IMPLIKASI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 63/PUU-XV/2017 TERHADAP PENUNJUKAN KUASA WAJIB PAJAK
on
IMPLIKASI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 63/PUU-XV/2017 TERHADAP PENUNJUKAN KUASA WAJIB PAJAK∗
Oleh:
Gusti Ayu Dwi Cahyani∗∗ I Nengah Suharta∗∗∗ Program Kekhususan Hukum Pemerintahan Fakultas Hukum Universitas Udayana
ABSTRAK
Salah satu tugas negara adalah meningkatkan kesejahteraan umum. Dalam menjalankan tugasnya diperlukan pembiayaan yang cukup besar, biaya tersebut dapat diperoleh dari pemungutan pajak. Pajak dipungut bukan hanya kepada orang melainkan juga badan hukum yang dikenakan pajak sesuai dengan Undang-Undang disebut sebagai wajib pajak. Wajib Pajak dalam perpajakan bukan hanya memiliki kewajiban, tetapi juga memiliki hak. Pelaksanaan hak dan kewajibannya dalam prakteknya seringkali dihindari karena berbagai alasan. Sehingga Direktorat Jenderal Pajak memberikan keringanan berupa penunjukan seorang kuasa untuk menjalankan hak dan kewajibannya. Penunjukan kuasa pada awalnya sangat membantu, tetapi seiring dengan berubahnya Peraturan yang ada penunjukan kuasa menimbulkan permasalahan yaitu terdapatnya pembatasan terhadap hak setiap orang. Berdasarkan uraian tersebut, jurnal ini ditulis untuk menjawab dua permasalahan, yaitu pengaturan penunjukan kuasa wajib pajak dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, dan pengaturan penunjukan kuasa setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 63/PUU-XY/2017. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan. Dari hasil penulisan ini, dapat disimpulkan bahwa pengaturan penunjukan kuasa wajib dalam Pasal 32 ayat (3a) dinyatakan tidak berlaku lagi, sehingga terjadi kekosongan norma hukum.
Kata Kunci : Wajib Pajak, Penunjukan, Kuasa Wajib Pajak
ABSTRACT
One of the tasks of the state is to improve public welfare. In carrying out its duties, a large amount of funding is required, these costs can be obtained from tax collection. Tax is levied not only on people but also legal entities that are taxed in accordance with the Act referred to as taxpayers. Taxpayers in taxation not only have obligations, but also have rights. Implementation of their rights and obligations in practice is often avoided for various reasons. So that the Directorate General of Taxes provides relief in the form of appointment of a delegated of
∗ Karya ilmiah ini bukan merupakan ringkasan skripsi (di luar skripsi).
∗∗Gusti Ayu Dwi Cahyani adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana, Korespondensi: dwicahyani906@gmail.com
∗∗∗ I Nengah Suharta adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana, nengah_suharta@unud.ac.id
taxpayer to carry out their rights and obligations. The appointment of delegated of taxpayer at first was very helpful, but along with changes in regulations there were limitations of the rights of everyone. Based on the description, this journal was written to answer two problems, namely the regulation of the appointment of the delegated of taxpayer in Act Number 28 of 2007 concerning the Third Amendment to Act Number 6 of 1983 concerning General Provisions and Tax Procedures and the regulation for appointment of delegated after the Constitutional Court Decision Number 63 /PUU-XY /2017. The research method used is a normative research method that uses a statue approach. From the results of this paper, it can be concluded that the regulation of the appointment of the delegated of taxpayer in article 32 paragraph (3a) is declared null and void, resulting in a vacuum of legal norms.
Keywords : Taxpayer, Appointment, Delegated of Taxpayer
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang berada pada peringkat keempat dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia. Meskipun memiliki penduduk yang banyak negara Indonesia tetap harus menjunjung tinggi kesejahteraan setiap warga negaranya terutama terhadap masyarakat yang berada dalam garis kemiskinan. Hal ini sejalan dengan tujuan negara yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Oleh sebab itu, negara memiliki peran aktif dalam mendukung kehidupan setiap manusia terutama di bidang ekonomi.
Untuk mencapai suatu kesejahteraan bagi setiap warganya negara memerlukan biaya yang cukup besar. Pembiayaan yang besar ini dapat diperoleh dari pemungutan pajak. Pemungutan pajak merupakan tindakan pemerintah berdasarkan hukum, yang mana terjadi suatu peralihan harta kekayaan. Penarikan atau pemungutan pajak harus dilakukan oleh setiap negara, karena pajak memiliki peranan yang sangat penting dalam keuangan negara atau dilandasi oleh pendekatan manfaat (benefit
approach).1 Terlebih lagi bagi negara-negara di dunia yang masih berkembang seperti Indonesia. Maka dapat dikatakan, bahwa pajak memiliki fungsi lain yakni bukan hanya berfungsi sebagai alat pengaturan semata (regulerend) tetapi juga sebagai alat untuk menambah kas negara (budgeter).
Pajak adalah iuran wajib yang dipungut oleh penguasa berdasarkan undang-undang, berfungsi untuk menutupi biaya produksi barang dan jasa dalam rangka mencapai kesejahteraan umum.2 Kata wajib menimbulkan pemahaman terhadap sifat pajak itu sendiri yaitu bersifat memaksa, yang berarti setiap orang harus membayar pajak. Serta pajak juga bersifat kontra prestasi, sebab pajak dipungut untuk memenuhi pengeluaran negara untuk rakyat, kesejahteraan dan kegiatan lainnya, sebagaimana diatur dalam hasil amandemen UUD NRI 1945 tepatnya Pasal 23A. Subjek pajak bukan hanya orang pribadi tetapi juga badan hukum dikenakan pajak yang biasa disebut dengan wajib pajak. Dalam rangka perpajakan setiap wajib pajak memiliki hak dan kewajiban, hak akan timbul setelah kewajiban dilaksanakan kecuali hak yang melekat pada diri manusia yaitu hak asasi manusia.
Dalam kenyataannya sering kali wajib pajak tidak dapat melakukan kewajibannya yang dilandasi dengan berbagai alasan, yang mengakibatkan haknya tidak timbul atau tidak diperoleh. Dengan permasalahan ini Direktorat Jenderal Pajak memberi keringanan berupa penunjukan seorang kuasa yang dalam Pasal 32 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (selanjutnya disebut
UU KUP) telah mengatur mengenai pendelegasian atau penunjukan kuasa wajib pajak (WP) untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban wajib pajak. Pelaksanaan penunjukan dalam Pasal 32 ayat (3a) yang kemudian menghasilkan Peraturan Pelaksana berupa Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK. 03/2014 tentang Persyaratan serta Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Seorang Kuasa (selanjutnya disebut PMK). Salah satu Pasalnya yakni Pasal 2 ayat (4) yang mengatur mengenai siapa saja yang dapat menjadi kuasa wajib pajak, dalam hal ini adalah konsultan pajak dan karyawan wajib pajak. Pengaturan Pasal PMK tersebut memberi pembatasan terhadap orang yang dapat ditunjuk untuk menjadi kuasa WP. Pembatasan tersebut menimbulkan banyak perdebatan dari beberapa kalangan yang menyebutkan bahwa adanya pembatasan hak seseorang yang pada dasarnya setiap orang memiliki hak yang sama dalam menjadi kuasa WP.
Namun, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 63/PUU-XV/2017, menyatakan bahwa mandat dalam Pasal 32 ayat (3a) UU KUP bertentangan terhadap Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sehingga dinyatakan tidak mengikat dan berkekuatan hukum. Berdasarkan hal ini maka disusunlah jurnal ilmiah dengan judul: “IMPLIKASI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 63/PUU-XV/2017 TERHADAP PENUNJUKAN KUASA WAJIB PAJAK”
-
1. Bagaimanakah pengaturan mengenai penunjukan kuasa wajib pajak dalam UU KUP?
-
2. Bagaimanakah pengaturan penunjukan kuasa wajib pajak setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 63/PUU-XV/2017?
-
1. Untuk mengetahui pengaturan mengenai penunjukan kuasa wajib pajak dalam UU KUP.
-
2. Untuk mengetahui pengaturan penunjukan kuasa wajib pajak setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 63 Tahun 2017.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yang menitik beratkan penelitian pada bahan pustaka atau data sekunder belaka.3 Dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan (The Statute Approach).4 Bahan hukum yang digunakan yakni bahan primer terdiri dari: Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229 Tahun 2014 tentang Persyaratan Serta Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Seorang Kuasa. Sedangkan bahan hukum sekunder yang digunakan berupa buku-buku, dan artikel-artikel yang berkaitan dengan penelitian. Bahan tersebut di dapat baik dari studi kepustakaan maupun pencarian melalui internet.
Teknik Analisis yang dipergunakan adalah analisis kualitatif, yakni menguraikan data dalam bentuk kalimat yang disusun secara berurutan sehingga mudah untuk di pahami hasil dari analisis tersebut. 5
-
2.2 Hasil dan Analisis
-
2.2.1 Pengaturan Mengenai Penunjukan Kuasa Wajib Pajak dalam UU KUP
-
Pemungutan pajak di Indonesia menggunakan
selfassessment system atau WP bersifat aktif, artinya wajib pajak memiliki wewenang penuh untuk menghitung, membayar dan melaporkan sendiri besar pajaknya.6 Bertitik tolak dari sistem tersebut, maka yang dimaksud wajib pajak adalah orang atau badan yang menurut undang-undang dikenakan pajak.7 Dengan dianutnya sistem tersebut wajib pajak pada awalnya merasa diuntungkan, tetapi dengan berjalannya waktu hal tersebut menimbulkan beban bahkan sering kali membuat pajak tidak diurus atau dihindari oleh WP.8 Sehingga solusi yang diambil oleh Direktorat Jenderal Pajak adalah memberikan keringanan terhadap wajib pajak berupa kesempatan menunjuk seseorang yang paham mengenai soal perpajakan untuk membantu dalam hal menjalankan hak dan kewajibannya.9
Penunjukan adalah suatu cara atau proses, yang mana penunjukan kuasa WP merupakan cara untuk memilih seseorang untuk mewakili wajib pajak dalam menjalankan kewajiban yang
disebut kuasa wajib pajak. Ditunjuknya seorang kuasa oleh wajib pajak menimbulkan adanya hubungan perdata. Hubungan perdata adalah hubungan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain.10 Dalam hal ini hubungan antara wajib pajak dengan seorang kuasa yang ditunjuknya. Regulasi mengenai pemberian kuasa diatur dalam UU KUP tepatnya dalam Pasal 32 yang menyatakan bahwa Wajib pajak dalam menjalankan hak dan kewajibannya dapat diwakili, wakil tersebut bertanggung jawab baik secara pribadi dan atau secara penuh.
Seorang wakil dapat diperoleh melalui penunjukan yang dapat dilakukan oleh perseorangan atau badan yang disertai dengan surat kuasa khusus. Surat kuasa menjadi dasar bahwa seorang kuasa dapat menjalankan hak dan memenuhi kewajiban wajib pajak yang menunjuknya. Selain surat kuasa khusus seorang kuasa juga harus memenuhi syarat lain yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pelaksana. Peraturan yang dimaksud adalah PMK Nomor 229 Tahun 2014, tercantum dalam Pasal 4 menyebutkan bahwa syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi kuasa wajib pajak adalah:
-
1. Menguasai segala peraturan yang berkaitan dengan bidang perpajakan.
-
2. Memiliki surat kuasa khusus dari wajib pajak.
-
3. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
-
4. Telah melakukan kewajiban melaporkan pajak penghasilan tahunan pajak yang terakhir, kecuali belum memiliki kewajiban.
-
5. Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
Pemberian kuasa tidak diberikan kepada semua orang, tetapi hanya diberikan kepada orang-orang tertentu. Pasal 2 ayat (4) PMK menyebutkan orang-orang yang dapat menjadi kuasa adalah konsultan pajak dan seorang karyawan wajib pajak itu sendiri.
Wajib pajak dapat diwakali oleh seseorang berdasarkan penunjukan kuasa karena alasan atau hal tertentu, hal yang dimaksud yaitu:
-
a. Badan oleh pengurus
-
b. Badan yang dinyatakan pailit oleh kurator
-
c. Badan yang pembubarannya dilakukan oleh orang atau badan yang bertugas untuk melakukan pemberesan
-
d. Badan dalam hal likuidasi yang dilakukan oleh likuidator
-
e. Belum terbaginya suatu warisan oleh salah satu ahli waris, pelaksana wasiatnya atau yang mengurus harta peninggalannya
-
f. Anak yang masih dibawah umur atau orang yang berada di bawah pengampuan wali.
Pelaksanaan hak dan kewajiban seorang wajib pajak tidak semuanya dapat dilaksanakan oleh kuasanya, melainkan terdapat juga beberapa kewajiban yang harus dilakukan sendiri oleh wajib pajak (Pasal 2 ayat (2) PMK) yaitu:
-
a. Mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
-
b. Melaporkan usaha kepada Direktorat Jenderal Pajak untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak.
Sebaliknya terdapat beberapa kewajiban yang dapat dilakukan oleh kuasa wajib pajak yaitu sebagai berikut:
-
a. Melakukan dan atau memperlihatkan pembukuan dalam hal pemeriksaan pajak.
-
b. Membayar pajak sesuai ketentuan Undang-undang.
-
c. Melakukan pemotongan pajak.
-
d. Mengisi dan menyampaikan surat pemberitahuan.
Serta segala hak yang dimiliki oleh wajib pajak dapat dilakukan oleh kuasa, terdapat beberapa hak yakni:11
-
a. Dapat membetulkan, dan memperpanjang waktu penyampaian surat pemberitahuan
-
b. Dapat mengajukan gugatan serta upaya hukum lainnya.
-
c. Berhak memperoleh kembali kelebihan pembayaran pajak.
-
2.2.2 Pengaturan Penunjukan Kuasa Wajib Pajak Setelah Adanya Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 63 Tahun 2017
Pajak merupakan permasalahan serius yang tengah dihadapi oleh negara-negara di dunia termasuk juga negara Indonesia, pajak adalah peyumbang penerimaan kas negara yang hampir menyentuh angka 85% dari anggaran pendapatan dan belanja Negara (APBN).12 Pemungutan pajak oleh negara yang harus didasarkan pada asas Equality atau asas persamaan. Asas ini menekankan bahwa dalam pemungutan pajak suatu negara harus memberikan persamaan kepada setiap warga masyarakatnya atau wajib pajak dalam hal pengenaan pajak atau dengan kata lain tidak ada suatu diskriminasi dalam pemungutan pajak.13
Negara mengenakan pajak kepada setiap warganya tidak sembarangan, tetapi harus memperhatikan penghasilan wajib pajak tersebut. Sebab agar tidak terdapat perbedaan, hal ini sesuai dengan Teori gaya pikul. Teori ini menyatakan bahwa negara melakukan pemungutan pajak kepada wajib pajak harus sesuai dengan besarnya penghasilan yang didapat, kekayaan yang dimiliki, dan pengeluaran yang dikeluarkan.14 Karena pada dasarnya pajak berasal dari rakyat kepada negara dan akan kembali kepada rakyat secara tidak langsung melalui fasilitas umum yang ada. Hal ini membuktikan bahwa dalam pajak bukan hanya terdapat kewajiban semata, tetapi juga terdapat hak yang diperoleh oleh wajib pajak.
Di Indonesia peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pajak memiliki jumlah yang banyak, salah satu diantaranya adalah UU KUP. Keberadaan peraturan ini ditengah-tengah masyarakat bukan sekedar memberikan keadilan, kemanfaatan, tetapi juga memberi kepastian hukum yang dalam hal ini adalah masalah perpajakan.15 Dalam praktiknya apabila wajib pajak tidak dapat menjalankan hak dan kewajibannya dapat digantikan pelaksanaannya oleh seorang kuasa. Penunjukan kuasa ini menjadi sebuah perhatian masyarakat, sebab yang menjalankan hak dan kewajiban wajib pajak adalah orang lain meskipun kuasa tersebut memang diberikan secara khusus oleh WP. Pada dasarnya, besaran pajak dihitung, disetor, dan dilaporkan sendiri oleh wajib pajak. Terlebih lagi dengan adanya ketentuan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP yang menghasilkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229 Tahun 2014 (PMK) mengenai Persyaratan serta Pelaksanaan hak dan kewajiban
kuasa yang salah satu Pasalnya mengatur siapa saja yang dapat menjadi seorang kuasa yakni ketentuan Pasal 2 ayat (4), Pasal ini menjadi sorotan di masyarakat karena prihal pembatasan hak seseorang untuk menjadi kuasa.
Sebelum dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 63/PUU-XV/2017 (selanjutnya disebut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 63 Tahun 2017) bahwa seorang yang dapat ditunjuk sebagai kuasa wajib pajak adalah konsultan pajak dan karyawan wajib pajak sendiri. Ketentuan tersebut dapat berdampak pada hak setiap orang yang terbatasi, hal ini harus diperhatikan oleh pemerintah karena hak setiap orang tepatnya di Indonesia dihormati dan dijunjung tinggi. Selanjutnya, setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 63 Tahun 2017 yang diajukan oleh seorang Lawyer, dengan dasar bahwa keberlakuan Ketentuan UU KUP tersebut merasa haknya dibatasi.16
Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 63 Tahun 2017 menyatakan bahwa frasa “pelaksanaan hak dan kewajiban” yang tercantum pada ketentuan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP, yang kemudian menghasilkan PMK Nomor 229 Tahun 2014 yang membatasi hak seseorang menjadi kuasa tercantum dalam Pasal 2 ayat (4) dinyatakan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 dan tidak mengikat serta tidak berkekuatan hukum. Dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi ini pembatasan dalam hal penunjukan kuasa wajib pajak dihapuskan, sehingga berimplikasi pada aturan yang ada yaitu terjadi kekosongan norma terhadap
pengaturan mengenai kuasa wajib pajak. Maka, pemerintah harus mengambil tindakan yang cepat untuk menanggapi hasil Putusan Mahkamah Konstitusi, karena tidak adanya tindakan yang diambil oleh pemerintah terhadap bunyi putusan tersebut. Akibatnya yakni wajib pajak menunjuk seorang kuasa yang tidak memiliki kompetensi dalam bidang perpajakan dan dapat menimbulkan kerugian. Hampir dua tahun sejak dikeluarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 63 Tahun 2014, pemerintah belum melakukan tindakan apa pun terhadap peraturan mengenai penunjukan kuasa wajib pajak.
III PENUTUP
Berdasarkan uraian pada bagian penjelasan, maka dapat disimpulkan yaitu:
-
1. Pengaturan penunjukan kuasa wajib pajak dalam Pasal 32 UU KUP menghasilkan Peraturan Pelaksana yakni Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229 Tahun 2014 (PMK) yang mengatur persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa. PMK menyebutkan bahwa untuk menjadi seorang kuasa wajib pajak bukan hanya sekedar memiliki surat kuasa khusus dari wajib pajak melainkan juga harus memiliki kemampuan menguasai segala jenis peraturan mengenai perpajakan, memiliki NPWP, telah melaporkan pajak penghasilan tahunan terakhir, dan yang paling penting juga tidak pernah dipidana karena permasalahan di bidang perpajakan.
-
2. Kuasa wajib pajak merupakan pihak yang membantu wajib pajak dalam menjalankan hak dan kewajibannya. Sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 63 Tahun
2014 seseorang kuasa yang dapat ditunjuk menjadi kuasa wajib pajak adalah konsultan pajak dan karyawan pajak. Tetapi pengaturan tersebut berbeda setelah dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 63 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa pengaturan yang sebelumnya dinyatakan tidak berlaku atau dihapuskan. Sehingga seseorang yang dapat ditunjuk menjadi kuasa bukan hanya konsultan pajak dan karyawan wajib pajak, melainkan orang lain juga dapat menjadi kuasa wajib pajak atau tidak ada lagi pembatasan hak.
Berdasarkan uraian dalam tulisan ini, saran yang dapat diberikan adalah dengan dikeluarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 63 Tahun 2014 pemerintah harus segera melakukan penyusunan peraturan mengenai penunjukan kuasa wajib pajak agar tidak terjadi kekosongan norma yang terlalu lama. Dan pemerintah seharusnya tidak lagi membatasi hak seseorang dalam hal penunjukan kuasa, karena sifat dari Putusan Mahkamah Konstitusi adalah final, binding, serta mengikat semua pihak.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Achmad Ali, 2017, Menguak Tabir Hukum, Cet. ke II, Kencana, Jakarta.
B.Ilyas, Wirawan dan Burton, Ricard, 2014, Hukum Pajak Teori, Analisis, dan Perkembangannya, Selemba Empat, Jakarta.
Bohari, H, 2016, Pengatar Hukum Pajak, Cet. ke XI, RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Brotodiharjo, R.Sentosa, 2013, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Cet. ke XXIII, Refika Aditama, Bandung.
H. Ishaq, 2017, Metode Penelitian Hukum dan Penulisan Skripsi, Tesis, serta Disertasi, Alfabeta, Bandung.
Marzuki, Peter Mahmud, 2015, Penelitian Hukum, Prenamedia Group, Jakarta.
Supramono, 2010, Perpajakan Indonesia Mekanisme dan Perhitungan, Andi Offset, Yogyakarta.
JURNAL
Evie Rachmawati Nur Ariyanti, 2017, Penyuluhan Hukum Hak dan Kewajiban Wajib Pajak Bagi Peserta Didik Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 10 Jakarta Pusat, Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat, Volume 23 Nomor 2.
Islmail, Tjip, 2010, Peradilam Pajak dan Kepastian Hukum di Tengah Globalisasi Ekonomi, Jurnal Hukum, Volume 17 Nomor 2.
INTERNET
Cermati, 2017, “Urusan Pajak Bisa Dikuasakan, Inilah Ketentuan Wakil dan Kuasa Wajib Pajak”, URL:
https://www.cermati.com/artikel/urusan-pajak-bisa-dikuasakan-inilah-ketentuan-wakil-dan-kuasa-wajib-pajak, diakses terakhir pada tanggal 27 Mei 2019.
Cita, 2018, “Quo Vadis Konsultan Pajak Indonesia? Catatan Pasca-Putusan Mahkamah Konstitusi”, URL:
https://cita.or.id/opini/artikel/quo-vadis-konsultan-pajak-indonesia-catatan-kritis-pasca-putusan-mahkamah-konstitusi/, diakses terakhir pada tanggal 9 Mei 2019.
Utama, 2018, “Beda Kuasa Hukum dengan Kuasa Wajib Pajak serta Pedebatan Pasca Putusan MK”, URL:
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5afd2f6b849e 7/beda-kuasa-hukum dengan-kuasa-wajib-pajak-serta-
perdebatan-pasca-putusan-mk/, diakses terakhir pada tanggal 14 Mei 2019.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 35; Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 4740).
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.03/2014 tentang Persyaratan Serta Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Seorang Kuasa (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1930).
15
Discussion and feedback