EKSPLOITASI DAN PELECEHAN SEKSUAL OLEH PASUKAN PENJAGA PERDAMAIAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA

(STUDI KASUS REPUBLIK DEMOKRATIK KONGO)

Oleh:

Olivia Martha SetyonugrohoI Gede Pasek Eka Wisanjaya∗∗ Made Maharta Yasa∗∗∗

Program Kekhususan Hukum Internasional, Fakultas Hukum, Universitas Udayana

ABSTRAK

Pasukan penjaga perdamaian PBB menjadi sorotan karena pelanggaran eksploitasi dan pelecehan seksual yang dilakukan anggotanya. Kasus terbesar terjadi dalam misi perdamaian di Demokratik Republik Kongo. Akan tetapi, para pelaku dalam kasus ini belum diadili hingga saat ini. Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini yaitu metode penelitian normatif dipadukan dengan pendekatan konseptual, perundang-undangan, perbandingan dan kasus. Berdasarkan penelitian, ditemukan fakta bahwa tindakan eksploitasi dan pelecehan seksual yang dilakukan oleh pasukan penjaga perdamaian PBB melanggar hukum HAM internasional dan hukum humaniter internasional. Namun, kurangnya penuntutan terhadap pelanggaran tersebut dikarenakan saat ini belum ada aturan yang jelas dalam hukum internasional mengenai pertanggungjawaban.

Kata kunci: Hukum Internasional; Eksploitasi dan Pelecehan Seksual; Pasukan    Penjaga    Perdamaian;    Perserikatan    Bangsa-Bangsa

Olivia Martha Setyonugroho adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana, oliviamarthau@gmail.com

∗∗ I Gede Pasek Eka Wisanjaya, SH.,MH. adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana, eka_wisanjaya@unud.ac.id

∗∗∗ Made Maharta Yasa, SH.,MH. adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana, maharta_yasa@unud.ac.id

ABSTRACT

Peacekeeping forces have been noted for violations of sexual exploitation and abuse conducted by their members. The biggest case occurred during a peacekeeping mission in the Democratic Republic of Congo. However, the perpetrators in the case at hand have not been tried until the present day. The method that is used in this writing is the normative legal research combined with conceptual, statutory, comparative, and case approach. Based on the research, it is found that the act of sexual exploitation and abuse by UN peacekeepers violates International Human Rights Law and International Humanitarian Law. However, the lack of prosecution for these violations is due to the fact that there are currently no clear rules in international law regarding responsibility.

Keywords:  International Law; Sexual Exploitation and Abuse;

Peacekeeping Force; United Nations

  • I.   PENDAHULUAN

    • 1.1.  Latar Belakang

Pada tahun 1919, Liga Bangsa-Bangsa (LBB)1 didirikan berdasarkan Perjanjian Versailles dengan tujuan mempromosikan kerjasama internasional dan mencapai perdamaian dan keamanan dunia.2 Namun, tercetusnya Perang Dunia II menunjukan bahwa LBB gagal mencapai tujuannya dan akhirnya dibubarkan pada tahun 1945.

Kemudian, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) didirikan sebagai penggantinya, suatu organisasi internasional untuk memfasilitasi penyelesaian permasalahan dalam hukum internasional,3 memelihara perdamaian dan keamananan internasional, serta menghubungkan persaudaraan antar bangsa, dan menjadi pusat kerjsama ekonomi, sosial, budaya antar bangsa. 4

Dalam rangka meyelesaikan konflik-konflik internasional

agar tercapai perdamaian dan keamanan internasional, PBB

mengirimkan Pasukan Penjaga Perdamaian atau United Nations Peacekeeping Force ke wilayah-wilayah terjadinya konflik.5 Namun, sejak awal tahun 2000-an muncul banyak tuduhan mengenai eksploitasi dan pelecehan seksual terhadap masyarakat lokal.

Menanggapi tuduhan tersebut, Majelis Umum PBB mengadopsi Resolution 57/306: Investigation into Sexual Exploitation of Refugees by Aid Workers in West Africa. Resolusi tersebut menugaskan Sekretaris Jenderal untuk menyelidiki dan melaporkan eksploitasi dan pelecehan seksual dan pelanggaran serupa yang dilakukan oleh pasukan penjaga perdamaian.6 Satu tahun setelah resolusi tersebut dikeluarkan, pada tahun 2004 kasus eksploitasi dan pelecehan seksual oleh sejumlah pasukan penjaga perdamaian di Republik Demokratik Kongo (Kongo) terungkap.7

Sejumlah media pada tahun 2004 melaporkan 150 dugaan pelecehan seksual oleh pasukan penjaga perdamaian United Nations Organization Mission in the Democratic Republic of Congo (MONUC), termasuk 68 kasus pemerkosaan, pedofilia, dan prostitusi.8 Dugaan tersebut ditambah dengan kasus penyiksaan,

serta rekaman video porno perempuan dan anak-anak Kongo bersama pasukan penjaga perdamaian PBB.9

Perhatian media internasional yang timbul dari tuduhan pelanggaran seksual oleh pasukan penjaga perdamaian MONUC di Kongo menyebabkan Sekretaris Jenderal PBB saat itu, Kofi Annan, menugaskan penyelidikan terhadap kasus tersebut. Investigasi ini dipimpin oleh Pangeran Zeid Ra'ad Zeid Al Hussein, mantan penjaga perdamaian sipil, perwakilan tetap Yordania untuk Dewan Keamanan PBB dan penasihat khusus tentang eksploitasi dan pelecehan seksual oleh pasukan penjaga perdamaian PBB. Selain itu, Office of Internal Oversight Services (OIOS) juga mulai melakukan penyelidikan mendalam mengenai kasus-kasus pelanggaran seksual yang dilakukan oleh pasukan penjaga perdamaian saat bertugas.

Terlepas dari segala upaya PBB untuk menyelidikinya, kasus ini masih terjadi dalam berbagai misi dan hingga saat ini tidak ada pertanggungjawaban baik dari negara pengirim pasukan maupun PBB dalam kasus eksploitasi dan pelecehan seksual yang terjadi dalam misi perdamaian MONUC dan MONUSCO.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimanakah pengaturan hukum HAM Internasional terhadap kejahatan eksploitasi dan pelecehan seksual yang dilakukan oleh Pasukan Penjaga Perdamaian PBB?

  • 2.    Bagaimanakah pertanggungjawaban PBB terhadap kejahatan eksplotasi dan pelecehan seksual yang dilakukan oleh Pasukan Penjaga Perdamaian di Republik Demokratik Kongo?

  • 1.3.    Tujuan

Menganalisa mengenai aturan-aturan dalam Hukum HAM Internasional terkait kejahatan eksploitasi dan pelecehan seksual yang dilakukan oleh Pasukan Penjaga Perdamaian PBB. Serta, menganalisa apakah PBB dapat dimintakan pertanggungjawaban atas tindakan pasukan penjaga perdamaian.

  • II.    ISI MAKALAH

    • 2.1.    Metode Penelitian

Penelitian hukum adalah suatu usaha atau proses yang menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu-isu hukum yang dihadapi.10 Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum kepustakaan yang datanya diperoleh dari mengkaji bahan-bahan pustaka, yang lazimnya disebut sebagai data sekunder,11 untuk menjawab permasalahan terkait.

Dalam penelitian hukum ini penulis menggunakan jenis pendekatan konseptual, perundang-undangan, perbandingan dan kasus12

  • 2.2.    Hasil dan Analisis

    • 2.2.1.    Pengaturan Hukum HAM Internasional Terhadap Kasus Eksploitasi dan Pelecehan Seksual oleh Pasukan Penjaga Perdamaian PBB

Hukum HAM internasional merupakan bagian dari landasan hukum operasi penjaga perdamaian PBB. Hukum HAM

internasional telah diakui dalam doktrin pemeliharaan perdamaian

PBB,13 yang menyatakan bahwa:

“International human rights law is an integral part of the normative framework for United Nations peacekeeping operations... United Nations peacekeeping operations should be conducted in full respect of human rights and should seek to advance human rights through the implementation of their mandates ... United Nations peacekeeping personnel should respect human rights in their dealings with colleagues and with local people, both in their public and in their private lives. Where they commit abuses, they should be held accountable.”14

Maka dari itu, pasukan penjaga perdamaian PBB, baik militer, polisi atau sipil, harus bertindak sesuai dengan hukum HAM internasional dan memahami bagaimana pelaksanaan tugas mereka bersinggungan dengan HAM. Pasukan penjaga perdamaian PBB harus menjadi organ utama yang menghormati dan memberikan perlindungan HAM.

Hukum HAM Internasional melarang eksploitasi dan pelecehan seksual karena tindakan tersebut melanggar hak-hak perempuan dan anak-anak perempuan, khususnya dalam keadaan konflik di Kongo. Beberapa instrumen HAM Internasional telah mencakup sejumlah ketentuan untuk membantu melindungi hak-hak perempuan dan anak-anak dan menjamin kesetaraan gender,15 serta memberikan hak untuk hidup dan keamanan seseorang. Sebagai contoh, Pasal 1 paragraph 3 UN Charter menyatakan bahwa salah satu tujuan PBB terletak pada “memajukan dan mendorong penghormatan terhadap hak asasi

manusia dan kebebasan mendasar bagi semua orang tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa, atau agama,”

Kemudian Universal Declaration of Human Rights (UDHR) menyatakan “everyone is entitled to all the rights and freedoms set forth in this Declaration, without distinction of any kind, such as race, color, sex, language, religion, political, or other opinion, national or social origin, property, birth or other status.”16 Namun, ketika pasukan penjaga perdamaian mengeksploitasi perempuan dan anak-anak secara seksual, itu menunjukan perbuatan yang bertentangan dengan hak-hak yang dijamin dalam instrumen-instrumen ini.

Kemudian, Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination against Woman (CEDAW) menyatakan diskriminasi terhadap perempuan sebagai pelanggaran HAM.17 Committee on the Elimination of Discrimination against Women telah mengakui kekerasan seksual sebagai bentuk diskriminasi dalam General Recommendation no. 19 yang menyatakan bahwa:

“Gender based violence, which impairs or nullifies the enjoyment by women of human rights and fundamental freedoms under general international law or under human rights conventions, is discrimination within the meaning of Article 1 of the Convention. These rights and freedoms include: (a) The right to life; (b) the right not to be subject to torture or to cruel, inhuman or degrading treatment or punishment; (c) The right to equal protection according to humanitarian norms in time of international or armed conflict; (d) the right to liberty and security of person; (e) The right to equal protection under the law; (f) The right to equality in the family; (g) The right to the highest standard attainable of physical and mental health; (h) The right to just and favorable conditions of work.”18

Hak asasi yang dilanggar termasuk hak yang terkait dengan kesetaraan gender dan kebebasan dari diskriminasi,19 hak atas pendidikan,20 hak atas kebebasan,21 hak atas kesehatan,22 hak atas pembangunan,23 hak atas keluarga dan pernikahan.24 Ini juga termasuk pelanggaran hak atas kebebasan dari penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi dan merendahkan martabat,25 kebebasan dari perbudakan,26 dan hak untuk mendapat akses keadilan.27 Dalam kasus-kasus pelanggaran HAM berat hal ini bisa mengarah pada pelanggaran hak fundamental untuk hidup.28

Selain melanggar hak-hak tersebut, pasukan penjaga perdamaian juga melanggar kewajiban due diligence yang mewajibkan PBB untuk memastikan penghormatan terhadap hukum HAM internasional ketika bertugas.29

  • 2.2.2.    Pertanggungjawaban PBB Terhadap Kejahatan Eksplotasi dan Pelecehan Seksual oleh Pasukan Penjaga Perdamaian di Republik Demokratik Kongo

Organisasi internasional merupakan subjek hukum internasional, karena itu memiliki kewajiban untuk mematuhi hukum internasional. Segala perbuatan yang tidak sesuai dengan hukum internasional merupakan pelanggaran hukum internasional yang disebut dengan perbuatan melawan hukum.30 Lebih khusus dalam Pasal 3 Draft Articles on the Responsibility of International Organization (DARIO) mengatur bahwa organisasi internasional bertanggung jawab atas segala perbuatan yang dipersalahkan secara internasional yang dilakukannya.

Kemudian Pasal 4 DARIO menentukan 2 (dua) elemen yang yang harus dipenuhi agar PBB dapat dimintakan pertanggungjawaban atas tindakan yang dipersalahkan, yaitu tindakan tersebut teratribusi dengan PBB dan tindakan tersebut merupakan pelanggaran kewajiban internasional. Lebih lanjut pasal ini menyatakan, “The conduct of an organ ... of an international organization in the performance of functions of that organ ... shall be considered as an act of that organization under international law whatever position the organ ... holds in respect of the organization.”

Atribusi PBB dengan pasukan penjaga perdamaian dapat diketahui dengan membuktikan apakah pasukan penjaga perdamaian adalah agen/organ dari PBB dan melakukan tindakannya dibawah official capacity (kapasitas resmi). Kemudian, elemen kedua yang diatur dalam Pasal 4 DARIO, yaitu tindakan pasukan penjaga perdamaian merupakan suatu pelanggaran kewajiban hukum internasional. Kewajiban internasional yang dimaksud adalah kewajiban untuk menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

  • a)   Pelanggaran Eksploitasi dan Pelecehan Seksual oleh

Pasukan Penjaga Perdamaian tidak dapat diatribusikan kepada PBB

Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan bahwa, “As a subsidiary organ of the United Nations, an act of a peacekeeping force is, in principle, imputable to the Organization, and if committed in violation of an international obligation entails the international responsibility of the Organization and its liability in compensation.”31

Berdasarkan     pernyataan     itu,     PBB     dapat

dipertanggungjawabkan atas dasar status pasukan penjaga perdamaian sebagai organ tambahan dari PBB. Bahkan, doktrin tanggung jawab organisasi internasional yang diatur dalam Pasal 6 DARIO menganggap PBB bertanggung jawab atas perilaku resmi agennya, jika perilaku itu melebihi wewenang agen itu. Namun, PBB tidak bertanggung jawab atas tindakan pribadi dari pasukan militernya.32

Berkaitan dengan hal tersebut Commentary Pasal 5 DARIO menyatakan:

“Military personnel placed by Member States under UN command although remaining in their national service, are for the duration of their assignment to the force, considered international personnel under the authority of the United Nations and subject to the instructions of the Force Commander ... [and] bound to discharge their functions with the interest of the United Nations only in view.”

Kemudian Pasal 8 DARIO mengatur,

“The conduct of an organ or agent of an international organization shall be considered an act of that organization under international law if the organ or agent acts in an official capacity and within the overall functions of that organization, even if the conduct exceeds the authority of that organ or agent or contravenes instructions.”

Pasal-pasal diatas menunjukan bahwa suatu tindakan dapat diatribusikan jika penjaga perdamaian melakukan fungsi-fungsi atau melakukan tindakan di bawah otoritas resmi dan mandat PBB. Oleh karena itu, berkaitan dengan kasus eksploitasi dan pelecehan seksual yang terjadi dalam misi perdamaian MONUC dan MONUSCO, tindakan yang dilakukan oleh pasukan penjaga perdamaian jelas tidak dilakukan dalam kapasitas resmi melainkan dalam kapasitas pribadi.

Maka, pada umumnya atribusi PBB tidak dapat dibuktikan mengingat bahwa tindakan ini dianggap sebagai tindakan dalam kapasitas pribadi. Selain tidak adanya atribusi, fakta bahwa PBB dan pasukan penjaga perdamaian memiliki hak imunitas juga menjadi penyebab sulitnya PBB dimintakan pertanggungjawaban.

  • b)    Hak Imunitas Pasukan Penjaga Perdamaian

Perserikatan Bangsa-Bangsa menikmati hak istimewa dan kekebalan (imunitas) di wilayah negara-negara anggotanya, yang diperlukan untuk memenuhi tujuan-tujuannya.33 Peraturan hak tersebut lebih lanjut menyatakan bahwa hak istimewa yang serupa harus diberikan kepada anggota dan pejabat PBB, agar memungkinkan mereka untuk melaksanakan fungsi yang diberikan kepada mereka atas nama organisasi. Ketentuan ini telah dilengkapi dengan konvensi, yaitu Convention on The

Privileges and Immunities of The United Nations 1946 (Konvensi Imunitas), yang menyatakan bahwa:

The United Nations, its property and assets wherever located and by whomsoever held, shall enjoy immunity from every form of legal process except insofar as in any particular case it has expressly waived its immunity shall extend to any particular case it has expressly waived its immunity. It is, however, understood that no waiver o£ immunity shall extend to any measure of execution.34

Dalam hal ini, pasukan penjaga perdamaian sebagai organ tambahan PBB juga menikmati hak imunitas yang sama dengan PBB. Hak imunitas sangat penting ketika menyangkut pasukan penjaga perdamaian PBB yang dikirim ke lingkungan politik yang tidak stabil. Maka agar operasi dan personelnya dapat menjalankan mandat mereka, mereka memerlukan jaminan bahwa mereka akan dibebaskan dari tuntutan hukum.

Menurut ICJ, ketentuan dalam Convention on The Privileges and Immunities of The United Nations (Konvensi Imunitas) memberi PBB kekebalan penuh dari proses hukum apa pun di pengadilan domestik, untuk tindakan yang dikaitkan dengan organisasi.35 Mahkamah semakin menegaskan dalam putusan lain bahwa tindakan oleh angkatan bersenjata yang melakukan tugas di luar negeri dilindungi oleh kekebalan absolut.36

Lebih lanjut lagi, Paragraf 15 Status of Force Agreement (SOFA) antara PBB dan Negara Penerima menyatakan, “The United Nations peace-keeping operation, as a subsidiary organ of the United Nations, enjoys the status, privileges and immunities of the United Nations.” Ketentuan ini menandakan bahwa negara penerima telah setuju untuk memberikan imunitas kepada anggota pasukan penjaga perdamaian PBB sesuai dengan Konvensi Imunitas.37 Akan tetapi, MOU antara PBB dan Negara Pengirim memberikan Negara Pengirim yurisdiksi eksklusif untuk mengadili Military Members of National Contingent (MMsNC) mereka sendiri.38 Aspek yang bermasalah dalam hal kekebalan seperti yang ditetapkan dalam MOU tersebut, adalah bahwa Negara Pengirim jarang menuntut pasukannya yang diperbantukan atas kejahatan yang dilakukan di Negara Penerima.

Pada dasarnya pasukan penjaga perdamaian tidak benar-benar mendapatkan perlindungan imunitas ketika mereka melakukan pelanggaran serius terhadap HAM di luar ruang lingkup tugas resmi mereka, hak imunitas hanya untuk melindungi pasukan penjaga perdamaian dari setiap tindakan yang diambil oleh Negara Penerima.39 Karena sebagian besar kejahatan oleh pasukan penjaga perdamaian tidak diragukan lagi merupakan pelanggaran HAM, seperti kasus eksploitasi dan pelecehan seksual dalam misi perdamaian MONUC dan MONUSCO.

Berkaitan dengan hal tersebut Sekretaris Jenderal PBB memiliki keleluasaan untuk melepaskan kekebalan dalam kasus-kasus ketika ia menganggap bahwa kekebalan akan menghambat jalannya penegakan keadilan, dan ketika itu tidak akan

bertentangan dengan kepentingan PBB.40 Ini menunjukkan hak imunitas hanya melindungi tindakan yang dilakukan dalam kapasitas resmi, bukan dalam kapasitas pribadi.

Selain itu, dengan melepaskan kekebalan dalam kasus-kasus pelanggaran HAM akan meningkatkan legitimasi PBB, dan diperlukan untuk memperkuat kepercayaan di antara orang-orang lokal yang tinggal di daerah-daerah di mana operasi pemeliharaan perdamaian diamanatkan. Ini juga akan memfasilitasi pekerjaan pemeliharaan perdamaian, yang diharapkan dapat memperbaiki situasi di daerah tugas. Namun, di sisi yang berlawanan, pelepasan kekebalan menghambat fungsi PBB, dan dapat menghalangi keinginan negara-negara anggota untuk berkontribusi mengirimkan pasukan penjaga perdamaian.41

Organisasi internasional cenderung tidak melepaskan kekebalan mereka dalam kasus-kasus kontroversial mengenai masalah-masalah sipil dan HAM. Ini bisa dikatakan melanggar HAM terkait hak akses ke pengadilan yang tidak memihak.42 Lebih lanjut dalam kasus Mothers of Srebrenica,43 ICJ menyatakan bahwa aturan kekebalan hanya bersifat prosedural, karenanya pelanggaran jus cogens bukanlah masalah konflik norma dan karenanya tidak akan mempengaruhi penerapan kekebalan.

Perlunya forum alternatif bagi individu untuk memiliki hak atas persidangan yang adil telah diatur dalam Pasal 6 European convention on Human Rights (ECHR). Kemudian dalam hal penuntutan dihadapan International Criminal Court (ICC) terhadap pasukan penjaga perdamaian PBB, berdasarkan pasal 13(b) Statuta Roma adalah memungkinkan jika Dewan Keamanan PBB merujuk kejahatan tersebut kepada Jaksa ICC.

  • III.    PENUTUP

    • 3.1.    Kesimpulan

      • 3.1.1.    Berbagai instrumen dan kasus hukum terkait HAM mengatur bahwa pasukan penjaga perdamaian harus menghormati aturan-aturan HAM tersebut ketika sedang bertugas. Dengan demikian, eksploitasi dan pelecehan seksual yang dilakukan oleh pasukan penjaga perdamaian dalam misi perdamaian di Kongo telah melanggar Hukum HAM Internasional.

      • 3.1.2.    Tanggung jawab PBB dalam kasus ini akan sulit dimintakan karena pelanggaran eksploitasi dan pelecehan seksual oleh pasukan penjaga perdamaian tidak teratribusi dengan PBB, tindakan tersebut dilakukan dalam kapasitas pribadi dan karena pasukan penjaga perdamaian dilindungi oleh hak imunitas PBB.

    • 3.2.    Saran

      • 3.2.1.    PBB harus membuat suatu kompilasi pengaturan mengenai kerangka hukum pasukan penjaga perdamaian Kompilasi pengaturan tersebut harus memuat SOFA dan Participation Agreement yang lebih jelas mengenai pertanggungjawaban terhadap kerugian yang ditimbulkan akibat pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pasukan penjaga perdamaian selama bertugas dalam misi dimana pelanggaran tersebut dilakukan diluar fungsi dan tugas resmi mereka.

Sehingga akan membantu semua pihak memahami hak dan kewajiban, serta konsekuensi keterlibatannya.

  • 3.2.2.     PBB harus menyediakan mekanisme pencegahan atau

mendorong negara-negara untuk mengambil tindakan lebih lanjut terhadap kejahatan eksploitasi dan pelecehan seksual. Sebagai tindakan pencegahan, misalnya peningkatan kesadaran dengan membawa pelaku ke pengadilan.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Ambarwati et. al., 2009, Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional, PT Raja Grafindo, Jakarta

Mauna, Boer, 2010, Hukum Internasional; Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global Edisi ke-2, PT. Alumni, Bandung

Evans, Malcolm D., 2006, International Law 2nd Edition, Oxford University Press, United States

Marzuki, Peter Mahmud, 2008, Penelitian Hukum, Kencana,

Jakarta

_______ , 2009, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta

Jurnal

Muna Ndulo, 2009, “The United Nations Responses to the Sexual Abuse and Exploitation of Women and Girls by Peacekeepers During Peacekeeping  Mission”,  Cornell Law Faculty

Publications,                                          URL:

https://scholarship.law.cornell.edu/cgi/viewcontent.cgi?arti cle=1058&context=facpub

Ralph Wilde, 2006, “Enhancing Accountability at the International Level: The Tension between International Organizations and Member State Responsibility and the Underlying Issues at Stake”, ILSA Journal of International & Comparative Law Vol 12:319,                                              URL:

https://heinonline.org/HOL/Page?handle=hein.journals/ilsa ic12&collection=jessup&id=405&startid=&endid=426

William J. Durch, et.,al, 2003, “The Brahimi Report and the Future of UN Peace Operations”, The Henry L. Stimson Center, URL:

https://www.stimson.org/sites/default/files/file-attachments/BR-CompleteVersion-Dec03_1.pdf

Peraturan Perundang-undangan

Convention Against Torture

Convention on the Elimination of Discrimination against Women

Convention on the Privileges and Immunities of The United Nations

Convention on the Rights of the Child

International Convention on Elimination of All Forms of Racial Discrimination

International Covenant on Civil and Political rights

International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights Statuta Roma 1998

United Nations Charter 1945

United Nations Peacekeeping Operations: Principles and Guidelines Universal Declaration of Human Rights 1948

Kasus Hukum

Difference Relating to Immunity from Legal Process of a Special Rapporteur of the Commission on Human Rights, Advisory Opinion, ICJ Rep. 1999, para. 66, URL: https://www.icj-cij.org/files/case-related/100/100-19990429-ADV-01-00-EN.pdf

Jurisdictional Immunities of the State (Germany v. Italy: Greece Intervening), Judgment, ICJ Rep. 2012, URL: https://www.icj-cij.org/files/case-related/143/143-20120203-JUD-01-00-EN.pdf

Legality of the Threat or Use of Nuclear Weapons, ICJ, Advisory Opinion, 8 July 1996, URL:   https://www.icj-

cij.org/files/case-related/95/095-19960708-ADV-01-00-EN.pdf

Stitching Mothers of Srebrenica and Others v. the Netherlands, ECtHR, App. No. 65542/12,  11 June 2013, URL:

http://hudoc.echr.coe.int/eng?i=001-122255

Internet

Kate Holt dan Sarah Hughes, 2004, “SA soldiers fingered in DRC abuse scandal” URL: https://www.iol.co.za/news/africa/sa-soldiers-fingered-in-drc-abuse-scandal-216925

Kate Holt, 2004,  “DR Congo's shameful sex secret”,  URL:

http://news.bbc.co.uk/2/hi/africa/3769469.stm

Report of the United Nations Secretary-General, “Measures to strengthen accountability at the United Nations”, U.N. Doc. A/60/312,                                      URL:

https://www.unsceb.org/system/files/Finance%20%26%20 Budget%20Network/Governance%2C%20Audit%20and%20O versight/startGOA/07/A60312.pdf

Secretary-General Kofi Annan, 2004, Secretary-General ‘Absolutely Outraged’ By Gross Misconduct By Peacekeeping Personnel In Democratic Republic Of Congo, U.N. Doc. SG/SM/9605, URL: https://www.un.org/press/en/2004/sgsm9605.doc.htm

UN Secretariat, 2004, “Responsibility of International Organizations: Comments and Observations Received from International Organizations”, 56th sess, UN Doc A/CN.4/545, URL:

http://legal.un.org/ilc/documentation/english/a_cn4_545.p df

18