DUALISME KOMPETENSI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA TANAH TERHADAP SERTIFIKAT HAK ATAS TANAH BERUPA SERTIFIKAT HAK MILIK (SHM) YANG DITERBITKAN OLEH BADAN PERTANAHAN NASIONAL (BPN) DIKAITKAN DENGAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH

Oleh :

Dw Ngk Gd Agung Basudewa Krisna I Made Subawa

Program Kekhususan Hukum Pemerintahan Fakultas Hukum Universitas Udayana

Abstrak

Tulisan ini berjudul Dualisme Kompetensi Dalam Penyelesaian Sengketa Tanah Terhadap Sertifikat Hak Atas Tanah Berupa Sertifikat Hak Milik (SHM) Yang Diterbitkan Oleh Badan Pertanahan Nasional Dikaitkan Dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Karya tulis ini dilatarbelakangi oleh adanya permasalahan mengenai adanya dualisme kompetensi absolut antar peradilan terkait kewenangan mengadili penyelesaian sengketa tanah. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana masing-masing peradilan tersebut berwenang dalam mengadili adanya sengketa tanah, sehingga nantinya tidak merugikan pihak yang akan mempertahankan kepentingannya terhadap suatu hak atas tanah, yang dikaitkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Kata kunci : Hak atas tanah, sengketa tanah, pendaftaran tanah, hak milik

Abstract

This paper is titled “The Dualism of Competence Adjudicate in the Settlement of Land Related Dispute with regard to the Certificate of Ownership Issued by the National Cadastre Office and the Applicablity of Government Regulation Number 24 Year 1997 Regarding Land Registry. The main issue in this paper is that there is a certain conflict of absolute competency between the courts with regards to the courts’ competencies in handling land related dispute. Moreover, this paper aims to diciding on how far the extent of each court’s competencies on

handling land related case so that it may not prejudice against the party asserting his or her right on land as regulated by Government Regulation Number 24 Year 1997 Regarding Land Registry.

  • A.    Pendahuluan

Dalam pembangunan, peranan tanah bagi pemenuhan berbagai keperluan sangat dibutuhkan, baik sebagai tempat bermukim maupun untuk kegiatan usaha. Sehubungan dengan itu akan meningkat pula kebutuhan akan dukungan berupa jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan. Pemberian jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan, pertama-tama memerlukan tersedianya perangkat hukum yang tertulis, lengkap, dan jelas yang dilaksanakan secara konsisten sesuai dengan jiwa da nisi ketentuan-ketentuannya. Selain itu dalam menghadapi kasus-kasus konkret diperlukan juga terselenggaranya pendaftaran tanah yang memungkinkan bagi para pemegang hak atas tanah untuk dengan mudah membuktikan haknya atas tanah yang dikuasainya, dan bagi para pihak yang berkepetingan.1

Bagi pihak yang memiliki sertifikat, dalam hal ini berupa sertifikat hak atas tanah, maka hal tersebut menjadikan nilai lebih terkait status kepemilikan atas suatu tanah, karena sertifikat hak atas tanah merupakan suatu tanda bukti yang kuat dibandingkan dengan alat bukti tertulis lainnya karena sertifikat tersebut merupakan akta otentik artinya harus dianggap benar sampai dibuktikan sebaliknya di pengadilan dengan alat bukti yang lain.2 Hak milik atas tanah sebagai salah satu jenis hak milik, sangat penting bagi negara,

bangsa, dan rakyat Indonesia sebagai masyarakat agraria yang sedang membangun kea rah perkembangan industri dan lain-lain.3

Terkait pemberian kepastian dan perlindungan hukum bagi pemegang sah hak atas tanah yang sudah mendaftarkan tanah haknya, sebagai tanda bukti hak diterbitkan sertifikat yang merupakan salinan register.4 Sertifikat hak atas tanah yang telah didaftarkan kemungkinan masih banyak terjadi permasalahan yang timbul sehingga mengakibatkan suatu permasalahan yang berujung pada permohonan pembatalan terhadap sertifikat hak atas tanah tersebut. Oleh karena itu, berdampak pula terhadap benturan kewenangan antara Peradilan Tata Usaha Negara dengan Peradilan Umum terkait kewenangan mengadili penyelesaian sengketa atas hak atas tanah tersebut yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN), yang dalam hal ini sengketa terhadap Sertifikat Hak Milik (SHM).

  • 1.2    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimana aspek hukum sertifikat hak atas tanah dikaitkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ?

  • 2.    Bagaimana benturan kewenangan mengadili antara Peradilan Tata Usaha Negara dengan Peradilan Umum dalam penyelesaian sengketa tanah terhadap sertifikat hak atas tanah berupa Sertifikat Hak Milik (SHM) yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) ?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui sejauh mana masing-masing peradilan tersebut berwenang dalam mengadili adanya sengketa tanah, sehingga nantinya tidak merugikan pihak yang akan mempertahankan kepentingannya terhadap suatu hak atas tanah, yang dikaitkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

  • B.    ISI MAKALAH

    • 2.1    Metode Penelitian

Menurut Peter Mahmud Marzuki, Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.5 Metode adalah cara atau jalan yang teratur untuk mencapai suatu maksud yang diinginkan6, sedangkan penelitian merupakan suatu kerja ilmiah yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodelogis, dan konsisten7. Metode penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah penulisan bersifat deskriptif-analistis dan metode penelitian menggunakan library research atau penelitian kepustakaan, maksudnya adalah penelitian dipusatkan kepada studi kepustakaan untuk mendapatkan data-data yang relevan dengan penyusunan skripsi ini, yaitu melalui buku-buku, majalah-majalah, tulisan dan karya ilmiah yang ada kaitannya dengan masalah yang diteliti.

  • 2.2    Hasil Dan Pembahasan

  • a) Aspek Hukum Sertifikat Hak Atas Tanah Dikaitkan Dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah

Dalam Pasal 19 UU No. 5 Tahun 1960 tetang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria memerintahkan diselenggarakannya pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum, di mana pendaftaran tanah tersebut diatur lebih lanjut dengan PP No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, dan saat ini telah berlaku juga PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang saat ini menjadi dasar kegiatan pendaftaran tanah di seluruh Indonesia. Pasal 32 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menyebutkan bahwa sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan.

Sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 1 PP No. 24 Tahun 1997, pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengelolaan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.

Ciri khas dari ha katas tanah adalah seseorang yang mempunyai ha katas tanah berwenang untuk mempergunakan atau mengambil

manfaat atas tanah yang menjadi haknya. Hak-hak atas tanah yang dimaksud ditentukan dalam Pasal 16 jo. Pasal 53 UUPA, yaitu: 1)  Hak Milik;

  • 2) Hak Guna Usaha;

  • 3) Hak Guna Bangunan;

  • 4) Hak Pakai;

  • 5) Hak Sewa;

  • 6) Hak Membuka Tanah;

  • 7)    Hak Memungut Hasil Hutan;

  • 8)    Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang ditetapkan oleh UU serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana disebutkan dalam pasal 53.

Dalam Pasal 16 UUPA disebutkan adanya 2 (dua) hak yang sebenarnya bukan merupakan hak atas tanah yaitu hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan karena hak-hak itu tidak diberi wewenang untuk mempergunakan atau mengusahakan tanah tertentu. Namun kedua hak tersebut tetap dicantumkan dalam Pasal 16 UUPA sebagai hak atas tanah hanya untuk menyelaraskan sistematikanya dengan sistematika hukum adat, yang notabene merupakan pengejawantahan (manifestasi) dari hak ulayat.

Diterbitkannya PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah merupakan suatu upaya pemerintah dalam mewujudkan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi seluruh Indonesia sebagaimana yang tertuang dalam UUPA. PP No. 24 Tahun 1997 juga sebagai penyempurnaan aturan terhadap ketentuan yang telah ada sebelumnya, yaitu PP No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah. Upaya pemerintah dalam mencapai tujuan pokok diberlakukannya UUPA terkait kepastian hukum yaitu:

  • 1)    Menyediakan perangkat hukum yang tertulis, lengkap, dan jelas;

  • 2)    Menyelenggarakan pendaftaran tanah yang memungkinkan bagi pemegang hak atas tanah untuk membuktikan hak atas tanah yang dikuasainya dan bagi pemerintah untuk melaksanakan kebijakan pertanahan.

Pendaftaran tanah berdasarkan UUPA meliputi:

  • 1)    Pengukuran, perpetaan, dan pembukuan tanah;

  • 2)    Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak tersebut;

  • 3)    Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

Suatu pendaftaran hak atas tanah dilakukan di kantor pertanahan yang berada di wilayah kabupaten atau kota. Dalam melaksanakan tugasnya, Badan Pertanahan Nasional (BPN) umumnya dibantu oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), yang membantu pendaftar mulai dari tahap pemeriksaan tanah hingga diperolehnya sertifikat tanah, bahkan PPAT juga dapat membantu pihak pendaftar untuk melakukan pengalihan hak atas tanahnya tersebut. Berdasarkan PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, maka terdapat 2 (dua) cara pendaftaran hak atas tanah, yaitu:

  • 1)    Pendaftaran Tanah Secara Sistematis

Dilakukan oleh pemerintah yang mencakup satu wilayah kelurahan atau desa. Dalam pendaftaran sistematis, Badan Pertanahan Nasional (BPN) akan membentuk panitia ajudikasi yang terdiri dari kantor pertanahan dan aparatur kelurahan atau desa, yang bertugas melakukan sertifikasi atas tanah-tanah penduduk yang belum memiliki sertifikat.

  • 2)    Pendaftaran Tanah Secara Sporadis

Dilakukan oleh pihak yag memiliki bukti penguasaan hak atas tanahnya dengan berupa surat keterangan tanah, yaitu dengan menunjukkan bukti penguasaan tanahnya tersebut sebagai cara agar terdaftar dan mendapatkan sertifikat ha katas tanah.

  • a) Benturan Kewenangan Mengadili Antara Peradilan Tata Usaha Negara dengan Peradilan Umum Dalam Penyelesaian Sengketa Tanah Terhadap Sertifikat Hak Atas Tanah Berupa Sertifikat Hak Milik (SHM) Yang Diterbitkan Oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN)

Salah satu hak atas tanah yaitu hak milik, di mana sengketa hak milik atas tanah merupakan sengketa yang objeknya adalah hak milik atas sebidang tanah terperkara. Sengketa hak milik ini melibatkan minimal dua pihak yang saling mengklaim sebagai pemilik sah atas sebidang tanag terperkara dimaksud. Hak milik (eigendom) diatur dalam pasal 570 KUHPerdata yang menyatakan bahwa hak milik merupakan hak untuk menikmati kegunaan suatu benda dengan sepenuhnya dan bebas untuk melakukan apapun terhadap benda tersebut sepanjang tidak bertentangan dengan UU atau peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berwenang menetapkannya.8

Kewenangan absolut peradilan/ atribusi kewenangan (attributie van rechtsmacht) adalah menyangkut tentang pembagian wewenang antar badan-badan peradilan berdasarkan jenis lingkungan pengadilan, misalnya pembagian antara wewenang peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Umum Kewenangan mengadili

(kompetensi absolut) antara Peradilan Tata Usaha Negara (Pasal 47) dan Peradilan Umum (Pasal 50) UU No. 2 tahun 1986 dalam pelaksanaannya seringkali bersinggungan. Pada satu pihak Peradilan Umum mengadili suatu perkara perdata di bidang pertanahan yang berkaitan dengan aspek hak atas tanahnya, dimana sertifikat hak atas tanahnya sebagai salah satu alat bukti, dan pada pihak lain Peradilan Tata Usaha Negara juga memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara yang berkaitan dengan aspek prosedur pendaftaran tanahnya, dimana sertifikat, Surat Keterangan Tanah (SKT) dan Surat Keterangan Ganti Rugi (SKGR) yang dimaksud sebagai objek sengketanya menurut Pasal 1 butir 3 UU No. 5 Tahun 1986 jo. UU No. 9 Tahun 2004).9

Selain Pasal 1 butir 3 UU No. 5 Tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004) sebagai objek gugatan dalam sengketa pertanahan di Peradilan Tata Usaha Negara, juga menyangkut permohonan penerbitan sertifikat atau pemberian hak yang ditolak oleh BPN sebagaimana bunyi Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986 jo. UU No. 9 Tahun 2004. Misalnya sengketa mengenai pembatalan surat keputusan pemberian hak atas tanah atau sertifikat hak atas tanah atau keputusan yang berisikan penolakan atas permohonan surat keputusan pemberian hak atas tanah atau keputusan yang berisikan penolakan atas permohonan surat pemberian hak atas tanah atau surat keputusan tentang balik nama atau keputusan berupa penolakan atas permohonan untuk memperoleh sertifikat hak atas tanah yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Propinsi atau oleh Kepala Kantor Pertanahan Propinsi atau oleh Kepala Kantor

Pertanahan Kabupaten/Kotamadya. Kemudian lebih lanjut diatur pada Pasal 50 Jo Pasal 51 UU No. 2 Tahun 1986 yang menentukan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi (Peradilan Umum) bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara perdata. Dengan demikian Peradilan Umum berwenang mengadili sengketa-sengketa pertanahan yang mengandung aspek hukum perdata. Misalnya kepemilikan atau penguasaan tanah secara melawan hukum tindakan yang memperkosa hak milik atas tanah, perbuatan ingkar janji jual beli, sewa-menyewa, jaminan dan lain-lain hak atas tanah.10

Dalam kaitannya dengan PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, maka sebagaimana ketentuan Pasal 32 ayat (2) maka dalam hal suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu telah tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat tersebut.

Hal di atas dikenal dengan istilah sistem publikasi negatif, yang digunakan untuk melindungi pemegang hak yang sebenarnya sehingga pemegang hak yang sebenarnya akan selalu dapat menuntut kembali haknya yang terdaftar atas nama siapapun. Pada sistem publikasi negatif sertifikat yang dikeluarkan merupakan tanda

bukti ha katas tanah yang kuat, di mana hal ini berarti semua keterangan yang terdapat di dalamnya mempunyai kekuatan hukum dan harus diterima sebagai keterangan yang benar oleh hakim, selama tidak dibuktikan sebaliknya. Dalam sistem publikasi negatif, negara hanya secara pasif menerima apa yang dinyatakan oleh pihak yang meminta pendaftaran sehingga setiap saat dapat digugat oleh orang yang merasa lebih berhak atas tanah tersebut.

Sengketa hak milik atas tanah termasuk dalam ranah hukum perdata. Hal ini dapat dipahami karena sengketa hak milik mencakup hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain maupun hubungan hukum antara orang dengan benda melalui penguasaan atau pemilikan. Namun demikian, jika kita menilik kembali fungsi pengadilan sebagai peradilan perdata, pandangan maupun kaidah tersebut perlu untuk ditinjau ulang, karena dengan fungsi peradilan perdata yang mengadili hubungan hukum antara subjek hukum satu dengan subjek hukum maupun dengan objek hukum lainnya, maka pengadilan akan menetapkan siapa yang memiliki hak dan kewenangan yang sah secara hukum. Kewenangan untuk menyatakan suatu sertifikat tanah tidak berkekuatan hukum ataupun membatalkan suatu sertifikat tanah merupakan kewenangan administratif, karena kewenangan tersebut berkaitan dengan penilaian tentang bagaimana legalitas administratif suatu sertifikat dikeluarkan. Dalam konteks ini, pengadilan dalam lingkungan peradilan TUN dan instansi agraria yang berwenang untuk itu.11

Hal di atas dapat dilihat dari ketentuan Pasal 55 ayat (3) PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang menyebutkan bahwa pencatatan hapusnya ha katas tanah, hak pengelolaan dan hak milik atas satuan rumah susun berdasarkan putusan Pengadilan dilakukan setelah diperoleh surat keputusan mengenai hapusnya hak yang bersangkutan dari Menteri atau Pejabat yang ditunjuknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1). Begitu juga disebutkan pada penjelasa pasal tersebut bahwa Putusan Pengadilan mengenai hapusnya sesuatu hak harus dilaksanakan lebih dahulu oleh Pejabat, yang berwenang, sebelum didaftar oleh Kepala Kantor Pertanahan.

Kedua ketentuan tersebut diatas secara eksplisit menggambarkan bahwa kewenangan pengadilan dalam sengketa hak milik atas tanah adalah mengadili siapa yang paling berhak secara hukum atas tanah terperkara. Pengadilan dalam hal ini akan memeriksa secara cermat tentang riwayat status tanah dan hak-hak keperdataan yang melekat atasnya serta siapa yang secara hukum berhask atas hak-hak tersebut. Karena itu, dalam peradilan perdata, khususnya dalam mengadili sengketa hak milik atas tanah, yang diperiksa bukanlah bagaimana alur administratif sertifikat tersebut dikeluarkan, melainkan memeriksa apakah nama yang tercantum dalam setifikat itu berhak secara hukum atas hak milik atas tanah terperkara. Pemeriksaan demikian melalui tahapan-tahapan pembuktian tertentu dan pada akhirnya akan bermuara pada kesimpulan pengadilan apakah nama yang tercantum dalam sertifikat hak milik atas tanah tersebut berhak atau tidak.12

  • C. PENUTUP

  • 3.1.    Kesimpulan

  • a)    Bahwa dalam Pasal 19 UU No. 5 Tahun 1960 tetang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria memerintahkan diselenggarakannya pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum, di mana pendaftaran tanah tersebut diatur lebih lanjut dengan PP No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, dan saat ini telah berlaku juga PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang saat ini menjadi dasar kegiatan pendaftaran tanah di seluruh Indonesia. Pasal 32 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menyebutkan bahwa sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan;

  • b)    Bahwa benturan kewenangan mengadili antara Peradilan Tata Usaha Negara dengan Peradilan Umum terkait penyelesaian sengketa tanah terhadap sertifikat hak atas tanah berupa Sertifikat Hak Milik (SHM) seharusnya tidak terjadi karena kompetensi absolut dari Peradilan Tata Usaha Negara berkaitan dengan administratif, sedangkan bagi Peradilan Umum salah satunya berkaitan dengan aspek perdata. Apabila SHM tersebut cacat hukum karena adanya perbuatan melawan hukum, maka Peradilan Umum berwenang mengadilinya, sedangkan

SHM yang cacat hukum karena kesalahan administraif diajukan ke Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam kaitannya dengan pembatalan suatu sertifikat atau penghapusan hak milik atas tanah, maka putusan pengadilan harus dijalankan terlebih dahulu baik secara sukarela maupun melalui lembaga eksekusi pengadilan, sebelum permohonan penghapusan tersebut didaftarkan kepada kantor pertanahan terkait.

  • 3.2.    Saran

  • a)    Diharapkan bagi pemilik suatu hak atas tanah untuk melakukan pendaftaran tanah sesuai amanat dari UUPA dan PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah untuk menjamin kepastian hukum mengenai status kepemilikan hak atas tanah tersebut;

  • b)    Diharapkan negara melalui badan peradilan yudikatif supaya menjadi sarana bagi para pencari keadilan khususnya dalam hal sengketa tanah untuk mendapatkan putusan yang seadil-adilnya.

DAFTAR PUSTAKA

Buku Literatur

Anthon F. Susanto, 2015, Penelitian Hukum Transformasi-Partisipatoris Fondasi Penelitian Kolaboratif dan Aplikasi Campuran Mix. Method dalam Penelitian Hukum, Malang: Setara Press

Bambang Sunggono, 2003, Metdelogi Penelitian Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Maria Sumardjono S.W., 2001, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi & Implementasi, Jakarta: Kompas

Peter Marzuki Mahmud, 2005, Penelitian Hukum – Cetakan ke-1, Jakarta: Kencana

Riduan Syahrani, 2006, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Bandung: Alumni

Supriadi, 2008, Hukum Agraria, Jakarta: SInar Grafika

Peraturan Perundang-Undangan

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

Jurnal Akademik

H. Aridi, M. Natsir Asnawi, S.HI, 2018, Batasan Kewenangan Pengadilan Dalam Sengketa Hak Milik Atas Tanah, Jurnal

Publikasi Pengadilan Agama Yogyakarta

Marten Bunga, 2018, Tinjauan Hukum Terhadap Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Menyelesaikan Sengketa Tanah, Jurnal Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas

Gorontalo

Satria Braja Harlandja, 2018, Perlindungan Hukum Pemegang Hak ATas Tanah Terhadap Objek Yang Sama (Studi Putusan Nomor Putusan 66/Pdt.G/2007/PN.RAP), Jurnal Hukum Kaidah Media Komunikasi dan Informasi Hukum dan Masyarakat, Dosen Tetap Fakultas Hukum UNPRI Medan

15