TINJAUAN HUKUM LAUT INTERNASIONAL MENGENAI TANGGUNGJAWAB TERKAIT PENCEMARAN LINGKUNGAN AKIBAT TUMPAHAN MINYAK DI WILAYAH TUMPANG TINDIH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF ANTARA INDONESIA DAN MALAYSIA YANG TERLETAK DI PERAIRAN SELAT MALAKA*

Oleh

Ni Putu Intan Purnami**

Putu Tuni Cakabawa Landra***

A.A. Sri Utari****

Program Kekhususan Hukum Internasional

Fakultas Hukum Universitas Udayana

ABSTRACT

The writing of this research is motivated by the existence of overlapping areas of exclusive economic zones and the heavy traffic of large ships in the Malacca Strait, so that this situation has a high likelihood of ship collisions and causes oil spillage into the sea resulting in pollution of the marine environment. This obviously raises the responsibility and compensation of the ship owner against the party who is harmed by the pollution that occurs in the overlapping area.

This research applies normative legal research method, a research conducted by examining library material or secondary data and using a statutory approach, historical approach and comparative approach.

From the results of this study it can be concluded that the legal basis for the resolution of territorial boundaries (EEZ) of the Exclusive Economic Zone between Indonesia and Malaysia in the Malacca Strait is adequate and regulated in accordance with the international and national regulations of Indonesia and Malaysia. Therefore, the preferred method of settlement is to enter into an agreement. As for the problem of environmental pollution due to oil spills from ship collision in

the overlapping area of the Malacca Strait, then the responsibility is addressed to State, shipowners, individuals or groups of people or legal entities that are within the jurisdiction of the state, who act as captain or ship operator. With the principle of public interest also, Indonesia and Malaysia can ask for responsibility and compensation because the mutual interests of the two countries to reduce, prevent and control pollution of the marine environment being violated.

Keywords: Marine Environment Pollution; Responsibility; Overlapping; EEZ; Malacca Strait

ABSTRAK

Penulisan penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya wilayah tumpang tindih zona ekonomi eksklusif dan padatnya lalu lintas kapal-kapal besar di Selat Malaka, sehingga memiliki kemungkinan besar terjadinya tabrakan kapal dan menyebabkan tumpahnya minyak ke laut yang berakibat terjadinya pencemaran lingkungan laut. Tentu saja hal tersebut menimbulkan tanggungjawab dan ganti rugi dari pemilik kapal terhadap pihak yang dirugikan atas pencemaran yang terjadi di wilayah tumpang tindih.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder dan menggunakan pendekatan perundang – undangan (statute approach), pendekatan historis (historical approach) dan pendekatan komparatif (comparative approach).

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa landasan hukum mengenai penyelesaian batas wilayah (ZEE) Zona Ekonomi Eksklusif antara Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka telah memadai dan diatur sedemikian rupa dalam peraturan internasional dan nasional masing-masing Indonesia dan Malaysia. Sehingga cara penyelesaian yang diutamakan adalah dengan mengadakan perjanjian. Sedangkan untuk masalah pencemaran lingkungan akibat tumpahan minyak dari tabtrakan kapal di wilayah tumpang tindih Selat Malaka maka, pertanggungjawabannya ditujukan kepada negara, pemilik kapal, orang perseorangan atau kelompok orang atau badan hukum yang berada dalam yurisdiksi negara, yang berperan sebagai nahkoda ataupun operator kapal. Dengan adanya asas kepentingan umum juga maka Indonesia dan Malaysia dapat meminta tanggungjawab dan ganti rugi karena kepentingan bersama kedua negara untuk mengurangi, mencegah dan mengendalikan pencemaran lingkungan laut dilanggar.

Kata Kunci: Pencemaran Lingkungan Laut; Tanggungjawab; Tumpang Tindih; ZEE; Selat Malaka

  • I.   PENDAHULUAN

    • 1.1  Latar Belakang

Pelayaran dan perdagangan tidak hanya terjadi dalam cakupan satu wilayah negara atau hanya dalam negeri saja, melainkan sudah dilaksanakan secara luas melewati lintas batas negara atau dengan kata lain dapat disebut dengan pelayaran internasional dan perdagangan Internasional. Mengingat bahwa 40% akses perdagangan memanfaatkan laut Indonesia sebagai jalur perlintasan, maka letak strategis Indonesia pada jalur perdagangan internasional tidak bisa dipandang sebelah mata, karena 50% armada kapal dunia melewati Selat Malaka dan sekitar 50,000 kapal ‘pedagang besar’ lewat selat ini setiap tahunnya.1 Secara umum selat dapat dikatakan sebagai bagian laut yang sempit dan diapit oleh dua daratan atau lebih. Daratan itu dapat berupa daratan yang seluruhnya merupakan bagian wilayah dari satu negara saja atau melibatkan lebih dari satu negara. Selat juga menghubungkan dua atau lebih laut/lautan yang tentu saja secara geografis lebih luas daripada selat itu sendiri.2

Daya tampung Selat Malaka yang sempit, dangkal, berbelok-belok, dan ramai, menyebabkan selat ini semakin lama semakin terbatas untuk dapat dilalui oleh kapal-kapal tanker raksasa yang ukuranya semakin besar dan jumlahnya yang tak kalah banyak. Selat ini banyak memiliki bagian yang kedangkalannya kurang dari 23 meter. Kedangkalan ini sangat berbahaya bagi kapal-kapal raksasa yang sarat bebannya lebih dari 19 meter. Arus laut pada Selat Malaka pun dapat mencapai kecepatan 3 mil dengan perubahan

kecepatan yang tidak teratur.3 Dalam kondisi demikian, kecelakan berupa tabrakan pun menjadi kemungkinan yang sering terjadi. Kecelakaan ini tidak hanya membawa kerugian bagi pemilik kapal, tetapi juga menimbulkan bencana pencemaran laut yang pada akhirnya mempengaruhi kelestarian lingkungan laut dan kehidupan rakyat negara-negara pantai sekitar selat.4

Selain pencemaran yang menjadi masalah di Selat Malaka, terdapat juga masalah klaim tumpang tindih atau overlapping claim area antara Indonesia dan Malaysia. Indonesia dan Malaysia merupakan negara yang hidup bertetangga dan pantainya berhadapan atau berdampingan, dimana jarak antara kedua negara ini di Selat Malaka kurang dari 400 mil laut. Masing-masing negara melakukan klaim terhadap wilayah ZEE di wilayah Selat Malaka dengan pandangan yang berbeda sehingga mengakibatkan overlapping claim area. Apabila melihat dari pengertian ZEE yaitu:5

"The exsclusive economic zone (EEZ) is a zone extending up to 200 miles from the baseline, within which the coastal State enjoys exstensive rights in relation to natural resources and related jurisdiction rights, and third States enjoy the freedoms of navigations, overflight by aircraft and the laying of cables and pipelines".

Mengkaitkan antara masalah pencemaran lingkungan dengan klaim wilayah yang tumpang tindih atau overlapping claim area, maka akan menimbulkan pertanyaan bagaimanakah sebenarnya

pengaturan hukum laut intenasional mengenai overlapping claim di ZEE terutama antara Indonesia dan Malaysia, serta bagaimanakah tanggungjawab pemilik kapal yang menumpahkan minyak di wilayah tumpang tindih Selat Malaka yang batas ZEE belum jelas antara Indonesia dan Malaysia.

  • 1.2    Tujuan Penulisan

Tujuan dari pembuatan tulisan ini yaitu untuk menganalisa pengaturan hukum laut internasional mengenai ZEE yang tumpang tindih antara Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka serta untuk menganalisa tanggungjawab pemilik kapal yang menumpahkan minyak dan dapat berakibat sebagai pencemaran lingkungan, di wilayah tumpang tindih antara Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka.

  • II.    ISI MAKALAH

    • 2.1    METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang dipergunakan adalah metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder,6 penelitian ini dikonsepkan sebagai apa yang diucapkan dalam peraturan perundang-undangan.7 Adapun pendekatan – pendekatan yang digunakan antara lain, pendekatan perundang – undangan (statute approach), pendekatan historis (historical approach) dan pendekatan komparatif (comparative approach).

  • 2.2    HASIL DAN PEMBAHASAN

    • 2.2.1    Pengaturan Hukum Laut Internasional Mengenai ZEE Yang

Tumpang Tindih Antara Indonesia Dan Malaysia Di Selat Malaka

Penentuan batas-batas laut tidak selalu mudah, dapat dilihat seperti ZEE antara Indonesia dan Malaysia yang terletak di Selat Malaka sampai saat ini batasnya belum terselesaikan. Alasan batas ZEE ini sampai sekarang belum ditentukan secara pasti karena adanya klaim yang tumpang tindih. Klaim tumpang tindih ini berawal dari persetujuan dan perjanjian bilateral dan trilateral yang dilakukan oleh Indonesia dengan negara-negara tetangganya pada tahun 1969 mengenai garis-garis landas kontinen dan laut teritorial. Hal ini dimaksudkan untuk membentuk hukum kebiasaan sebelum disetujuinya melalui UNCLOS 1982.8

Saat itu Indonesia sebagai negara kepulauan dalam penetapan batas landas kontinen tersebut menggunakan titik-titik dasar dan garis dasar pada air rendah di pantai timur Sumatera, hal ini sesuai dengan yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia Pasal 1 ayat (2) (diganti dengan Undang-Undang No.6 Tahun 1996). Sedangkan Malaysia menarik garis dasar dari Pulau Jarak ke Pulau Perak sejauh 123 mil laut, apabila melihat pada konvensi yang berlaku sekarang, hal ini tidak sesuai dengan ketentuan dalam UNCLOS 1982 Pasal 47 ayat (2) yaitu hanya membolehkan maksimal 100 mil laut. Jadi sebagai negara pantai bukan negara kepulauan,

Malaysia seharusnya menarik garis dari pulau utama bukan dari Pulau Jarak ke Pulau Perak yang sangat jauh dari pantai.

Pengaturan mengenai laut pun berkembang dan dengan pengesahan UNCLOS 1982 mengakibatkan perlu di atur mengenai ZEE karena zona maritim ini adalah zona yang baru. Disinilah penyebab utama timbulnya wilayah tumpang tindih, Indonesia mengklaim garis tengah atau median line antara Indonesia (Sumatera) dan semenanjung Malaysia sebagai garis batas ZEE.9 Sedangkan Malaysia secara sepihak menganggap bahwa batas landas kontinen yang sudah terselesaikan terdahulu, sekaligus menjadi batas ZEE-nya di Selat Malaka. Dasar hukum yang digunakan atas klaim Indonesia adalah Pasal 3 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1983 Tentang ZEE. Sedangkan untuk Malaysia, dasar hukum yang digunakan adalah Pasal 3 ayat (2) Laws of Malaysia Act 311 EEZ Act 1984. Untuk menyelesaikan masalah tumpang tindih ZEE antara Indonesia dan Malaysia dapat dilakukan dengan cara delimitasi. Dimana delimitasi batas maritim antarnegara adalah penentuan batas wilayah atau kekuasaan antara satu negara dengan negara lain (tetangganya) di laut.10 Menurut Anthony Aust, Delimitation is the process of determining the land or maritime boundaries of a state, including that of any continental shelf or EEZ, by means of geographical coordinates of latitude and longitude.11

Dalam UNCLOS 1982 ZEE diatur pada Bab V, terutama pada Pasal 74 ayat (1) ditentukan mengenai penetapan batas ZEE antara negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan. Ayat (1) berbunyi, "penetapan batas ZEE antara negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan harus diadakan dengan persetujuan atas dasar hukum internasional, sebagaimana ditetapkan dalam pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional, untuk mencapai suatu pemecahan yang adil." Indonesia berlandaskan pada Pasal 3 Undang-Undang No. 5 Tahun 1983 menentukan bahwa, "apabila ZEE Indonesia tumpang tindih dengan ZEE negara-negara yang pantainya saling berhadapan atau berdampingan dengan Indonesia, maka batas ZEE antara Indonesia dan negara tersebut ditetapkan dengan persetujuan antara Republik Indonesia dan negara yang bersangkutan."

Dan Malaysia berlandaskan pada Laws of Malaysia Act 311 EEZ Act 1984 dimana pada bagian 2 Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini diatur mengenai delimitasi batas ZEE yaitu, "where there is an agreement in force on the matter between Malaysia and a State with an opposite or adjacent coast, questions relating to the delimitation of the EEZ shall be determined in accordance with the provisions of that agreement." Penyelesaian yang paling cocok digunakan untuk menyelesaikan garis batas ZEE antara Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka adalah garis sama jarak atau garis tengah. Selain melalui perjanjian penyelesaian garis batas ZEE di Selat Malaka dapat dilakukan dengan cara litigasi atau non litigasi. Namun apabila melihat perjanjian yang telah dicapai oleh Indonesia dan Filipina mengenai batas ZEE, penentuan batasnya dilakukan dengan persetujuan dan secara damai. Sehingga hal ini dapat dijadikan

acuan dalam menyelesaikan penentuan garis batas ZEE antara Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka.

Belum adanya garis batas ZEE yang pasti antara Indonesia dan Malaysia maka, dibuat MoU atau Nota Kesepahaman Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Malaysia Mengenai Pedoman Umum Tentang Penanganan Terhadap Nelayan. Mou ini bertujuan untuk menetapkan pedoman tentang kesepakatan kegiatan yang terkait dengan isu perikanan antara kedua belah pihak dengan penekanan khusus pada penjaminan kesejahteraan nelayan dari kedua belah pihak.

  • 2.2.2    TANGGUNGJAWAB PEMILIK KAPAL YANG MENUMPAHKAN

MINYAK DI WILAYAH TUMPANG TINDIH ANTARA INDONESIA DAN MALAYSIA DI SELAT MALAKA

Dalam hal terjadi kecelakaan kapal maka akan menimbulkan tanggungjawab dari pemilik kapal terhadap negara yang wilayah perairannya tercemar, hal ini dapat terjadi karena negara dirugikan oleh pencemaran minyak yang tumpah dari kapal. Pertanggungjawaban ini dapat ditinjau dari peraturan hukum internasional dan nasional. Dimana Pasal 194 ayat (2), 235 ayat (1) dan ayat (2) UNCLOS 1982, menentukan yang bertanggungjawab terhadap pencemaran lingkungan laut adalah negara yang benderanya berkibar diatas kapal. Jadi negara-negara yang telah meratifikasi UNCLOS 1982 memiliki kewajiban dalam menjaga lingkungan laut dan apabila negara melanggar kewajiban ini maka negara memiliki tanggungjawab terhadap pencemaran yang terjadi termasuk yang berasal dari akibat kapal yang bertabrakan. Namun ketentuan-ketentuan didalam UNCLOS 1982 hanya berupa perintah dan didalamnya tidak dibuat secara terperinci perihal nilai ganti rugi

yang dapat di klaim oleh negara atau orang yang menderita kerugian karena perairannya tercemar sehingga tidak dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah pertanggungjawaban dan ganti rugi negara atas pencemaran yang terjadi.

Dalam konvensi internasional lainnya dan peraturan perundang-undangan    Indonesia    yang    menjadi    subjek

pertanggungjawaban pencemaran lingkungan laut adalah negara, orang perseorangan, kelompok orang atau badan hukum, yang berperan sebagai nahkoda ataupun operator kapal. Konvensi internasional dan peraturan perundang-undangan nasional Indonesia yang berkaitan dengan pencemaran lingkungan laut oleh tumpahan minyak karena tabrakan kapal, yaitu MARPOL 73/78, CLC 1969 serta Protocol 1992, PP No.19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pecemaran Dan/Atau Perusakan Laut, PP No. 51 Tahun 2002 Tentang Perkapalan, Perpres No. 109 Tahun 2006 Tentang Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak Di Laut dan UU No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran, Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 29 Tahun 2014 Tentang Pencegahan Pencemaran Lingkungan Maritim. Dalam Protocol 1992 CLC 1969 ditentukan batas kompensasi adalah12

  • a.    Untuk kapal dengan berat tidak melebihi 5,000 GT, tanggungjawabnya dibatasi 3 juta SDR

  • b.    Untuk kapal dengan berat 5,000 sampai 140,000 GT, tanggungjawabnya dibatasi 3 juta SDR ditambah 420 SDR untuk setiap unit tambahan tonase

  • c.    Untuk kapal dengan berat melebihi 140,000 GT, tanggungjawab dibatasi 59.7 juta SDR

Lalu Protocol 1992 mengalami amandemen dan mulai berlaku pada tahun 2003, dimana batas kompensasi meningkat hingga 50 persen jika dibandingkan dengan Protocol 1992.13

Menurut Pasal 4 UU No. 5 Tahun 1983 Tentang ZEE, Indonesia mempunyai dan melaksanakan hak-hak berdaulat dan yurisdiksi negara di ZEE-nya beberapa diantaranya, hak untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya hayati di ZEE-nya, perlindungan dan pelestarian lingkungan laut dan hak-hak dan kewajiban-kewajiban lainnya berdasarkan UNCLOS 1982 yang berlaku. Yang dimaksud dengan hak-hak lain berdasarkan hukum internasional adalah hak Republik Indonesia untuk melaksanakan penegakkan hukum dan hot pursuit terhadap kapal-kapal asing yang melakukan pelanggaran atas ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan Indonesia mengenai ZEE. Sehingga dengan adanya hak-hak penegakkan hukum Indonesia dapat meminta tanggungjawab dan ganti rugi terhadap Indonesia atas pelanggaran ketentuan hukum nasionalnya.

Selanjutnya berlandaskan pada asas kepentingan umum, yaitu maksud hukum internasional diciptakan ialah untuk kehidupan atau kepentingan bersama, bukan hanya untuk negara besar atau kaya saja, tetapi juga harus benar-benar mengabdi pada kepentingan umum masyarakat internasional,14 sehingga apabila terjadi pencemaran di wilayah ZEE yang tumpang tindih antara Indonesia

dan Malaysia di Selat Malaka, maka Indonesia dan Malaysia dapat meminta tanggungjawab dan ganti rugi karena kepentingan bersama kedua negara untuk mengurangi, mencegah dan mengendalikan pencemaran lingkungan laut dilanggar.

Landas hukum bahwa pertanggungjawaban dan ganti rugi dapat diberikan terhadap Indonesia adalah Pasal 11 ayat (1) UU No. 5 tahun 1983 Tentang ZEE. Sedangkan landasan hukum dari Malaysia adalah menurut Laws Of Malaysia Act 311 EEZ Act 1984 Pasal 10 ayat (1). Jadi sudah barang tentu bahwa ZEE yang tumpang tindih ini nantinya menjadi milik masing-masing Indonesia dan Malaysia, karena wilayahnya ini meliputi wilayah ZEE dari Indonesia dan Malaysia sehingga selain Indonesia, Malaysia juga berhak atas ganti rugi dari penemaran yang terjadi.

  • III.  PENUTUP

    • 3.1  Kesimpulan

  • 1.   Untuk menyelesaikan masalah tumpang tindih ZEE antara

Indonesia dan Malaysia dapat dilakukan dengan cara delimitasi. Delimitasi dilakukan melalui perjanjian sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 74 ayat (1) UNCLOS 1982, Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1983 Tentang ZEE, dan bagian 2 Pasal 3 ayat (2) Laws of Malaysia Act 311 EEZ Act 1984. Apabila melihat perjanjian yang telah dicapai oleh Indonesia dan Filipina mengenai batas ZEE, penentuan batasnya dilakukan dengan persetujuan dan secara damai. Sehingga hal ini dapat dijadikan acuan dalam menyelesaikan penentuan garis batas ZEE antara Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka.

  • 2.   Dalam hal terjadi kecelakaan kapal maka akan menimbulkan

tanggungjawab dari pemilik kapal terhadap negara yang wilayah perairannya tercemar. Dalam konvensi internasional dan peraturan perundang-undangan Indonesia yang menjadi subjek pertanggungjawaban pencemaran lingkungan laut adalah negara, orang perseorangan, kelompok orang atau badan hukum. Batas kompensasinya ditentukan dalam Protocol 1992 dari CLC 1969. Lalu Protocol 1992 mengalami amandemen, dimana batas kompensasi meningkat hingga 50 persen. Dengan adanya hak-hak dan kewajiban-kewajiban penegakkan hukum dan karena kepentingan umum untuk mengurangi, mencegah  dan mengendalikan pencemaran

lingkungan laut dilanggar, maka Indonesia dan Malaysia dapat meminta tanggungjawab dan ganti rugi.

  • 3.2  Saran

  • 1.   Pemerintah RI hendaknya menentukan penyelesaian batas

maritim NKRI dengan negara tetangga dalam kurun waktu secepat mungkin, agar terciptanya wilayah Indonesia yang utuh. Dalam proses penyelesaiannya agar selalu diusahakan dan berpatokan pada peraturan internasional juga peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu yang diutamakan melalui perjanjian dan kesepakatan bersama secara damai.

  • 2.   Pemerintah RI juga diharapkan agar lebih mengembangkan

peraturan nasionalnya dalam hal tanggungjawab dan ganti rugi atas pencemaran laut di wilayah perairan yang penyelesaian garis batasnya belum terselesaikan. Pengembangan peraturan juga dapat dilakukan dengan mengadakan kerjasama dengan negara-negara tetangganya, dengan membuat pengaturan

sementara untuk mencegah, mengurangi dan mengendalikan pencemaran pada lingkungan laut yang garis batas wilayahnya belum ditentukan sesuai dengan Pasal 74 ayat (3) UNCLOS 1982. Alangkah baiknya apabila pengaturan sementara dibuat bukan karena suatu hal telah terjadi atau bersifat preventif.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Buku

Amirudin dan H. Zainal Asikin, 2010, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Press, Jakarta.

Andi Arsana, I Made 2007, Batas Maritim Antarnegara: Sebuah Tinjauan Teknis dan Yuridis, Gadjah Mada University

Press, Yogyakarta.

Aust, Anthony, 2002, Handbook of International Law, Cambridge University Press, Cambridge.

Churcill, R.R. dan A.V. Lowe, 1999, The Law of The Sea, Manchester University Press, United Kingdom.

Dam, Syamsumar, 2010, Politik Kelautan, Cetakan I, Bumi Aksara, Jakarta.

Parthiana, I Wayan, 2014, Hukum Laut Internasional dan Hukum Laut Indonesia, Cetakan I, Yrama Widya, Bandung.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mudji, 2011, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

  • 2.    Jurnal Ilmiah

Astawa, Kt. Diara, 2014, "Sistem Hukum Internasional dan Peradilan   Internasional",    Jurnal    Hukum   dan

Kewarganegaraan Universitas Negeri Malang, Malang.

Natalia, Kiki, 2013, "Penyelesaian Permasalahan Batas Wilayah Antara Indonesia Dan Malaysia Di Perairan Selat Malaka Ditinjau Dari UNCLOS 1982", Jurnal Fakultas Hukum Universitas Surabaya, Surabaya.

  • 3.    Perundang-Undangan

United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage 1969 serta Protocol 1992

Undang-Undang No. 5 Tahun 1983 Tentang Zona Ekonomi Eksklusif.

Laws of Malaysia Act 311 Exclusive Economic Zone Act 1984

  • 4.    Internet

Abrian, Gerry, 2016, “Memahami Posisi Indonesia Pada Jalur Perdagangan                              Internasional”,

http://newswantara.com/maritim/memahami-posisi-indonesia-pada-jalur-perdagangan-internasional

Burmansyah, Edy, 2016,   "Merugi di Selat Malaka",

https://indoprogress.com/2016/05/merugi-di-selat-malaka/

International Maritime Organization, Tanpa Tahun, "International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage (CLC), http://www.imo.org/en/about/conventions/listofconventi ons/pages/international-convention-on-civil-liability-for-oil-pollution-damage-(clc).aspx (selanjutnya disingkat IMO I)

Portonews, 2017, “Selat Malaka, Arena Tumpahan Minyak”, http://www.portonews.com/2017/oil-and-chemical-spill/selat-malaka-arena-tumpahan-minyak/

15