KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB OCCUPYING

POWER TERKAIT PENDUDUKAN MILITER OLEH TURKI
DI SURIAH

Oleh:

Aditya Yudhistira* I Gede Pasek Eka Wisanjaya**

Program Kekhususan Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Udayana.

ABSTRAK

Gelombang demonstrasi yang terjadi di Suriah sebagai bagian gelombang Arab Spring pada 2011 lalu berevolusi menjadi konflik bersenjata yang belum berhenti hingga saat ini. Konflik di negara yang letaknya menjadi sangat strategis secara geopolitik bagi negara-negara lain, membuat beberapa negara di dunia menjadi terlibat langsung secara militer di dalamnya. Salah satunya adalah Turki, yang memiliki kepentingan untuk melawan kelompok militan Kurdi, yang ditakutkan akan mempermudah gerakan separatis di negaranya. Keterlibatan militer Turki tersebut tidak hanya sebatas serangan-serangan, namun sudah sampai pada kondisi pendudukan militer, yang melahirkan tanggung jawab kepada Turki sebagai occupying power. Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif dengan tujuan untuk mengetahui kewajiban-kewajiban occupying power serta bagaimana pertanggungjawaban atas pelanggarannya. Berdasarkan aturan-aturan yang berlaku, occupying power bertanggunggjawab diantaranya atas perlindungan jiwa, kebebasan, dan harta benda milik warga sipil. Terkait pelanggaran yang terjadi, Turki dapat dimintai pertanggungjawaban dalam kapasitasnyasebagai negara karena telah melanggar kewajiban internasionalnya. Sedangkan pelaku dan/atau komandan militernya dapat dimintai pertanggungjawaban pidana individu menurut hukum pidana internasional.

Kata kunci:   pendudukan; occupying power; hukum humaniter;

pertanggungjawaban negara; pertanggungjawaban pidana individu

ABSTRACT

The wave of demonstrations that took place in Syria as part of the Arab Spring wave in 2011 evolved into an armed conflict that has not ceased until now. Conflict in the country which located very geopolitically strategic for other countries, causes some countries in the world become directly militarily involved in it. Among others is Turkey, which has an interest in fighting the Kurdish militant group, that it feared to ease the separatist movement within its territory. The involvement of the Turkish military is not only limited to armed attacks, but has reached the condition of military occupation, which generates obligations to Turkey as an occupying power. This research applies normative research methods in a purpose to discover occupying power obligations and accountability for violations. Based on the applicable rules, occupying power is

responsible, inter alia, for the protection of civilians’lives, freedom, and properties. Regarding violations that occurred, Turkey could be held accountable in its capacity as a state for violating its international obligations. Whereas, perpetrator and/or military commanders can be held criminally individually liable in accordance with international criminal law.

Keywords: occupation; occupying power; international humanitarian law; state responsibility; individual criminal responsibility

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1    Latar Belakang

Pada awal 2011 terjadi gelombang demonstrasi yang dilakukan warga Suriah terhadap Pemerintah Suriah, menuntut pergantian rezim keluarga al-Assad yang telah berada dalam kekuasaan selama lebih dari 4 (empat) dekade.1 Salah satu bentuk protes ekstrim yang digunakan dengan pembakaran diri oleh seorang warga sipil bernama Hasan Ali Akleh,2 dan pemicu demonstrasi diperkuat setelah penangkapan 15 (lima belas) anak-anak oleh otoritas Suriah.3 Dapat dikatakan bahwa demonstrasi ini bagian dari gelombang Arab Spring di Timur Tengah dan Afrika bagian utara yang yang ditandai dengan peristiwa pembakaran diri seorang pedagang kaki lima di Tunisia pada Desember 2010. Pemerintah Suriah menanggapi dan menghadapi gelombang protes tersebut dengan senjata dan kekerasan.

Tindakan kekerasan oleh Pemerintah Suriah tersebut berlanjut menjadi sebuah civil strife dan semakin tereskalasi menjadi perang saudara/perang sipil. Lokasi Suriah yang sangat penting dari aspek

geopolitik bagi beberapa negara di dunia, menjadikan konflik ini menjadi bersifat internasional. Sebab, intervensi dalam bentuk use of force oleh negara-negara lain sudah sangat jelas dan nyata. Dari sekian banyak negara, Turki merupakan salah satu Negara yang terlibat dalam konflik bersenjata di Suriah.

Letak geografis Turki langsung berbatasan darat di bagian utara dengan Suriah. Keterlibatan Turki dalam konflik ini dilatarbelakangi oleh tujuan mencegah bangkitnya suatu entitas otonom Kurdi di wilayah Suriah, yang dikhawatirkan dapat memberi bantuan logistik bagi pergerakan Kurdi di wilayah Turki.4 Singkatnya, Turki khawatir pergerakan Kurdi akan semakin meluas dan dapat menguatkanseparatism Kurdi di wilayah negaranya.

Keterlibatan langsung militer Turki dalam konflik bersenjata di Suriah ini dimulai sejak tahun 2016 sampai dengan 2017 lalu dengan operasi militer Euphrates Shield, yang bertujuan untuk melawan Islamic State of Iraq and the Levant (“ISIL”) dan militan Kurdi.5Selanjutnya operasi militer dimulai kembali pada Januari 2018 dengan operasi Olive Branch, yang menargetkan militer Kurdi.6 Dengan dibantu oleh pasukan militer proxy-nya, militer Turki berhasil merebut beberapa wilayah di Suriah. Bahkan keberadaan militer Turki di Suriah tersebut berlanjut menjadi sebuah pendudukan militer.

Dalam hukum internasional, negara yang menduduki (“occupying power’) tidak hanya tunduk pada hukum dan prinsip-prinsip umumhukum humaniter internasional seperti prinsip pembedaan. Namun, juga memiliki kewajiban-kewajiban tertentu yang khusus dan wajib ditaati oleh occupying power. Berdasarkan latar belakang diatas, penulis memandang perlu untuk melakukan sebuah penelitian tentang kewajiban Turki sebagai occupying power di wilayah Suriah menurut hukum internasional.

  • 1.2    Tujuan Penulisan

Tujuan penelitian ini adalah untuk membahas dan mengetahui bagaimana pengaturan pendudukan militer dan bagaimana bentuk serta pengenaan tanggung jawab atas pelanggaran hukum internasional yang terjadi terkait pendudukan militer tersebut. Hasil pembahasan dan temuan tersebut akan dikaitkan serta dikonklusikan dengan situasi pendudukan militer yang dilakukan oleh Turki di wilayah Suriah.

  • II.    ISI MAKALAH

    • 2.1    Metode Penelitian

Penulisan artikel ini menggunakan penelitian hukum normatif, menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan, pendekatan analisis dan konsep hukum, dan pendekatan kasus. Sumber bahan hukum yang digunakan terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier.

  • 2.2    Hasil dan Pembahasan

    2.2.1    Pendudukan Menurut Hukum Internasional

Pengaturan pendudukan militer dalam hukum internasional termasuk dalam lingkup hukum humaniter internasional, yang pengaturannya terdapat dalam Hague Convention (IV) respecting the Laws and Customs of War on Land and its annex: Regulations concerning the Laws and Customs of War on Land (“Hague Convention IV 1907”), Geneva Convention relative to the Protection of Civilian Persons in Time of War of 12 August 1949 (“Konvensi Jenewa IV”), dan Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and Relating to the Protection of Victims of International Armed Conflicts (Protocol 1) of 8 June 1977 (“Protokol Tambahan I”).7 Namun disamping instrumen-instrumen tersebut, perlu dicatat bahwa hukum kebiasaan humaniter internasional juga berlaku dalam pendudukan militer.

Dalam Hague Convention IV 1907, pendudukan militer diatur pada Section III Pasal 42 sampai dengan Pasal 56. Tidak ada definisi yang universal atau diterima secara umum mengenai pendudukan militer, namun Pasal 42 Hague Convention IV 1907 mengatur sebagai berikut: “Territory is considered occupied when it is actually placed under the authority of the hostile army. The occupation extends only to the territory where such authority has been established and can be exercised”. Jika diterjemahkan secara bebas, dapat diartikan bahwa suatu wilayah dianggap diduduki ketika benar-benar berada dibawah kekuasaan militer musuh, pendudukan berada hanya di wilayah

dimana kekuasaan tersebut telah dan dapat dilaksanakan. Dari rumusan Pasal 42 di atas, dapat dipahami bahwa pendudukan merupakan suatu situasi de facto dibandingkan de jure. Sebab, pasal tersebut tidak mengatur tata cara memulai atau unsur-unsur formil dari sebuah pendudukan.

Selanjutnya diatur pada pasal-pasal berikutnya tentang hak dan kewajibanyang mengikat bagi occupying power. Dalam artikel ini, pasal-pasal tersebut tidak akan dicantumkan dan dijelaskan satu persatu, namun hanya pasal yang terkait dengan keselamatan warga sipil baik secara individu maupun kolektif.

Dalam Pasal 43 Hague Convention IV 1907, diatur bahwa:

“The authority of legitimate power having in fact passed into the hands of the occupant, the latter shall take all the measures in his power to restore, and ensure, as far as possible, public order and safety, while respecting, unless absolutely prevented, the laws in force in the country.”

Pasal 43 tersebut dapat dipahami bahwa dalam suatu pendudukan, kekuasaan beralih kepada occupying power dan pihak occupying power harus mengambil kebijakan-kebijakan yang dapat dilakukannya untuk mengembalikan dan memastikan ketertiban dan keamanan umum sebaik-baiknya, disamping juga menghormati hukum yang berlaku di wilayah negara tersebut apabila memungkin.

Pasal 45 Hague Convention IV 1907 melarang occupying power untuk memaksa warga penduduk sipil diwilayah yang didudukinya untuk menyediakan informasi tentang militer lawan atau tentang pertahanannya. Kemudian, Pasal 46 mewajibkan occupying power untuk menghormati martabat dan hak keluarga, kehidupan individu-

individu, properti pribadi, juga keyakinan beragamsa dan praktek beribadah. Properti pribadi tidak dapat disita. Selanjuntya, Pasal 47 melarang dilakukannya penjarahan.

Dalam Konvensi Jenewa IV, istilah ‘pendudukan’ (occupation) terdapat dalam Pasal 2 paragraf 2. Namun, sumber keberlakuannya terdapat pada paragraf 1, yang mengatur secara jelas bahwa disamping ketentuan yang berlaku pada waktu damai, konvensi tersebut berlaku pada waktu perang atau konflik bersenjata yang terjadi antara dua atau lebih negara anggota konvensi tersebut. Dalam kasus ini pendudukan dilakukan oleh Turki sebagai negara berdaulat, sedangkan Suriah adalah negara yang wilayahnya diduduki. Ketentuan yang mengatur tentang pendudukan militer terdapat dalam Section III dari Pasal 47 sampai dengan Pasal 78.

Menurut ICRC Commentary of 1958, keseluruhan pasal-pasal dalam Section III mengatur tentang perlakukan/tindakan yang harus diterima oleh warga sipil darioccupying power.8 Semua peraturan yang tercantum dalam Section III tersebut, merupakan pelengkap dari aturan-aturan dalam Section II dan Section III dari Hague Conventions 1899 dan 1907, sehingga membuat beberapa poin menjadi lebih jelas.9

Selanjutnya adalah Protokol Tambahan I. Dalam Protokol Tambahan I, tidak terdapat bagian khusus yang mengatur tentang pendudukan militer. Namun keberlakuan protokol ini tidak terpengaruh oleh status suatu wilayah, jadi meskipun suatu wilayah

dipersengketakan kedaulatannya, Protokol Tambahan I ini akan tetap berlaku. Perlindungan warga sipil yang diatur dalam Protokol Tambahan I lebih komprehensif dari apa yang diatur dalam Konvensi Jenewa IV. Meskipun demikian, tidak mengurangi keberlakuan Konvensi Jenewa IV dalam keadaan pendudukan.

  • 2.2.2    Peristiwa dan Tanggung Jawab atas Pelanggaran Hukum Internasional oleh Turki terkait Pendudukan di Suriah

Terdapat 2 (dua) konsep tanggung jawab yang dapat dikaitkan dalam kasus ini, yakni konsep tanggung jawab negara, dan konsep tanggung jawab pidana individu. Tanggung jawab negara timbul karena adanya tindakan suatu negara yang menimbulkan kerugian bagi negara lain. Sedangkan tanggung jawab pidana individu akan terkait dengan hukum pidana internasional, dimana para pelaku pelanggaran dapatdikenakan sanksi pidana secara individu.

Mengenai pendudukan militer oleh Turki, Pemerintah Suriah telah berulang kali menyatakan keberatan dan protes terhadap hal tersebut. Terutama mengenai dugaan tewasnya warga sipil di wilayah yang secara efektif dan de facto dikuasai oleh Turki. Dalam sebuah pertemuan Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jenewa, perwakilan Pemerintah Suriah melayangkan protes dan mengingatkan kepada forum tersebut bahwa keterlibatan Turki di wilayah Suriah membawa kesengsaraan bagi warga Suriah.

Sebelum menjadi wilayah dalam kondisi pendudukan, masuknya militer Turki ke wilayah Suriah Utara mendapat berbagai respon negatif dan kecaman. Dalam sebuah artikel Human Rights Watch pada Februari 2018, pasukan militer Turki ditengarai telah gagal melakukan

precautions untuk menghindari korban sipil dalam 3 (tiga) serangan bersenjata yang dilakukannya pada akhir 2018.10 Tiga serangan bersenjata tersebut terjadi pada tanggal 21, 27, dan 28 Januari 2018. Artikel tersebut melaporkan bahwa korban tewas mencakup 26 (dua puluh enam) warga sipil, dimana 17 (tujuh belas) diantaranya adalah anak-anak.11

Menurut artikel lain dari Amnesty International pada Februari 2018, sejumlah serangan-serangan yang dilakukan oleh militer Turki dan People’s Protection Units (YPG) telah menewaskan 93 (sembilan puluh tiga) warga sipil dan melukai 313 (tiga ratus tiga belas) warga sipil.12 Dari jumlah warga sipil tersbut, terdapat 24 (dua puluh empat) anak-anak yang tewas dan 52 (lima puluh satu) anak-anak yang terluka.13

Setelah berbagai serangan bersenjata, Turki menguasai beberapa wilayah di Suriah dan terjadilah kondisi pendudukan. Namun, kritik dan kecaman tetap terus terlontar. Cable News Network (CNN) dengan bersumber dari Syrian Observatory of Human Rights, menuliskan bahwa kelompok bersenjata yang didukung oleh Turki melakukan penjarahan properti pribadi, politik, dan objek militer.14 Peristiwa ini

juga ditulis oleh The New Arab, dengan menegaskan bahwa penjarahan tersebut terjadi secara meluas.15

Menurut Human Rights Watch pada Juni 2018,kelompok bersenjata Free Syrian Army (FSA) yang didukung oleh Turki, melakukan perampasan, penjarahan, dan penghancuran properti milik warga sipil Kurdi di Distrik Afrin, Suriah Utara.16 Artikel tersebut menegaskan bahwa Turki dan Free Syrian Army wajib melindungi warga sipil dari tindakan-tindakan tersebut dan harus memberikan kompensasi kepada warga yang propertinya telah disita, dihancurkan, atau dihancurkan.17

Tindakan-tindakan pelanggaran hak asasi manusia, telah berulang kali terjadi di wilayah yang sedang dikuasai oleh Turki. Oleh Amnesty International, Turki diminta untuk berhenti melakukan pelanggaran-pelanggaran serius yang dilakukan oleh pasukan militernya maupun kelompok bersenjata afiliasinya di Afrin.18 Pelanggaran yang dilakukan diantaranya berupa penyitaan properti termasuk harta benda lain, penjarahan, penahanan sewenang-

wenang, penghilangan paksa, serta penggunan bangunan sekolah untuk kepentingan militer.19

Pelanggaran-pelanggaran tersebut terus berlangsung. Pada akhir Mei 2019 tiga orang warga sipil di Afrin diculik oleh kelompok bersenjata, namun ketiganya berakhir dibunuh karena keluarganya tidak memberikan uang tebusan kepada penculik.20 Mengenai peristiwa-peristiwa seperti ini, berbagai sumber menyatakan bahwa Turki sebagai occupying power bertanggung jawab atas kejadian-kejadian yang dilakukan oleh kelompok bersenjata yang terafiliasi dengannya yang beroperasi di Afrin.21

Mengenai aturan-aturan yang berlaku sehubungan dengan peristiwa-persitiwa tersebut, Pasal 43 Hague Convention IV 1907 mengatur bahwa occupying power wajib melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk mengembalikan dan memastikan ketertiban dan keamanan masyarakat, kecuali dilarang oleh hukum yang berlaku di wilayah itu. Selanjutnya Pasal 33 Konvensi Jenewa IV melarang dilakukannya penjarahan warga sipil. Maka dapat diketahui bahwa occupying power wajib menegakkan hukum yang berlaku di wilayah yang didudukinya dan wajib melindungi warga sipil dari tindakan penjarahan.

Mengenai penahanan, Pasal 78 Konvensi Jenewa IV hanya memperbolehkannya jika terdapat imperative reasons of security. Sedangkan, dalam hukum kebiasaan internasional mengenai penahanan sewenang-sewenang adalah tindakan yang dilarang.22 Dijelaskan lebih lanjut bahwa aturan dalam hukum internasional itu pada dasarnya hanya membernarkan penahanan atas dasar suatu kebutuhan keamanan (security needs).23

Menangani penyitaan properti pribadi, Hague Convention IV 1907 juga melarang dilakukannya tindakan tersebut yang terdapat dalam Pasal 46. Sedangkan dalam hukum kebiasaan internasional, larangan penyitaan properti pribadi terdapat dalam Rule 51.24 Namun, keberlakuan aturan ini memiliki pengecualian sebagaimana diatur dalam Pasal 53 Hague Convention IV 1907.25

Samua aturan-aturan tersebut dapat diartikan sebagai bentuk tanggung jawab occupying power untuk dapat menegakkan aturan dan menjaga keamanan serta ketertiban sesuai hukum humaniter internasional dan hukum yang berlaku di wilayah itu. Untuk memenuhi kewajiban tersebut, Pasal 64 Konvensi Jenewa IV memberikan kewenangan terhadap occupying power menegakkan aturan-aturan tertentu terhadap warga sipil.

Dalam hal terjadinya pelanggaran, terdapat pertanggungjawaban yang timbul. Pertama adalah pertanggungjawaban oleh negara sebagaimana diatur dalam Articles on Responsibility of States for

Internationally Wrongful Acts (“ARSIWA”). Dalam Pasal 2 ARSIWA, pertanggungjawaban negara timbul akibat adanya tindakan atau pembiaran yang mengakibatkan pelanggaran atas kewajiban internasional. Dalam Pasal 28–Pasal 39 ARSIWA, pertanggungjawaban negara diberikan dalam bentuk restitusi, kompensasi, dan pemenuhan (satisfaction). Kompensasi sendiri adalah prinsip hukum internasional yang telah dikukuhkan oleh International Court of Justice.26

Selanjutnya mengenai pertanggungjawaban pidana individu, lingkupnya masuk dalam hukum pidana internasional yang diatur dengan Rome Statute of the International Criminal Court (“Statuta Roma”). Pertanggungjawaban individu tersebut diatur dalam Pasal 25 Statuta Roma, yang pada ayat (3) dapat ditemukan bahwa yang bertanggungjawab bukan hanya pelaku pelanggaran, namun juga individu yang membantu atau memfasilitasi dilakukannya pelanggaran. Dalam Pasal 8 ayat 2 (b) (xvi) Statuta Roma, tindakan penjarahan termasuk dalam Kejahatan Perang. Sedangkan penahanan sewenang-wenang termasuk Kejahatan terhadap Kemanusiaan, sebagaimana tercantum dalam Pasal 7 ayat 1 (e). Sedangkan, penyitaan properti yang dilakukan secara melawan hukum termasuk dalam Kejahatan Perang sebagaimana dilarang dalam Pasal 8 ayat 2 (a) (iv).

Maka jika dikaitkan dengan pendudukan militer oleh Turki di wilayah Suriah, Turki dapat diduga telah melakukan pelanggaran hukum internasional dengan tidak menjalankan kewajibannya sebagai occupying state. Dengan demikian timbul tanggung jawab negara oleh

Turki terhadap Suriah. Selain pertanggungjawaban negara, juga timbul pertanggungjawaban pidana individu pelaku sebagaimana diatur dalam Pasal 25 Statuta Roma dan bagi komandan militer Turki sebagaimana diatur dalam Pasal 28 Statuta Roma.

  • III.    PENUTUP

    • 3.1    Kesimpulan

  • 1.    Pengaturan tentang pendudukan militer dapat ditemukan dalam instrumen hukum Hague Convention IV 1907, Konvensi Jenewa IV, Protokol Tambahan I dan hukum kebiasaan internasional. Terkait pendudukan militer, sumber-sumber hukum tersebut pada intinya menekankan bahwa tanggung jawab berada pada occupying power. Dalam kasus ini Turki adalah occupying power di wilayah Suriah.

  • 2.    Pertanggungjawaban atas pelanggaran hukum internasional terkait pendudukan militer di wilayah Suriah dapat diatribusikan kepada Turki. Sebab, terdapat laporan-laporan dan temuan-temuan yang patut dijadikan dasar untuk mengklaim pertanggungjawaban negara dari Turki karena melanggar kewajiban internasional. Di samping itu, juga terdapat pertanggungjawaban pidana individu bagi pelaku dan/atau komandan militer Turki. Pertanggungjawaban pidana individu tersebut berada dalam lingkup hukum pidana internasional sebagaimana diatur dalam Statuta Roma.

  • 3.2    Saran

  • 1.    Kepada Turki, agar dapat memenuhi kewajiban sebagai occupying power menurut hukum internasional. Sebab, dengan patuh dan melaksanakan kewajiban tersebut, warga sipil tidak akan menjadi

korban yang tidak perlu dalam konflik bersenjata di wilayah yang dikuasainya. Suatu mekanisme pencegahan juga perlu diberlakukan, agar pelaku yang berpotensi membahayakan warga sipil dan/atau berpotensi menimbulkan korban warga sipil dapat diminalisir.

  • 2.    Kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa, agar secara imparsial dan akurat dapat terus mengawasi dan mengemukakan fakta mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh para pihak yang terkait dalam konflik bersenjata di Suriah. Hal tersebut perlu dilakukan, agar pelaku yang melakukan pelanggaran dapat dimintakan pertanggungjawabannya (baik individu atau negara) setelah konflik selesai.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Haryomataram, KGPH, 2005, Pengantar Hukum Humaniter, Jakarta, Raja Grafindo Persada

Henckaerts, Jean-Marie dan Louise Doswald-Beck, 2009, Customary International Humanitarian Law, New York, Cambridge University Press.

Matar, Linda dan Ali Kadri, 2018, Syria: From National Independence to Proxy War, Cham, Palgrave Macmillan.

JURNAL ILMIAH

D’Alema, Francesco, 2017, The Evolution of Turkey’s Syria Policy, IAI Working Papers 17, Institutio Affari Internazionnali

Humud, Carla E., Christopher M. Blanchard, dan Mary Beth D. Nikitin, 2019, Armed Conflict in Syria: Overview and U.S. Response, Congressional Research Service Report

Kasapoğlu, Can dan Sinan Ülgen, 2018, Operation Olive Branch: A Political – Military Assessment, Foreign Policy and Security 2018/2, EDAM Center for Economics and Foreign Policy Studies

Oztig, Lacin Idil, 2019, Syria and Turkey: Border-Security Priorities, Volume 26, Issue 1, Middle East Policy

INTERNET

Anchal Vohra, 2019, “Syria: Civilians face familiar threats in rebel-held areas”,                      Aljazeera,                      URL:

https://www.aljazeera.com/news/2019/02/syria-civilians-face-familiar-threats-rebel-held-areas-190216090203889.html

Anonim, “Prolonged Occupation or Illegal Occupant?”, European Society of International Law, URL:  https://esil-sedi.eu/prolonged-

occupation-or-illegal-occupant

Anonim, 2018, “Syria: Civilian Deaths in Turkish Attacks May be

Unlawful”,      Human      Rights      Watch,      URL:

https://www.hrw.org/news/2018/02/23/syria-civilian-deaths-turkish-attacks-may-be-unlawful

Anonim, 2018, “Syria: Hundreds of civilians lives at risk as Afrin

offensive    escalates”,    Amnesty    International,    URL:

https://www.amnesty.org/en/latest/news/2018/02/syria-hundreds-of-civilian-lives-at-risk-as-afrin-offensive-escalates

Anonim, 2018, “Syria: Turkey Must Stop Serious Violations by Allied Groups and Its Own Forces in Afrin”, Amnesty International USA, URL: https://www.amnestyusa.org/press-releases/syria-turkey-must-stop-serious-violations-by-allied-groups-and-its-own-forces-in-afrin/

Anonim, 2018, “Syria: Turkey-backed groups seizing property”, Human Rights     Watch,     URL:     https://www.refworld.org/cgi-

bin/texis/vtx/rwmain?page=search&docid=5b87de0b4&skip=0& query=Occupation%20Syria&coi=SYR&querysi=Afrin&searchin=f ulltext&sort=relevance

Anonim, 2018, “Widespread looting' in Afrin after Turkey and Syrian rebels expel Kurdish  force”,   The New Arab, URL:

https://www.alaraby.co.uk/english/news/2018/3/19/widespre ad-looting-in-afrin-after-turkey-expels-kurdish-force

International Committee of the Red Cross, “Commentary of 1958 Section III ‘OCCUPIED  TERRITORIES’”,  URL:  https://ihl-

databases.icrc.org/applic/ihl/ihl.nsf/Comment.xsp?action=open Document&documentId=62259F89D6497D91C12563CD0042C3 2E

Sirwan Kajjo, 2019, “Rights Group: Abuses on the Rise in Syria’s Afrin”, Voice of America, URL: https://www.voanews.com/extremism-watch/rights-groups-abuses-rise-syrias-afrin

INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL

Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts

Geneva Convention relative to the Protection of Civilian Persons in Time of War of 12 August 1949

Hague Convention (IV) respecting the Laws and Customs of War on Land and its annex: Regulations concerning the Laws and Customs of War on Land

Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and Relating to the Protection of Victims of International Armed Conflicts (Protocol I) of 8 June 1977

Rome Statute of the International Criminal Court

17