristimewa sepakat bahwa mereka masing-masing dilarang mengambil tindakan apapun yang sedemikian rupa sifatnya shingga menimbulkan penderitaan-penderitaan jasmaniah atau pemusnahan orang-orang yang dilindungi yang ada dalam tangan mereka. Larangan ini tidak hanya berlaku terhadap pembunuhan, penganiayaan hukuman badan, pengudungan serta percobaan-percobaan kedokteran atau percobaan-percobaan ilmiah yang tak diperlukan oleh perawatan kedokteran dari pada seorang yang dilindungi, akan teapi juga berlaku terhadap setiap tindakan kekuasaan lainnya, baik yang dilakukan oleh alat-alat negara sipil maupun militer. Konvensi-konvensi jenewa tidak hanya melarang penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang, tetapi mereka juga menyatakan “penyiksaan atau perlakuan tidak manusiawi, (termasuk eksperimen biologis) yang dengan sengaja menyebabkan penderitaan besar atau cedera serius pada tubuh atau kesehatan” menjadi pelanggaran berat. Pelanggaran berat seperti itu, jika dilakukan selama konflik bersenjata internasional, tunduk pada yurisdiksi pidan universal yang mana masing-masing dari 188 negara yang telah meratifikasi konvensi jenewa berkewajiban untuk membawa pelaku, “regardless of their nationality, before it own courts”.14
Mengenai konflik bersenjata internasional, Pasal 2 dari konvensi jenewa menunjukkan bahwa perjanjian tersebut “berlaku
untuk semua kasus perang yang dinyatakan atau konflik bersenjata lainnya yang mungkin timbul antara dua atau lebih dari pihak-pihak tinggi, meskipun keadaan perang tidak diakui oleh salah satu dar mereka”, oleh karena itu, konvensi-konvensi jenewa jelas berlaku untuk konflik-konflik bersenjata di Ukraina15 yang sebagai partisipan kontraktor tinggi, yaitu negara-negara yang telah meratifikasi perjanjian-perjanjian tersebut.
Konflik bersenjata antar negara memiliki pengaruh yang berbeda mengenai bagaimana kekuatan dapat dikendalikan dengan hukum humaniter internasional, sebaliknya dalam konflik internal (konflik bersenjata non-internasional) biasanya ditangani dibawah paradigma hukum hak asasi manusia. Namun baik rezim normatif hukum humaniter internasional dan hukum hak asasi manusia dapat dimainkan secara bersamaan karena adanya sifat kekerasan yang mungkin dihadapi dalam konflik bersenjata internasional ataupun konflik internal16.
Kerangka normatif hukum humaniter internasional berbeda dalam banyak hal dari hukum hak asasi manusia internasional. Satu perbedaan mendasar adalah bahwa hukum humaniter menuntut keseimbangan kemanusiaan dengan kebutuhan militer. Terlepas dari perbedaan antara hukum humaniter internasional dan hukum hak asasi manusia, 2 aturan tersebut menunjukkan kesamaan konten yang menyebabkan mereka bersatu. Norma-norma hak asasi manusia yang tercermin dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan dokumen-dokumen hak asasi manusia PBB telah memiliki dampak “producing a large measure of
parallelism between norms, and a growing measure of convergence in their personal an territorial applicability”.17
-
2.2.2 Tanggung Jawab Negara atas Tindakan Negara yang Salah Secara Internasional Berdasar pada Hukum Internasional
Tanggung jawab tersebut dalam hukum internasional dikenal sebagai responsibility, seperti dinyatakan Ian Brownlie bahwa “in any legal sistem there must be liability for failure to observe obligations imposed by its rules. Such liability is know as responsibility18. Tanggung jawab negara, paling tidak dihadapan pengadilan-pengadilan internasional, timbul dari kesalahan-kesalahan yang dituduhkan telah dilakukan oleh negara yang bersangkutan. Kesalahan yang dimaksud dalam kaitan ini berarti pelanggaran beberapa kewajiban yang dibebankan terhadap suatu negara berdasarkan hukum internasional.19 Berkaitan dengan pelanggaran-pelanggaran internasional ini, adalah penting untuk mengemukakan pikiran tentang ‘keterkaitan’ (imputability), bahwa organ atau pejabat negara tealah melakukan suatu tindakan kesalahan dan tindakan melanggar hukum internasional ‘dikaitkan’ (imputed) dari organ atau pejabat tersebut kepada negaranya. ‘keterkaitan’ karenanya bergantung kepada pemenuhan dua sayarat yaitu (1) tindakan suatu organ atau pejabat negara yang melanggar kewajiban yang ditetapkan di dalam suatu kaidah hukum internasional; dan (2) bahwa menurut hukum internasional, pelanggaran tersebut akan diatribusikan ke nagara terkait20.
Organ atas nama suatu negara (resmi maupun tidak resmi) terlibat dalam penangkapan, pemindahan, penahanan atau interogasi yang melanggar hukum internasional, maka negara tersebut secara internasional bertanggung jawab secara hukum atas tindakan yang dimaksud. Suatu negara bertanggung jawab apabila negara mengizinkan pendirian atau pengoperasian tempat penahanan tidak resmi, menoleransi atau membantu dalam penculikan secara rahasia akan bertanggung jawab atas pelanggaran kewajiban internasional mereka dibawah larangan penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya, dan larangan penghilangan paksa. Setiap pelanggaran yang dilakukan oleh suatu negara atas kewajiban apapun akan menimbulkan pertanggung jawaban negara yang berakibat pada kewajiban melakukan tindakan perbaikan (the duty of reparation)21.
Pasal 1 Darft Articles on State Responsibility22 menyebutkan aturan umum, yang didukung secara luas melalui praktek, bahwa setiap perbuatan melawan hukum internasional yang dilakukan suatu negara akan menimbulkan pertanggung jawaban. Pasal 2 menetapkan bahwa terdapat perbuatan melawan hukum internasional yang dilakukan suatu negara jika perilaku itu mencakup tindakan atau kelalaian yang dapat dihubungkan dengan negara itu menurut hukum internasional dan merupakan pelanggaran atas suatu kewajban intenasional negara yersebut. Prinsip ini dikuatkan melalui hukum kasus. Hukum internasionallah yang menentukan apa yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum internasional itu, tanpa mengindahkan ketentuan-ketentuan hukum di dalam negeri.
Pasal 12 menetapkan bahwa pelanggaran atas suatu kewajiban internasional terjadi jika suatu negara melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan yang diharuskan oleh kewajibannya itu, tanoa mengindahkan asal-usul atau ciri perbuatnnya23. Pasal 4 menetapkan bahwa perilaku setiap organ negara (termasuk persona atau entitas yang berstatus demikian sesuai dengan hukum internal negara tersebut) harus dianggap sebagai perbuatan negara yang bersangkutan dibawah hukum internasional jika organ tersbeut melaksanakan fungsi legistatif, eksekutif, yudikatif atau fungsi lainnya, apapun kedudukan yang dipegangnya di dalam penyelenggaraan negara dan apapun sifatnya sebagai organ pemerintahan pusat atau organ pada unit teritorial negara tersebut. Mahkamah internasional menganggap “salah satu landasan hukum pertanggung jawaban negara, bahwa perilaku setiap organ negara harus dianggap sebagai perbuatan negara itu menurut hukum internasional, dan karenanya menimbulkan pertanggung jawaban pada negara jika perbuatan itu merupakan pelanggaran kewajiban negara tersebut.
III Penutup
3.1 . Kesimpulan
-
1. Larangan Penangkapan, Perlakuan dan Penahanan Sewenang-Wenang; Penghilangan Paksa; dan Penyiksaan menyimpang dari Hukum Internasional. Dengan meratifikasi perjanjian hak asasi manusia internasional, maka negara tersebut telah menerima bahwa hukum positif dalam pencapaian perlindungan berfungsi sebagai dasar dalam pelaksanaan kewajiban hak asasi manusia. Oleh karena itu hak asasi manusia menjadi perangkat hukum yang krusial
dalam penghormatan dan perlindungan martabat dan kepentingan manusia. Conventions Against Torture mengatur bahwa tidak ada keadaan luar biasa apapun, baik itu suatu keadaan perang atau ancaman perang, ketidakstabilan politik internal atau hal darurat publik lainnya, sebagai alasan pembenaran tindakan penyiksaan, selanjutnya, dijelaskan bahwa “perintah dari atasan atau otoritas publik tidak boleh digunakan sebagai pembenaran penyiksaan”. Konvensi jenewa tidak hanya melarang penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang, tetapi mereka juga menyatakan “penyiksaan atau perlakuan tidak manusiawi, (termasuk eksperimen biologis), yang dengan sengaja menyebabkan penderitaan besar atau cedera serius pada tubuh atau kesehatan” menjadi pelanggaran berat.
-
2. Organ atas nama suatu negara (resmi maupun tidak resmi) terlibat dalam penangkapan, pemindahan, penahanan atau interogasi ataupun mengizinkan pendirian atau pengoperasian tempat penahanan tidak resmi, menoleransi ataupun membantu dalam penculikan secara rahasia merupakan pelanggaran hukum internasional, maka negara tersebut secara internasional bertanggung jawab secara hukum atas tindakan yang dimaksud.
-
1. Sebagai suatu kewajiban, negara harus menghormati dan mengimplementasikan semua ketentuan deklarasi, konvensi dan secara khusus memastikan hak-hak dan perlindungan bagi setiap individu.
-
2. Pertanggung jawaban negara merupakan asas dasar hukum internasional. Maka dari itu tanggung jawab negara harus ditegakkan sesuai dengan kewajiban yang telah dilanggar.
IV. DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
Ambarwati, dkk., 2009, Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Amenesty International and Human Rights Watch, 2016, “You
Don’t Exist” Arbitrary Detentions, Enforced
Disappearances, and Torture in Eastern Ukraine, London, Amesty International Ltd.
Haryomataram, KGPH, 2005, Pengantar Hukum Humaniter, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Mahmud Marzuki, Peter, 2010, Penelitian Hukum, Cet. VIII,
Kencana Predana Media Group, Jakarta.
N. Shaw QC, Malcolm, 2013, Hukum Internasional (International Law), Cambridge University, alih bahasa Derta Sri
Widowatie, Iman Baehaqi dan M. Khozim) cetakan kesatu, Nusa Media.
Starke, J.G., 2010, Pengantar Hukum Internasional Edisi
Kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta.
Sujatmoko, Andrey, 2005, Tanggung Jawab Negara atas Pelanggaran Berat HAM, PT Grasindo, Jakarta.
Jurnal Ilmiah
David Weissbrodt, 2006, The Absolute Prohobition of Torture and Ill-Treatment, University of Minnesota Law School
Kenneth Watkin, The American Journal of International Law, Vol. 98, No. 1 (Jan., 2004)
Andorno, Roberto, 2014, Human Dignity and Human Rights, Handbook of Global Bioethics, Dordrecht : Springer Reference
Peraturan Perundang-undangan
Charter of The United Nations
Universal Declaration of Human Rights
Geneva Convention
International Convenant on Civil and Political Rights
The Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or
Degrading Treatment or Punishment 1984
Assembly A/RES/72/163
Internet
https://www.voanews.com/a/united-nations-human-right-council-ukraine-conflict/3910072.html, OHCHR: Deaths, Injuries Mount as Ukraine Conflict Enters 4th Year, June 21, 2017, diakses pada tanggal 15 November 2018
https://www.hrw.org/news/2017/01/25/ukraine-armed-conflict-related-abuse-detention, diakses pada tanggal 15 November 2018 https://ihl-
databases.icrc.org/applic/ihl/ihl.nsf/States.xsp?xp_treatySelected =380&xp_viewStates=XPages_NORMStatesParties (State PArties of Geneva Convention), diakses pada tanggal 7 Januari 2019
https://en.wikipedia.org/wiki/United_Nations_Convention_against _Torture
15
Discussion and feedback