TINJAUAN YURIDIS KEDUDUKAN TENAGA MEDIS DALAM KONFLIK BERSENJATA MENURUT HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL (STUDI KASUS PENEMBAKAN TENAGA MEDIS PALESTINA OLEH PERSONEL MILITER ISRAEL)
on
TINJAUAN YURIDIS KEDUDUKAN TENAGA MEDIS DALAM KONFLIK BERSENJATA MENURUT HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
(STUDI KASUS PENEMBAKAN TENAGA MEDIS PALESTINA OLEH PERSONEL MILITER ISRAEL)
Oleh
I Gusti Agung Mas Prabandari*
Made Suksma Prijandhini Devi Salain**
Bagian Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Udayana.
ABSTRAK
Aksi Unjuk Rasa Perbatasan Gaza 2018, menyebabkan sejumlah penyerangan atau penembakan yang justru mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. Dalam aksi unjuk rasa tersebut, seorang tenaga medis Palestina bernama Razan al-Najjar tewas akibat ditembak oleh personel militer Israel. Hukum Humaniter Internasional mengenal Prinsip Pembedaan yang mewajibkan pihak-pihak berkonflik untuk membedakan antara penduduk sipil dengan kombatan. Oleh karena itu perlu diketahui kedudukan tenaga medis dalam suatu konflik bersenjata menurut Hukum Humaniter Internasional serta tanggung jawab Israel atas terjadinya kasus penembakan tenaga medis Palestina tersebut. Penelitian ini merupakan suatu penelitian hukum normative. Berdasarkan hasil penelitian skripsi ini, apabila melihat prinsip pembedaan, sesungguhnya tenaga medis diklasifikasikan sebagai non kombatan atau civilian (penduduk sipil). Tanggung jawab Israel atas tertembaknya Razan al-Najjar, dapat dikaitkan dengan tiga konsep tanggung jawab, yaitu tanggung jawab negara, tanggung jawab individu, dan tanggung jawab komando. Sampai dengan penelusuran terakhir yang dilakukan penulis, belum ada suatu bentuk tanggung jawab negara, tanggung jawab individu maupun tanggung jawab komando yang diberikan Israel terhadap kasus ini.
Kata kunci: tenaga medis; hukum humaniter internasional; kombatan; penduduk sipil; prinsip pembedaan.
ABSTRACT
Demonstration Action in Gaza Border 2018, caused a number of attacks or shootings which resulted in casualties. During the demonstration, Razan al-Najjar, a Palestinian medical personnel was killed after shooted by Israeli military personnel. International Humanitarian Law upholds Distinction Principle which requires parties to the conflict
to distinguish between civilians and combatants. Therefore, it is necessary to understand the position of medical personnel in an armed conflict according to International Humanitarian Law and the responsibility of Israel for the attack that targeted the aforementioned Palestinian medical personnel. This study applies normative legal research methods. Based on the results of this research, from the perspective of Distinction Principle, medical personnel is classified as non-combatants or civilians. Israel's responsibility for the shooting of Razan al-Najjar, can be connected into three concepts of responsibility, namely state responsibility, individual responsibility, and command responsibility. As far as the concern by the author, there was no form of state responsibility, individual responsibility or command responsibility given by Israel to this case.
Keywords: medical personnel; international humanitarian law; combatants; civilians; distinction principle
Salah satu korban jiwa dalam Aksi Unjuk Rasa Perbatasan Gaza 2018 yang tewas tertembak senapan personil militer Israel adalah Razan al-Najjar, seorang perawat atau tenaga medis Palestina yang merupakan anggota Palestinian Medical Relief Society (PMRS), sebuah organisasi kesehatan non-pemerintah.1 Razan menjadi korban tewas ke-199,2 ia ditembak saat sedang berlari menuju pagar perbatasan di dekat Khan Younis, Gaza, 1 Juni 2018 ketika sedang berusaha menolong korban yang terluka, diketahui bahwa Razan mengenakan baju putih, seragam paramedis sambil mengangkat tangannya tinggi-tinggi dengan sangat jelas, namun tentara Israel tetap menembak dan pada akhirnya menembak Razan di dada.3 Razan bukanlah petugas medis pertama yang menjadi sasaran militer Israel, menurut Organisasi Kesehatan Dunia, 238 petugas kesehatan
dan 38 ambulans telah menjadi sasaran pasukan Israel sejak dimulainya aksi unjuk rasa “Pawai Besar Kepulangan”.4
Salah satu prinsip Hukum Humaniter Internasional yaitu prinsip pembedaan, mewajibkan pihak-pihak yang bersengketa untuk membedakan antara penduduk sipil dengan kombatan. Kombatan adalah penduduk yang secara aktif turut serta dalam permusuhan dan boleh dijadikan sasaran perang, sedangkan penduduk sipil adalah penduduk yang tidak ikut aktif dalam perang sehingga tidak boleh dijadikan sasaran perang.5
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis memandang perlu untuk melakukan sebuah penelitian tentang kedudukan tenaga medis dalam konflik bersenjata menurut Hukum Humaniter Internasional dan tanggung jawab atas tertembaknya Razan al-Najjar, seorang tenaga medis Palestina oleh personel militer Israel.
Adapun tujuaan dari penulisan ini adalah untuk mengetatahui bagaimana kedudukan tenaga medis dalam konflik bersenjata menurut Hukum Humaniter Internasional dan tanggung jawab atas tertembaknya Razan al-Najjar, seorang tenaga medis Palestina oleh personel militer Israel.
Penelitian ini merupakan suatu penelitian hukum normatif, dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan, pendekatan analisis dan konsep hukum, dan pendekatan fakta. Jenis bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer, sekunder, dan tersier.
Menurut Hukum Humaniter Internasional
Kedudukan tenaga medis dalam konflik bersanjata penulis tinjau melalui beberapa instrumen hukum humaniter internasional dan aturan-aturan di dalam hukum humaniter internasional kebiasaan. Adapun insturmen-instrumen hukum humaniter internasional yang penulis gunakan yaitu Konvensi Jenewa IV 1949 Tentang Perlindungan Orang Sipil Dalam Waktu Perang, Protokol Tambahan I 1977, Statuta Roma 1998, Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor S/RES/2286 (2016)6 dan Nomor S/RES/2401 (2018)7, Resolusi Majelis Umum PBB Nomor
A/RES/39/1198 dan Nomor A/RES/73/1379, deklarasi dan
pernyataan organisasi-organisasi Internasional yaitu Joint Statement on the Protection Of Health Care (Pernyataan Bersama Tentang Perlindungan Perawatan Kesehatan) dan World Medical Association Declaration On The Protection Of Health Care Workers In Situation Of Violence (Deklarasi World Medical Association Tentang Perlindungan Pekerja Perawatan Kesehatan Dalam Situasi Kekerasan).
Konvensi Jenewa IV 1949 Tentang Perlindungan Orang Sipil Dalam Waktu Perang Pasal 17, Pasal 20, dan Pasal 22 menyerukan perlindungan dan penghormatan terhadap tenaga medis. Protokol Tambahan I 1977 Pasal 8(c), Pasal 12(1), Pasal 15(1), Pasal 18(3), Pasal 43(2), dan Pasal 50(1) memberikan penjelasan lebih mendalam mengenai pihak-pihak yang termasuk tenaga medis yang wajib dilindungi dan dihormati. Gagalnya menghormati tenaga medis dalam konflik bersenjata dan menjadikannya target serangan merupakan suatu bentuk kejahatan perang menurut Pasal 8(2)(b)(xxiv) Statuta Roma 1998.
Dewan Keamanan PBB dan Majelis Umum PBB dalam rapatnya kerap kali merundingkan masalah mengenai banyaknya tenaga medis di daerah konflik bersenjata yang menjadi korban serangan pihak-pihak yang berkonflik. Hasil-hasil perundingan tersebut tertuang dalam bentuk resolusi-resolusi yang ditujukan terhadap seluruh negara anggota khususnya negara-negara yang berkonflik. Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor S/RES/2286 (2016) dan Nomor S/RES/2401 (2018) dan Resolusi Majelis
Umum PBB Nomor A/RES/39/119 dan Nomor A/RES/73/137, merupakan beberapa resolusi yang menyerukan agar setiap negara menghormati hukum humatiter internasional dan melindungi serta menghormati tenaga medis.
Aturan-aturan di dalam hukum humaniter internasional kebiasaan yang menerangkan kedudukan tenaga medis dalam konflik bersenjata dan menyerukan perlindungan dan penghormatan tenaga medis dalam dituasi konflik bersenjata dapat dilihat pada aturan 1, aturan 2, aturan 3, aturan 5, aturan 6, dan aturan 25.10
Peraturan mengenai perlindungan tenaga medis dan kewajiban untuk menaatinya ini berkaitan dengan norma jus cogens dan obligation erga omnes. Menurut M. Cherif Bassiouni norma jus cogens memegang posisi hierarki tertinggi di antara semua norma dan prinsip lainnya sehingga dianggap “peremptory” atau harus ditaati dan “non-derogable” atau tidak bisa dihapuskan,11 sementara obligation erga omnes adalah tanggung jawab untuk melaksanakannya. Mac Nair menegaskan adanya ketentuan-ketentuan hukum kebiasaan internasional yang dikategorikan sebagai jus cogens.12 Salah satu ketentuan hukum humaniter internasional kebiasaan yang telah diakui banyak
negara di dunia sehingga dapat dikatakan mendapat pengakuan sebagai jus cogens yaitu prinsip pembedaan oleh karenanya melahirkan obligation erga omnes bagi negara-negara untuk melaksanakannya.
-
2.2.2 Tanggung Jawab Atas Tertembaknya Razan Al-Najjar, Seorang Tenaga Medis Palestina Oleh Personel Militer Israel
Terdapat tiga konsep tanggung jawab yang dapat dikaitkan dalam kasus ini, yakni konsep tanggung jawab negara, konsep tanggung jawab individu dan konsep tanggung jawab komandan.
Konsep tanggung jawab negara lahir karena adanya perbuatan atau kelalaian oleh suatu negara yang menimbulkan kerugian bagi negara lain. Pengaturan mengenai tanggung jawab negara banyak dikembangkan melalui doktrin dan kebiasaan internasional. Dalam dua dekade terakhir, para ahli hukum internasional kerap kali merujuk pada draf ARSIWA yang mengkodifikasikan prinsip dan praktik mengenai tanggung jawab negara.
Berdasarkan Pasal 4 draf ARSIWA13, tindakan organ Negara, apakah organ tersebut menjalankan fungsi legislatif, eksekutif, yudikatif atau lainnya, apapun posisinya dalam organisasi Negara, dan apapun karakternya sebagai organ Pemerintah pusat atau unit teritorial Negara, harus dianggap sebagai tindakan Negara tersebut berdasarkan hukum
internasional. Dengan demikian, tindakan yang dilakukan oleh seorang personel militer yang sedang menjalankan tugas kedinasan militernya, sesungguhnya merepresentasikan tindakan organ negara yang dalam hal menimbulkan kerugian bagi negara lain yang sesungguhnya melahirkan tanggung jawab negara.
Kembali dalam kasus ini, tindakan personel militer Israel yang menyebabkan terbunuhnya Razan Al Najjar tentu merugikan Palestina sehingga melahirkan tanggung jawab Israel terhadap Palestina. Apabila mengikuti konsep dan pengaturan mengenai tanggung jawab negara, sesungguhnya terdapat sejumlah bentuk pertanggungjawaban yang dapat diberikan oleh Israel kepada Palestina, yakni penghentian dan jaminan untuk tidak mengulangi internationally wrongful act yang telah terjadi, serta reparasi atau perbaikan.14 Sayangnya, sampai dengan penelusuran terakhir yang diakukan penulis, Israel sama sekali tidak mau memberikan bentuk pertanggungjawaban tersebut, karena mendalilkan bahwa tindakan personel militernya merupakan suatu bentuk bela diri dan telah sesuai dengan prosedur operasional militer Israel.
Tanggung jawab individu berdasarkan hukum internasional lahir karena adanya perbuatan pidana yang dilakukan oleh seorang dimana perbuatan pidana tersebut merupakan yurisdiksi pidana internasional yaitu kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang,
dan agresi.15 Para ahli hukum internasional kerap kali merujuk pada Statuta Roma 1998 sebagai sumber hukum dari prinsip tanggung jawab individu berdasarkan hukum internasional.
Berdasarkan Pasal 25 Statuta Roma 199816, individu
yang melakukan, memerintahkan, mempermudah, menyumbang atas dilakukannya kejahatan-kejahatan internasional yaitu kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan agresi dapat dikenakan tanggung jawab dan dihukum atas perbuatannya dimana tanggung jawab tersebut tidak dapat dialihkan menjadi tanggung jawab negara. Dengan demikian, tindakan yang dilakukan oleh seorang personel militer yang melakukan kejahatan perang sesungguhnya melahirkan tanggung jawab individu.
Dalam kasus ini, tindakan personel militer yang menyebabkan terbunuhnya Razan Al Najjar merupakan suatu bentuk kejahatan perang. Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 8(2)(b)(xxiv) Statuta Roma 1998. Seseorang yang telah melakukan kejahatan perang sesungguhnya telah melakukan pelanggaran hukum humaniter internasional sehingga sepatutnya dihukum berdasarkan prinsip hukum pidana internasional. Sayangnya, sampai dengan penelusuran terakhir yang dilakukan penulis, personel militer Israel yang menyebabkan terbunuhnya Razan Al Najjar sama sekali tidak diberitahukan identitasnya dan belum ada bentuk
pertanggungjawaban yang dilakukan olehnya dan/atau penghukuman yang diberikan kepadanya.
Konsep tanggung jawab komando lahir karena adanya hubungan atasan dan bawahan, pengetahuan atasan terhadap tindakan kejahatan yang dilakukan oleh bawahannya, serta gagalnya bertindak untuk mencegah, menghukum serta menghentikan tindak pidana yang dilakukan bawahannya.17 Doktrin tanggung jawab komando merupakan doktrin yang berhubungan dengan pertanggungjawaban pidana secara individual, sehingga seperti halnya pertanggungjawaban pidana secara individual, pengaturan tanggung jawab komando juga menjadikan Statuta Roma 1998 sebagai sumber hukum prinsip tanggung jawab komando.
Berdasarkan Pasal 28 (a) Statuta Roma 199818, seorang komandan militer yang mengetahui bahwa pasukannya sedang melakukan tindak pidana dan komandan militer tersebut gagal untuk melakukan segala tindakan yang diperlukan untuk mencegah atau menghentikan perbuatan mereka atau untuk mengirim perkara tersebut ke pihak yang berwenang untuk melakukan penyidikan dan penuntutan, sesungguhnya melahirkan tanggung jawab komando atas kejahatan yang dilakukan oleh pasukan yang berada dalam kendali dan perintahnya. Dengan demikian, tindakan kejahatan perang yang dilakukan oleh seorang personel militer yang sedang menjalankan tugasnya dilapangan serta tidak adanya
penghukuman atas tindakan kejahatan tersebut
merepresentasikan kegagalan sang atasan dalam mencegah, menghentikan dan menghukum tindak pidana yang dilakukan bawahannya, yang sesungguhnya melahirkan tanggung jawab komando. Sehingga komandan militer dari personel militer dapat bertanggungjawab atas tindak pidana bawahannya.
Kembali dalam kasus ini, tindakan personel militer Israel yang menyebabkan terbunuhnya Razan Al Najjar merupakan bentuk kejahatan perang yang sepatutnya dicegah, dihentikan dan dihukum oleh sang komandan dari personel militer tersebut, namun sang komandan lalai dalam menjalankan tugasnya sehingga terbunuhnya Razan Al Najjar ini sesungguhnya melahirkan tanggung jawab komandan. Seperti halnya konsep tanggung jawab pidana secara individu, konsep tanggung jawab komando sepatutnya ditegakkan berdasarkan prinsip hukum pidana internasional. Sayangnya sampai dengan penelusuran terakhir yang dilakukan penulis, tidak dilakukan pemeriksaan lebih lanjut terhadap komandan dari personel militer Israel yang menyebabkan terbunuhnya Razan Al Najjar, karena pihak Israel mendalilkan hanya menembak orang-orang yang ingin menerobos pagar, dan merupakan suatu bentuk bela diri sesuai prosedur operasional militer Israel.
Kedudukan tenaga medis dalam konflik bersenjata dapat dicermati dari sejumlah instrumen Hukum Humaniter
Internasional, antara lain Konvensi Jenewa IV 1949, Protokol Tambahan I 1977, Statuta Roma 1998, Resolusi Dewan Keamanan PBB S/RES/2286 (2016) dan S/RES/2401 (2018), Resolusi Majelis Umum PBB A/RES/39/119 dan A/RES/73/137, World Medical Association Declaration On The Protection Of Health Care Workers In Situation Of Violence dan Joint Statement on the Protection Of Health Care serta Hukum Humaniter Internasional Kebiasaan. Semua instrumen tersebut pada prinsipnya menggariskan bahwa tenaga medis dalam situasi konflik bersenjata adalah pihak yang wajib dilindungi dan dihormati. Merujuk pada prinsip pembedaan, maka tenaga medis digolongkan ke dalam kategori non kombatan atau civilian (penduduk sipil).
Tanggung jawab Israel atas tertembaknya Razan al-Najjar, seorang tenaga medis Palestina, oleh personel militer Israel dapat dianalisis ke dalam tiga konsep tanggung jawab, yaitu tanggung jawab negara, tanggung jawab individu, dan tanggung jawab komandan. Sampai dengan penelusuran terakhir yang dilakukan penulis, belum adanya suatu bentuk tanggung jawab negara, tanggung jawab individu maupun tanggung jawab komando yang diberikan Israel terhadap kasus ini.
Kepada seluruh negara, khususnya negara yang sedang dalam situasi konflik bersenjata, agar mempromosikan dan/atau menyebarluaskan asas-asas atau prinsip-prinsip hukum humaniter internasional. Penyebarluasan ini dapat melalui proses pendidikan, media massa maupun suatu undang-undang yang di
dalamnya mengandung unsur-unsur prinsip humaniter internasional.
Guna memelihara perdamaian dan keamanan internasional Dewan Keamanan PBB hendaknya mengeluarkan resolusi yang ditujukan untuk memperingatkan Israel agar memenuhi kewajibannya berdasarkan hukum internasional dan memberikan tanggung jawab atas tidak hanya satu namun ratusan tenaga medis yang menjadi sasaran saat konflik bersenjata di Jalur Gaza ini berlangsung.
BUKU
Ali, Zainuddin, 2010, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.
Ambarwati dkk, 2009, Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
Jean-Marie Henckaerts, 2005, Customary International Humanitarian Law Volume I: Rules, ICRC, Cambridge.
JURNAL HUKUM
Aryuni Yuliantiningsih, 2009, Agresi Israel Terhadap Palestina
Perspektif Hukum Humaniter Internasional, Jurnal Dinamika
Hukum Vol.9, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.
Levina Yustitianingtyas, 2014, Pertanggungjawaban Negara dalam Perspektif Hukum Humaniter Dalam Tindakan Agresi (Studi Kasus; Agresi Israel Ke Lebanon Tahun 2006), Jurnal, Perspektif Hukum, Vol. 14 No. 1, Fakultas Hukum Universitas Hang Tuah, Surabaya.
M. Cherif Bassiouni, International Crimes: Jus Cogens and Obligatio Erga Omnes, 59 Law and Contemporary Problems 63-74 (Fall 1996).
INTERNET
BBC News, 2018, “Razan al Najjar, perawat Palestina yang ditembak mati Israel, tujuh hal yang perlu Anda ketahui”, URL: https://www.bbc.com /indonesia/trensosial-44354400.
Kompas, 2018, “Relawan Medis Wanita Palestina Tewas Ditembak Pasukan Israel, URL: https://internasional.kompas.com/read/
2018/06/02/20365501/relawan-medis-wanita-palestina-tewas-ditembak-pasukan-israel.
Tribun Jabar, 2018, “Razan Nazar Sempat Tak Sadar Ada Peluru Bersarang di Tubuhnya, Ia Menangis: 'Punggungku, Punggungku'”, URL: http://jabar.tribunnews.com/2018/06/05/razan-nazar-
sempat -tak-sadar-ada-peluru-bersarang-di-tubuhnya-ia-
menangis-punggungku-punggungku.
Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor S/RES/2286 (2016), URL: http://www.undocs.org/S/RES/2286
Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor S/RES/2401 (2018), URL: http://undocs.org/S/RES/2401(2018).
Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor A/RES/39/119, URL: http://www.un.org/documents/ga/res/39/ a39r119.htm.
Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor
A/RES/73/137, URL:
http://www.un.org/en/ga/search/view_doc.a sp?symbol=A/RES/73/137.
ILC Draft Responsibility of State for Internationally Wrongful Acts 2001, URL: http://legal.un.org/ilc/texts/instruments/english/draft_articles/ 9_6 _2001.pdf.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Konvensi Jenewa IV 1949 tentang Perlindungan Penduduk Sipil di Waktu Perang (The Geneva Convention relative to the Protection of Civilian Persons in Time of War)
Protokol Tambahan I 1977 tentang Perlindungan Terhadap Korban Konflik Bersenjata Internasional (Protocol I (1977) relating to the Protection of Victims of International Armed Conflicts)
Statuta Roma 1998 (Rome Statute of the International Criminal Court)
Kompilasi Hukum Humaniter Internasional Kebiasaan (Customary International Humanitarian Law)
15
Discussion and feedback