PERLINDUNGAN INTERNASIONAL TERHADAP HAK ASASI MANUSIA ORANG-ORANG LGBT DENGAN BANTUAN PBB
on
PERLINDUNGAN INTERNASIONAL TERHADAP HAK ASASI MANUSIA ORANG-ORANG LGBT DENGAN BANTUAN PBB
Oleh:
Dinda Maslahatul Ammah**
Marwanto***
Program Kekhususan Hukum Internasional dan Hukum Bisnis Internasional
Fakultas Hukum Universitas Udayana
Abstrak
Penulisan ini mengangkat judul Perlindungan Internasional Terhadap Hak Asasi Manusia Orang-Orang LGBT dengan bantuan PBB. LGBT merupakan singkatan dari lesbian, gay, biseksual dan transgender. Kata LGBT digunakan untuk menekankan keanekaragaman budaya yang berdasarkan identitas seksualitas dan gender. Tujuan dari penulisan ini yaitu untuk mengetahui bagaimana pengaturan mengenai perlindungan secara umum hak asasi manusia orangorang LGBT serta pula menganalisis bentuk pengaturan mengenai perlindungan internasional LGBT yang dilakukan dengan bantuan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Metode yang digunakan yaitu berjenis yuridis normatif yang merujuk pada analisis asas, teori, konsep, serta pasal-pasal dalam peraturan yang terkait dan juga merujuk pada pendekatan perundang-undangan (statue approach) yang menjadi objek penelitian yaitu sampai sejauh mana kesesuaian hukum positif tertulis yang ada satu dengan yang lainnya. Hasil analisis menunjukkan bahwa masih banyaknya orang-orang yang menghadapi kekerasan setiap harinya karena identitas seksual mereka. Peran penting PBB, Organisasi Internasional, dan kelompok masyarakat sipil tercermin dalam tindakan yang mereka lakukan untuk minoritas (LGBT) dan pengaruh universal yang mereka berikan pada negara-negara anggota untuk mencapai kerja sama internasional dan perlindungan bersama, khususnya dengan mempraktikkan prinsip-prinsip dasar yang telah diatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
Kata Kunci : Perlindungan Internasional, Hak Asasi Manusia, LGBT, PBB,
Abstract
The tittle of this paper discusses about International Protection of Human Rights of LGBT People with the assistance of the United Nations. LGBT stands for lesbian, gay, bisexual and transgender. The word LGBT is used to emphasize cultural diversity based on sexuality and gender identity. The purpose of this paper is to find out how LGBT human rights is protected in general and also analyze the forms of LGBT international protection carried out with the assistance of the United Nations (UN). The method used is a normative jurisdiction type that refers to the analysis of principles, theories, concepts, and articles in the relevant regulations and also refers to the statue approach which is the object of research, namely to
*
**
what extent is the compatibility between one written positive law with another. The results of the analysis show that there are still many people who face violence every day because of their sexual identity. The important role of the United Nations, International Organizations, and civil society groups is reflected in the actions they carry out for minorities (LGBT) and the universal influence they give to member countries to achieve international cooperation and mutual protection, especially by practicing the basic principles that has been regulated in the Universal Declaration of Human Rights.
Keywords : International Protections, Human Rights, LGBT, United Nation (UN)
Di seluruh negeri, banyak sekali orang-orang yang rentan terhadap marginalisasi, pelecehan baik verbal maupun non verbal, dan penghinaan karakteristik seksual mereka yang menyimpang. Terdapat lebih dari 75 negara yang melegalkan kekerasan yang mana kekerasan tersebut disahkan oleh undang-undang yang mengutuk orang-orang yang memiliki penyimpangan seksual seperti Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender atau LGBT, seperti memenjarakan dan juga menghukum mati mereka.1 Masih banyak sekali negara yang tidak mengakui keberadaan LGBT, dan kasus ini juga menjadi penyebab utama terjadinya kasus bunuh diri yang dilakukan oleh mereka yang merasa terkucilkan sebagai LGBT.2
Identitas, orientasi dan kehidupan seksual merupakan aspek dari hak privasi setiap individu. Namun, layaknya sebuah kebebasan, kaum LGBT juga berhak mendapatkan perlindungan yang mana perlindungan tersebut jelas berlaku bagi semua orang, terlepas dari identitas, orientasi maupun seksual yang menyimpang. Ini akan menjadi langkah pertama untuk menjelaskan penyebab dari orang-orang memiliki penyimpangan
seksual seperti LGBT. Standar yang berlaku dalam hukum hak asasi manusia internasional akan dikembangkan, diilustrasikan oleh beberapa kasus nyata.
Dalam pembahasan kali ini akan dijelaskan bagaimana badan perjanjian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengartikan hukum positif sehingga dapat berlaku bagi semua orang dan untuk melindungi semua konfigurasi dan hak asasi manusia. Implementasi dari pedoman PBB akan dianalisis secara singkat. Dan perlu dipahami pula bahwa bagian dari organisasi PBB memiliki peran yang nyata dalam mendukung dan membantu negara-negara anggota dan pihak-pihak lainnya dalam memahami tantangan-tantangan yang ditetapkan dalam hal ini, terutama melalui inisiatif untuk menghormati, memberikan perlindungan, dan realisasi hak asasi manusia LGBT.
Berdasarkan uraian diatas maka penulis mengangkat judul “PERLINDUNGAN INTERNASIONAL TERHADAP HAK ASASI MANUSIA ORANG-ORANG LGBT DI PBB”.
Mengacu pada latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah yang penulis angkat berupa :
-
1. Bagaimanakah pengaturan mengenai perlindungan umum hak asasi manusia terhadap orang-orang LGBT?
-
2. Bagaimanakah pengaturan mengenai perlindungan internasional terhadap LGBT dengan bantuan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)?
Tujuan dari penulisan jurnal ini yaitu untuk dapat mengetahui pengaturan mengenai perlindungan hak asasi manusia
orang-orang LGBT serta menganalisis pengaturan mengenai perlindungan internasional LGBT dengan bantuan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan makalah ilmiah ini yaitu berjenis yuridis normatif, yang mana dilakukan dengan cara menganalisis asas, teori, konsep, serta pasal-pasal.3 Hal tersebut berkaitan pula dengan peraturan terkait permasalahan diatas dan juga merujuk pada pendekatan perundang-undangan (statue approach) yang menjadi objek penelitian yaitu sampai sejauh mana kesesuaian hukum positif tertulis yang ada satu dengan yang lainnya.
-
2.1 Hasil dan Pembahasan
2.1.1 Pengaturan Mengenai Perlindungan Umum Hak Asasi Manusia Orang-Orang LGBT
Masalah mengenai hak orang-orang LGBT untuk mendapatkan manfaat dari perlindungan umum hak asasi manusia menjadi isu yang sering terjadi di badan-badan konvensional.4 Hal ini memunculkan pertanyaan yang lebih umum yaitu, apakah hak asasi manusia merupakan ruang lingkup umum terbatas, dalam hal siapa pemiliknya dan kapan ada pembatasan seperti itu? Tentu saja pemilik hak-hak dasar adalah orang, individu, setiap pria dan wanita.5 Namun, siapapun tidak dapat memanfaatkan semua hak nya begitu saja. Yang menarik, yaitu pertanyaan yang merujuk pada
hak orang-orang dari anggota minoritas seksual. Pertanyaan ini menjadi salah satu perdebatan kontemporer yang hebat perihal apakah mereka juga memegang hak-hak dasar seperti hak untuk menikah atau hak untuk berkeluarga?6
Pentingnya praktik Konvensi Hak Asasi Manusia dan badan-badan traktat lainnya khususnya terlihat dalam konteks pertimbangan laporan berkala. Konvensi telah menggarisbawahi keprihatinan terhadap Negara-negara tertentu yang melakukan kejahatan terhadap kelompok minoritas seksual. Kurangnya ketegasan dalam penuntutan atas tindakan semacam itu dan kurang peka nya pihak-pihak pemerintah setiap negara terhadap masalah orientasi seksual dan identitas gender.7 Konvensi hak-hak anak juga menyatakan keprihatinannya terhadap kurangnya informasi dan dukungan untuk generasi muda homoseksual atau transeksual dan kebutuhan untuk memungkinkan mereka dalam menjalani kehidupan dengan identitas mereka. Dalam sejumlah kasus, Konvensi Anti Penyiksaan menyatakan keprihatinannya terhadap kerentanan kaum homoseksual setelah adanya ancaman dan serangan terhadap minoritas seksual dan aktivis transgender.
Beberapa laporan dari prosedur khusus Dewan Hak Asasi Manusia telah difokuskan pada kasus-kasus anggota kelompok minoritas yang mengalami berbagai bentuk diskriminasi antara lain pada aspek identitas mereka dan realitas pribadi mereka, seperti orientasi atau ekspresi seksual, yang mengganggu norma sosial atau budaya. Beberapa prosedur khusus tentang hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya telah mengindikasikan dampak pelanggaran hak asasi manusia terhadap orang-orang LGBT. Pekerjaan pelapor
khusus tentang hak atas kesehatan itu sangat penting. Pada tahun 2004, ia mengamati bahwa pemahaman yang baik tentang prinsip-prinsip dasar dan norma-norma hak asasi manusia di bidang ini mengarah pada pengakuan bahwa hak-hak seksual merupakan hak asasi manusia, hal ini memperbolehkan setiap orang untuk mengekspresikan orientasi seksual mereka, dan juga menghormati kesejahteraan dan hak-hak orang lain, tanpa takut akan ancaman penganiayaan, perampasan kebebasan atau gangguan oleh masyarakat lainnya.8 Seorang mantan pelapor khusus tentang pendidikan juga telah mengidentifikasi hak untuk pendidikan seks yang memberikan perhatian khusus pada keragaman setiap orang. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia telah memutuskan dalam sebuah kasus yaitu larangan menadakan slogan “Homoseksualitas itu Normal” dan “Saya Bangga menjadi Homoseksual” yang mana hal tersebut dikatakan sebagai kebebasan bereksprsi setiap manusia. Dalam hal tersebut Komnas HAM mengamati bahwa mereka tidak melanggar hukum melainkan hanya mengekspresikan identitas seksual mereka dan membuat publik mengerti akan keberadaannya.
Berkenaan dengan konsep keluarga dalam hukum hak asasi manusia internasional, PBB dan badan-badan lainnya terus mengikuti perkembangannya, secara perlahan menuju pengakuan mengenai keberadaan keluarga untuk orang-orang homoseksual dan juga perlindungan terhadap mereka. Artikel 23 Pasal 1 konvensi PBB II mengacu pada kepentingan mendasar mengenai sebuah keluarga dan hak untuk mendapatkan perlindungan, tanpa secara eksplisit menyebutkan konfigurasi yang mungkin diambil. Dalam paragraf 2, referensi dibuat untuk pria dan wanita untuk
menikah dan membentuk keluarga. Hal tersebut hal ini tidak membatasi ruang lingkup Artikel 23 Konvensi PBB II.
Dalam kasus Schalk dan Kopf v Austria, pengadilan hak asasi manusia Eropa telah mengamati bahwa kita tidak boleh melanjutkan pemikiran mengenai “Homoseksual tidak bisa memiliki kehidupan berkeluarga seperti Heteroseksual”.9 Dalam pasal 8 ECHR, hubungan antara pasangan homoseksual yang hidup secara stabil dapat dikatakan sebagai “Kehidupan Keluarga”, selayaknya hubungan heteroseksual yaitu pasangan suami dan istri, seperti halnya yang telah diadopsi dalam kasus Atala Riffo. Sebagian besar kasus-kasus pelanggaran terjadi diluar pengawasan aparatur Negara, seperti di tempat kerja, lingkungan pendidikan, komunitas-komunitas agama, dan sebagainya.
-
2.1.2 Pengaturan Mengenai Perlindungan internasional LGBT dengan bantuan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
Pada juni 2011, Dewan PBB dari Afrika Selatan menawarkan resolusi PBB pertama untuk Hak Asasi Manusia yang didedikasikan khusus untuk orientasi seksual dan identitas gender.10 Hal ini telah disetujui oleh sebagian kecil mayoritas dan mendapat manfaat dari dukungan anggota Dewan semua wilayah. Adopsi ini telah membuka jalan bagi laporan resmi pertama mengenai topik yang berkaitan. Disiapkan oleh kantor komisaris tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (selanjutnya : Laporan I), yang berisi serangkaian investigasi tentang pelanggaran dan rekomendasi yang ditangani
melalui Negara untuk memperkuat perlindungan hak asasi LGBT. Satu tahun kemudian, Dewan Hak Asasi Manusia menyelenggarakan debat formal pertama tentang permasalahan ini. Negara-negara Islam masih mengalami kesulitan dalam memahami tema seperti itu sehingga banyak Negara yang memutuskan keluar ruangan, menunjukkan bahwa mereka menolak untuk membahas hal tersebut. Bagi negara-negara Organisasi Islam, seharusnya permasalahan seperti ini seharusnya tidak memiliki status subjek hak asasi manusia internasional. Kasus tersebut menunjukkan sebarapa sulitnya bagi badan supranasional untuk mengembangkan satu hukum yang harmonis dan universal, ketika adat istiadat dan nilai-nilai menjadi ambigu melalui budaya-budaya.
Pada 26 juli 2013, Komisaris Tinggi Navi Pillay meluncurkan kampanye “Born Free and Equal” yang artinya lahir bebas dan setara yang mana hal tersebut mencerminkan kewajiban dasar Negara terhadap orang-orang LGBT dan menjelaskan bagaimana mekanisme PBB menerapkan hukum Internasional dalam konteks ini.
Setahun kemudian pada bulan september 2014, Dewan Hak Asasi Manusia mengeluarkan resolusi baru, menegaskan kembali keprihatinannya terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang serius dan berkelanjutan terhadap orang-orang LGBT. Ia meminta kepada Komisaris Tinggi untuk memperbaharui laopran I, memberitahukan praktik yang baik dan cara untuk mengatasi kekerasan dan diskriminasi, dalam penerapan hukum internasional hak asasi manusia dan standar internasional. Laporan kedua tentang diskriminasi dan kekerasan terhadap orang karena orientasi seksual atau identitas gender mereka yang telah dikeluarkan pada Mei 2015 (selanjutnya : laporan II).
Dalam kampanye “Born Free and Equal” memunculkan lima topik yang dapat memudahkan dan memberikan pemahaman umum. Bahwa suatu tindakan atau kelalaian dapat membahayakan berbagai macam hukum yang berbeda.
Di semua wilayah di dunia, riset menunjukkan bahwa LGBT rentan terhadap kekerasan baik secara fisik ataupun psikologis, yang mana hal tersebut sering terjadi kepada mereka dan kebanyakan tidak ada hukum negara yang menyalahinya. Kekerasan yang dimotivasi oleh homofobia dan transphobia sering kali sangat brutal, seperti mutilasi genital, pemerkosaan anal atau kekerasan seksual lainnya seperti pemerkosaan korektif pada lesbian. Yang mengejutkan, kekerasan terjadi dengan keterlibatan otoritas investigasi atau agen-agen negara.11
Pelapor khusus diluar proses hukum menjabarkan beberapa kasus, contohnya di Meksiko, banyak kasus pembunuhan terhadap anggota LGBT, sekiranya antara tahun 2005-2013, 555 kasus
pembunuhan telah didaftarkan. Lalu pembunuhan transeksual di Uruguay dan lesbian berkulit hitam di Afrika Selatan. Ada pula kasus tindak kekerasan di Chili, dimana seorang pria gay dipukuli dan dibunuh oleh neo-nazi yang dengan tega membakarnya dengan rokok dan menggambarkan swastika pada tubuhnya dengan pisau. Homoseksual, biseksual dan transgender juga menjadi bagian dari korban yang disebut “Pembunuhan Demi Kehormatan”, ini dilakukan terhadap mereka yang dianggap oleh anggota keluarga mereka atau komunitas mereka sebagai orang yang sangat memalukan.
Padahal, kehidupan merupakan hak setiap orang dan hak untuk hidup juga dilindungi oleh artikel 3 dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia serta artikel 6 dan 9 dari Perjanjian PBB II. Mekanisme konvensional PBB meminta Negara untuk memenuhi kewajibannya dengan mengadopsi hukum untuk melarang tindakan kekerasan terhadap LGBT dan memberikan kompensasi kepada para korbannya.
Selain itu, penerapan hukuman mati dengan alasan orientasi dan identitas seksual melanggar kewajiban dasar Negara dalam melindungi hak untuk hidup, hak privasi dan lainnya.12 Negara yang menyetujui hukuman mati seperti Arab Saudi, Malaysia, Mauritania, Iran, Sudan, Yaman, sebagian Nigeria dan Somalia. Majelis umum PBB menegaskan bahwa hanya kejahatan paling serius lah yang dapat dihukum dengan hukuman mati.
Komite Menentang Penyiksaan, pelapor khusus tentang penyiksaan dan badan-badan lainnya serta mekanisme untuk perlindungan hak asasi manusia telah memberikan bukti substansial penyiksaan dam perlakuan buruk terhadap LGBT, termasuk oleh polisi, sipir dan petugas penegak hukum lainnya. Komite Menentang Penyiksaan menegaskan dalam satu pengamatan umum, baik pria maupun wanita bisa menjadi korban pelanggaran terhadap Konvensi (menentang penyiksaan). Sebagai contoh, pada kasus metis, yang merupakan istilah yang digunakan di Nepal untuk menunjuk orang-orang yang telah ditentukan jenis kelaminnya sejak lahir dan memiliki ekspresi perempuan. Ia dipukuli oleh polisi, lalu meminta uang dengan paksa atau
berhubungan badan dengan mereka. Pada kasus lain, seorang wanita transgender telah ditempatkan di penjara pria di El Salvador, di tempat itu ia diperkosa lebih dari seratus kali yang dilakukan oleh narapidana dan juga staf lembaga pemasyarakatannya. Yang sangat disayangkan pula para korban sering dianiaya oleh polisi ketika melaporkan kasus-kasus kejahatan seperti itu.
Negara memiliki kewajiban untuk melindungi individu dari penyiksaan dan bentuk lain dari perlakuan kejam dan tidak manusiawi atau merendahkan. Hak-hak tersebut diatur dalam Pasal 5 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Pasal 7 Perjanjian PBB II dan Pasal 2 Konvensi Menentang Penyiksaan. Di bawah Hukum Internasional, Negara harus melarang dan menghukum tindakan penyiksaan dan perlakuan buruk dan harus memberikan kompensasi bagi para korban dari tindakan tersebut.
-
3. Melegalkan Homoseksual dan Mencabut Undang-Undang lain yang Berfungsi untuk Menghukum Orang karena Orientasi Seksual dan Identitas Gender Mereka
Undang-undang yang menghukum orang-orang LGBT memunculkan sejumlah pelanggaran hukum yang terpisah dari hukum internasional, meskipun keduanya memiliki keterkaitan. Itu merupakan pelanggaran dari dua prinsip yang dibahas diatas, yaitu perinsip non-diskriminasi dan hak untuk dilindungi dari penahanan dan campur tangan sewenang-wenang dalam kehidupan pribadinya, yang disediakan oleh instrumen-instrumen internasional. Seperti yang telah kita lihat pula, hukum yang memberlakukan hukuman mati bagi perilaku seksual merupakan pelanggaran terhadap kewajiban yang diwajibkan hukum internasional, meskipun dalam praktik tidak pernah diterapkan.
Ada juga yang disebut dengan hukum “Anti-Propoganda”, yang membatasi hak kebebasan berekspresi dan berkumpul. Tujuan
undang-undang ini adalah membatasi debat publik tentang orientasi seksual dengan dalih pelestarian moral dan tradisi. Contoh yang terkenal adalah larangan legislatif pada propoganda homoseksual di Rusia untuk anak di bawah umur, yang bertujuan melindungi anak-anak dari informasi yang mengajak penolakan terhadap nilai-nilai tradisional keluarga.13 Hukum yang mengkriminalkan homoseksualitas juga berdampak negatif pada kualitas layanan kesehatan, khususnya untuk wanita lesbian, biseksual, transgender, dan orang interseks.
Penulis sudah menyebutkan beberapa kali larangan diskriminasi berdasarkan orientasi seksual dan identitas gender serta kewajiban bagi negara untuk mengadopsi, untuk itu, undang-undang anti-diskriminasi dengan berbagai macam alasannya dilarang. Laporan II mengklarifikasi praktik diskriminatif tertentu berdasarkan beberapa bidang, terutama dalam segi perawatan kesehatan, bidang pekerjaan dan pendidikan. Perlindungan terhadap diskriminasi terhadap LGBT merupakan suatu kewajiban karena perlindungan umum hak asasi manusia berlaku bagi semua orang di dunia ini.
Negara tidak diwajibkan untuk mengakui pernikahan sesama jenis seperti dalam kasus Joslin, ICESCR (Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) mendesak mereka untuk mengenali pasangan sesama jenis di hadapan hukum. Saat ini sebanyak kurang lebih 35 negara memperbolehkan pernikahan untuk pasangan sesama jenis. Komite Anggaran PBB mengakui pasangan sesama jenis, walaupun tidak tau apakah pernikahan sesama jenis dibolehkan atau tidak di negara asalnya.
-
5. Perlindungan Hak atas Kebebasan Berekspresi, Berserikat, Berkumpul dan Hak Atas Kebebasan Untuk Berpartisipasi dalam Pelaksanaan Kasus Publik
Di beberapa negara seperti Rusia, izin melakukan parade LGBT ditolak, yang dikenal sebagai Gay Pride di beberapa kota. Parlemen Lituania juga memiliki undang-undang untuk melarang penyiaran informasi publik tentang homoseksual dan biseksual, membatasi aktivis pembela HAM, terutama mereka yang bekerja untuk membela hak-hak orang LGBT.
Pasal 19 dan 20 dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan juga pasal 19,21 dan 22 Perjanjian PBB II menjamin hak semua orang dalam hal kebebasan berpendapat dan berekspresi, berkumpul secara damai dan berserikat. Ini adalah hak-hak dasar bagi masyarakat sipil dan perlindungan bagi semua pembela hak asasi manusia, yang mana negara wajib melindungi, tanpa diskriminasi terkait dengan orientasi seksual atau identitas gender. Hal ini memberikan isyarat untuk mencabut undang-undang “anti-propogada”, larangan campur tangan sewenang-wenang dan perlindungan hak untuk mengambil bagian dalam pelaksanaan urusan publik dengan memastikan bahwa LGBT dan organisasi yang membela hak-hak mereka diberdayakan dan kemudian bisa lebih mudah berpartisipasi dalam kehidupan ekonomi, sosial dan politik. Kebebasan berkumpul di sini mengacu pada semua jenis pertemuan baik publik maupun pribadi, termasuk demonstrasi, parade dan pawai.
Di seluruh dunia, banyak orang menghadapi kekerasan setiap hari karena siapa mereka, bagaimana mereka berprilaku
atau cara berpakaian mereka, bahkan karena siapa yang mereka sukai. Sejarah HAM meliputi kelompok-kelompok yang terpinggirkan, hak-hak perempuan, masyarakat adat, anak-anak, orang-orang cacat, migran dan pengungsi. Kelompok-kelompok minoritas tersebut bertekad untuk menunjukkan bahwa mereka adalah manusia yang pantas diakui akan hak-haknya. Alasan untuk memerangi diskriminasi berdasarkan orientasi seksual dan identitas gender pada akhirnya terdapat dalam Prinsip-prinsip Yogyakarta, yang didalamnya menantang norma-norma hukum paksaan, mengembangkan kebijakan baru dan mendidik masyarakat luas. Standar hukum internasional yang ada menekankan pelarangan diskriminasi terhadap orang-orang LGBT.
Seharusnya dengan cara yang sama seperti perjuangan melawan rasisme atau perjuangan terhadap kesetaraan gender, perjuangan untuk kesetaraan orang LGBT bisa saja dimenangkan, salah satunya dengan kerja keras dan harmonis dari para pejuangnya. Peran penting PBB, Organisasi Internasional, dan kelompok masyarakat sipil tercermin dalam tindakan yang mereka lakukan untuk minoritas dan pengaruh universal yang mereka berikan pada negara-negara anggota untuk mencapai kerja sama internasional dan perlindungan bersama, khususnya dengan mempraktikkan prinsip-prinsip dasar yang telah diatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
-
IV. DAFTAR PUSTAKA
Buku :
A Ball, Carlos, 2017, After Marriage Equality: The Future of LGBT Rights, New York University Press, New York.
F, Beck dan Firdion J., 2014, Minoritas Seksual dalam Menghadapi
Resiko Bunuh Diri : Prestasi Ilmu Sosial dan Perspektif, SaintDenis.
Huraerah, Abu, 2007, Kekerasan Terhadap Anak, Penerbit Nuansa, Jakarta
Hutabarat, Ramly, 1985, Persamaan di Hadapan Hukum (Equality Before The Law) di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Moeckli, Daniel dan Sangeeta Shah, 2014, Hukum Hak Asasi Manusia Internasional, Universitas Oxford Press, Oxford.
Nawawi, Barda Arif, 2005, Beberapa Aspek Kebijakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Olivier, Dubos dan Margenaud Jean-Pierre, 2007, Seks, Seksualitas dan Hukum Eropa- Masalah Politik dan Ilmiah tentang Kebebasan Individu, Pedone, Paris.
Zainuddin, 2011, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta. Jurnal Ilmiah :
Subhrajit, C., 2014, Masalah yang Dihadapi Orang-orang LGBT di Masyarakat Mainstream : Beberapa Rekomendasi, Jurnal Internasional Interdisipliner dan Multidisiplin Studi Vol 1 (No.5).
Artikel dan Internet :
ILGA, 2019, “The Lesbian and Bisexual Map of World Laws”, Negara Homofobia, URL : http://ilga.org/Statehomophobia/2019.
Resolusi diadopsi oleh Dewan Hak Asasi Manusia, 2011, Hak Asasi Manusia, Orientasi Seksual dan Indentitas Gender, A/HRC/RES/17/19, URL :
https://www.ohchr.org/documents/issues/discrimination/a .hrc.19.41_french.pdf.
Dokumen Internasional dan Peraturan Perundang-Undangan :
Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Deklarasi Universal Hak – Hak Asasi Manusia.
United Nations Convention on the Rights of the Child (Konvensi Hak – Hak Anak).
The United Nations Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat manusia).
United Nations Convention (Konvensi PBB).
Prinsip – Prinsip Yogyakarta, KOMNAS HAM.
Discussion and feedback