KEDUDUKAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA DALAM PROSES PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG

Oleh :

Agus Sadiantara* Jimmy Z. Usfunan∗∗ Program Kekhususan Hukum Ketatanegaraan Fakultas Hukum Universitas Udayana

ABSTRAK

Dewan Perwakilan Daerah (DPD) adalah lembaga negara baru yang lahir pada amandemen ketiga UUD 1945. Dibentuknya DPD dimaksudkan untuk merubah sistem parlemen Indonesia, yang pada awalnya unikameral dimana kedudukan MPR sebagai lembaga paling tinggi menjadi bikameral yang terdiri dari anggota DPR dan DPD. Pembentukan DPD bertujuan supaya mekanisme check and balances dapat berjalan seimbang antara kebijakan pusat dan daerah. Penulisan ini lebih fokus mengenai proses DPD dalam pembentukan undang-undang yang pada prakteknya DPD memiliki ketimpangan dengan DPR. Dalam penulisan ini metode yang digunakan adalah yuridis normatif.

Berangkat dari hal tersebut diangkat dua rumusan masalah yaitu bagaimana kedudukan DPD dalam proses pembentukan undang-undang dan bagaimana kewenangan DPD pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-XII/2014. Kesimpulan dari penulisan ini, pertama kedudukan DPD masih lemah dalam pembentukan undang-undang, kedua setelah adanya Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 dan Putusan MK Nomor 79/PUU-XII/2014 menyetarakan kedudukan DPD, DPR dan Presiden dalam pembentukan rancangan undang-undang dan MK menegaskan pembahasan rancangan undang-undang dalam model Tripartit. Saran dari penulisan ini, pertama pembentuk undang-undang harus memperhatikan kewenangan DPD dibidang legislasi yang diputuskan oleh MK, kedua adanya revisi terhadap pasal 20 ayat (2) UUD NRI tahun 1945.

Kata Kunci : DPD, Kedudukan, Pembentukan Undang-Undang, Putusan Mahkamah Konstitusi

ABSTRACT

Regional Representative Council (DPD) is a new state institution born in the third amendment to the 1945 Constitution. The formation of the DPD was intended to change the Indonesian parliamentary system, which was initially unicameral where the position of the MPR as the highest institution became a bicameral consisting of members of the DPR and DPD. The formation of the DPD aims to ensure that the check and balances mechanism is balanced between the central and regional policies. This writing is more focused on the DPD process in the formation of laws which in practice DPD has inequality with DPR. In this writing the method used is normative juridical.

Departing from this is raised two formulation of the problem, namely how the position of the DPD in the process of law formation and how the DPD's authority after the Constitutional Court Decision Number 92 / PUU-X / 2012 and the Constitutional Court Decision Number 79 / PUU-XII / 2014. The conclusion of this paper, first the position of the DPD is still weak in the formation of legislation, second after the Constitutional Court Decision Number 92 / PUU-X / 2012 and the Constitutional Court Decision Number 79 / PUU-XII / 2014 equalize the position of the DPD, DPR and the President in the formation the law and the Court confirmed the discussion of the draft law in the Tripartite model. Suggestions from this writing, first the legislators must pay attention to the DPD's authority in the field of legislation decided by the Constitutional Court, second there is a revision to article 20 paragraph (2) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia.

Keywords: DPD, Position, Establishment of Law, Constitutional Court Ruling

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1    Latar Belakang

Selain memulihkan kebebasan dan hak-hak asasi serta hak-hak demokratik lainnya, hasil besar lain reformasi adalah dilakukannya amandemen Undang-Undang Dasar 1945 sebanyak empat kali secara berturut-turut sebagai berikut, perubahan pertama tahun 1999, kedua tahun 2000, ketiga tahun 2001 dan yang terakhir pada tahun 2002, yang dimana telah menghasilkan perubahan fundamental terhadap sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Hasil dari amandemen ke-3 (tiga) Undang-Undang

Dasar 1945 adalah lahirnya suatu lembaga yang baru yaitu Dewan Perwakilan Daerah Republik Iindonesia, dan mendudukan DPD sebagai lembaga legislatif.

Dibentuknya DPD dengan tujuan awal yaitu untuk mereformasi sistem parlemen Indonesia menjadi dua kamar “bikameral”, pada awalnya “unikameral” yang menempatkan kedudukan lembaga MPR paling tinggi dari lembaga lainnya. Dengan diperkenalkannya sistem bikameral ini, MPR tidak lagi terdiri dari anggota DPR dan utusan golongan-golongan, melainkan terdiri dari anggota DPR dan DPD. Dengan sistem bikameral, diharapkannya proses legislasi bisa dijalankan dengan sistem double check yang mampu mewakili kepentingan semua rakyat, yang secara relatif dapat disalurkan melalui basis sosial yang lebih luas. DPR merupakan cerminan dari representasi politik (political representation), sedangkan DPD merupakan cerminan dari prinsip representasi teritorial atau regional (regional representation).1 Dengan pertimbangan yang logis, diadopsinya sistem bikameral oleh Indonesia dengan membentuk kamar kedua setelah DPR adalah lembaga DPD, dimaksudkan untuk mewadahi perwakilan berbeda antara dipusat dan didaerah.2

Fungsi check and balances terhadap lembaga negara merupakan tujuan paling utama dari diamandemenkannya UUD 1945. Dengan harapan, kekuasaan tidak bertumpu pada salah satu lembaga negara saja. Maka dari itu hadirnya DPD untuk melaksanakan mekanisme check and balances agar bisa berjalan dengan relatif seimbang, terutama yang berkaitan dengan kebijakan pusat dan daerah. Dengan pertimbangan-pertimbangan

yang demikian, jelaslah DPD memiliki peran yang begitu penting sebagai lembaga perwakilan, dengan maksud menjamin kebijakan pusat dan daerah serta membantu DPR dalam urusan menjalankan suatu pemerintahan.

Melihat ketentuan-ketentuan baru dalam UUD NRI tahun 1945, tidak menunjukan adanya perwujudan sistem dua kamar. Dalam UUD yang asli itu, hanya terdapat dua badan perwakilan tingkat pusat yang terpisah, dan sekarang menjadi tiga badan perwakilan dengan alasan sebagai berikut :

  • 1.    Walau adanya suatu perubahan, MPR tetap merupakan lingkungan jabatan sendiri dan memiliki wewenang sendiri diluar dari wewenang DPR dan DPD.

  • 2.    DPD memiliki jabatan yang mandiri, dan memiliki wewenang sendiri. Namun jika memperhatikan ketentuan yang ada pada Pasal 22D, DPD merupakan penunjang dari DPR.

  • 3.    Bahwa DPD tidak merupakan badan legislatif penuh. Dengan demikian  mengakibatkan  DPD  hanya dapat

mengajukan serta membahas RUU dalam hal tertentu,

disebut secara enumeratif didalam UUD. Dengan demikian, pembentukan undang-undang hanya dilakukan oleh DPR dan Pemerintah. Melihat hal tersebut, rumusan baru yang terdapat dalam UUD tidak menyatakan unsur mengikutsertakan daerah dalam penyelenggaraan praktik dan mengelola negara.3

Didalam hal legislasi, Dewan Perwakilan Daerah fungsi serta tugasnya hanya sebagai co-legislator dan menunjang (auxiliary agency) tugas konstitutional dari Dewan Perwakilan Rakyat. Maka dalam hal proses pembentukan undang-undang, DPD dinyatakan

tidak memiliki kekuasaan pada saat pengambilan keputusan, itu karena DPD hanya ikut dalam pembahasan tingkat I saja.4 Melihat kedudukan DPD dalam pembentukan undang-undang yang hanya sebatas mengajukan dan membahas RUU dalam hal tertentu saja, maka dari itu penulis membuat judul “Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Dalam Proses Pembentukan Undang-Undang”.

  • 1.2    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimana kedudukan DPD dalam proses pembentukan undang-undang ?

  • 2.    Bagaimana kewenangan DPD pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-XII/2014 ?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan pada jurnal ini yaitu, untuk mengetahui kedudukan DPD dalam proses pembentukan undang-undang dan juga bagaimana kewenangan DPD pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-XII/2014.

  • II.    ISI MAKALAH

    • 2.1    Metode Penelitian

Metode penelitian adalah suatu sistem dari prosedur dan teknik penelitian. Dengan demikian, tujuan dari penelitian yaitu mengungkapkan kebenaran yang sistematis, metodologis, dan

konsisten.5 Penulisan dalam jurnal ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif.

  • 2.2    Hasil dan Analisis

    • 2.2.1    Kedudukan DPD dalam proses pembentukan undang-undang

Dilakukannya amandemen Undang-Undang Dasar 1945 telah membuat perubahan besar pada lembaga negara. Dalam hal tersebut ada lembaga negara yang bertambah kewenangannya, ada juga lembaga yang dikurangi kewenangannya dan ada lembaga yang dihilangkan, karena dianggap sudah tidak efektif lagi untuk kemajuan bangsa Indonesia kedepannya. Melihat hal tersebut, lembaga perwakilan paling kelihatan perubahannya.6 Dibentuknya DPD sebagai lembaga tingkat pusat yang mengurusi kepentingan daerah. Maka yang melatar belakangi dibentuknya DPD adalah perubahan UUD 1945 yang dimaksudkan untuk mereformasi sistem unikameral, dimana MPR memiliki kedudukan paling tinggi dari lembaga lainnya, dengan berubahnya dari sistem unikameral menjadi sistem bikameral, MPR tidak lagi terdiri dari anggota DPR dan utusan golongan-golongan, melainkan terdiri dari para anggota DPR dan DPD. Tetapi dalam hal tersebut tidak menunjukkan bahwa adanya sistem dua kamar, hal ini dikarenakan wewenang DPD sangat terbatas dalam pembentukan undang-undang. Bahkan pembentuk undang-undang berpendapat bahwa DPD merupakan pelengkap dari DPR.

Pada dasarnya DPD memang tidak memiliki kekuasaan dalam hal membentuk undang-undang. Hal ini dikarenakan DPD terkunci dalam bunyi Pasal 20 ayat (2) UUD NRI tahun 1945,

bahwa rancangan undang-undang dibahas dan disetujui oleh DPR dan Presiden. Mengingat DPD merupakan badan perwakilan tingkat pusat yang mengurusi kepentingan daerah yang seharusnya ikut ambil bagian dalam persetujuan mengenai RUU tentang otonomi daerah. Pada kenyataannya hanya bisa mengajukan usul dan memberikan RUU kepada DPR. Melihat hal tersebut, membuat DPD tidak memiliki hak yang mandiri didalam proses pembentukan undang-undang, yang secara sistematik hal tersebut ada kaitannya dengan Pasal 20 ayat (1) UUD NRI tahun 1945 yang menyatkan “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang” berdasarkan ketentuan ini sangat logis kalau DPD bukan merupakan badan pembentuk undang-undang dan tidak mempunyai hak secara mandiri untuk mengajukan rancangan undang-undang, dengan demikian DPD hanya bisa mengajukan RUU lewat DPR.

Melihat dari ketentuan itu, terdapat suatu kekeliruan yang terjadi yaitu pertama : terletak pada Pasal 20 ayat (1) UUD 1945. Bahwa yang memiliki kekuasaan dalam membentuk undang-undang adalah DPR, ketentuan ini sudah ada sebelum dibentuknya DPD (dalam perubahan UUD yang pertama, tahun 1999). Yang dimana pada Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 semestinya dilakukan peninjauan kembali pada saat membentuk lembaga DPD. Terlebih kalau dilihat dari gagasan dua kamar, hal yang terjadi adalah pemotongan kewenangan terhadap DPD, sehingga terdapat substansi yang menyimpang bila dilihat dari kedudukan DPD sebagai badan perwakilan. Kekeliruan yang kedua, bila dilihat dari pertalian sistem dua kamar (bicameral) wewenang tersebut seharusnya ada dalam wadah tempat DPR dan DPD bernaung, bukan pada masing-masing badan, dengan demikian penyusun perubahan UUD tentu saja mengatakan bahwa

hadirnya lembaga DPD tidak dimaksudkan pada kerangka sistem dua kamar. Akibat dari hal tersebut, membuat berbagai rumusan menjadi rancu baik secara teknis maupun secara konseptual. Terlepas dari kelemahan-kelemahannya, setidak-tidaknya secara hukum posisi utusan daerah di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) lebih baik karena sederajat dengan (anggota) DPR.7

Dewan Perwakilan Daerah merupakan salah satu lembaga negara yang tentunya memiliki kedudukan yang setara dengan lembaga negara lainnya, karena mengalami suatu keterbatasan jadi yang membedakannya adalah kewenangannya dalam hal pembentukan undang-undang. Kedudukan DPD dalam proses pembentukan undang-undang masih lemah, hanya bisa turut serta dalam hal mengajukan dan membahas rancangan undang-undang dan tidak dapat ikut serta dalam hal persetujuan rancangan undang-undang menjadi undang-undang karena yang memiliki kuasa dalam persetujuan hanya DPR dan Presiden.

  • 2.2.2    Kewenangan DPD pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-XII/2014

Berangkat dari lembaga yang ada, mencerminkan dua perwakilan. DPR merupakan lembaga yang terkonstruksi sebagai wakil dari orang. Sementara itu, DPD merupakan lembaga yang terkonstruksi sebagai wakil daerah. Konstruksi seperti ini didasarkan pada realitas bahwa Indonesia merupakan negara bangsa yang terdiri dari daerah-daerah. Namun mengingat sistem bikameral yang masih tergolong lemah, dibandingkan dengan halnya DPR, DPD hanya dapat menjalankan sebagian fungsi

legislasinya.8 Dalam penyelenggaraan kesejahteraan umum, tidak terlepas dari berbagai pembentukan peraturan-peraturan di Negara Republik Indonesia, hal terebut menjadi sangat penting dan tidak bisa lagi dihindarkan.9 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan selanjutnya disebut UU P3, merupakan peraturan mengenai cara pembentukan undang-undang. Didalam pembentukan undang-undang terdapat lima cara pembentukan yaitu perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan dan pengundangan. Dalam hal ini, DPD termuat dalam penyusunan undang-undang yang diatur dalam UU P3 dan pengaturan lebih lanjut mengenai DPD diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD selanjutnya disebut UU MD3.

Namun melihat isi dari kedua undang-undang tersebut dinyatakan telah mereduksi kewenangan konstitusional DPD terutama dalam hal legislasi. Masalah dari isi kedua undang-undang tersebut yaitu, Pasal 18 huruf g, Pasal 20 ayat (1), Pasal 21 ayat (1) dan (3), Pasal 22 ayat (1) dan Pasal 23 ayat (2) UU P3 telah meniadakan kewenangan DPD untuk dapat mengajukan RUU baik didalam maupun diluar prolegnas, Pasal 102 ayat (1) huruf (d) dan huruf (e) UU MD3, Pasal 48 ayat (2) dan ayat (4) UU P3 telah mereduksi kewenangan legislasi DPD menjadi setara dengan kewenangan legislasi Anggota, Komisi, dan Gabungan Komisi DPR. Pasal 147 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) UU MD3 telah mendistorsi RUU DPD menjadi RUU usul DPR. Pasal 43 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 46 ayat (1) UU P3 telah merendahkan

kedudukan DPD menjadi lembaga yang Sub-Ordinat dibawah DPR. Pasal 150 ayat (3) UU MD3 dan Pasal 68 ayat (3) UU P3 telah mengecualikan DPD dari pengajuan dan pembahasan Daftar Inventaris Masalah yang merupakan “inti” dari pembahasan rancangan undang-undang.

Berangkat dari hal tersebut, membuat DPD untuk mempertegas fungsi dan kewenangannya sebagai salah satu kamar di parlemen dalam hal legislasi. Dengan mengajukan uji materi terhadap UU 27/2009 UU MD3 dan UU 12/2011 UU P3 ke Mahkamah Konstitusi, karena dianggap mereduksi kewenangan legislasi DPD, dengan nomor perkara 92/PUU-X/2012 pada tahun 2012. Dalam putusan tersebut yang diperkarakan adalah pembahasan undang-undang yang terdapat dua tingkatan. Pada tingkat I (satu), DPD terlibat dalam pembahasan-pembahasan RUU bersama DPR dan Presiden. Pada tingkat II (dua) dalam persetujuan RUU menjadi UU, DPD tidak ikut serta dalam persetujuan tersebut, yang dapat melakukan persetujuan bersama hanya DPR dan Presiden. Hal ini tidak terlepas dari pembahasan sebelumnya yaitu bunyi dari Pasal 20 ayat (2) UUD NRI tahun 1945. Seharusnya sebagai lembaga perwakilan tingkat pusat yang mengurusi kepentingan daerah DPD dilibatkan dalam persetujuan yang menyakut RUU tentang daerah. Apabila DPD tidak diikutsertakan dalam persetujuan RUU menjadi UU, bisa jadi dalam tahap final RUU yang awalnya dibahas oleh DPD, DPR dan Presiden bisa berubah sebelum disetujui menjadi undang-undang.

Dalam hasil pengujian tersebut, Mahkamah Konstitusi memberikan lima pokok kesimpulan mengenenai kewenangan konstitusional DPD sebagai berikut :

  • 1.    Kewenangan DPD mengusulkan RUU yang diatur dalam Pasal 22D ayat (1) UUD NRI 1945, RUU dari DPD diperlakukan setara dengan RUU dari Presiden dan DPR.

  • 2.    Kewenangan DPD ikut membahas RUU yang disebut pada Pasal 22D UUD NRI 1945 bersama DPR dan Presiden.

  • 3. Kewenangan DPD memberi persetujuan atas RUU yang

disebut dalam Pasal 22D UUD NRI 1945.

  • 4. Keterlibatan DPD dalam penyusunan Program Legislasi

Nasional yang menurut DPD sama dengan keterlibatan Presiden dan DPR.

  • 5.    Kewenangan DPD memberi pertimbangan terhadap RUU yang disebut pada Pasal 22D UUD NRI 1945.10

Terbentuknya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD selanjutnya disebut UU MD3 yang menggantikan undang-undang sebelumnya yakni UU 27/2009 menegaskan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012, namun pada kenyataannya Dewan Perwakilan Daerah masih berada pada posisi yang lemah, hal ini dikarenakan secara regulatif kewenangan DPD yang diatur dalam UUD NRI tahun 1945 maupun dalam UU 17/2014 masih berat sebelah, karena ada beberapa pasal yang tidak diindahkan dalam putusan MK tersebut oleh pembentuk undang-undang. Dengan demikian pada tahun 2014 mengenai undang-undang perubahannya, DPD kembali melakukan pengujian undang-undang dengan Nomor Perkara 79/PUU-XII/2014. Dengan menguji beberapa Pasal UU 17/2014 diantaranya Pasal 166 ayat (2),  167 ayat (1) telah

menempatkan DPD tidak setara dengan DPR dalam penyampaian

RUU, Pasal 276 ayat (1) telah membatasi kewenangan DPD dalam mengajukan RUU, Pasal 277 ayat (1), telah menempatkan DPD tidak setara dengan DPR dalam penyampaian rancangan undang-undang, Pasal 165, 166 telah mereduksi kewenangan legislasi

DPD dalam pembahasan RUU bersama DPR dan Presiden, Pasal 71 huruf c, 170 ayat (5), 171 ayat (1), 249 huruf b, UU MD3 yang bertentangan dengan Pasal 22D ayat (2) UUD 1945. Dengan amar putusan mengabulkan sebagian. Hasil dari putusan tersebut, memberikan DPD suatu kepastian hukum dalam kewenangannya dibidang legislasi, baik dalam tahap usul RUU maupun pembahasan RUU yang berkaitan dengan daerah.11

Dari dua Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, pertimbangan yang terdapat didalamnya bahwa pembentuk undang-undang tidak sepenuhnya mengakomodir dan mengikuti apa yang telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi, sehingga DPD sudah dua kali mengajukan uji materi terkait dengan apa yang telah mereduksi kewenanganya dalam bidang legislasi. Dengan dua Putusan MK tersebut, menegaskan bahwa kedudukan DPD menjadi setara dengan DPR dan Presiden dibidang legislasi. DPD ikut membahas, mempertimbangkan dan memberi persetujuan terhadap RUU yang diajukan DPR dan Presiden. DPD terlibat dalam prolegnas dan Daftar Inventaris Masalah serta terciptanya model tripartit (DPR, DPD dan Presiden).12 Pada tahun 2018 terbentuknya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang

perubahan kedua Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang menambah kewenangan DPD yang diatur dalam Pasal 249 ayat (1) huruf j yaitu pemantauan dan evaluasi atas RUU Perda dan Perda sebagai implementasi dari Putusan MK serta dalam melaksanakan wewenang dan tugasnya DPD memiliki kemandirian sesuai dengan bunyi Pasal 250 ayat (1) UU MD3.

  • III. PENUTUP

  • 3.1    Kesimpulan

  • 1.    Kedudukan DPD dalam proses pembentukan undang-undang masih lemah hal ini karena, DPD sudah terkunci dalam bunyi Pasal 20 ayat (2). Dengan pernyataan tersebut, yang terjadi terhadap DPD ialah tidak memiliki kekuasaan dalam persetujuan undang-undang, DPD hanya bisa di tahap pembahasan saja.  Seharusnya sebagai lembaga

perwakilan tingkat pusat yang mengurusi kepentingan

daerah DPD ikut dalam hal persetujuan UU yang berkaitan dengan daerah.

  • 2.    Adapun kewenangan DPD pasca Putusan MK dengan Nomor Perkara 92/PUU-X/2012 dan putusan MK dengan Nomor Perkara 79/PUU-XII/2014 menyetarakan kedudukan DPD, DPR, dan Presiden dalam pembentukan RUU, kemudian MK menegaskan pembahasan RUU dalam model Tripartit. Dengan demikian hal tersebut mengarah kepada Strong Bicameral. Namun tidak seluruhnya Putusan MK diakomodir oleh pembentuk UU dalam revisi UU MD3.

  • 3.2    Saran

  • 1.    Pembentuk UU harus memperhatikan kewenangan DPD dibidang legislasi yang diputuskan oleh MK, seluruhnya

harus diakomodir ke dalam UU 12/2011 UU P3 dan UU 17/2014 UU MD3 termasuk dalam undang-undang perubahannya agar tidak terjadinya ketimpangan lagi kedepannya. Dengan demikian terciptanya sistem bikameral yang kuat, hubungan antara pusat dan daerah dapat berjalan sesuai dengan rencana dalam sistem pemerintahan di Indonesia.

  • 2.    Adanya revisi terhadap Pasal 20 ayat (2) UUD NRI tahun 1945 atau misalkan ditambah lagi satu ayat misal Pasal 20 ayat (3) yang menyatakan “DPD  ikut serta dalam

persetujuan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan daerah” jadi dengan kepastian tersebut, akan memperkuat jati diri DPD sebagai salah satu badan perwakilan yang juga bisa ikut dalam persetujuan RUU menjadi UU yang sah, sama dengan halnya DPR dan Presiden seperti bunyi dari Pasal 20 ayat (2). Revisi terhadap UU 12/2011 tentang UU P3 terkait pasal-pasal yang telah mereduksi kewenangan DPD dalam hal legislasi dan mengakomodir dengan pasti apa yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi terkait dengan Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 dan Putusan MK Nomor 79/PUU-XII/2014.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Asshiddiqie, Jimly 2010, Perkembangan & Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sinar Grafika, Jakarta.

Ali, Zainuddin 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.

Farida Indrati, Maria 2007, Ilmu Perundang-Undangan, PT. Kanisius, Yogyakarta.

Marijan, Kacung 2011, Sistem Politik Indonesia Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru, Kencana, Jakarta.

Manan, Bagir, 2003, DPR,DPD dan MPR dalam UUD 1945 Baru, FH UII Press, Yogyakarta.

Triwulan Tutik, Titik 2011, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca-Amandemen UUD 1945, Kencana, Jakarta.

Undang-Undang :

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123. Tambahan Lembaran Negara Nomor 5043)

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82. Tambahan Lembaran Negara Nomor 5234)

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182. Tambahan Lembaran Negara Nomor 5568)

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang perubahan kedua Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 29. Tambahan Lembaran Negara Nomor 6187)

Jurnal Ilmiah :

Daud Jusuf Thommor Rudy, 2018, Implikasi dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 Dalam Kaitannya Dengan Tugas Fungsi dan Kewenangan DPD. Jurnal Kertha Negara Vol. 06, No. 03 Mei 2018, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Bali.

Mirja Fauzul Hamdi, 2018, Rekonstruksi Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi No. 79/PUU-XII/2014. Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol. 20, No. 1 April 2018, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.

Novianto M. Hantoro, 2013, Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Dalam Pembentukan Undang-Undang Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012. Jurnal DPR RI (Negara Hukum) Vol. 04, No. 2 November 2013.

15