TINJAUAN YURIDIS KEJAHATAN KEMANUSIAAN PENYIKSAAN (TORTURE) TERHADAP MASYARAKAT SINAI MENURUT STATUTA ROMA 1998
on
TINJAUAN YURIDIS KEJAHATAN KEMANUSIAAN PENYIKSAAN (TORTURE) TERHADAP MASYARAKAT SINAI MENURUT STATUTA ROMA 1998*1
Oleh:
Hassya Aulianisa H. S**
Ni Luh Gede Astariyani***
Program Kekhususan Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Udayana
Abstrak
Sejak 2011, militer dan polisi Mesir telah memerangi kelompok-kelompok yang berafiliasi dengan ISIS di provinsi Sinai Utara. Konflik ini tentunya membuahkan akibat yang dirasakan oleh banyak pihak, salah satunya terhadap masyarakat sipil. Terdapat dua masalah yang akan dianalisis yaitu bagaimanakah pengaturan kejahatan kemanusiaan penyiksaan menurut Statuta Roma 1998 dan bagaimanakah implementasi kejahatan kemanusiaan penyiksaan terhadap masyarakat Sinai di Mesir menurut Statuta Roma 1998.
Kedua permasalahan tersebut akan dianalisis menggunakan metode penelitian normatif yang mana dikonsepkan di dalam peraturan perundang-undangan, atau hukum sebagai kaidah atau norma dengan mengacu pada hukum humaniter internasional.
Hasil penelitian dan analisis yang dilakukan menunjukkan bahwa hukum internasional menjunjung tinggi perikemanusiaan, martabat, HAM, dan melarang penyiksaan sebagaimana diatur di dalam Statuta Roma Pasal 7 (1) (f) dan Convention Against Torture (CAT) dan menghasilkan fakta bahwa telah terjadi penyiksaan di Sinai, Mesir. Maka bedasarkan fakta tersebut diperlukan usaha pemerintah Mesir untuk melakukan investigasi dan usaha kedua belah pihak untuk melindungi warganya sipilnya.
Kata Kunci : Kejahatan Kemanusiaan penyiksaan, masyarakat sipil, hukum humaniter internasional
Abstract
Since 2011, Egyptian military and police have been fighting groups affiliated with ISIS in North Sinai province. This conflict certainly resulted in the effects felt by many parties, especially by civilians. There are two issues that raised in this journal; the rules of the crimes against humanity of torture according to the Rome Statute 1998 and the implementation of the crimes against humanity of torture against civilians in Sinai, Egypt according to the Rome Statute 1998.
Both of these issues will be analyzed using normative research methods which are referenced in legal instrument of international humanitarian law.
The results of the research show that international humanitarian law advocate humanity, dignity, human rights, and prohibits torture as ruled in Rome Statute Article 7 (1) (f) and Convention Against Torture (CAT) and produces the fact that the torture is occurred in Sinai, Egypt. Therefore, based on this fact, the
Egyptian government is needed to conduct an investigation and the both parties needs to protect their civilian citizens.
Keyword : Crime against humanity of torture, civilians, international
humanitarian law.
Kebangkitan terhadap kesadaran mengenai hak-hak dasar manusia ditandai oleh terbentuknya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR) oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 10 Desember 1948 yang dilandasi oleh pembukaan Piagam PBB yang bertujuan untuk memlihara perdamaian dan keamanan dunia dan untuk mencapai kerjasama internasional dalam memecahkan masalah internasional ekonomi, social, budaya dan kemanusiaan.2
Kesadaran manusia terhadap hak-hak dasar manusia ini merupakan dampak dari kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi di masa-masa lampau. Telah terjadi banyak perang di dunia hingga perang dunia terakhir hingga saat ini yaitu Perang Dunia kedua. Konsep kejahatan kemanusiaan setelah berakhirnya Perang Dunia pertama berkonsep pada kejahatan terhadap hak-hak kemanusiaan seperti yang diungkapkan pada pembukaan Konvensi Den-Haag tahun 1907.3 Semenjak Perang Dunia kedua terjadi, diperkirakan terdapat 250 konflik internasional, maupun non internal yang menelan korban hingga 170 juta orang.4
Hukum Hak Asasi Manusia (HAM) terbagi menjadi tiga keadaan; (1) Hukum HAM universal yang merupakan hak-hak dasar setiap umat manusia, (2) Hukum HAM pengungsi, (3) Hukum HAM yang diberlakukan dalam situasi perang yang dikenal dengan Hukum Humaniter. Tujuan dari Hukum Humaniter sendiri adalah membatasi penderitaan dan kawasan konflik bersenjata yang mana mengadopsi hukum-hukum perang yang berprikemanusiaan. Dalam pelaksanaannya melibatkan Komite Internasional Palang Merah (ICRC) sesuai dengan Konvensi-konvensinya; Konvensi Jenewa 1949 maupun protocol-protokol tambahannya.5
Dilatarbelakangi oleh pelaksanaan hukum humaniter, lalu berdirilah pengadilan pasca perang pertama yaitu Pengadilan pidana internasional pertama dilatarbelakangi oleh kekezaman NAZI; disebut Pengadilan Nurmberg, yang merupakan evolusi dari konsep kejahatan terhadap perdamaian, kemanusiaan, dan genosida; yang mana pula melatarbelakangi terbentuknya Konvensi Jenewa keempat.6 Kejahatan kemanusiaan adalah kejahatan terhadap masyarakat sipil (civilian population), dan bukan terhadap individu di dalam masyarakat (individual civilian). Kejahatan kemanusiaan juga harus dilakukan secara luas dan sistematik atas dasar alasan politik, ras, atau kepercayaan. Dalam kasus Numberg menyatakan bahwa kejahatan perang dilakukan secara luas (widespread) dan sistematik (systematic manner) terhadap alasan politik, ras, atau kepercayaan yang memungkinkan untuk menyebabkan kejahatan kemanusiaan.7 Pada dasarnya kejahatan terhadap kemanusiaan adalah kejahatan
negara, seperti juga kejahatan perang karena kejahatan ini memerlukan pula keterlibatan substansial organ-organ negara termasuk tentara, polisi, pasukan militer, dan birokrasi negara.8
-
1. Bagaimanakah pengaturan kejahatan kemanusiaan penyiksaan menurut Statuta Roma 1998?
-
2. Bagaimanakah implementasi kejahatan kemanusiaan penyiksaan terhadap masyarakat Sinai di Mesir menurut Statuta Roma 1998?
-
1. Mengetahui apa saja pengaturan kejahatan kemanusiaan penyiksaan menurut Statuta Roma 1998.
-
2. Mengetahui bagaimana implementasi kejahatan
kemanusiaan penyiksaan terhadap masyarakat Sinai di Mesir menurut Statuta Roma 1998.
Metode Penelitian yang digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah jenis penelitian normatif. Penelitian pada jenis ini biasanya dikonsepkan sebagai apa yang dikonsepkan di dalam peraturan perundang-undangan, atau hukum sebagai kaidah atau norma yang menjadi patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas.9
-
2.2 Hasil dan Analisis
-
2.2.1 Pengaturan Kejahatan Kemanusiaan Penyiksaan menurut
-
Statuta Roma 1998.
Hukum Humaniter merupakan bagian dari hukum internasional yang mana hukum humaniter adalah hukum membatasi penderitaan di kawasan konflik bersenjata yang mana mengadopsi hukum-hukum perang yang berprikemanusiaan.10 Menurut Piagam Mahkamah Internasional, salah satu sumber dari hukum internasional adalah perjanjian internasional, begitu pula Hukum Humaniter sebagai bagian dari hukum internasional. Hal ini diatur pula dalam Pasal 21 (1) mengenai hukum-hukum yang digunakan (applicable law), termasuk perjanjian internasional, Statuta Roma, dan lain-lain.
Larangan terhadap penyiksaan adalah norma jus cogens yang memikul kewajiban erga omnes.11 Selanjutnya, pengaturan mengenai kejahatan kemanusiaan diatur di dalam Statuta Roma Pasal 7 ayat 1 yang menyatakan bahwa “kejahatan terhadap kemanusiaan” berarti salah satu dari perbuatan yang dilakukan secara meluas atau sistematik yang ditujukan kepada suatu kelompok penduduk sipil, dengan mengetahui adanya serangan itu, yang mana salah satu perbuatannya adalah penyiksaan (huruf f). Selain itu penyiksaan juga merupakan pelanggaran terhadap ketentuan umum pada pasal 3 Konferensi Genewa, karena menyebabkan kekerasan pada kesejahteraan fisik atau mental.
Menurut Pasal 7 (1) (f) Statuta Roma [selanjutnya akan disebut RS), terdapat lima elemen kejahatan kemanusia tentang penyiksaan:
-
1. Pelaku menimbulkan rasa sakit fisik atau mental yang parah atau penderitaan pada satu orang atau lebih.
Terdapat banyak tindakan-tindakan yang melibatkan penganiayaan sehingga menimbulkan rasa sakit fisik dan/atau mental yang parah untuk dapat dikatakan sebagai penyiksaan, contohnya; pemukulan, kekurangan nafas (suffocating), isolasi yang berkepanjangan,12 , larangan terhadap istirahat atau tidur, peniadaan makanan,13 air,14 kebersihan yang cukup,15 bantuan medis, hingga penganiayaan sadis lainnya.16
-
2. Korban berada dalam penjagaan atau di bawah kendali pelaku.
Istilah "penyiksaan" berarti tindakan apa pun yang menyebabkan penderitaan atau penderitaan parah, baik fisik maupun mental, secara sengaja dilakukan pada seseorang berdasarkan diskriminasi dalam bentuk apa pun, yang ditimbulkan oleh atau dengan persetujuan atau persetujuan
seseorang dalam kapasitas resmi (pemerintah). Korban berada di dalam penjagaan atau di bawah kendali pelaku sebagai contoh; korban berada ditahan oleh pelaku, tidak dapat bertahan diri juga tidak memungkinkan untuk mempertahankan dirinya.17
-
3. Rasa sakit atau penderitaan tidak muncul dari sebuah sanksi hukum.
Penangkapan semua orang harus secara tidak sewenang-wenang, terjadi atas dasar adanya pelanggaran yang diakui secara internasional, tidak boleh ditangkap karena menggunakan hak-hak dasar mereka, atau tidak boleh kehilangan haknya untuk proses hukum.18 Semua tahanan harus dengan cepat dibawa ke pengadilan dan mereka tidak boleh diperlakukan secara buruk, disiksa, atau dieksekusi secara ekstra-yudisial. Mereka harus disimpan di tempat penahanan resmi, dan pihak berwenang harus segara membebaskan tersangka apabila tidak ada bukti keslahan dan memberikan kompensasi kepada mereka untuk waktu yang mereka habiskan dalam tahanan.19
-
4. Tindakan itu dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematis yang diarahkan terhadap penduduk sipil.
Konvensi Genewa menyatakan bahwa masyarakat sipil adalah orang yang tidak aktif dalam pertempuran,20 bukan dan/atau tidak lagi menjadi anggota dari pasukan bersenjata.21 Pada poin ini, tindakan yang dilakukan pelaku mengarah kepada penduduk sipil sebagaimana telah didefinisikan di atas, yang seharusnya dilindungi dan statusnya sebagai non-objek militer.
-
5. Pelaku tahu bahwa tindakan itu adalah bagian dari atau menjadi bagian dari serangan yang meluas atau sistematis yang diarahkan terhadap penduduk sipil.
Pelaku harus mengetahui status yang yang dimiliki para korban,22 apakah korban adalah masyarakat sipil atau masuk ke dalam bagian dari objek militer.
-
2. 2.2 Kejahatan Kemanusiaan Penyiksaan terhadap Warga
Sinai di Mesir Menurut Hukum Statuta Roma 1998.
Sejak 2011, militer dan polisi Mesir telah memerangi kelompok-kelompok yang berafiliasi dengan ISIS di provinsi Sinai Utara. Populasi yang jarang, dan dengan sekitar setengah juta penduduk, bagian utara Semenanjung Sinai yang berbatasan dengan Israel dan Jalur Gaza ini adalah wilayah yang secara
historis terpinggirkan, dipisahkan dari bagian lain negara itu oleh Terusan Suez. Ribuan orang telah ditangkap, dan ratusan lainnya telah hilang dalam enam tahun terakhir sejak konflik meningkat pada tahun 2013. Puluhan ribu penduduk telah diusir secara paksa atau melarikan diri dari rumah mereka karena kekerasan yang sedang berlangsung.23
Perlu diketahui bahwa mesir telah meratifikasi CAT, pada tahun 1986, yang dengan tegas melarang penyiksaan dan perlakuan kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan lainnya.
Menurut Pasal 7 (1) (f) RS terdapat lima elemen kejahatan kemanusiaan tentang penyiksaan:
-
1. Pelaku menimbulkan rasa sakit fisik atau mental yang parah atau penderitaan pada satu orang atau lebih.
Human Rights Watch mendokumentasikan beberapa kasus di mana tahanan atau keluarga mereka mengatakan mereka telah dilecehkan secara fisik, termasuk dengan pemukulan dan kejutan listrik, penahanan mereka dirahasiakan, penempatan di sel-sel yang penuh sesak tanpa makanan, pakaian, air bersih yang memadai, kurangnya perawatan kesehatan, kondisi yang tidak manusiawi, di mana tahanan kehilangan akses ke dunia luar termasuk keluarga mereka dan penasihat hukum hingga kematian tahanan dalam tahanan karena perlakuan buruk. Selain itu mereka menahan tersangka anak dalam penahanan rahasia bersama tahanan dewasa dengan penuntutan di pengadilan militer dan pidana alih-alih pengadilan anak-anak.24
-
2. Korban berada dalam penjagaan atau di bawah kendali pelaku. Selanjutnya, Human Rights Watch melaporkan atas kesasksian mantan tahanan bahwa beberapa kasus di mana tahanan mengalami berbagai perlakuakn buruk yang dilakukan hampir selalu oleh tentara berseragam, diperkuat juga oleh mantan tahanan yang mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa militer juga menyiksa mereka.
-
3. Rasa sakit atau penderitaan tidak muncul dari sebuah sanksi hukum.
Para militan di Sinai menggunakan penahanan rahasia dan telah membuat tahanan menjalani proses hukum yang tidak sesuai dengan standar internasional. Polisi dan militer memperlakukan penduduk di daerah ini dengan kecurigaan otomatis, tentara Mesir menahan tersangka anak dalam penahanan rahasia bersama tahanan dewasa. Ketika didakwa, tahanan anak-anak menghadapi penuntutan di pengadilan militer dan pidana alih-alih pengadilan anak. Human Rights Watch menerima informasi bahwa jaksa dan hakim mengabaikan klaim penyiksaan, perlakuan buruk, dan penahanan rahasia. Demikian pula, Human Rights Watch tidak mengetahui adanya kasus di mana pemerintah menawarkan kompensasi kepada tahanan yang akhirnya dibebaskan setelah ditahan selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan tanpa dakwaan dalam penahanan rahasia.
-
4. Tindakan itu dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematis yang diarahkan terhadap penduduk sipil.
Semenjak konflik terjadi, setidaknya ratusan warga sipil telah terbunuh dan terluka oleh semua pihak sejak Juli 2013. Bagian-bagian yang sebelumnya dihuni di Sinai Utara telah berubah menjadi kota hantu, ditinggalkan oleh penduduk yang takut akan lebih banyak kekerasan atau diusir secara paksa oleh tentara. Tentara di pos-pos pemeriksaan terkadang menembak mendekati orang-orang dan kendaraan sipil yang tidak menimbulkan ancaman keamanan. Beberapa laporan menunjukkan bahwa militer Mesir tidak mengambil tindakan pencegahan yang layak untuk menghindari dan meminimalkan kerusakan pada warga sipil saat melakukan operasinya.
-
5. Pelaku tahu bahwa tindakan itu adalah bagian dari atau menjadi bagian dari serangan yang meluas atau sistematis yang diarahkan terhadap penduduk sipil.
Menurut penduduk setempat, polisi dan militer memperlakukan penduduk di daerah ini dengan kecurigaan otomatis. Mereka mengatakan bahwa tentara, kadang-kadang ditemani oleh pasukan kepolisian Kementerian Dalam Negeri dan anggota milisi yang disponsori tentara, bepergian dengan konvoi kendaraan lapis baja, secara teratur mengepung lingkungan dan pindah dari rumah ke rumah, meminta nama pria atau menangkap siapa pun yang kebetulan hadir walaupun tidak menimbulkan ancaman keamanan.
Untuk mengetahui apakah suatu kasus dapat diterima di pengadilan kriminal internasional dan masuk menjadi bagian dari yurisdiksi pengadilan internasional, harus diliat apakah telah ada
investigasi dan penuntutan yang sedang berlangsug di dalam negara dengan sungguh-sungguh.25
Pengadilan kriminal internasional dapat menggunakan yurisdiksi hanya ketika pengadilan nasional enggan (unwilling) atau tidak mampu (unable) untuk menginvestigasi, menuntut, dan mengadili mereka yang bertanggung jawab atas kejahatan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 RS,26 dan bahwa seseorang yang melakukan kejahatan di dalam yurisdiksi pengadilan akan bertanggung jawab secara individu dan bertanggung jawab atas hukuman sesuai dengan Statuta.27
Istilah "enggan" (unwilling) dan "tidak mampu" (unable) mengacu pada situasi penyelidikan formal oleh negara yang memiliki yurisdiksi atas kasus ini yang mana negara tidak menunjukkan adanya langkah investigasi.28 Dikatakan bahwa terdapat contoh-contoh syarat sebagai langkah investigasi seperti "mewawancarai saksi atau tersangka, mengumpulkan bukti dokumenter, atau melakukan analisis forensik"29
Apabila dikaitkan dengan kasus yang dibahas, dapat diketahui bahwa kasus ini memiliki peluang untuk diangkat ke hadapan Pengadilan Kriminal Internasional sepanjang unsur “enggan” atau “tidak mampu” terpenuhi atau sepanjang belum
adanya upaya pemerintah Mesir untuk mengambil langkah investasi dan mengadili masalahnya sendiri.
Bedasarkan analisis kedua rumusan masalah, maka dapat diambil kesimpulan bahwa:
-
1. Larangan terhadap penyiksaan menurut Hukum Humaniter Internasional adalah norma jus cogens dengan kewajiban erga omnes yang aturannya diatur di dalam RS Pasal 7 huruf f juga diatur dalam ketentuan umum pada pasal 3 Konferensi Genewa, karena menyebabkan kekerasan pada kesejahteraan fisik atau mental.
-
2. Perlu diketahui bahwa mesir telah meratifikasi CAT, pada tahun 1986, yang dengan tegas melarang penyiksaan dan perlakuan kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan lainnya. Menurut Pasal 7 (1) (f) RS, terdapat lima elemen kejahatan kemanusia tentang pemusnahan yang apabila dikaitkan bedasarkan fakta laporan dari Human Rights Watch, menghasilkan fakta bahwa memang telah terjadi penyiksaan di Sinai, Mesir yang berpeluang untuk diadili di hadapan Pengadilan Kriminal Internasional selama unsur unwilling dan unable terpenuhi.
Bedasarkan kedua kesimpulan di atas, adapun beberapa saran yang ditunjukkan kepada pemerintah Mesir agar dapat melakukan penyelidikan segera sesuai dengan standar persidangan yang adil dan transparan, membebaskan tahanan dan mengganti rugi kepada tahanan yang tidak bersalah. Ditunjukan kepada kelompok-kelompok militant yang berafiliasi bersama ISIS untuk melindungi masyarakat sipil dalam segala bentuk kegiatan di udara, darat, maupun air.
DAFTAR PUSTAKA
Amirudin dan H. Zainal Asikin, 2010, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta.
Bassiouni, C. M. (2000). The Normative Framework of International Humanitarian Law: Overlaps, Gaps, and Ambiguities. International Law Studies, 75(1), 23.
Meron, T. (1993). Rape as a crime under international humanitarian law. American Journal of International Law, 87(3),
424-428.
Risse, M. (2016). Global political philosophy. Springer.
Wagiman, 2012, Hukum Pengungsi Internasional, Sinar Grafika, Jakarta.
United Nations, Relative to the Protection of Civillian Persons in Time of War, 1949.
Human Rights Watch, 28 Mei 2019, HRW Report: If You Are Afraid for Your Lives, Leave Sinai! Egyptian Security Forces and ISIS-Affiliate Abuses in North Sinai,
https://www.hrw.org/report/2019/05/28/if-you-are-afraid-your-lives-leave-sinai/egyptian-security-forces-and-isis#0407c2, diakses
pada 30 Mei 2019.
Internatonal Criminal Court, Pre-Trial Chamber, 2007, In the Case of the Prosecutor v. Abdallah Banda Abakaer Nourain et al., ICC-02/05-03/09, http://www.worldcourts.com/icc/eng/decisions/2011.03.07_Prose cutor_v_Banda.pdf, diakses pada 8 Juni 2019.
Internatonal Criminal Court, Trial Chamber, 2003, In the Case of the Prosecutor v. Dragan Nikolić, IT-94-2-T,
http://www.icty.org/x/cases/dragan_nikolic/tjug/en/nik-sj031218e.pdf, diakses pada 10 Juni 2019.
Internatonal Criminal Court, Appeals Chamber, 2011, In the Case of the Prosecutor v. Francis Kirimi Muthaura et al., ICC-01/09-02/11-274, http://www.legal-tools.org/doc/c21f06/pdf/, diakses pada 1 Juli 2019.
Internatonal Criminal Court, Trial Chamber, 1998, In the Case of the Prosecutor v. Furundzija, IT-95-17/1-T,
http://www.icty.org/x/cases/furundzija/tjug/en/fur-tj981210e.pdf , diakses pada tanggal 26 Juni 2019.
Internatonal Criminal Court, Appeals Chamber, 2009, In the Case of the Prosecutor v. Germain Katanga and Mathieu Ngudjolo Chui, ICC-01/04-01/07, http://www.legal-tools.org/doc/ba82b5/pdf/, diakses pada 1 Juli 2019.
Internatonal Criminal Court, Trial Chamber, 2007, In the Case of the Prosecutor v. Milan Simić, IT-95-9/2-T,
http://www.icty.org/x/cases/milan_simic/tjug/en/sim-sj021017e.pdf, diakses pada 10 Juni 2019.
Internatonal Criminal Court, Trial Chamber, 2007, In the Case of the Prosecutor v. Mile Mrkšić et al., IT-95-13/1-T, http://www.icty.org/x/cases/mrksic/tjug/en/070927.pdf, diakses pada 10 Juni 2019.
Internatonal Criminal Court, Trial Chamber, 2001, In the Case of the Prosecutor v. Miroslav Kvočka et al., IT-98-30/1-T, http://www.icty.org/x/cases/kvocka/tjug/en/kvo-tj011002e.pdf, diakses pada 19 Juni 2019.
Internatonal Criminal Court, Trial Chamber, 1998, In the Case of the Prosecutor v. Zejnil Delalić et al., IT-96-21-T,
http://www.icty.org/x/cases/mucic/tjug/en/981116_judg_en.pdf, diakses pada tanggal 20 Juni 2019.
16
Discussion and feedback