YURISDIKSI NEGARA TERHADAP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA OLEH PERUSAHAAN TRANSNASIONAL
on
YURISDIKSI NEGARA TERHADAP PELANGGARAN HAK
ASASI MANUSIA OLEH PERUSAHAAN TRANSNASIONAL
Dina Anggraini∗
Ida Bagus Erwin Ranawijaya, SH., MH.∗∗
Program Kekhusussan Hukum Internasional dan Bisnis Internasional, Fakultas Hukum, Universitas Udayana ABSTRAK
Perkembangan korporasi dalam masyarakat internasional tidak hanya membawa dampak positif tetapi juga dampak negatif. Hal tersebut terlebih lagi sangat nyata dalam negara-negara berkembang dimana perusahaan transnasional menjalankan usahanya. Aktivitas perusahaan transnasional di dalam wilayah negara tuan rumah seringkali luput dari hukuman ketika mereka melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Kelemahan sistem ini hadir dari kedua sisi negara, negara tuan rumah dan negara asal, disatu pihak negara tuan rumah memiliki sistem hukum yang belum sempurna. Namun di lain pihak, negara asal tidak memiliki dasar yang kuat dalam hukum internasional dalam penerapan yurisdiksi ekstrateritorialnya.
Penelitian hukum ini berjenis yurisdis normatif dengan pendekatan konsep, peraturan perundang-undangan dan kasus. Bahan yang digunakan berfokus pada bahan hukum primer dengan teknik pengumpulan keperpustakaan.
Pengaturan pada tingkat hukum internasional terhadap tindakan perusahaan transnasional yang berkaitan dengan HAM terbatas pada instrumen yang bersifat soft law. Hal tersebut memberikan negara suatu peran penting untuk mengatur sendiri batas-batas tindakan perusahaan transnasional yang berhubungan dengan HAM. Praktek tersebut telah dilaksanakan oleh berbagai negara yang pada akhirnya membentuk suatu kebiasaan internasional tersendiri.
Kata Kunci: negara, perusahaan transnasional, yurisdiksi,
ekstrateritorial.
∗ Dina Anggraini adalah mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Udayana, dinareginae@gmail.com. Makalah ilmiah ini didasari skripsi yang ditulis oleh penulis dengan bimbingan dari pembimbing skripsi I Dr. Putu Cakabawa, SH., MHum. Dan pembimbing skripsi II I.B. Erwin Ranawijaya, SH., MH.
∗∗ Ida Bagus Erwin Ranawijaya, SH., MH., adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana.
ABSTRACT
The development of transnational corporations in the international society did not only come with the benefits nonetheless the unfavorable one. It is mostly affect developing countries where TNC are likely to operate. TNC operations which violated the human rights are likely to slip out from punishment in the host states.The flaw in the system occurs from sides, host states and home states. At one side, host states law system might be imperfect. However, on the other side, the international law did not give enough legal basis for home states to apply its extraterritorial jurisdiction.
This research was conducted by using the jurist normative type of method with the types approach was statute approach, conceptual approach, and case approach. The materials used are primary legal data with the library technique to gather the data needed.
The regulatory related to TNC and human rights in international law are limited to soft law instruments. Therefore, it gives states an important role to self-regulate the limits on TNC acts related to human rights violations. The practice has been held by states and understood as customary of international law.
Keywords: states, transnational corporations, jurisdiction, extraterritorial.
Perusahaan transnasional atau transnational corporation didefinisikan sebagai entitas bisnis yang didirikan di suatu negara (‘host state’) dan melakukan kegiatan operasi bisnisnya di negara lain (‘home state’) dengan cara mendirikan perusahaan baru (yang sering dimengerti sebagai ‘anak perusahaan’) yang didirkan sendiri ataupun bersama dengan afiliasi asing lainnya.1Perusahaan transnasional menjadi bagian besar dalam pemenuhan kebutuhan bagi individu, negara dan masyarakat internasional. Dalam laporan Dewan Hak Asasi Manusia (disingkat ‘HAM’) Perserikatan Bangsa-bangsa (disingkat ‘PBB’), jumlah perusahaan transnasional diperkirakan
telah melebihi 80.000 perusahaan induk dengan afiliasi asingnya telah mencapai, kurang lebih, 800.000. Hal tersebut merupakan lonjakan yang sangat besar dibandingkan dengan pada tahun 1970 dimana perusahaan induk hanya berkisaran 7.000 buah.2Walaupun negara tetap menjadi subjek hukum internasional utama, menurut United Nations Commission on Transnational Corporation (disingkat ‘UNCTC’)3, aktor-aktor lain seperti perusahaan transnasional juga memiliki tanggung jawab dalam perlindungan hak asasi manusia. Namun dikarenakan statusnya perusahaan transnasional tidak dapat dibebankan pertanggungjawaban hukum hak asasi manusia internasional.
Tidak adanya suatu pengaturan yang mengikat terhadap tindakan perusahaan transnasional yang berkaitan dengan HAM memberikan kecemasan terhadap keadaan dimana perusahaan transnasional dianggap beroperasi didalam ketiadaan hukum atau hukum yang tidak dapat dilaksanakan.4Perusahaan transnasional dianggap telah berada diluar dari kontrol negara yang mengakibatkan mereka untuk beroperasi di dalam kekosongan hukum dan moral.5 Para cendekiawan dalam ranah hukum internasional berargumen bahwa diperlukannya pengaturan oleh host state terhadap kegiatan perusahaan transnasional di negara lain dan pengaturan tersebut
sesuai dengan tujuan hukum internasional.6 Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat dilihat mengapa perlu adanya suatu penegasan terhadap yurisdiksi negara baik home state maupun host state agar perlindungan HAM tetap terjamin sesuai dengan kerangka kewajiban HAM: untuk menghormati (to respect), untuk melindungi (to protect) dan untuk memenuhi (to fulfill).
Sebagaimana telah diuraikan di atas, maka terdapat beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan, yaitu:
-
1. Bagaimana pengaturan mengenai tindakan perusahaan
transnasional yang berkaitan dengan hak asasi manusia?
-
2. Bagaimana yurisdiksi negara terhadap pelanggaran hak
asasi manusia oleh perusahaan transnasional menurut hukum internasional?
Ruang lingkup yang diberikan dalam penelitian ini terbatas pada tujuan untuk:
-
1. mengetahui peraturan perusahaan transnasional terkait
hak asasi manusia yang ada di dalam hukum internasional.
-
2. mengetahui yurisdiksi negara terhadap pelanggaran hak
asasi manusia oleh perusahaan transnasional menurut hukum internasional.
Jenis metode penelitian yang digunakan adalah metode yuridis normatif. Metode ini meletakan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma yang berkenaan dengan norma-norma,asas-asas, kaidah, peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, dan perjanjian serta doktrin hukum internasional (ajaran).7 2.1.2 Jenis pendekatan penelitian
Di dalam analisis penelitian hukum ini pendekatan yang digunakan adalah pendekatan pendekatan konseptual,8 peraturan perundang-undangan (‘statute approach’),9 pendekatan kasus.10 Pendekatan konseptual digunakan untuk mengetahui peraturan terkait permasalahan yang diangkat, pendekatan konseptual digunakan untuk melihat berbagai pandangan atau doktrin ilmu hukum yang sedang berkembang dan pendekatan kasus digunakan untuk melihat pertimbangan dari suatu putusan pengadilan mengenai permasalahan yang diangkat.
Berkaitan dengan data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah:
-
1. Bahan Hukum Primer di dalam penelitian menggunakan
sumber-sumber hukum internasional sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) huruf a sampai c Piagam PBB.
-
2. Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang bukan merupakan dokumen resmi melainkan suatu publikasi mengenai hukum, yaitu doktrin dan pendapat ahli hukum internasional, pandangan-pandangan klasik para sarjana yang memiliki kualifikasi tinggi buku-buku teks, kamus-kamus, jurnal-jurnal hukum, dan komentar atas pengadilan.11
-
3. Bahan non-hukum adalah bahan-bahan yang dapat digunakan sebagai komplementer ataupun petunjuk bagi bahan-bahan primer dan sekunder.
Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik pengumpulan bahan. Teknik ini menggunakan pengumpulan bahan dari berbagai material yang dapat ditemukan didalam perpustakaan.12
Teknik analisis yang digunakan dalam penulisan ini, yaitu: teknik deskripsi, teknik evaluasi, teknik argumentasi.13 Teknik deskripsi digunakan untuk mengkaji mengenai permasalahan yang diteliti, dilanjutkan dengan teknik evaluasi berupa penilaian terhadap suatu pandangan yang ditambah dengan teknik argumentassi yang didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum.
-
2.2 Hasil dan Analisis
-
2.2.1 Peraturan mengenai tindakan perusahaan transnasional terkait hak asasi manusia
-
Instrumen-instrumen yang akan disebutkan merupakan instrumen yang paling sering digunakan untuk mengatur tindakan perusahaan transnasional terkait dengan tindakannya yang berhubungan dengan hak asasi manusia. Perlu diingat bahwa meskipun sudah ada suatu pemikiran untuk menciptakan instrumen yang mengikat bagi perusahaan transnasional dan tindakan-tindakannya yang berkaitan dengan HAM namun hingga kini semua instumen yang disebutkan belumlah menjadi legally binding instrument atau instrumen yang mengikat secara hukum.
Di dalam hukum internasional, peraturan-peraturan mengenai perusahaan transnasional dan HAM dapat ditemukan pada Code of Conduct on Transnational Corporations, the Tripartite Declaration, the Global Compact. Namun beberapa peraturan secara lebih dalam mengatur mengenai tindakan perusahaan transnasional terkait dengan HAM, seperti:
-
1. The United Nations Norms on the Responsibility of Transnational Corporations and other Business Enterprises with Regards to Human Rights (‘The Norms’)
Pasal 1 ayat 1 the norms menjejakan suatu perubahan dimana adanya suatu kebijakan yang memberikan ruang bagi pembebanan tanggung jawab HAM kepada perusahaan transnasional meskipun tidak secara penuh. Namun, the norms tidak diakui sebagai instrumen yang mengikat, dalam putusannya OHCHR berpendapat bahwa “the commission has indicated that the draft norms contain “useful elements and ideas for consideration by the Commission” but,
as a draft proposal, it has no legal standing.”14 (Terjemahan bebas: komisi telah mengindikasi bahwa draft norms mengandung “elemen-elemen berguna dan ide-ide yang dapat digunakan untuk konsiderasi untuk komisi” tetapi, sebagai draf proposal, tidak memiliki kedudukan hukum.)
-
2. The United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights (‘UNGP’)
Instrumen ini didukung oleh Dewan HAM PBB dalam Resolusinya.15 Lewat instrumen inilah konsep respect, protect, remedy diusulkan dan konsep ini telah menjadi dasar bagi tindakan-tindakan negara atapun pelaku bisnis mengabungkan kewajiban bagi kedua pihak, baik negara dan/atau pelaku usaha.
-
3. Legally Binding Instrument to Regulate, in International Human Rights Law, Other Activities of Transnational Corporations and Other Business Enterprises (‘The Norms’)
Instrumen ini adalah instrumen terbaru yang mengatur mengenai perusahaan transnasional dan HAM. Instrumen ini lebih spesifik permasalahan HAM yang timbul akibat proyek perusahaan transnasional. Selain itu juga adanya suatu pengaturan mengenai statute of limitation atau peraturan pembatasan pada Pasal 6 yang mengatur bahwa tidak dapat diaplikasikan suatu pembatasan terhadap kejahatan-kejahatan yang diakui oleh hukum internasional.
-
2. 2 Yurisdiksi negara terhadap pelanggaran hak asasi manusia oleh perusahaan transnasional menurut hukum internasional
Negara dalam penelitian ini dibagi menjadi dua jenis: host state dan home state. Home state atau negara asal adalah negara dimana suatu perusahaan transnasional didirikan.16 Negara-negara tersebutlah yang nantinya dimengerti sebagai nasionalitas dari entitas tersebut. Menurut putusan-putusan ICJ sebelumnya, kasus Barcelona Traction17 dan kasus Diallo,18 negara yang menjadi nasionalitas suatu perusahaan transnasional dilihat dari negara dimana entitas bisnis tersebut didirikan. Sedangkan home state dimengerti sebagai negara dimana perusahaan transnasional menjalankan bisnisnya.19 Di negara ini merupakan negara dimana suatu pelanggaran HAM terjadi.20 a. Host state
Host state memiliki yurisdiksi terhadap suatu pelanggaran HAM yang terjadi di dalam negaranya melalui prinsip yurisdiksi teritorial. Yurisdiksi teritorial dapat dimengerti sebagai suatu prinsip yurisdiksi yang telah digunakan secara umum di dalam komunitas internasional. Dalam jurnalnya, Sara L. Leck mengutip Lowe yang berpendapat bahwa “whether conduct comes within state territorial jurisdiction thus depends in part on what is understood to comprise the
conduct or activities.”21(Terjemahan bebas: terkait negara mana yang memiliki yurisdiksi terhadap suatu tindakan tergantung kepada atas pemahaman terhadap suatu tindakan atau aktivitas tersebut.) Dapat dimengerti dari pendapat di atas bila negara yang memiliki yurisdiksi terhadap pelanggaran HAM perusahaan transnasional merupakan negara dimana pelanggaran tersebut terjadi.
Penjelasan di atas memberikan suatu pengertian bahwa pengaplikasian yurisdiksi teritorial merupakan suatu upaya hukum yang pertama dan terutama dalam penyelesaian suatu persoalan hukum. Chirwa dalam jurnalnya berpendapat bahwa “this principles obliges the state to exercise due diligence to prevent and respond to violations of human rights within its territorial boundaries.”22(Terjemahan bebas: prinsip ini mewajibkan negara untuk melaksanakan tes kelayakan untuk mencegah dan merespon pelanggaran HAM di dalam batasan teritorialnya.) Penerapan yurisdiksi teritorial merupakan suatu hak negara dalam waktu yang bersamaan juga merupakan kewajiban negara berdasarkan hak asasi manusia internasional.23 Pelaksanaan yurisdiksi teritorial tidak dapat secara semena-mena diterapkan hanya dengan dasar pertimbangan bahwa suatu sistem hukum lebih memadai atau lebih tepat dalam menyelesaikan kasus tersebut tetapi juga harus didasarkan kepada adanya suatu hubungan yang mana akan dijelaskan di bawah.
Union Carbide Corporation v Union of India merupakan salah satu contoh konkrit suatu pelanggaran lingkungan dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh tergugat, Union Carbide. Union Carbide v Union of India merupakan suatu kasus yang dilayangkan kepada pengadilan Amerika Serikat, yang mana lalu kasus tersebut ditolak oleh pengadilan Amerika serikat atas dasar pertimbangan forum non conveniens dan kembali diadili oleh pengadilan India.24 b. Home state
Home state juga memiliki yurisdiksi terhadap suatu kasus pelanggaran HAM oleh perusahaan transnasional lewat prinsip yurisdiksi ekstrateritorial. Salah satu contohnya adalah Friday Alfred Akpan v Royal Sutch Shell PLC and Shell Petroleum Development Company of Nigeria LTD. Friday Alfred Akpan (disingkat ‘Akpan’), seorang Individu berasal dari Ikot Ada Udo, negara wilayah Akwa Ibom, Nigeria25 melawan RDC26 (sebuah perusahaan yang terdaftar di Inggris namun menggunakan Belanda sebagai tempat utama menjalankan bisnisnya)27 dan SPDC28 (sebuah anak perusahaan dari RDC yang didirikan di Nigeria.)29 Putusan pengadilan Belanda memutuskan bahwa kasus tersebut jatuh kedalam yurisdiksinya berdasarkan prinsip ektrateritorial atas pelanggaran HAM yang dilakukan oleh SPDC. Di dalam kasus ini Talisman tidak memiliki
suatu hubungan perdata dengan Amerika Serikat dan kasus ini di bawa dengan dasar Alien Tort Statute ( ‘ATS’) yang mengatur dengan prinsip yurisdiksi universal atas pelanggaran-pelanggaran terhadap universally accepted norms of the international law of human rights atau norma-norma yang secara umum diakui dalam hukum HAM internasional.30
Konsep prinsip yurisdiksi ekstrateritorial bukanlah suatu yang asing di dalam hukum internasional. Jeffrey T. Gayton dalam jurnalnya menjelaskan mengenai prinsip yurisdiksi ekstrateritorial sebagai:
Extraterritoriality therefore can be defined as a state’s claim of jurisdiction over individuals or activities beyond its borders. Extraterritoriality can be differentiated into two types. First, extraterritorial claims can be regional (applying to individuals or activities within a specific area outside the territory of the state) or global (applying to individuals or activities regardless of their location outside the territory of the state). Second, claims can be exclusive (no other actor has jurisdiction over the individual or activity) or shared (other actors may have some jurisdiction as well).31
(Terjemahan bebas: Ekstrateritorial dapat diartikan sebagai yurisdiksi Negara terhadap individu atau aktivitas diluar batas wilayahnya. Ekstrateritorial dapat dibedakan menjadi menjadi dua jenis. Pertama, klaim ekstrateritorial secara regional (diaplikasikan kepada individu atau aktivitas di dalam area yang spesifik di luar wilayah teritorial negara) atau global (diterapkan kepada individu atau aktivitas terlepas dari lokasi mereka di luar wilayah teritorial negara). Kedua, klaim dapat secara eksklusif (tidak ada aktor lain yang mempunyai yurisdiksi atas individu atau aktivitas tersebut) atau dibagi (aktor lain juga mungkin mempunyai yurisdiksi juga.)
Prinsip ini telah digunakan oleh komunitas internasional secara umum meskipun memang lebih banyak digunakan oleh Amerika Serikat dan negara-negara Uni Eropa. Selain dari Uni Eropa yang memang telah memasukan pengaturan mengenai prinsip yurisdiksi ekstrateritorial kedalam sistem hukumnya, negara seperti Kanada juga telah melaksanakan yurisdiksi ekstrateritorial dalam memutus kasus pelanggaran HAM oleh perusahaan transnasional.32Dasar bagi pengaplikasian yurisdiksi ekstrateritorial dapat dipengaruhi oleh beberapa hal seperti sistem hukum yang berlaku dan perjanjian internasional. Oliver de Schutter membagi dasar-dasar bagi penerapan yurisdiksi ekstrateritorial menjadi dua, sistem hukum Amerika Serikat (disingkat ‘AS’)33 dan sistem hukum Uni Eropa.34
Tabel 1.1
No. |
AS |
Uni Eropa |
1. |
Pengadilan ditentukan berdasarkan Hukum Internasional. |
Pengadilan negara tempat perusahaan berdomisili. |
2. |
Pengadilan ditentukan berdasarkan Hukum pengadilan yang mengadili (lex fori). |
Pengadilan negara tempat kejadian tersebut terjadi. |
3. |
Pengadilan ditentukan berdasarkan Hukum pengadilan suatu kejadian terjadi (lex loci damni). |
Pengadilan negara tempat cabang atau agen perusahaan berdomisili. |
Yurisdiksi ekstrateritorial negara dapat menjadi sesuatu yang
konkrit haruslah didasari oleh suatu hubungan yang juga konkrit. Beberapa cara menentukan hubungan antara anak perusahaan dan induk perusahaan adalah the ‘sphere of influence’ and supply chains
(lingkaran pengaruh dan rantai pasokan),35the principles of ‘investment nexus’ (prinsip “hubungan investasi”),36 the nature of business activities (sifat aktivitas bisnis).
Pendapat lain selain dari penentu nexus diatas dipaparkan oleh Cees Van Dam bahwa “the common feature is whether the defendant has acted like a ’reasonable man’ (addressed under faute, verschulden or breach of duty). The other element (duty of care, tatbestand) serves as control mechanisms, particularly in areas like governmental liability, mental harm, and omissions.”37 (Terjemahan bebas: Fitur umumnya adalah apabila tergugat telah bertindak sebagai ‘orang yang pantas’ (yang dianggap sebagai faute, verschulden atau breach of duty). Elemen lainnya (duty of care, tatbestand) berfungsi sebagai mekanisme kontrol, secara khusus di dalam area-area seperti tanggung jawab pemerintahan, kerusakan mental, dan omissions.)
Beralih kepada penghambat pengaplikasian yurisdiksi teritorial terbesar yaitu forum non conveniens. Forum non conveniens adalah suatu prinsip yang mendasari tindakan pengadilan untuk menolak suatu kasus karena pengadilan tersebut memutuskan bahwa pengadilannya bukan lah forum yang tepat bagi kasus tersebut.38
Putusan Friday, pengadilan Belanda berpendapat bahwa “However, the forum non conveniens restriction no longers any role in today’s international private law.”39(Terjemahan bebas: Meskipun begitu, batasan forum non conveniens tidak lagi memiliki peran dalam hukum perdata internasional.) Merujuk kembali kepada pendapat Cees Van Dam, “in the framework of claims against corporations for involvement in human rights violations, the main issue is liability for omissions, that is, whether a corporation has a duty to prevent a third party (like its subsidiary or business partner) from causing harm.”40 (Terjemahan bebas: Isu terpenting di dalam kerangka tuntutan-tuntutan terhadap perusahaan transnasional untuk keterlibatannya didalam pelangaran-pelanggaran HAM adalah tanggung jawab terhadap kelalaian, yang mana, tidak terpengaruh apakah korporasi memiliki kewajiban untuk mencegah pihak ketiga (seperti anak perusahaannya atau pasangan bisnisnya) dari membuat bahaya.) 3. PENUTUP
-
1. Hukum internasional telah menyediakan peraturan terhadap
perusahaan transnasional dan tindakan-tindakannya yang berhubungan dengan HAM. Namun peraturan tersebut tidak mengikat secara paksa dan hanya dapat dianggap sebagai salah satu kebiasaan internasional.
-
2. Negara-negara, baik home state maupun host state, memiliki
yurisdiksi untuk menangani pelanggaran HAM oleh perusahaan transnasional. Home state dapat menggunakan prinsip yurisdiksi teritorial dan host state dapat menggunakan prinsip yurisdiksi
ektrateritorial sesuai dengan pengaturan yang mengikatnya dan hubungan antara pelanggaran HAM, perusahaan transnasional dan negara yang ingin menerapkan yurisdiksinya.
-
1. Diperlukannya suatu pengaturan yang mengikat dan memaksa agar pelaksanaan yurisdiksi oleh negara berdasarkan hukum internasional.
-
2. Penegasan terhadap perlindungan HAM dan pemberian sanksi atas pelanggaran HAM kepada semua pihak yang melanggar termasuk perusahaan transnasional dan entitas-entitas bukan negara lainnya.
INDEX OF AUTHORITIES
Buku
Fajar, Mukti dan Yulianto Achmad, 2013, Dualisme Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogjakarta.
Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2013, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar
Hunter, David, et.al, 2011, International Environmental Law and Policy, Edisi keempat, Foundation Press, tanpa tempat terbit.
Koentjaraningrat, 1983, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Gramedia, Jakarta.
Marzuki, Peter Mahmud, 2011, Penelitian Hukum, Cet. VII,
Kencana Predana Media Group, Jakarta.
Artikel
Barnden, David dan Jorge Daniel Tailant, 2007, Investment Nexus and Financial Institutions in the implementation of the OECD Guidelines for Multinational Enterprises, Jurnal Center for Human Rights and Environment, tanpa tempat terbit.
Chirwa, Danwood Mzikenge, 2004, The Doctrine of State Responsibility As A Potential Means of Holding Private Actors Accountable for Human Rights, Melbourne Journal of International Law, Australia.
Dam, Cees Van, 2011, Tort Law and Human Rights: Brother in Arms on the Role of Tort Law in the Area of Business and Human Right, Journal of Education, Teaching and Learning.
Diehl, Paul F. dan Charlotte Ku, 2010, The Dynamics of Internatinal Law, Cambridge University Press, Cambridge.
Dorward, Daniel J., 1998, The Forum Non Conveniens Doctrine and the Judicial Protection of Multinational Corporations from Foeum Shopping Plaintiffs, University of Pennsylvania Journal of International Economic Law, Volume 19:1, Pennsylvania.
Gayton, Jeffrey T., 1997, From Here to Extraterritorially: The United States Within and Beyond Borders, Makalah pada the International Studies Association Conference, tanpa tempat terbit.
Lowe, Vaughan, 2006, Jurisdiction in International Law, Oxford University Press,Oxford, h. 355, dikutip di Sara L. Leck, 2008, Home State Responsibility and Local Communities; The Case of Global Mining, Yale Human Rights and Development Journal: Vol. 11: Iss. 1, Article 10, Konetikut.
O’Brien, Claire Methven, 2018, The Home State Duty to Regulate the Human Rights Impacts of TNCs Abroad: A Rebuttal, Business and Human Rights Journal, Volume 3, Issue 1, Cambridge University Press.
Plancke, Veronique Van Der, et. al., 2010, Corporate Accountability For Human Right Abuses; A Guide for Victims and NGOs on Resouces Mechanism, tanpa tempat terbit, Jurnal International Federation of Human Rights.
Resolusi PBB
Dewan Ekonomi dan Sosial PBB, 2005, Report of United Nations Commissioner on Human Rights on the Responsibilities of Transnational Corporations and related Business Enterprises with regard to Human Rights, E/CN.4/2005/91.
Dewan HAM PBB, 2011, Human Rights and Transnantional Corporations and other Business Enterprises, A/HRC/RES/17/4.
____, 2011, Report of the Special Representative of the Secretary Gerenal on the issue of human rights and transnational corporations and other business enterprises, John Ruggie, A/HRC/17/31.
Putusan pengadilan
District Court of The Hague, 2013, Friday Alfred Akpan v Royal Dutch Shell PLC dan Shell Petroleum Development Company of Nigeria LTD, C/09/337050/HA ZA 09-1580.
Mahkamah Internasional, 1970, Barcelona Traction, Light and Power Company, Limited, Belgia v. Spanyol.
Mahkamah Internasional, 2007, Case Concerning Ahmadou Sadio Diallo, Republic of Guinea v. Democratic Republic of the Congo.
Pengadilan Amerika Serikat, 1986, In re Union Carbide Corporation Gas Plant Disaster at Bhopal, 634 F. Supp. 842 (1986), URL: https://law.justia.com/cases/federal/district-
courts/FSupp/634/842/1885973/.
Pengadilan Amerika Serikat, 2005, Presbyterian Church of Sudan v. Talisman Energy, Inc., No. 01 Civ. 9882 (DLC), 2005 WL 2082846, (S.D.N.Y. Aug. 30, 3005).
Internet
United Nations Conference on Trade and Development, tanpa tahun, Transnational Corporations,
https://unctad.org/en/Pages/DIAE/Transnational-corporations-(TNC).aspx,.
OECD, 2003, OECD Guidelines for Multinational Enterprises: 2003 Annual Meeting of the National Contact Points, Laporan pada the Annual Meeting of National Contact Points, 23-24 Juni 2003, URL: www.oecd.org/dataoecd/3/47/15941397.pdf
Tsauro, Muhammad Ahalla, 2016, Dubes Triyono Wibowo: Kewajiban Perindungan HAM Bukan Hanya Milik Negara, URL:
http://news.unair.ac.id/2016/04/29/dubes-triyono-wibowo-kewajiban-perlindungan-ham-bukan-hanya-milik-negara/.
20
Discussion and feedback