PENGATURAN PERLINDUNGAN KESELAMATAN WISATAWAN ASING DALAM PENGGUNAAN PRODUK USAHA JASA PARIWISATA DI INDONESIA
on
PENGATURAN PERLINDUNGAN KESELAMATAN WISATAWAN ASING DALAM PENGGUNAAN PRODUK USAHA JASA PARIWISATA DI INDONESIA
Oleh
Ida Bagus Aswin Pranawasidhi* Made Suksma Prijandhini Devi Salain**
Program Kekhususan Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Udayana.
ABSTRAK
Penelitian ini terinspirasi oleh peristiwa kecelakaan yang mengakibatkan seorang wisatawan asing asal Perancis, Patrick Jean Pierre Bouchard, meninggal saat menggunakan wahana wisata ayunan di daerah Tegalalang, Ubud, Gianyar. Kejadian tersebut menujukkan indikasi bahwa wahana tersebut belum memenuhi persyaratan standar minimum keamanan dan keselamatan produk wisata serta menunjukkan bahwa negara telah lalai mengatur standar tersebut. Kelalian demikian itu potensial menghadapkan negara pada klaim warga negara asing di bawah rezim hukum internasional, khususnya rezim hukum tanggungjawab negara. Penelitian ini menganalisis dua masalah, yaitu: (1) pengaturan tanggung jawab negara terhadap warga negara asing (WNA) sebagai wisatawan berdasarkan rezim hukum tanggung jawab negara dalam hukum internasional; dan (2) formulasi bentuk pengaturan tanggung jawab negara terhadap WNA sebagai wisatawan di Indonesia. metode penelitian yang penulis pergunakan dalam penulisan jurnal ini terdiri dari metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan, konsep, dan kasus. Adapun bahan hukum dipergunakan penulis terdiri dari bahan hukum primer dan sekunder.
Penulisan jurnal ini menghasilkan dua kesimpulan, yaitu: (1) Pengaturan tanggung jawab negara terhadap WNA sebagai wisatawan berdasarkan Hukum Internasional dapat ditemukan dalam beberapa kebiasaan internasional dan beberapa instrumen hukum internasional. Bentuk tanggung jawab negara terhadap WNA sebagai wisatawan berdasarkan Rezim Hukum Tanggung Jawab Negara dalam Hukum Internasional terbagi menjadi 2 (dua) bentuk yakni tanggung jawab negara dalam wujud pengaturan perbuatan atau standar tindakan yang berpotensi melahirkan tanggung jawab negara (responsibility) dan tanggung jawab negara dalam wujud tanggung jawab yang muncul dari akibat kegagalan memenuhi standar tindakan yang telah diatur sebelumnya (liability); dan (2) Pengaturan tanggung jawab negara terhadap WNA sebagai wisatawan di Indonesia sudah tertuang dalam beberapa peraturan perundang-undangan dan berbagai peraturan pelaksanaannya. Hanya saja, masih terdapat kekosongan norma dalam Peraturan Menteri Pariwisata No. 18 Tahun 2016 Tentang Pendaftaran Usaha Pariwisata yang
tidak mengatur standar serta pendaftaran produk pariwisata. Oleh karena itu, diperlukan upaya pembentukan regulasi untuk mencegah timbulnya tanggung jawab negara secara internasional.
Kata kunci: tanggung jawab negara, warga negara asing, wisatawan, pengaturan
ABSTRACT
This research has been triggered by an accident of a foreigner, a France citizen, Patrick Jean Pierre Bouchar, causing him lost his life when he was using a swing in Tegalalang village, Ubud, Gianyar. This event shows an indication that the swing has not reached a minimum security and safety standard of a tourism services product and the Indonesian Government has failed on governing such product which might turn into issues of state responsibility under international law. This research focuses on: (1) the regulation of state responsibility against foreign citizen in their position as a visitor (tourist) under the regime of state responsibility under international law; and (2) the formulation of state responsibility regulation against foreign citizen as a visitor in Indonesia. This research is conducted under normative legal research and uses conceptual, legal instrumental and case approach. The legal material consists of primary and secondary legal material.
This research has resulted in two conclusions, i.e: (1) the regulation over foreign citizen as a visitor is spread out in both customary and international legal instruments. State responsibility against foreign citizen as a visitor under the regime of state responsibility under international law has been classified into two forms i.e. the state responsibility in the form of regulation of standard of behavior or act which contains potency to produce a state responsibility and the state responsibility in the form of liability that arises from wrongful act which has been governed in prior to the event; and (2) the regulation of state responsibility against foreigner as a visitor in Indonesia has been governed under Indonesian Act Number 10 of 2009 concerning on Tourism. However, there is an issue of vacuum of norm under the Ministry of Tourism Regulation Number 18 of 2016 concerning on Tourism Business Registration where the Regulation has not covered the standard of product of tourism services. Hence, the regulation over the issues is firmly required in order to prevent the arising of state responsibility of Indonesia under international law.
Keywords: state responsibility, alien, visitor, regulation
Penulisan karya ilmiah ini terinsipirasi oleh kecelakaan yang dialami seorang wisatawan asing berkebangsaan Perancis, Patrick Jean Pierre Bouchard, yang terjatuh dan meninggal saat menggunakan wahana wisata ayunan di daerah Tegalalang, Ubud,
Gianyar.1 Kecelakaan Patrick merupakan indikasi bahwa wahana wisata ayunan (swing) yang ia gunakan belum memenuhi standar minimum keamanan dan keselamatan (minimum safety standard), yang dalam rezim hukum internasional adalah salah satu penyebab yang berpotensi menghadapkan negara tuan rumah (host country) pada gugatan (claim) WNA sebagai akibat kelalaian negara tersebut memberikan perlindungan terhadap WNA yang berada dalam wilayah yurisdiksinya.
Rezim hukum tanggungjawab negara dalam hukum internasional mewajibkan setiap negara memberikan perlindungan yang layak terhadap WNA (protection of alien), termasuk dalam status mereka sebagai wisatawan. Tidak terdapat ketentuan pada hukum internasional yang mewajibkan suatu negara tuan rumah memberikan izin masuk pada orang asing ke dalam wilayah negaranya. Namun jika suatu negara memberikan izin pada orang asing untuk masuk ke dalam wilayah yurisdiksi negaranya, maka sebagai negara tuan rumah (the host country) n dibebankan kewajiban memberikan perlindungan yang layak terhadap orang asing itu.2 Kasus Patrick menunjukkan bahwa Indonesia sebagai negara tuan rumah, belum memberikan perhatian yang memadai terhadap potensi tanggung jawab ini. Diperlukan suatu penelitian yang memadai untuk mengungkap posisi hukum Indonesia berkenaan dengan isu tersebut.
Hakim Huber, dalam Kasus The Spanish Zone of Morocco Claims, menegaskan bahwa tanggungjawab negara merupakan unsur yang melekat dalam suatu kewajiban dan kewajiban merupakan unsur yang melekat dalam suatu hak. Jika kewajiban tidak dipenuhi dan perbuatan tidak memenuhi kewajiban itu menimbulkan akibat merugikan terhadap pihak lain maka pihak yang dirugikan itu mempunyai hak untuk mengajukan klaim atas ganti kerugian dan pihak yang tidak melaksanakan kewajiban itu mempunyai kewajiban untuk bertanggungjawab terhadap akibat perbuatannya.3 Untuk mencegah potensi tanggungjawab demikian itu, maka Indonesia perlu melaksanakan kewajibannya secara baik berdasarkan hukum internasional.
Kewajiban demikian itu diwujudkan dalam dua bentuk, yaitu: (a) kewajiban moral (state responsibility) dalam bentuk pengaturan standar tindakan atau perbuatan; dan (b) kewajiban hukum (state liability) dalam bentuk tanggungjawab ganti rugi oleh suatu negara (state actor) yang melakukan tindakan (act or omission) dan tindakannya itu menimbulkan kerugian terhadap pihak lainnya (victim). Indonesia telah melaksanakan kewajibannya sebagai negara tuan rumah dalam bentuk pengaturan kegiatan pariwisata melalui Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan, yang antara lain mengatur tentang pasokan jasa pariwisata, baik pemasok maupun produk jasa yang dipasoknya. Undang-Undang menentukan bahwa setiap pemasok jasa wajib berbadan hukum dan mendaftarkan usahanya. Pengaturan lebih lanjut tentang
pendaftaran usaha jasa pariwisata diatur di dalam Peraturan Menteri Pariwisata No. 18 Tahun 2016 Tentang Pendaftaran Usaha Pariwisata (selanjutnya disebut Permen Pariwisata No. 18 Tahun 2016). Namun, ketentuan tersebut belum mengatur standar produk wisata. Pengaturan itu menunjukkan adanya masalah kekosongan norma yang potensial membuat negara berhadapan dengan klaim WNA sebagai akibat kelalaiannya dalam mengatur standar produk jasa pariwisata tang dapat menimbulkan kerugian pada pengguna jasa pariwisata. Masalah ini menimbulkan kebutuhan (needs) untuk mengisi kekosongan norma itu.
Berkenaan dengan hal itu, penelitian ini difokuskan pada pengkajian dua isu, yaitu: (1) bagaimanakah pengaturan tanggungjawab negara terhadap WNA sebagai wisatawan berdasarkan rezim hukum tanggungjawab negara dalam hukum internasional; dan (2) bagaimanakah formulasi pengaturan usaha jasa pariwisata di Indonesia dalam kaitan dengan tanggungjawab negara terhadap keselamatan wisatawan asing?
Penulisan jurnal ini memiliki tujuan untuk mengetahui aspek tanggung jawab negara terhadap pelindungan keselamatan wisatawan asing dalam menggunakan produk usaha jasa pariwisata.
Penulisan jurnal ini mempergunakan metode penelitian hukum normatif,4 dengan mempergunakan pendekatan peraturan
perundang-undangan, pendekatan analisis dan konsep hukum, serta pendekatan fakta. Berkaitan dengan Jenis bahan hukum yang dipergunakan dalam penulisan junral ini penulis mempergunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
-
2.2 Hasil dan Pembahasan
2.2.1 Pengaturan Tanggung Jawab Negara Terhadap WNA sebagai Wisatawan dalam Hukum Internasional
Pengaturan yang mencakup tanggung jawab negara dikaji melalui perspektif hukum internasional dapat ditemukan pada berbagai putusan badan peradilan internasional atau kebiasaan internasional dan instrumen hukum internasional. Beberapa putusan badan peradilan internasional yang merefleksikan materi tanggung jawab negara, antara lain: The Spanish Zone of Morocco Claims, Chorzow Factory Case, Military and Paramilitary Activities in and against Nicaragua (Nicaragua v. United States of America, Merits, Judgment. I.C.J. Reports 1986, p. 14), Trail Smelter Case, dan Youman Claim U.S vs. Mexico (1926).5 Selain dalam putusan sebagaimana disebutkan diatas, konsep tanggung jawab negara juga dapat kita lihat
dalam beberapa instrumen hukum internasional, seperti; Pasal VI dan Pasal VII dalam Space Treaty 1967, Pasal II Liability Convention 1972, Prinsip 21 dan Prinsip 22 Declaration of the United Nations Conference on the Human Environment dan Pasal 159 ayat 1 dan ayat 2 Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982).
Regulasi mengenai WNA sebagai wisatawan tersebar dalam berbagai instrumen hukum internasional. Pasal 13 ayat (1) Universal Declaration of Human Rights (UDHR) menyatakan "Everyone has the right to freedom of movement and residence within the borders of each State". Pasal 13 ayat (2) UDHR "Everyone has the right to leave any country, including his own, and to return to his country". Kedua ketentuan tersebut menjukkan bahwa masyarakat internasional mengakui hak seseorang untuk pergi dari negara kewarganegaraanya dan pulang kembali ke negara asalnya. Ketentuan Pasal 7 ayat (2) Global Code of Ethics for Tourism (GCET) menambahkan bahwa hak berwisata merupakan hak yang lahir dari jamin terhadap hak memiliki kesempatan beristirahat serta menikmati waktu luang, serta penerapan pembatasan jam kerja yang wajar dengan mendapatkan waktu liburan berkala yang tetap dibayar.
Konsep tanggung jawab negara dan wisatawan asing serta pengaturannya dalam hukum internasional merupakan landasan untuk memahami pengaturan tanggung jawab negara terhadap WNA. Pengaturan tanggung jawab negara terhadap wisatawan asing dapat ditemukan dalam GCET. Pasal 1 ayat (4) GCET mengatur kewajiban negara melindungi wisatawan dan
harta benda mereka. Pasal 6 ayat (2) GCET mengatur kewajiban para profesional pariwisata dan pemerintah menjaga keamanan dan keselamatan wisatawan serta memberikan perlindungan memadai. Pasal 6 ayat (4) GCET membebankan kewajiban bagi negara tuan rumah dan negara asal wisatawan asing untuk mengupayakan pemulangan wisatawan asing yang mengalami kebangkrutan. Pasal 6 ayat 5 GCET membebankan kewajiban terhadap negara tuan rumah dan negara asal wisatawan asing untuk menginformasikan situasi bahaya (bila ada) kepada wisatawan asing. Pasal 7 ayat 3 GCET mendorong pemerintah menyelenggarakan wisatan asosiatif yang memenuhi rasa ingin tahu wisatawan asing.
Ketentuan tersebut menunjukkan perluasan konsep tanggung jawab negara untuk diterapkan dalam perlindungan terhadap wisatawan asing. Pertama, wujud tanggung jawab negara terdiri dari responsibility dan liability. Responsibility merupakan wujud tanggung jawab negara berupa kewajiban mengatur standar kegiatan tertentu. Liability merupakan wujud tanggung jawab negara berupa kewajiban melakukan ganti rugi yang lahir dari dilanggarnya suatu standar.6 Kedua, Youman Case merupakan kasus dalam sejarah hukum internasional mengenai tewasnya seorang warga negara Amerika Serikat bernama Youman.7 Amerika Serikat mewakili Youmans dan keluarganya mengajukan klaim ganti rugi terhadap meksiko melalui General Claim Commission. Meksiko dianggap lalai
melindungi warga negara Amerika Serikat yang berada dalam wilayah negara itu. Putusan ini dimenangkan oleh Amerika Serikat.8 Kasus Youmans menunjukkan bahwa seorang warga negara memiliki kapasitas berdasarkan hukum internasional untuk mengajukan klaim ganti rugi terhadap negara.
-
2.2.2 Pengaturan Usaha Jasa Pariwisata di Indonesia dalam kaitannya dengan Tanggung Jawab Negara terhadap Keselamatan Wisatawan Asing
Pengaturan usaha jasa pariwisata memiliki keterkaitan dengan wisatawan asing di Indonesia. Regulasi mencakup wisatawan di Indonesia dapat dilihat pada Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (selanjutnya disebut UU Kepariwisataan) serta beberapa peraturan lain seperti Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UU Perlindungan Konsumen) Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia (selanjutnya disebut UU Kewarganegaraan) Undang-Undang No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasiaan (Selanjutnya disebut UU Keimigrasian) Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2012 tentang Sertifikasi Kompetensi dan Sertifikasi Usaha di Bidang Pariwisata dan Permen Pariwisata No. 18 Tahun 2016
Pengaturan Wisatawan dalam UU Kepariwisataan terdiri dari dua klasifikasi, yaitu pengaturan secara langsung dan pengaturan tidak langsung. Pengaturan secara langsung terhadap wisatan merupakan pengaturan secara langsung
terhadap hak, kewajiban, dan tanggung jawab wisatawan, seperti: Pasal 20 UU Kepariwisataan yang mengatur mengenai hak wisatawan, Pasal 21 UU Kepariwisataan yang mengatur mengenai wisatawan berkebutuhan khusus, dan Pasal 25 UU Kepariwisataan yang mengatur kewajiban wisatawan. Pengaturan wisatawan secara tidak langsung mencakup hal-hal yang secara tidak langsung memiliki pengaruh terhadap hak serta kewajiban yang seharusnya dilakukan oleh seorang wisatawan. Salah satu contoh pengaturan tidak langsung terhadap wisatawan adalah pengaturan mengenai usaha jasa yang dapat di lihat pengaturannya dalam Pasal 14, 15, 16, 22, 26 serta 50 UU Kepariwisataan. Pengaturan wisatawan tidak terbatas hanya dalam UU Kepariwisataan, melainkan juga peraturan perundangan lainnya.
Pengaturan wisatawan asing di Indonesia tersebar pada berbagai macam peraturan perundang-undangan. UU Kewarganegaraan mengatur pengklasifikasian WNA dan WNI. UU Keimigrasian mengatur jenis-jenis visa bagi wisatawan asing. UU Perlindungan Konsumen mengatur wisatawan asing sebagai konsumen. Sedangkan UU HAM mengatur hak-hak yang melekat pada wisatawan asing.
Indonesia telah mengatur tanggung jawab negara terhadap wisatawan asing, sebagaimana diatur dalam UU Kepariwisataan dan telah mencakup kedua wujud tanggung jawab negara, responsibility dan liability. Wujud tanggung jawab negara dalam bentuk responsibility tercermin dalam pengaturan mengenai pengyelenggaraan pariwisata, usaha pariwisata, hak penyelenggaraan pariwisata, kewajiban
penyelenggaraan pariwisata, larangan penyelenggaraan pariwisata, SDM, standarisasi, sertifikasi, dan tenaga kerja. Sedangkan, wujud tanggung jawab negara dalam bentuk liability tercermin dalam pengaturan tentang langkah preventif, seperti: sanksi administratif bagi pengusaha pariwisata, sanksi yang berupa pembatasan kegiatan usaha jasa pariwisata, serta sanksi yang berupa pembekuan sementara kegiatan usaha jasa pariwisata.
Walaupun Indonesia telah mengatur tentang tanggung jawab negara dalam wujud responsibility dan liability, masih ditemukan kekosongan hukum dalam Permen Pariwisata No. 18 Tahun 2016. Dua bentuk kekosongan hukum yang terdapat dalam Peraturan dimaksud adalah bahwa Pasal 4 Peraturan tersebut tidak memasukkan keamanan, keselamatan dan kesehatan konsumen sebagai materi pengaturan. Selain itu, pengaturan tentang wajib daftar usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 6 sampai Pasal 14, belum mencakup pengaturan tentang produk usaha jasa pariwisata. Kedua kekosongan norma ini berpotensi membuat Indonesia berhadapan dengan klaim WNA karena Indonesia dianggap lalai memenuhi kewajiban, yaitu mengatur tindakan tertentu.
Berkenaan dengan bentuk kekosongan hukum sebagaimana dalam analisis di atas, maka formulasi ideal materi pengaturan tanggung jawab negara di Indonesia terhadap wisatawan asing paling sedikit mencakup materi sebagai berikut:
-
a. masyarakat diperbolehkan mengembangkan produk wisata baru secara inovatif;
-
b. inovasi atraksi wisata sebagaimana dimaksud pada huruf a harus memenuhi persyaratan keamanan, keselamatan dan kesehatan;
-
c. setiap atraksi wisata sebagaimana dimaksudkan pada huruf a dapat dioperasikan setelah memperoleh sertifikat kelayakan;
-
d. sertifikat kelayakan sebagaimana dimaksud pada huruf c diperoleh melalui uji kelayakan; dan
-
e. uji Kelayakan sebagaimana dimaksud pada huruf d dilaksanakan oleh Dinas Pariwisata dan instansi terkait.
-
1. Pengaturan tanggung jawab negara terhadap WNA yang menunjungi suatu negara sebagai wisatawan dapat ditemukan dalam beberapa putusan badan peradilan internasional (kebiasaan internasional) dan sejumlah instrumen hukum internasional. Pengaturan tersebut menunjukkan tanggung jawab negara terhadap WNA sebagai wisatawan asing diklasifikasikan dalam dua wujud yakni responsibility dan liability.
-
2. Indonesia telah memenuhi tanggung jawab negara, baik dalam wujud responsibility maupun liability. Namun demikian, Permen Pariwisata No. 18 Tahun 2016 masih mengandung kekosongan norma. Peraturan Menteri ini belum memuat materi tentang standar keamanan serta standar keselamatan produk usaha jasa pariwisata. Kekosongan ini
potensial melahirkan tanggung jawab negara dalam hal ada klaim oleh korban wisatawan asing.
-
1. Kementerian Luar Negeri hendaknya mengambil langkah-langkah diplomasi dalam rangka mencegah negara asal wisatawan menerbitkan travel advisory (travel warning) dan melakukan promosi tentang kebijakan pariwisata Indonesia yang aman dan ramah terhadap wisatawan asing.
-
2. Menteri Pariwisata hendaknya melakukan revisi terhadap Permen Pariwisata No. 18 Tahun 2016 dengan menambahkan materi regulasi tentang standar keamanan, keselamatan dan kesehatan berkenaan dengan produk usaha jasa pariwisata bagi wisatawan baik domestik maupun asing.
BUKU
Putra, Ida Bagus Wyasa, 2001, Tanggung Jawab Negara terhadap Dampak Komersialisasi Ruang Angkasa, Refika Aditama, Bandung.
Harris, D.J, 1983, Cases and Materials on International Law, Sweet & Maxwell, London.
Goldie, L.F.E, 1985, Concepts of Strict and Absolute Liabibility and The Rangking of Liability in Terms of Relative Exposure to Risk, dalam Netherlands Yearbooks of International Law, Martinus Nijhoff Publishers, The Netherlands, h. 180
JURNAL HUKUM
Putra, Ida Bagus Wyasa, Harmonizing Ideological Tension in the Development of the ASEAN Law, 2012, Journal of East Asia and International Law, Vol. 5, Autumn 2012, Number 2.
Sarra, Siti, 2017, Tanggung Jawab Negara terhadap Orang Asing menurut Hukum Internasional dan Hukum Nasional Indonesia, Jurnal Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara , 2017
INTERNET
Oxford Public International Law,
http://opil.ouplaw.com/view/10.1093/law:epil/978019923169 0/law-9780199231690-e212, diakes 19 Februari 2019, 09:13 WITA
INSTRUMEN INTERNASIONAL
The Global Code of Ethics for Tourism 1999
Manila Declaration on World Tourism
The Universal Declaration of Human Rights
Space Sreaty 1967
International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia
Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan
Undang-Undang No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasiaan
Peraturan Menteri Pariwisata No. 18 Tahun 2016 Tentang
Pendaftaran Usaha Pariwisata
Discussion and feedback