PELAKSANAAN PENERTIBAN PEDAGANG DI KAWASAN PURA BESAKIH KABUPATEN KARANGASEM
on
PELAKSANAAN PENERTIBAN PEDAGANG DI KAWASAN PURA BESAKIH KABUPATEN KARANGASEM∗
Oleh:
Ni Luh Kris Junianti•∗
Dewa Nyoman Rai Asmara Putra∗∗
Program Kekhususan Hukum Pemerintahan, Fakultas Hukum Universitas Udayana
ABSTRAK
Perkembangan aktivitas pedagang yang menjajakan barang atau jasanya secara langsung di kawasan Pura Besakih saat ini berkembang sangat pesat. Hal ini membawa pengaruh negatif terhadap citra pariwisata dikarenakan telah mengganggu ketertiban dan kenyamanan pengunjung. Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Karangasem Nomor 4 tahun 2013 dibuat regulasi tentang ketertiban umum terkait dengan larangan bagi pedagang seperti disebutkan diatas yang dimuat dalam ketentuan pasal 16 ayat (1). Adanya kesenjangan antara peraturan dengan implementasinya menimbulkan persoalan yaitu terkait pelaksanaan penertiban dan faktor penghambat dalam efektivitas pelaksanaan penertiban terhadap pedagang yang telah melanggar. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode penelitian hukum empiris yaitu penelitian dengan melihat dari sudut pandang hukum dan efektivitasnya di masyarakat.
Dalam pemerintahan daerah, ketertiban umum merupakan urusan wajib yang kewenangan pengelolaannya berada pada Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Daerah Kabupaten Karangasem terkait pelaksanaan penertiban pedagang di kawasan Pura Besakih berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Karangasem Nomor 4 tahun 2013 belum terlaksana dengan efektif. Faktor penghambat pelaksanaannya disebabkan oleh adanya ketidakserasian antara Peraturan Daerah dengan hukum adat Besakih yaitu dalam penerapan sanksinya, hukum adat tidak mengacu pada Peraturan Daerah Kabupaten Karangasem, kurangnya ketegasan dari aparat penegak hukum dan kurangnya kesadaran masyarakat terhadap larangan untuk tidak berjualan di kawasan bebas pedagang, sehingga dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan penertiban pedagang di kawasan Pura Besakih berdasarkan Peraturan Daerah
∗ Ringkasan diluar skripsi.
•∗ Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana.
∗∗Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Kabupaten Karangasem Nomor 4 tahun 2013 belum efektif karena dalam pelaksanaannya terdapat tiga faktor penghambat yaitu adanya ketidakserasian antara hukum itu sendiri, faktor mentalitas penegak hukum yang kurang tegas dan faktor kepatuhan hukum masyarakat.
Kata Kunci: Ketertiban, Pedagang, Pura Besakih
ABSTRACT
The development of the activities of traders who sell goods or services directly in the Pura Besakih region is currently developing very rapidly. This has a negative influence on the image of tourism because it has disturbed the order and comfort of visitors. In the Regional Regulation of the Regency of Karangasem Number 4 of 2013 a regulation concerning public order was made regarding the prohibition for traders as mentioned above as contained in the provisions of article 16 paragraph (1). The existence of a gap between the regulations and their implementation raises a problem, namely related to the implementation of enforcement and inhibiting factors in the effectiveness of the implementation of control of traders who have violated. The method used in the research is empirical legal research method that is research by looking at it from a legal point of view and its effectiveness in society.
In regional government, public order is a mandatory business whose management authority rests with the Provincial Government and the Regency / City Government. Karangasem Regency related to the enforcement of traders in the Pura Besakih area based on the Regional Regulation of Karangasem Regency Number 4 of 2013 has not been implemented effectively. The inhibiting factor is caused by the incompatibility between the Regional Regulations and the Besakih customary law, namely in the application of sanctions, customary law does not refer to the Karangasem District Regulation, lack of firmness from law enforcement officials and lack of public awareness of the prohibition of selling in traders-free areas. It can be concluded that the enforcement of traders in the Pura Besakih region based on the Regional Regulation of Karangasem Regency Number 4 of 2013 has not been effective because in its implementation there are three inhibiting factors, namely the inconsistency between the law itself, the law enforcement mentality factor that is less assertive and community legal compliance.
Keywords: Discipline, Traders, Besakih Temple
Dalam kancah Nasional hingga Internasional, Bali merupakan salah satu pulau yang dikenal dengan keindahannya, bahkan hingga saat ini Bali telah menyandang predikat sebagai salah satu pulau tercantik se-Asia dengan berbagai keindahan alam dan budayanya. Masing-masing pantai yang memiliki pesona tersendiri serta keunikan budayanya, membawa Bali menjadi tempat destinasi wisata yang selalu ingin dikunjungi. Biasanya kegiatan pariwisata yang dilakukan disini lebih pada pemenuhan kebutuhan yang modern seperti berlibur atau disebut sebagai vacational tourism.1
Perkembangan pariwisata di Bali dapat membawa pengaruh positif yaitu memberikan peluang usaha bagi masyarakat sebagai sumber mata pencaharian seperti halnya menjadi seorang pedagang. Dewasa ini berjualan barang atau jasa di tempat-tempat yang menjadi daya tarik wisata merupakan pekerjaan yang menjanjikan karena hampir setiap harinya selalu ada wisatawan yang berkunjung. Namun kadang kala hal ini juga membawa pengaruh negatif karena dalam pelaksanaannya, masyarakat menjajakan barang atau jasanya sering kali tidak sesuai dengan batas-batas yang telah ditentukan.
Dalam ketentuan Pasal 16 ayat (1) Peraturan Daerah Kabupaten Karangasem Nomor 4 Tahun 2013 tentang Ketertiban Umum (selanjutnya disebut Perda Kab. Karangasem No. 4 tahun 2013) telah ditentukan bahwa pedagang dilarang menjajakan dagangannya baik itu berupa barang atau jasa secara langsung yang dapat memberikan kesan mengganggu ketertiban, kenyamanan dan kebersihan di kawasan jalan, objek wisata dan
tempat umum lainnya. Melihat implementasi di masyarakat, ketentuan pasal tersebut terlihat belum dapat diimplementasikan dengan baik, seperti halnya yang terjadi di kawasan Pura Besakih.
Pura Besakih adalah pura terbesar di Bali namun disisi lain juga merupakan salah satu daya tarik wisata yang utama di Bali. Kurangnya penataan terhadap pedagang yang menjajakan barang secara langsung kepada konsumen memberikan kesan bahwa pura yang dikenal sebagai tempat yang disucikan oleh umat hindu namun kenyataannya terlihat seperti pasar. Terlebih lagi pada hari Panca Wali Krama, ini membuat banyak pedagang yang berjualan dengan cara menjajakan barang/jasanya secara langsung, bahkan di sepanjang jalan menuju ke Penataran Agung Besakih banyak pedagang yang kerap kali dengan cara memaksa menjajakan barang atau jasanya. Fenomena ini menjadi suatu permasalahan yang harus dipertimbangkan karena hal ini akan berdampak pada citra pariwisata dan kenyamanan seseorang khususnya bagi wisatawan yang berwisata dan pemedek dalam melakukan persembahyangan.
Terkait problematika yang terjadi, Pemerintah dalam hal ini telah mengatur mengenai tentang ketertiban umum yaitu terkait larangan pedagang dalam menjajakan dagangan yang berakibat dapat mengganggu ketertiban umum, namun kenyataannya sampai saat ini masih banyak pedagang yang berjualan dengan cara menjajakan dagangannya secara langsung kepada pembeli dengan cara memaksa, sehingga berdasarkan pada uraian diatas, maka penulis melakukan penelitian dan menuangkannya dalam bentuk jurnal ilmiah yang berjudul “Pelaksanaan Penertiban Pedagang di Kawasan Pura Besakih Kabupaten Karangasem”
-
1. Bagaimana pelaksanaan penertiban pedagang berdasarkan Perda Kabupaten Karangasem No. 4 tahun 2013 di Kawasan Pura Besakih?
-
2. Apa faktor penghambat dalam efektivitas pelaksanaan penertiban tersebut?
Dalam menulis jurnal ini, penulis bertujuan untuk melihat dan menganalisis pelaksanaan penertiban pedagang yang dilarang dalam Peraturan Daerah Kabupaten Karangasem Nomor 4 tahun 2013 serta mengetahui faktor penghambat dalam efektivitas pelaksanaan penertiban para pelanggar.
Penulis dalam melakukan penulisan, jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis empiris. Penggunaan jenis penelitian ini dikarenakan dalam melakukan penulisan, penulis melihat dari sudut pandang yuridis dan sosiologis yaitu sesuai dengan bagaimana implementasi bekerjanya hukum yang terjadi di masyarakat. Ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perkembangan ilmu hukum baik dari faktor kaidah hukum, penegakan hukum, sarana dan prasarana penegak hukum serta kesadaran masyarakat.2 Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan Perundang-undangan dan Pendekatan Fakta.
-
2.2 Hasil dan Analisis
-
2.2.1 Pelaksanaan Penertiban Pedagang Berdasarkan Perda
-
Kabupaten Karangasem No. 4 tahun 2013 di Kawasan Pura Besakih
Kawasan Pura Besakih merupakan salah satu bagian dari Sad Kahyangan dimana selain merupakan tempat suci bagi umat Hindu, dewasa ini juga dijadikan sebagai kawasan objek wisata, sehingga diperlukan adanya penataan di kawasan tersebut agar terciptnya ketertiban dan kenyamanan bagi pengunjung baik itu wisatawan ataupun pemedek.
Pemerintahan di Indonesia menganut sistem pemerintahan otonomi daerah artinya bahwa adanya pembagian kekuasaan yaitu antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dalam hal ini daerah otonom dalam mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat diberikan hak, wewenang dan kewajiban sendiri. Dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 (selanjutnya disebut UU Pemda), terkait dengan urusan pemerintahan dijelaskan bahwa urusan pemerintahan dibagi menjadi urusan absolut, konkuren dan umum. Urusan konkuren dalam ketentuan pasal 11 UU Pemda dibagi menjadi dua yaitu urusan pemerintah wajib dan urusan pemerintah pilihan yang kewenangannya dibagi antara pemerintah pusat, daerah provinsi dan daerah Kabupaten/Kota.
Terkait dengan masalah ketertiban, telah dikualifikasikan sebagai urusan pemerintah wajib kaitannya dengan pelayanan dasar yang kewenangannya berada pada dinas daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dinas daerah yang dimaksud adalah Satuan Polisi Pramong Praja (selanjutnya disebut Satpol PP) Provinsi dan
Kabupaten/Kota.3 Dalam kegiatan administrasi Negara, kewenangan merupakan dasar pelaksanaan administrasi Negara sehingga perlu adanya kejelasan kewenangan agar tujuan pelaksanaan kegiatan administrasi bisa tercapai sesuai dengan tujuan Negara.4
Seperti yang dijelaskan diatas, Pemerintah Daerah Kabupaten Karangasem (Pemda Kab. Karangasem) memiliki kewenangan dalam pengaturan mengenai segala kegiatan yang dapat mengganggu ketertiban umum di kawasan pura Besakih, seperti halnya kegiatan perdagangan. Perdagangan adalah salah satu pekerjaan membeli atau menjual suatu barang/jasa dengan tujuan utama adalah memperoleh keuntungan. Karena merupakan salah satu kegiatan yang menjanjikan maka kerap kali banyak pedagang yang berjualan dengan tidak berlandaskan pada aturan yang ada sehingga oleh pemerintah Kabupaten Karangasem yaitu dalam bentuk Perda Kab. Karangasem No. 4 tahun 2013 pada ketentuan pasal 16 ayat (1) telah diatur mengenai larangan bagi pedagang yaitu larangan berjualan dengan cara menjajakan barang/jasanya secara langsung ditempat seperti jalan, objek wisata dan tempat umum lainnya.
Klasifikasi pedagang yang dilarang adalah pedagang yang dalam melakukan pekerjaannya tanpa memperoleh izin, lisensi, dispensasi dan lain-lain untuk melakukan kegiatan perdagangan di kawasan-kawasan yang telah dibatasi sebagai zona bebas pedagang dan pedagang yang dengan cara memaksa menyodorkan barang/jasanya kepada pembeli sehingga mengakibatkan
timbulnya gangguan kenyamanan dan ketertiban bagi orang lain. Seperti halnya pedagang asongan dan pedagang canang yang menjajakan barangnya secara memaksa di tempat-tempat yang telah dilarang sebagai area berjualan seperti di Wantilan Balai Sesana, ruang lingkup pura yaitu jeroan, madya dan jaba agung pura, sehingga perlu dilakukan penertiban oleh Dinas daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota agar tercipta ketertiban di kawasan tersebut.
Dinas daerah yang berwenang dalam melakukan penegakan hukum Perda No. 4 tahun 2013 adalah Satuan Polisi Pramong Praja Kabupaten Karangasem (selanjutnya disebut Satpol PP Kab. Karangasem). Hal ini didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2010 pada ketentuan pasal 1 angka 8 yang menyatakan bahwa Satpol PP merupakan bagian dari perangkat daerah yang bertugas untuk melakukan penegakan Perda dan penyelenggaraan ketertiban umum serta ketentraman masyarakat, dimana dalam melaksanakan tugasnya berpedoman pada UU Pemda dan Permendagri No. 54 tahun 2011.
Namun di kawasan pura Besakih juga memiliki Badan Pengelola Kawasan Pura Agung Besakih yang dibentuk berdasarkan Peraturan Gubernur Nomor 51 tahun 2016. Sebagai pelaksana di lapangan, Badan pengelola tersebut membentuk Managemen Operasional, sehingga pengelolaan kawasan Pura Besakih terdiri dari Managemen Operasional, Desa Adat Pekraman Besakih dan Desa Dinas atau lazim disebut Tri Pilar yang tugasnya adalah mengelola pawongan dan palemahan di kawasan pura Besakih agar tercipta ketertiban dan kenyamanan. Dasar pelaksanaannya adalah pararem Nomor 37/DAB/VIII/2017.
Menciptakan kawasan tertib Pedagang di pura Besakih dalam hal ini diperlukan adanya penegakan hukum agar Perda
Kab. Karangasem No. 4 tahun 2013 dapat berlaku efektif di masyarakat. Penegakan hukum tersebut memiliki arti yang sangat luas yaitu segi preventif dan represif. Segi preventif adalah penegakan hukum berupa pemberian pemahaman kepada pelaku yang telah melakukan pelanggaran, sedangkan represif adalah penegakan hukum berupa sanksi yang diberikan oleh pejabat berwenang kepada pelaku yang melakukan pelanggaran.5
Menurut hasil wawancara penulis dengan Kepala Satpol PP I Ketut Wage Saputra pada tanggal 7 Mei 2019, beliau mengatakan bahwa dengan berkembangnya laju pariwisata di Bali khususnya di Pura Besakih dengan jumlah pedagang yang semakin bertambah terlebih lagi saat upacara besar seperti upacara Panca Wali Krama di Pura Besakih, hal ini tentunya menyulitkan pelaksanaan penertiban, sehingga dalam hal ini Satpol PP dalam pelaksanaan tugasnya menjalin kerjasama dengan Tri Pilar untuk melakukan penjaringan.Tindakan diawali dengan pemantauan, penyusunan waktu yang tepat dan penyergapan. Setelah itu dilakukan tindakan preventif yaitu dalam bentuk pemberian pemahaman dan sosialisasi agar para pelanggar paham dan mengerti bahwa dalam melakukan perdagangan tidak hanya mengejar keuntungan semata namun juga harus bisa mentaati peraturan yang ada agar tidak ada pihak yang dirugikan.
Apabila tindakan tersebut tidak memberikan efek jera maka dilakukan tindakan represif. Berdasarkan ketentuan pasal 16 ayat (1) Perda Kab. Karangasem No. 4 tahun 2013 telah diatur mengenai larangan bagi pedagang untuk berjualan dengan cara menjajakan barang/jasanya secara langsung ditempat seperti jalan, objek wisata dan tempat umum lainnya, apabila ketentuan tersebut dilanggar maka akan dijatuhkan sanksi berdasar pada
ketentuan pasal 20 ayat (1) Perda Kab. Karangasem No. 4 tahun 2013 yang menyatakan bahwa bagi pelanggar ketentuan pasal 16 akan dikenakan sanksi pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau paling banyak Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah).
Namun menurut Jro Mangku Widiarta sebagai Bendese Desa adat Besakih belum ada kasus pelanggaran ketertiban umum seperti pelanggaran pedagang hingga masuk ke pengadilan, karena tindakan yang dilakukan terhadap pelanggar lebih mengutamakan tindakan dari segi preventif yaitu dilakukan tindakan berupa peneguran dan pemberian pemahaman bahwa di kawasan pura Besakih terdapat zona batas bebas pedagang, sehingga hal tersebut berakibat pada tidak efektifnya pelaksanaan ketentuan pasal 16 ayat 1 Perda Kab. Karangasem No. 4 tahun 2013 karena ketentuan pasal 20 ayat 1 terkait sanksi yang terhadap pelanggar pasal 16 ayat 1 tidak diterapkan kepada pedagang yang berjualan di kawasan pura Besakih.
Menurut Soerjono Soekanto, dalam efektivitas pelaksanaan penegakan hukum diperlukan adanya keserasian hubungan antar 4 faktor, yaitu antar hukumnya sendiri, mentalitas penegak hukum, fasilitas pendukung dalam penegakan hukum serta kepatuhan hukum oleh masyarakat, sehingga dengan hal tersebut dapat terlihat faktor penghambat suatu peraturan tidak terlaksana dengan efektif.6
Dilihat dari faktor keserasian antar hukumnya sendiri, berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Jro Mangku Widiarta sebagai Bendese Desa adat Besakih, beliau mengatakan bahwa kawasan pura Besakih dalam hal tertentu juga memiliki
kewenangan yang otonom untuk mengatur wilayahnya sehingga dalam hal ini terkait ketertiban umum khususnya untuk ketertiban pedagang, Desa adat telah membuat regulasi dalam bentuk pararem Nomor 37/DAB/VIII/2017 yang pada beberapa ketentuan telah dijelaskan mengenai larangan bagi para pedagang dalam melakukan kegiatan perdagangan dan kawasan-kawasan dilarang melakukan perdagangan yaitu pada pawos 1 tentang Pedagang Acung, pawos 2 tentang Pedagang Sarung, dan pawos 7 tentang Jasa Fotografi. Apabila dilakukan pelanggaran terhadap ketentuan tersebut,Tri Pilarakan menjatuhkan sanksi berdasarkan pada isi pararem. Pembentukan dari isi pararem tersebut tidak mengacu pada Perda. Kab. Karangasem No. 4 tahun 2013 yang didalamnya mengatur tentang larangan bagi pedagang dalam melakukan kegiatan perdagangan, namun mengacu pada Pergub No. 51 tahun 2015, sehingga dengan hal ini dapat dilihat ketidakserasian antara Perda Kabupaten Karangasem dengan pararem Desa Adat Besakih yang mengakibatkan penerapan sanksi Perda tidak efektif diterapkan kepada para pelanggar.
Dilihat dari faktor mentalitas penegak hukumnya, menurut penulis juga menjadi salah satu faktor penghambat dalam efektivitas pelaksanaan penertiban terhadap pedagang di kawasan pura Besakih. Hal ini dikarenakan penegakan hukum yang dilakukan oleh Satpol PP atau Tri Pilarterhadap pelanggarlebih mengutamakan penegakan hukum dari segi preventif yaitu dengan peneguran dan pemahaman dengan cara sosialisasi saja, padahal terkait pelanggaran yang dilakukan oleh pedagang telah diatur sanksi pidana dan sanksi administrasi dalam ketentuan pasal 20 ayat (1) Perda Kab. Karangasem No. 4 tahun 2013 tersebut.
Dilihat dari faktor Kepatuhan Masyarakat terhadap Peraturan, hal ini dapat dilihat dari hasil wawancara penulis
dengan Wakil Manager Mo I Gusti Bagus Karyawan pada tanggal 30 Maret 2019, menurut penuturan beliau, pelaksanaan penertiban telah dilakukan oleh Tri Pilarbahkan tidak hanya pada saat upacara saja melainkan setiap harinya, Tri Pilar telah melakukan penertiban sesuai dengan tugasnya masing-masing dan menurut penuturan Kepala Satpol PP I Ketut Wage Suputra juga telah dilakukan sosialisasi terhadap para pedagang agar berjualan sesuai dengan aturan yang ada, namun realitanya masih banyaknya pedagang yang menjajakan barang/jasa di kawasan Pura Besakih. Melihat peluang penghasilan yang tinggi khususnya saat ada upacara besar di pura Besakih membawa peluang bagi pedagang yang berasal dari luar daerah Desa adat Pekraman Besakih untuk ikut serta berjualan di kawasan tersebut namun tidak mengindahkan peraturan yang ada.
Berdasarkan hal tersebut, pelaksanaan penertiban tidak terlaksana dengan efektif karena tidak adanya keserasian terhadap faktor kepatuhan hukum masyarakat dengan peraturan yang ada. Perilaku pedagang seperti disebutkan diatas menjadikan masyarakat sebagai faktor pendukung sekaligus faktor penghambat terlaksanannya suatu peraturan.7 Sikap masyarakat yang terlalu apatis dengan peraturan membuat banyak kendala terlaksananya suatu peraturan, padahal masyarakat sendiri sebagai sasaran serta pelaku yang riil dalam mewujudkan suatu aturan karena hasil akhirnya juga untuk kepentingan seluruh masyarakat.8 Ini membuktikan bahwa perkembangan ekonomi dapat membawa pengaruh negatif terhadap masyarakat.
Kebutuhan manusia yang tidak ada batas kepuasannya membuat manusia selalu melakukan cara apapun dalam pemenuhan kebutuhannya.9 Seperti hasil wawancara dengan salah seorang pedagang mengatakan ia berjualan di kawasan lingkungan pura tanpa mendapatkan izin dari badan yang berwenang disana, namun karena tujuan utamanya untuk memenuhi kebutuhan finansial maka sering kali pedagang tidak mengikuti aturan yang berlaku. Hal ini apabila dibiarkan begitu saja, selain dapat mengganggu ketertiban juga akan menimbulkan kecemburuan terhadap pedagang-pedagang lain khususnya pedagang yang telah mentaati peraturan.
Berdasarkan hasil pembahasan diatas maka penulis dapat mengambil kesimpulan dari setiap rumusan masalah diatas yaitu sebagai berikut:
Pelaksanaan penertiban pedagang berdasarkan Perda Kabupaten Karangasem No. 4 tahun 2013 di Kawasan Pura Besakih belum dapat terealisasikan dengan efektif, masih banyak terdapat pedagang berjualan di kawasan pura Besakih yang bertentangan dengan ketentuan pasal 16 ayat 1 Perda Kab. Karangasem No.4 tahun 2013.
Faktor penghambat dalam efektivitas pelaksanaan penertiban terhadap pedagang adalah karena ketikaserasian dari hukum itu sendiri, faktor kepatuhan hukum masyarakatnya dan karena faktor mentalitas penegakan hukum yangkurang tegas, dimana penegakan yang diberikan masyarakat lebih bersifat lebih mengutamakan penegakan dari segi preventif daripada represif.
Terkait masalah yang telah dipaparkan diatas maka saran yang dapat penulis berikan terhadap masalah diatas adalah sebagai berikut:
Satpol PP sebagai Dinas daerah dan Tri Pilar dalam hal ini seharusnya lebih meningkatkan dalam mengefektivkan pelaksanaan penertiban terhadap pedagang yang melanggar ketentuan Perda Kab. Karangasem No. 4 tahun 2013 di kawasan Pura Besakih khususnya pada hari upacara besar di Pura Besakih, para penegak hukum harus lebih ekstra dalam mengontrol pedagang-pedagang illegal yang berjualan dikawasan bebas pedagang, sehingga tidak mengganggu kenyamanan terutama bagi para pemedek yang melakukan persembahyangan.
Penegakan hukum yang diberikan terhadap pedagang yang melanggar harus seimbang dari segi preventif ataupun represif karena apabila yang diterapkan penegakan hukum dari segi preventif maka para pelanggar tidak akan jera dan akan mengulanginya lagi sehingga pelaksanaan penertiban tidak dapat berjalan dengan efektif.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Ali, H. Zainuddin, 2017, MetodePenelitianHukum, Jakarta,
SinarGrafika.
Dirdjosisworo, Soedjono, 2014, PengantarIlmuHukum, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada.
HR, Ridwan, 2016, HukumAdministrasi Negara, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada.
Pangerang Moenta, H. Ansi dan H. Syafa’at Anugrah Pradana, 2018, Pokok-PokokHukumPemerintahan Daerah, Depok, PT RajaGrafindo Persada.
Suwena, I Ketut dan I Gst Ngr Widyatmaja, 2010, Pengetahuan Dasar IlmuPriwisata, Denpasar, Udayana Universiti Press.
Wahid, A.M. Yunus, 2014, PengantarHukum Tata Ruang, Jakarta, Prenamedia group.
KARYA ILMIAH
Andriani Lestari, Ni Luh Debby, 2018, “Kewenangan Pemerintah Kota Denpasar dalam Mengatur Dan Pengendalian bangunan Di Sepanjang Kawasan Sempadan Pantai”, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Prameswari,Kadek Poolina, Made Gde Subha Karma Resend dan Cokorde Dalem dahana, 2018, “Evektifitas Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Ketertiban Umum Terkait Penyalahgunaan Fungsi Trotoar Sebagai Tempat Parkir”, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Udayanan.
INSTRUMEN HUKUM
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244).
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 Tentang Satuan Polisi Pramong Praja.
Permendagri Nomor 54 tahun 2011 Tentang Standar Operasional Satuan Polisi Pramong Praja.
Peraturan Gubernur Nomor 51 Tahun 2016 Tentang Badan Pengelolaan Kawsan Pura Agung Besakih (Berita Daerah Provinsi Bali Tahun2016 Nomor 51).
Peraturan Daerah Kabupaten Karangasem Nomor 4 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Karangasem Nomor 4 Tahun 2010 Tentang Ketertiban Umum (Lembaran Daerah Kabupaten Karangasem Tahun 203 Nomor 4).
Pararem Desa Adat Besakih Nomor 37/DAB/VIII/2017
15
Discussion and feedback