PENYELESAIAN SENGKETA SERTIPIKAT GANDA

DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA DENPASAR

Oleh:

Ni Kadek Arya Purnama Dewi∗∗ I Nengah Suharta***

Program Kekhususan Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana

Abstrak

Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui ketentuan hukum penyelesaian sengketa hak milik atas tanah terkait sertipikat ganda di PTUN. Sertipikat merupakan surat tanda bukti kepemilikan yang kuat mengenai data fisik dan yuridis, termuat dalam surat ukur dan buku tanah hak. Kepemilikan SHM atas tanah wajib di daftarkan, seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria pasal 19 ayat 1, untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia. Seperti kasus yang terjadi di Desa Sibang Kaja, terjadinya sertipikat hak milik ganda yang menimbulkan sengketa karna tidak adanya kepastian hukum. Perkara ini telah masuk dan sudah mendapat putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. Gugatan Perkara tidak diterima PTUN karena gugatan bukan ke instansi, melainkan masih antar individu. PTUN tidak berwenang mengadili perkara ini karena masih dalam ruang lingkup perdata yang seharusnya diadili di Peradilan Umum. Metode Penulisan yang digunakan adalah Empiris Sosiologis yaitu penulisan yang menghubungkan dengan fakta yang ada dalam masyarakat sehubungan dengan permasalahan yang ditemui dalam penulisan. Sengketa sertipikat ganda yang terjadi di desa sibang kaja disebabkan tidak ada kejelasan atas AJB dan riwayat silsilah keluarga, untuk mendapatkan kepastian hukum atas sengketa ini, maka perkara harus dilanjutkan ke Peradilan Umum.

Kata Kunci: Sahnya Jual Beli Tanah, Sertipikat Ganda, Penyelesaian Sengketa.

ABSTRACT

The purpose of this study was to find out the legal provisions for resolving disputes over land rights related administrative Court. The certificate is a strong proof of ownership regarding physical and juridical data, contained in the measurement letter and the land book of rights. The certificate of land must be registered, as stated in Law Number 5 of 1960 concerning Basic Agrarian Principles Article 19 paragraph 1,


∗∗


Karya ilmiah ini bukan merupakan ringkasan skripsi (diluar skripsi)

Ni Kadek Arya Purnama Dewi adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas

Udayana, Korespondensi: dekdewi98@gmail.com.

Dosen pengajar Hukum Administrasi Negara, Fakultas Hukum, Universitas Udayana.

to ensure legal certainty by the government to register land throughout the territory of the Republic of Indonesia. As is the case in Sibang Kaja Village, the existence of certificates of multiple property rights caused a dispute due to the absence of legal certainty. This case has entered and has received the decision of the State Administrative Court. Lawsuits are not accepted by administrative Court because the claim is not to the agency, but is still between individuals. administrative Court is not authorized to try this case because it is still in the civil sphere which should be tried in the General Court. The research method used is empirical sociology, namely research that connects with the facts that exist in society in connection with the problems encountered in the study. The dispute over multiple certificates that took place in Sibang Kaja village was due to the lack of clarity on the certificate of sale & purchase and the family history, to obtain legal certainty over this dispute, the case must proceed to the General Court.

Key Word: Legitimate Purchase of Land, Overlapping certificate, Dispute Settlement

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1.    Latar Belakang

Pemerintah memiliki kewenangan untuk mengatur pertanahan secara formal diatur dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa semua sumber daya alam yang terkandung didalamnya dimiliki oleh Negara untuk dimanfaatkan bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat bersama, sedangkan dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA secara tegas tercantum kewenangan pemerintah secara substansi mengatur bidang pertanahan terutama dalam hal untuk mengatur pemeliharaan tanah, penggunaannya dan ketersediaan termasuk dalam menentukan perbuatan hukum antara seseorang mengenai hukum pertanahan.

Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan UUD 1945 artinya negara hukum (konstitusional) yang memberikan jaminan dan memberikan perlindungan atas hak-hak warga negara, antara lain hak warga negara untuk mendapatkan, mempunyai, dan menikmati hak milik.

Hak milik sangatlah penting bagi manusia untuk melaksakan hidupnya di dunia. Semakin tinggi nilai hak milik atas suatu benda, semakin tinggi pula penghargaan yang diberikan terhadap benda tersebut. Tanah adalah salah satu milik yang sangat berharga bagi umat manusia, demikian pula untuk bangsa Indonesia. Pemanfaatan dan dan kepemilikan atas status tanah sering kali menimpulkan permasalahan maka untuk menjamin kepastian hukum bagi pemilik tanah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan yang diatur dalam pasal 19 UUPA.

Pendaftaran tanah selain berfungsi untuk melindungi si pemilik, juga berfungsi untuk mengetahui status sebidang tanah, siapa pemiliknya, apa haknya, berapa luasnya, untuk apa dipergunakan dan sebagaianya. Tujuan pendaftaran tanah yang diatur Pasal 19 Ayat (1) UUPA ditemukan pengaturan lebih konkrit bedasarkan pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, tujuan pendaftaran tanah adalah:

  • 1.    Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan;

  • 2.    Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidangbidang tanah yang sudah terdaftar;

  • 3.    Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan dimana setiap bidang tanah termasuk peralihan, pembebanan dan hapusnya

  • 4.    Hak atas tanah wajib terdaftar.

Dalam rangka memberikan kepastian perlindungan hukum, maka kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan diberikan sertipikat hak atas tanah, sedangkan untuk melaksanakan fungsi informasi, data yang berkaitan dengan aspek fisik dan yuriddis dari bidang-bidang tanah yang sudah terdaftar, dinyatakan terbukti untuk umum (asas publisitas), sementara dalam hal mencapai tertib administrasi pertanahan, maka setiap bidang tanah ata satuan rumah susun, termasuk peralihan, pembebanan dan hapusnya hak atas tanah, dan hak milik satuan rumah susun wajib didaftar.1

Sertipikat merupakan alat bukti sah dan autentik terhadap Kepastian hukum bagi pemegang Sertipikat.2 Ketersediaan perangkat hukum yang tertulis lengkap dan jelas merupakan pemberian jaminan untuk kepastian hukum, dilaksanakan secara konsisten sesuai dengan isi ketentuannya. Seharusnya dalam satu bidang tanah hanya terdapat satu sertipikat namun di Desa Sibang Kaja terdapat dua sertipikat dalam satu bidang tanah atau yang biasa disebut dengan sertipikat ganda.

Sertipikat ganda adalah dua buah sertipikat yang berdiri dalam satu bidang tanah yang sama. Dalam satu bidang tanah tidak boleh

ada dua sertipikat. Jika hal tersebut, terjadi sudah pasti salah satu sertipikat tersebut salah, namun bisa juga dua-duanya salah karena ada juga pemilik lain yang menguasai tanah tersebut dan setelah dilakukan pembuktian maka salah satu dari pemilik sertipikat itu adalah pemilik sebenarnya. Tidak mungkin ada dua sertipikat yang benar dalam satu bidang tanah. Sertipikat ganda mengakibatkan sengketa antara pemegang sertipikat dan saling mengakui bahwa apa yang mereka miliki itu memang benar adanya walaupun kemudian salah satu diantaranya, sertipikat itu ada yang palsu dimana objek yang tertera pada sertipikat tersebut bukan yang sebenarnya.

Tumpang tindih sertipikat terjadi di Desa Sibang Kaja, yaitu dalam 1 bidang tanah terdapat 2 buah sertipikat yang sama dikeluarkan oleh BPN Denpasar. Satu sertipikat diterbitkan karna adanya jual beli dan satu sertipikat diterbitkan karna konversi. Objek penulisan kasus ini adalah yang berkaitan dengan munculnya “sertipikat ganda” yang prosesnya diadili di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Denpasar. Dari peristiwa hukum yang terjadi tersebut menarik untuk dipelajari dan diteliti lebih lanjut tentang adanya tumpang tindih sertipikat, yang selama berjalannya pemeriksaan adanya ketidak jelasan dalam proses pembuatan sertipikat karena data yang dimiliki para pihak belum akurat sehingga adanya ketidak pastian hukum atas kepemilikan sertipikat hak milik.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Berdasarkan pembahasan masalah yang dikemukakan diatas, maka penulis dapat menyimpulkan permasalahan sebagai berikut:

  • 1.    Bagaimana pelaksanaan pendaftaran tanah melalui konversi dan pendaftaran peralihan hak atas tanah akibat jual beli dalam rangka memberikan kepastian hukum?

  • 2.    Bagaimana proses penyelesaian sengketa sertipikat ganda di Pengadilan Tata Usaha Negara Denpasar?

  • 1.3.    Tujuan Penelitian

Tulisan ini disusun dengan tujuan yang dapat diklasifikasi atas tujuan yang bersifat umum dan tujuan yang bersifat khusus, sebagai berikut:

  • a.    Tujuan Umum

  • 1)    Untuk mengetahui ketentuan hukum penyelesaian sengketa hak milik atas tanah terkait sertipikat ganda di PTUN.

  • b.    Tujuan Khusus

  • 1)    Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan pendaftaran tanah melalui konversi dan pendaftaran peralihan hak atas tanah akibat jual beli dalam rangka memberikan kepastian hukum.

  • 2)    Untuk mengetahui bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa terhadap Sertipikat Hak Milik yang ganda di PTUN.

  • II.    ISI MAKALAH

    • 2.1.    Metode Penelitian

Penulisan ini menggunakan metode penelitian hukum empiris, penelitian hukum empiris dilakukan karena adanya kesenjangan antara norma dengan kenyataan di lapangan. Metode ini dilakukan dan diterapkan oleh peneliti dalam upaya untuk melengkapi

informasi dan data, serta melakukan penelusuran terhadap bahan yang sudah didapatkan.

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan empiris sosiologi. Pendekatan empiris sosiologi dilakukan dengan mempelajari Putusan PTUN yang berkaitan dengan sengketa yang terdapat di lapangan untuk di teliti dan wawancara kepada pihak PTUN untuk memastikan kebenaran dalam perkara sertipikat ganda yang terjadi di Desa Sibang Kaja.

  • 1.    Jenis dan sumber data

Bahan yang diperlukan dan diperoleh dalam penulisan berupa Sumber Data Primer dan Sumber Data Sekunder.

  • a.    Sumber Data Primer

Yaitu bahan yang diperoleh secara langsung dari sumber pertama baik dari informan maupun responden.

  • b.    Sumber Data Sekunder

Yaitu bahan hukum yang diperoleh dari Pengadilan Tata Usaha Negara melalui Putusan Nomor 23/G/2015/PTUN.Dps.

  • 2.    Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara:

  • a.    Mencari langsung sumber data (Putusan) dengan pihak Pengadilan Tata Usaha Negara. Yaitu pihak yang bertanggung jawab dan terkait langsung dalam pengumpulan  data,  Agar diperoleh

gambaran mengenai sertipikat ganda.

  • b.    Studi kepustakaan untuk memperoleh data sekunder yang

berkaitan dengan objek penulisan dan literatur-literatur yang juga berkaitan dengan penulisan ini.

  • 2.2.    Hasil Penelitian dan Analisis

    • 2.2.1.    Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Melalui Konversi Dan Pendaftaran Peralihan Hak atas Tanah Akibat Jual Beli Dalam Rangka Memberikan Kepastian Hukum

Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus-menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian sertipikat sebagai surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.3 Pendaftaran tanah diselenggarakan untuk menjamin kepastian hukum, Pendaftaran Tanah ini diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan pemerintah.4

Apabila kita melihat di Indonesia, ada beberapa periode dalam sistem pendaftaran tanah yang meliputi:

  • 1.    Sebelum berlakunya UUPA dan Peraturan Pemerintah No.

10 Tahun 1961 berlaku perjanjian obligator peralihan hak dilaksanakan dengan segala bukti tertulis, boleh akta notaris ataupun dibawah tangan yang disaksikan notaris dan kemudian Kepala Kantor Kadaster yang merupakan seorang Pegawai Balik Nama beserta salah seorang pegawainya dibuatkan akta peralihan, baru didaftarkan

pada daftar yang bersangkutan setelah kewajiban-kewajiban pembayaran dilakukan lebih dahulu

  • 2.    Setelah belakunya UUPA dan Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1961, terdapat perubahan. Asas negative dianut sehingga dapat saja seseorang mengklaim bahwa haknya lebih benar dari yang tercantum dalam bukti hak tanahnya dan hakim berhak memeriksa/memutus perkara tersebut dan dapat memerintahkan Kepala Kantor Pendaftaran Tanah untuk mengubah kepemilikan hak tersebut. Sungguhpun dmikian yang menang perkara dalam masalah hak atas tanah tersebut harus mengajukan permohonan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional tentang penggantian pemilik hak tersebut dengan melampirkan putusan pengadilan

  • 3.    Dalam Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 menganut asas yang lebih pragmatis dan memperluas cakupan dalam pelaksanaan konversi dan juga hak-hak apa saja yang dapat dijadikan sebagai ukti untuk dapat diproses dalam pendaftaran tanah.5

Konversi      hak-hak      atas      tanah      adalah

penggantian/perubahan hak-hak atas tanah dari status yang lama yaitu sebelum berlakunya UUPA menjadi status baru sebagaimana yang diatur dalam UUPA. Dalam pelaksanaan konversi diajukan kepada Kepala Kantor Pendaftaran Tanah yang bersangkutan dengan disertai tanda bukti haknya (jika ada disertakan pula surat ukurnya), tanda bukti

kewarganegaraan dan keterangan dari pemohon apakah tanahnya tanah perumahan atau tanah pertanian.

Dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria (PMPA) No.2 Tahun 1962 mengatur tentang hak-hak yang tidak diuraikan dalam sesuatu surat hak tanah, maka oleh yang bersangkutan diajukan yaitu pertama, tanda bukti haknya berupa bukti surat pajak hasil bumi atau surat pemberian hak oleh instansi yang berwenang, kedua, surat keterangan Kepala Desa yang dikuatkan oleh asisten Wedana (camat) yang membenarkan surat atau surat bukti tersebut dan menerangkan apakah tanah itu tanah perumahan atau pertanian, ketiga tanda bukti kewarganegaraan yang sah dari yang mempunyai hak.

Dari ketentuan ini, maka khusus untuk tanah-tanah yang tunduk pada hukum adat, tetapi tidak terdaftar dalam ketentuan konversi sebagai tanah yang dapat dikonversikan kepada sesuatu hak atas tanah menurut ketentuan UUPA, tetapi diakui tanah tersebut sebagai hak adat maka dilakukanlah dengan Upaya Penegasan Hak yang diajukan kepada Kepala Kantor Pendaftaran Tanah setempat diikuti dengan bukti pendahuluan seperti bukti pajak, surat jual beli yang dilakukan sebelum berlakunya UUPA dan surat membenarkan tentang hak seseorang dan menerangkan juga tanah itu untuk perumahan atau pertanian dan keterangan kewarganegaraan orang yang bersangkutan.

Dalam Pasal 7 PMPA No.2 Tahun 1962 telah diatur lembaga konversi yang dinamakan “Pengakuan Hak”, yaitu perlakuan atas tanah-tanah yang tidak ada atau tidak ada lagi tanda

bukti haknya, maka yang bersangkutan dapat mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Wilayah Pertanahan setempat, permohonan tersebut dapat diumumkan 2 bulan berturut-turut di kantor pendaftaran tanah dan kantor kecamatan, jika tidak diterima dan keberatan, mereka membuat pernyataan keberatan kepada kantor BPN dan mengirimkannya kepada Kepala Kantor Wilayah BPN, dari SK pengakuan hak tersebut sekaligus mempertegas hak apa yang diberikan pada pemohon, bisa saja hak milik, hak guna usaha, atau hak guna bangunan atau hak pakai.

Atas dasar ketentuan Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menunjukkan bahwa untuk kepentingan pendaftaran peralihan hak kepada kantor pertanahan kabupaten/kota, jual beli hak atas tanah harus dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT.

Fakta yang terjadi di lapangan banyak notaris yang melanggar kode etik, diantaranya: adanya transaksi akta jual beli (AJB) yang hanya menggunakan kwitansi dari BPN atau sering di sebut dengan kartu kuning. Kartu kuning tersebut sering dijadikan dasar untuk membuat AJB yang dimana notaris seharusnya tidak boleh menjadikan dasar untuk pembuatan AJB. Selain sertipikat tidak ada yang bisa digunakan untuk dijadikan dasar pembuatan AJB, karena sertipikat merupakan alat bukti otentik yang sah.

Sering juga terjadi transaksi jual beli dengan menggunakan system kepercayaan. Dimana pada saat itu sertipikat yang akan ditransaksikan belum benar adanya, dalam artian sertipikat yang diperjual belikan masih dalam proses

pemecahan di BPN. Sesuai dengan fungsinya akta jual beli merupakan alat bukti otentik terhadap kepemilikan yang sah terhadap adanya transaksi suatu objek.

Apabila AJB sudah dibuktikan keabsahannya, dan dalam keadaan tertentu, Kepala kantor pertanahan kabupaten/kota dapat mendaftarkan peralihan hak atas tanah bidang tanah hak milik, para pihaknya (penjual dan pembeli) perseorangan warga negara Indonesia yang dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT, tetapi kebenarannya dianggap cukup untuk mendaftarkan peralihan hak yang bersangkutan.6

Keharusan akta jual beli dibuat oleh PPAT tidak hanya pada hak atas tanah yang telah terdaftar (telah bersertipikat), namun juga pada hak atas tanah yang belum terdaftar (belum bersertipikat) di kantor pertanahan kabupaten/kota.

Apabila jual beli hak atas tanah belum terdaftar (belum bersertipikat) dan tujuan tidak untuk didaftarkan ke kantor pertanahan kabupaten/kota, maka jual belinya dapat dibuat dengan akta di bawah tangan (bukan oleh PPAT). Dalam praktiknya, jual beli hak atas tanah ini dibuat dengan akta dibawah tangan oleh para pihak yang disaksikan oleh kepala desa atau kepala kelurahan setempat di atas kertas meterainya secukupnya.

Sebelum akta jual beli dibuat PPAT, maka disyaratkan bagi para pihak untuk menyerahkan surat-surat yang diperlukan kepada PPAT yaitu jika tanahnya sudah bersertipikat,

sertipikat tanahnya yang asli dan tanda bukti pembayaran biaya pendaftarannya.

Jika tanahnya belum bersertipikat, surat keterangan bahwa tanah tersebut belum bersertipikat, surat-surat tanah yang ada yang memerlukan penguatan oleh Kepala Desa dan Camat, dilengkapi dengan surat-surat yang membuktikan identitas penjual dan pembelinya yang diperlukan untuk persertipikatan tanahnya setelah selesai dilakukan jual beli.

Setelah akta dibuat, selambat-lambatnya 7 hari sejak akta tersebut ditandatangani, PPAT menyerahkan akta tersebut kepada kantor pendaftaran tanah untuk pendaftaran pemindahan haknya.

  • 2.2.2.    Penyelesaian Sengketa Sertipikat Ganda di Pengadilan Tata Usaha Negara

Penyelesaian sengketa pada umumnya dilakukan oleh PTUN atau Pengadilan Negeri, namun harus dilihat dari bagaimana kasus yang terjadi. PTUN dibentuk untuk mengatasi kemungkinan terjadinya permasalahan kepentingan administrasi antara pejabat tata usaha negara dengan masyarakat. Dari beberapa gugatan di PTUN khususnya mengenai pertanahan lebih dominan permasalahan tersebut berorientasi pada sertipikat.7 Jika pembatalan dilakukan melalui PTUN maka ada masa berlaku untuk pengajuan gugatan yang terdapat dalam Pasal 55 Undang-Udang Nomor 5 tahun 1986, yaitu 90 hari sejak diketahui diterbitkan Surat Hak Milik oleh Badan Pertanahan Nasional. Pengajuan gugatan dilakukan di PTUN jika perkara sertipikat ganda tersebut terjadi antara individu dengan

instansi atau instansi dengan instansi. Setiap orang atau instansi boleh melakukan gugatan jika Surat Hak Milik atas tanah tumpang tindih (overlapping).

Berdasarkan kompetensi absolut berkaitan dengan kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara untuk mengadili suatu perkara menurut obyek, materi atau pokok sengketa. Adapun yang menjadi obyek sengketa Tata Usaha Negara adalah Keputusan tata usaha negara. Kompetensi absolut PTUN adalah sengketa tata usaha negara yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau Badan Hukum Perdata dengan Badan atau Pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Namun jika perkara sertipikat ganda yang terjadi di Desa Sibang Kaja merupakan sengketa individu dengan individu maka pengajuan gugatan seharusnya diajukan ke Pengadilan Negeri karena sudah berkaitan dengan kepemilikan, kewenangan tersebut beralih keperdata. Mengacu pada kompetensi absolut, maka PTUN tidak berwenang untuk memutuskan atau mengadili perkara sertipikat ganda yang terjadi antar individu. Penyelesaian sengketa sertipikat ganda dilakukan dengan cara mediasi. Mediasi dilakukan oleh pihak BPN yang bertempat di kantor BPN dan ditangani oleh bidang sengketa. Apabila tidak mendapatkan kesepakatan diantara kedua belah pihak yang bersengketa maka perkara tersebut dapat dilanjutkan ke Peradilan Umum.

Setelah keluar putusan dari pengadilan yang berwenang, maka salah satu sertipikat yang dianggap tidak sah atau batal demi hukum dan BPN berhak membumi hanguskan sertipikat tersebut.8

Dari wawancara yang dilakukan di PTUN, hakim yang di wawancarai menyatakan bahwa pada tanggal 6-7 Februari 2019 yang telah diadakan rapat besar yang bertempat di Jakarta, Ancol. Rapat tersebut membahas tentang adanya peraturan baru mengenai perubahan tentang pengesahan pembatalan sertipikat yang semula kewenangan PTUN kini menjadi kewenangan BPN. Jika BPN tidak mampu menyelesaikan keabsahan data dan surat, untuk selanjutnya penyelesaian akan dialihkan ke PTUN. Teori ini disebut dengan asas Contrarius Actus, yang berarti siapa yang menerbitkan dia yang membatalkan.

  • III.    PENUTUP

    • 3.1.    Kesimpulan

  • 1.    Dapat disimpulkan  bahwa  Dalam pelaksanaan konversi

diajukan kepada Kepala Kantor Pendaftaran Tanah yang bersangkutan dengan disertai tanda bukti haknya (jika ada disertakan pula surat ukurnya), tanda bukti kewarganegaraan dan keterangan dari pemohon apakah tanahnya tanah perumahan atau tanah pertanian. Proses peralihan hak atas tanah melalui jual beli menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 meliputi: pertama, persiapan pembuatan akta jual beli hak atas tanah. Kedua, pelaksanaan pembuatan akta PPAT harus dihadiri oleh pihak yang melakukan perbuatan hukum

yang bersangkutan (penjual dan pembeli) atau orang yang dikuasakan olehnya dengan surat kuasa tertulis sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketiga, pendaftaran peralihan hak, PPAT wajib menyampaikan akta PPAT dan dokumen-dokumen lain yang diperlukan untuk keperluan pendaftaran peralihan hak atas tanah yang bersangkutan kepada kantor pertanahan kabupaten/kota selambat-lambatnya tujuh hari kerja. Keempat, penyerahan sertipikat.

  • 2.    Penyelesaian perkara yang mengacu pada perkara Nomor: 23/G/2015/Dps berdasarkan kompetensi absolutnya, PTUN hanya berwenang mengadili perkara yang timbul timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau Badan Hukum Perdata dengan Badan atau Pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara. Perkara yanh terjadi d Desa Sibang Kaja merupakan perkara antara individu dengan individu sehingga PTUN tidak berwenang untuk memutus perkara Nomor: 23/G/2015/Dps

  • 3.2 Saran

  • 1.    Hendaknya pemerintah atau lembaga terkait lebih sering melakukan sosialisasi pendaftaran hak tanah khususnya di daerah pedesaan, karena masih kurangnya pengetahuan dan keterbatasan informasi yang dimiliki oleh masyarakat pedesaan tentang pendaftaran hak atas tanah.

  • 2.    Seharusnya masyarakat khususnya pihak yang mengajukan gugatan di PTUN terlebih dahulu mencari perihal kompetensi absolut dari PTUN yaitu mengenai kewenangan PTUN dalam

mengadili perkara menurut jenis perkaranya sehingga mengetahui ke pengadilan mana seharusnya gugatan tersebut diajukan.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Yamin Lubis & Abd. Rahim Lubis, 2012, Hukum Pendaftaran Tanah, Mandar Maju, Bandung

Al Rashyd, Harum, 1987, Sekilas Tentang Jual Beli Tanah Berikut Peraturan- peraturannya, Grahalia Indonesia, Jakarta.

Harsono, Boedi, 1999, Hukum Agraria Indonesia:  Sejarah

Pembentukan Undang-Undang Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I, Djambatan.

Badan Pertanahan Nasional, 1989, Himpunan Karya Tulis Pendaftaran Tanah, Jakarta.

A.P. Parlindungan, 1999, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Mandar Maju, Jakarta.

Sutedi, Andrian, 2013, Peralihan Hak ata Tanah dan Pendaftarannya,Sinar Grafika, Jakarta.

Jurnal

Aditya Kusuma, A.A. Gede, 2017, Kewenangan Badan Pertanahan Nasional Terhadap Keputusan Tata Usaha Negara Yang Membatalkan Sertifikat Hak Atas Tanah, Jurnal Kertha Negara, Vol. 05, Desember.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043)

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 NOMOR 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3696)

Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2344)

Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 2 Tahun 1962 Tentang Penegasan Konversi Dan Pendaftaran Bekas Hak-Hak Indonesia Atas Tanah (Tambahan Lembaran Negara Nomor 2086)

18