ASPEK SUSTAINABLE DEVELOPMENT GOALs DALAM PERDA BALI NOMOR 10 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN SAPI BALI*

Oleh:

Anak Agung Gede Agung Indra Pratama** Ketut Sudiarta, SH., MH***

Program Kekhususan Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum, Universitas Udayana

Abstrak

Fluktuasi sapi Bali menjadi sebuah persoalan bagi pemerintah Provinsi Bali terkhususnya pada aspek filosofis masyarakat Bali yang memposisikan sapi sebagai hewan suci. Persoalan ini kemudian disikapi dengan pembatasan intensitas pemotongan sapi Bali namun hal tersebut mengalami penolakan sehingga akan menjadi topik yang menarik untuk diidentifikasi. Rumusan Masalah pada jurnal ini adalah pertama, Apakah Perda Bali Nomor 10 Tahun 2017 Tentang Pengelolaan Sapi Bali telah mencerminkan nilai tepat guna pada aspek proporsionalitas kebijakan publik?; kedua, Bagaimana pengaturan sustainable development goal dalam Perda Bali Nomor 10 Tahun 2017 Tentang Pengelolaan Sapi Bali? Tujuan penulisannya adalah Untuk menjelaskan peran dari Perda Bali Nomor 10 Tahun 2017 Tentang Pengelolaan Sapi Bali dalam aspek keseimbangan (principle of proporsionality) yang merupakan bagian dari Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik antara pemerintah dengan masyarakat; serta Untuk mendeskripsikan sejauh mana Perda Bali Nomor 10 Tahun 2017 Tentang Pengelolaan Sapi Bali telah memaktubkan prinsip sustainable development goal dalam materi muatannya. Metode yang digunakan dalam penyusunan jurnal ini adalah metode penelitian hukum normatif didukung oleh pendekatan perundang-undangan, kasus dan konseptual. Hasil akhir dari jurnal ini menunjukan bahwa pertama, Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2017 telah mencerminkan prinsip proporsionalitas; Kedua, arah perumusan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2017 telah sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan.

Kata Kunci: Sapi Bali, Genetik, Pembangunan Berkelanjutan.

Abstract

The fluctuation of Bali cattle is a problem for the Bali provincial government especially in the philosophical aspects of the Balinese people who position cattle as sacred animals. This problem was then addressed by limiting the intensity of Bali cattle slaughter, but this was subject to rejection, which would be an interesting topic to identify. The formulation of the issue in this journal is first, Is Bali Perda Number 10 of 2017 Concerning Management of Bali Cows reflecting the appropriate value on the aspect of proportionality of public policy ?; second, How is the arrangement of sustainable development goals in Bali Regional Regulation Number 10 of 2017 Concerning the Management of Bali Cows? The purpose of the writing is to explain the role of Bali Local Regulation Number 10 of 2017 concerning Management of Bali Cattle in the principle of proportionality which is part of the General Principles of Good Governance between the government and the community; as well as to describe the extent to which Bali Perda Number 10 of 2017 concerning Management of Bali Cattle has established the principle of sustainable development goals in its material content. The method used in the preparation of this journal is a normative legal research method supported by a legal, case and conceptual approach. The final results of this journal show that first, Bali Provincial Regulation Number 10 of 2017 has reflected the principle of proportionality; Second, the direction of formulating the Regional Regulation of Bali Province Number 10 of 2017 is in accordance with the principle of sustainable development.

Keywords: Bali Cattle, Genetic, Sustainable Development.

  • I.    Pendahuluan

    1.1    Latar Belakang Masalah

Wacana pembangunan berkelanjutan di Indonesia menyajikan dilema bagi pemerintah Indonesia oleh karena memiliki tuntutan atas berbegai aktifitas sektor di Indonesia. Sejalan dengan itu, Rocky Marbun dkk menjelaskan bahwa konsep pembangunan berkelanjutan merupakan sebuah bentuk tuntutan pembangunan terpadu antara lingkungan hidup, sosial, ekonomi untuk menjamin kualitas hidup dari generasi kedepan.1 Pembangunan berkelanjutan seolah-olah menjadi tugas yang ditautkan oleh pemerintah dengan secara tiak langsung melepaskan tanggungjawab masyarakat untuk ikut berperan serta dalam aktifitas tersebut. Meskipun pembangunan berkelanjutan menjadi sebuah agenda pemerintahan dan dimaktubkan dalam berbagai naskah politik oleh setiap partai di Indonesia akan tetapi pembangunan berkelanjutan masih memiliki kelemahan dalam aspek formulasi kebijakan publik. Upaya perwujudnyataan pembangunan berkelanjutan di Indonesia pada konteks kewenangan diatribusikan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945) mengandung makna bahwa kedudukan dari “Bumi, Air, Ruang Angkasa dan Kekayaan Alam” dikuasai oleh pemerintah yang jika dianulir dapat semata-mata melekatkan kewajiban pemerintah untuk bertanggungjawab.

Indonesia sebagai Negara Republik pada prinsip integratif kekuasaan pemerintah secara konstitutif menegaskan adanya pelaksanaan dari otonomi daerah dan tugas pembantuan dalam Pasal 18 ayat (2) UUD 1945. Prinsip otonomi ini sendiri yang secara langsung memberikan kewajiban kepada pelaksana tugas

pemerintah pusat pada tingkat daerah sesuai dengan tolak ukur yang telah ditentukan. Sejalan dengan itu, Provinsi Bali sebagai daerah otonom telah ditetapkan sejak tahun 1958 dengan indikator Daerah Tingkat I bersamaan dengan Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat. Kabaradaannya yang strategis juga mengharuskan Provinsi Bali untuk dapat memperkuat kondisi pemerintahannya dengan berbagai kebijakan termasuk pada aspek kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan intensitas sapi bali secara berkala.2Meskipun Provinsi Bali dikenal sebagai daerah pariwisata dunia yang menyumbangkan pendapatan cukup besar untuk Indonesia akan tetapi dalam konteks mensejahterakan rakyatnya maka perlu bagi pemerintah untuk mengambil kebijakan dengan berhati-hati.

Upaya meregulasikan keberadaan sapi bali secara filosofis ditenggarai oleh faktor peningkatan dan pelestarian sumber daya genetik dan keanekaragaman hayati di Indonesia khususnya di Provinsi Bali. Disamping itu, Konsideran Menimbang huruf b Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2017 tentang Pengelolaan Sapi Bali mendeskripsikan bahwa indikator yang memungkinkan sapi bali untuk dilestarikan dengan komperasi sapi jenis lain ditenggarai oleh faktor turun temurun bahwa sapi Bali telah dahulu dipelihara oleh nenek moyang dan mempunyai keunggulan yang dapat meningkatkan prevelensi sosial-ekonomi masyarakat Bali. Meskipun demikian, keberadaan dari sapi Bali menjadi terancam dalam beberapa tahun terakhir yang dibuktikan dengan data Pusat Kajian Sapi Bali Universitas Udayana oleh Kepala Pusat Kajian Sapi Bali Universitas Udayana, Prof. Dr. Ni

Ketut Suwiti bahwa fluktuasi angka sapi Bali pada tahun 2015 mencapai 538.000 ekor, 533.000 ekor tahun 2016 dan 507.000 ekor di tahun 2017. Mengantisipasi fluktuasi tersebut maka Pemerintah Provinsi Bali mengurangi kuota pemotongan sapi Bali pada tahun 2018 sebanyak 5,3% atau setara dengan 47.500 ekor sapi per tahun yang berbeda dengan tahun 2017 yakni 50.000 ekor.

Tindakan pemerintah tersebut bertujuan untuk mengimplementasikan prinsip Tri Hitta Karana yang menjelaskan adanya keterkaitan antara manusia, Tuhan dan lingkungan. Kesinambungan hubungan, keseimbangan dan korelasi tiga aspek tersebut yang cenderung diistilahkan dengan pawongan, palemahan dan pharayangan adalah filosofi hidup masyarakat Bali yang tidak dapat dikesampingkan. Dalam kaitannya dengan itu, solusi yang diambil oleh Pemerintah tersebut cenderung dipersoalkan oleh beberapa pihak oleh karena nilai jual dan kualitas daging dari sapi bali yang berbeda dari hewan lainnya, bahkan beberapa media informasi publik mengabarkan bahwa keberadaan sapi bali masih menjadi primadona jelang idul adha.3 Menyikapi persoalan tersebut, Dr. Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarya sebagai PresidentThe Hindu Center of Indonesiamenghimbau untuk tidak mengkonsumsi sapi sebab merupakan kendaraan Dewa Siwa yang mana mayoritas dari masyarakat hindu bali merupakan penganut Siwaisme. Akan tetapi, imbauan tersebut tidak berdampak besar di Bali bahkan

pasca Idul Adha 2017 lalu diinformasikan bahwa 2000 ekor sapi Bali tetap dijadikan sebagai kurban.4

Uraian latarbelakang tersebut menjadi sebuah topik yang menarik apabila diidentifikasi dari aspek sustainable development goalsyang telah dimaktubkan dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2017 tentang Pengelolaan Sapi Bali. Berdasarkan    pertimbangan    tersebut    maka    penulis

memformulasikan judul Aspek Sustainable Development Goal Dalam Perda Bali Nomor 10 Tahun 2017 Tentang Pengelolaan Sapi Bali”.

  • 1.2    Rumusan Masalah

  • 1.    Apakah Perda Bali Nomor 10 Tahun 2017 Tentang Pengelolaan Sapi Bali telah mencerminkan nilai tepat guna pada aspek proporsionalitas kebijakan publik?

  • 2.    Bagaimana pengaturan sustainable development goal dalam Perda Bali Nomor 10 Tahun 2017 Tentang Pengelolaan Sapi Bali?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

  • 1.    Untuk menjelaskan peran dari Perda Bali Nomor 10 Tahun 2017 Tentang Pengelolaan Sapi Bali dalam aspek keseimbangan (principle of proporsionality)yang merupakan bagian dari Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik antara pemerintah dengan masyarakat.

  • 2.    Untuk mendeskripsikan sejauh mana Perda Bali Nomor 10 Tahun 2017 Tentang Pengelolaan Sapi Bali telah

memaktubkan prinsip sustainable development goal dalam materi muatannya.

  • II.    Hasil dan Analisis

    2.1    Metode Penulisan

Dalam perannya sebagai alternatif pelaksanaan penelitian, metode sangat berperan penting dalam menentukan hasil dari penelitian    tersebut.5    Mengutip pandangan Soetandyo

Wignyosoebroto yang menyampaikan bahwa metode bertujuan unutk mencari jawaban yang benar dan tidak lain adalah jawaban yang tidak keliru.6 Berdasar pada pertimbangan tersebut, maka Zainuddin Ali mengklasifikasikan sifat penelitian yang dalam kaitannya dengan penulisan jurnal ini adalah sifat penelitian deskriptif.7Dalam hal mendukung penelitian tersebut digunakan pendekatan perundang-undangan, kasus dan analisis yang menurut Diyah dan A’an sebagai tautan pengawal.8 Bahan hukum primer pada penelitian ini adalah Perda Bali Nomor 10 Tahun 2017 Tentang Pengelolaan Sapi Bali disamping beberapa peraturan perundang-undangan pendukung; Bahan hukum sekunder mencangkup literatur yang didapatkan dari Open Journal System Kertha Negara dan beberapa informasi dari luar; sedangkan bahan hukum tersier berupa informasi dari internet dan kamus hukum.

  • 2.2    Prinsip Proporsionalitas sebagai Indikator Tepat Guna Perumusan Perda Bali Nomor 10 Tahun 2017 Tentang Pengelolaan Sapi Bali

Problema yang timbul pasca dibatasi konsumsi daging sapi Bali berimplikasi pada kekuatan kesediaan pangan pada beberapa tempat yang melakukan aktifitas pasar di Provinsi Bali. Protes

kebijakan tersebut meskipun telah dilayangkan oleh beberapa masyarakat akan tetapi pembatasan tersebut dipandang tetap berlaku. Tautan filosofis masyarakat bali dan prinsip yang berbeda dari beberapa masyarakat pendatang turut menjadi sebuah sumber timbulnya persolan tersebut. Sejalan dengan itu, Perda Bali Nomor 10 Tahun 2017 Tentang Pengelolaan Sapi Bali (untuk selanjutnya disebut PB 10 Tahun 2017 tentang Sapi) memaktub Peraturan Menteri Pertanian Nomor 35/Permentan/ OT.140/8/2006 tentang Pedoman Pelestarian dan Pemanfaatan Sumber Daya Genetik Ternak yang sejatinya memiliki arah berpikir dalam Konsideran Menimbang huruf b untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun terlepas dari itu, pelestarian dan ancaman kepunahan merupakan pertimbangan lain yang mendasari pembenukan peraturan tersebut. Hal tersebut membuktikan bahwa meskipun pemerintah menyadari bahwa hewan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan ketersediaan pangan yang bermutu akan tetapi pemerintah juga turut mengupayakan solusi yang mumpuni untuk mengantisipasi adanya kepunahan dari hewan ternak itu sendiri.

Secara tidak langsung, aspek keseimbangan sebagaimana yang dimaksud dalam Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik telah direalisasikan oleh pemerintah pusat. Konteks proporsionalitas tersebut ditafsirkan oleh Ridwan HR sebagai hubungan hukum antara pejabat dalam pelaksanaan tugas.9 Pendapat tersebut menampilkan adanya keterbatasan pemahaman Ridwan HR yang hanya ditautkan pada hubungan hukum pemerintahan. Akan tetapi, apabila mengacu pada pendapat Philipus M. Hadjon, asas keseimbangan (the priciple of proportionality) juga bermakna keseimbangan antara pemenuhan

hak dan kewajiban dari pemerintah maupun dengan masyarakat dalam penyelenggaraan negara.10Keseimbangan tidak dapat ditafsirkan secara parsial dengan hanya memaktubkan unsur manusia sebagai indiaktornya akan tetapi Makhluk Hidup yang merupakan penunjang kehidupan manusia. Keseimbangan pengelolaan pangan dengan pemanfaatan hewan ternak sendiri telah secara langsung dibatasi dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (selanjutnya disebut UU 41 Tahun 2014 tentang Hewan) yang pada Penjelasan Umumnya menjelaskan bahwa pemanfaatan potensi pada hewan seharusnya dilakukan dengan bermartabat, bertanggungjawab dan berkelanjutan. Pengakuan tersebut yang merupakan manifestasi dari proporsionalitas hak antara hewan Sapi dan Masyarakat serta penyelenggara negara.

Pembentukan PB 10 Tahun 2017 tentang Sapi diterapkan dengan mengacu pada kewenangan yang telah dilimpahkan padanya dalam Pasal 13 UU 41 Tahun 2014 tentang Hewan yang menegaskan bahwa aspek pembenihan, pembibitan, pemulihan dll wajib dilakukan oleh pemerintah daerah. Dengan hadirnya kebijakan tersebut yang dipertegas kembali dalam Bab II huruf C butir 2 telah menjelaskan adanya kewajiban pemerintah daerah untuk melaksanakan tugas terkait dengan pembibitan dan perlindungan pada aktifitas ternak hewan. Perumusan PB 10 Tahun 2017 tentang Sapi telah menampilkan bahwa Pemerintah Provinsi Bali telah mengupayakan otonomi yang diamanahkan kepadanya dengan menghadirkan solusi bagi tindakan

pengelolaan sapi bali. Meskipun pada Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut UU Pemerintahan Daerah) tidak disebutkan secara spesifik terkait kesinambungan pelaksanaan aktifitas ternak akan tetapi muatan pasal tersebut telah mengungkapkan aspek lingkungan hidup serta pangan yang merepresentasi kebijakan terkait hewan tersebut.Berdasarkan uraian singkat tersebut maka pembahasan pertama pada jurnal ini memberikan jawaban bahwa secara eksplisit maupun implisit, perumusan Peraturan Daerah Provinsi Nomor 10 Tahun 2017 tentang Pengelolaan Sapi Bali telah mencerminkan adanya upaya untuk menyeimbangkan hak berdasar pada prinsip proporsionalitas yang dimaksudkan dalam Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik.

  • 2.3    Aspek Sustainable Development Goal dalam Perda Bali Nomor 10 Tahun 2017 Tentang Pengelolaan Sapi Bali.

Gagasan pembangunan berkelanjutan terkadang dipersoalkan dalam aspek pertanggungjawabnya sebab secara yuridis, pertanggungjawaban terhadap upaya pembangunan berkelanjutan sendiri dinilai hanya mengikat secara moral. Konsep sustainable development goal juga merupakan bagian dari AUPB akan tetapi klasifikasinya tidak secara khusus diungkapkan, melainkan Ridwan HR hanya menjelaskan adanya asas Penyelenggaraan Kepentingan Umum yang mengungkapkan kepentingan umum sebagai kepentingan bersama antar masyarakat.11Konsep pembangunan berkelanjutan bahkan tidak

juga diungkapkan oleh Umar Said Sugiarto dalam bukunya melainkan hanya sebatas menjelaskan kedudukan dari pembangunan berkelanjutan dalam penyelenggaraan negara di Indonesia.12 Sejalan dengan itu, konsep sustainable development goal telah ditetapkan dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang menjelaskan peran serta komponen negara untuk melaksanakan rencana jangka menengah Indonesia. Pada Pasal 17 ayat (2) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan diungkapkan adanya kewajiban dari Gubernur untuk merealisasikan kebijakan tersebut dengan melaporkan pencapaiannya kepada Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional atau Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.

Pada prinsipnya, pembangunan berkelanjutan bukan semata-mata sebuah tautan yang mengindikasikan pada pembangunan dalam arti fisik. Melainkan pembangunan berkelanjutan sebagaimana yang dimaksud tersebut memiliki cangkupan yang luas sebagaimana diungkapkan dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dengan lingkupannya yang bersifat global yang sesuai dengan sasaran pembangunan nasional. Dasar pijakan pembangunan berkelanjutan tersebut juga merupakan pengakuan terhadap hak asasi manusia pada aspek universalitas dan partikularitas ham oleh Andrey Sujatmoko.13 Meskipun dua teori tersebut memiliki

perbedaan arah berpikir akan tetapi pada pokoknya, Andrey Sujatmoko mengungkapkan bahwa titik tolak utama dari kedua teori tersebut adalah Hak Asasi Manusia yang berlaku secara universal.14

Cangkupan keberlakuan dari sustainable development goals juga berlaku atas hewan melalui prinsip perlindungan, restorasi, dan peningkatan ekosistem darat di Indonesia sesuai dengan Kajian Indikator Lintas Sektor Badan Pusat Statistik Republik Indonesia.15 Sejalan dengan eksposisi konsep sustanable development goals yang diungkapkan diatas, Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2017 tentang Pengelolaan Sapi Bali juga telah mengungkapkan beberapa hal berkenaan dengan pembangunan jangka panjang dalam pasal per pasalnya. Pasal 2 PB 10 Tahun 2017 tentang Sapi menjelaskan upaya pelestarian sapi Bali yang dilakukan melalui akfititas penjaringan jantan atau betina produktif unggul, pelestarian genetik sapi bali dan pengendalian penyakit. Secara terperinci, dijelaskan penjaringan jantan/betina unggul dapat ditempuh dengan kontes atau uji kemampuan di Lapangan. disamping itu, pelestarian genetik dilakukan dengan pengawetan bibit sperma atau emprio di bank sperma atau bank embrio demi mengantisipasi kepunahan sapi bali; dan pengendalian penyakit dilakukan dengan empat tahap yakni pencegahan, pengobatan, pengendalian dan pembebasan.

Tidak terlepas dari itu, pemerintah Provinsi Bali juga telah menjelaskan pemanfaatan sapi bali diupayakan melalui pemulihbiakan, pembudidayaan dan pasca panen sesuai rumusan Pasal 9 PB 10 Tahun 2017 tentang Sapi. Ketiga aspek tersebut dibiayai oleh pemerintah Provinsi Bali yang dibarengi dengan

fasilitasi pelaksananaan kegiatan. Aspek pembangunan berkelanjutan tersebut mengungkapkan bahwa adanya manifestasi pembangunan berkelanjutan dengan cara mengontrol dan meningkatkan intensitas sapi bali yang hidup di daerah regional Bali. Dalam kaitannya dengan itu, pemerintah juga mengupayakan keluar masuknya sapi Bali dengan mengklasifikasikan menjadi 4 bentuk yakni benih sapi Bali, benih sapi Bali Jantan/Betina dan Sapi Potong. Hal ini bertujuan untuk mengantisipasi adanya peningkatan intensitas keluaran sapi bali yang melemahkan intensitas sapi Bali di daerahnya. Pemerintah juga menjelaskan adanya peran serta masyarakat diikuti oleh larangan serta pembinaan dan pengawasan sapi bali yang beredar baik kedudukannya sebagai benih unggul maupun sapi potong.

Upaya yang dilakukan pemerintah tersebut telah mencerminkan adanya pembangunan berkelanjutan dengan mengontrol dan mengawasi eksistensi dari sapi Bali sehingga kesejahteraan antar generasi dan perluasan kesempatan sapi Bali hidup lebih lama. Uraian ini menjadi jawaban bahwa perumusan dalam PB 10 Tahun 2017 tentang Sapi telah mencerminkan nilai-nilai sustainable development goals di Indonesia.

  • III.    Penutup

    3.1    Kesimpulan

Uraian tersebut berumuara pada simpulan bahwa:

  • 1.    Perda Bali Nomor 10 Tahun 2017 Tentang Pengelolaan Sapi Bali telah mencerminkan nilai tepat guna pada aspek proporsionalitas kebijakan publik oleh karena diupayakan untuk menjamin keseimbangan antara penyelenggara aktifitas masyarakat berkenaan dengan Pemotongan Sapi Bali untuk kepentingan pangan,

disamping jaminan terhadap kekayaan genetik pada sapi Bali mengantisipasi adanya kepunahan sapi Bali.

  • 2.    Pelaksanaan aspek pembangunan berkelanjutan dalam Perda Bali Nomor 10 Tahun 2017 Tentang Pengelolaan Sapi Bali telah secara langsung ditampilkan dalam pasal-per pasal pada peraturan tersebut. Konsep pembangunan berkelanjutan tersebut diupayakan untuk menjamin kestabilan pengembangan genetik sapi Bali disamping sebagai upaya legal untuk melaksanakan Urusan Daerah Wajib yang tidak berkenaan dengan Pelayanan Dasar dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.

  • 3.2    Saran

  • 1.    Untuk mengimplementasikan prinsip proporsionalitas dalam Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, maka pemerintah harus meningkatkan fungsi pengawasan atas legislasi yang telah ditetapkan.

  • 2.    Perlu sebuah penegasan terkait aspek perlindungan genetik sapi Bali pada hari-hari raya dengan sistem kuota sehingga jaminan fluktuasi sapi Bali bisa terselesaikan

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Ali, Zainuddin. 2009. ”Penelitian Hukum”. Sinar Grafika. Palu.

Hadjon, Philipus M. et.al. 1987. “Perlindugnan Hukum Bagi Rakyat, Sebuah Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya, Penangannya oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembenutkan Peradilan Administrasi Negara”. Bina Ilmu Press. Surabaya.

HR, Ridwan. 2002. “Hukum Administrasi Negara”. Rajawali Press. Yogyakarta.

Indonesia, Badan Pusat Statistik. 2016. “Potret Awal Tujuan

Pembangunan Berkelanjutan (Sustainble Development Goals)”. BPS Press. Jakarta.

Sugiarto, Umar Said. 2012. “Pengantar Hukum Indonesia”. Sinar Grafika. Malang.

Sujatmoko, Andrey. 2014. “Hukum Ham dan Hukum Humaniter”. Rajawali Press. Jakarta.

Susanti, Diyah Ochtorina dan Effendi, A’an. 2012. “Penelitian

Hukum, Legal Research”. Sinar Grafika. Surabaya.

Jurnal

Aditya, I Made Galih dan Aryani,Nyoman Mas. 2017. “Pengembangan Desa Wisata Untuk Meningkatkan Sektor

Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Badung”. Jurnal Kertha Negara. Fakultas Hukum Universitas Udayana. Volume 5. Nomor 4.

Internet

Adrian Fanani, 2017, “Sapi Bali Masih Menjadi Primadona Jelang Idul Adha”,  Diakses dari https://news.detik.com, Pada

tanggal 21 Desember 2018, Pukul 17.39 WITA

Tribun News, 2012, “Raja Bali, Umat Muslim Diimbau Jangan

Konsumsi Sapi”, diakses dari www.tribunnews.com, Pada tanggal 21 Desember 2018, Pukul 17.57 WITA.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.

Peraturan   Menteri   Pertanian   Nomor   35/Permentan/

OT.140/8/2006 tentang Pedoman Pelestarian dan Pemanfaatan Sumber Daya Genetik Ternak.

Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2017 tentang Pengelolaan Sapi Bali.

17