IMPLIKASI PERLUASAN HAK IMUNITAS ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA TERHADAP PRINSIP EQUALITY BEFORE THE LAW

Oleh:

Dewa Ayu Sekar Saraswati* I Nengah Suantra**

Program Kekhususan Hukum Ketatanegaraan Fakultas Hukum Universitas Udayana

ABSTRAK

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah selanjutnya disebut UU MD3 yang diundangkan pada bulan maret tahun 2018 lalu menuai perdebatan publik dikarenakan beberapa ketentuan yang termuat di dalam UU MD3 tersebut dianggap suatu kemunduran demokrasi ditambah lagi dengan kebijakan Presiden Joko Widodo yang tidak bersedia menandatangani UU MD3 tersebut. Adapun salah satu isu yang kontroversial yaitu mengenai hak imunitas anggota DPR yang meluas, hal tersebut termuat dalam Pasal 245 ayat (1) yakni pemanggilan dan permintaan keterangan terhadap anggota DPR dalam hal terjadinya tindak pidana yang tidak berhubungan dengan pelaksanaan tugas harus mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan untuk selanjutnya mendapat persetujuan tertulis dari presiden. Adapun yang menjadi permasalahan adalah bagaimana perluasan hak imunitas anggota DPR dan Bagaimana keterkaitan perluasan hak imunitas tersebut dalam prinsip equality before the law yang dianut di Indonesia? Adapun penulisan jurnal ini menggunakan metode yuridis normatif, hasil analisis kedua permasalahan tersebut adalah Pasal 245 ayat (1) UU MD3 mengakibatkan meluasnya hak imunitas anggota DPR karena hak imunitas tersebut juga berlaku diluar tugas dari anggota DPR yang mana hal tersebut bertentangan dengan hakekat hak imunitas yang bertujuan untuk melindungi anggota DPR dalam menjalankan tugasnya agar tidak mudah dikriminalkan. Selanjutnya Mahkamah konstitusi berpendapat bahwa ada diskriminasi atas dasar status jabatan publik dan bertentangan dengan prinsip non diskriminasi dan persamaan di muka hukum.

Kata kunci: Dewan Perwakilan Rakyat, Hak imunitas, Persamaan di muka hukum.

ABSTRACT

The Law Number 2 Year 2018 concerning Provisional people’s consultative assembly, House of people’s representative, Assembly at provincial and Regional Representative Board hereinafter referred to Law concerning MD3 are being controverted by the society. Furthermore, the Indonesian president Joko Widodo decided not to sign the law because some of the articles considered as a setback to democracy. One of some controversial issues is about Expanded the Immunity rights which is regulated in Article 245 paragraph 1. The article declares that a summon or enquire to a member of The House of People’s Representative in terms of criminal act that contradictive with their assignment must receive a consideration from the Court of Law of House of People’s Representative and a written approval from the President. However, the problem based on this journal is how the immunity right is being expanded and how is the relation between the equality before the law theory and the expanded immunity rights. This journal used a normative legal research method. Furthermore, the analysis results of the problems are based on the Article 245 paragraph 1 had inflict the immunity rights to become expanded because, basically the purposed of immunity right is to assure the member of The House of People’s Representative will not be criminalized while fulfil their duty and obligations. In that case the article declared that the immunity rights also apply outside their duty as a member. Hereafter the Constitution Court considered that there is a discrimination for being a public official and it is contradictive with the equality before the law theory.

Keywords: Immunity rights, The House of People’s Representative, Equality before the law.

  • I.    Pendahuluan

    1.1    Latar belakang

Undang-Undang Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 (yang selanjutnya disingkat UUD 1945) merupakan peraturan tertinggi dalam hierarki peraturan perundang undangan yang mengimplementasikan jiwa rakyat Indonesia dalam wadah Pancasila. UUD 1945 menyatakan dengan jelas bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum dengan asas kedaulatan berada di tangan rakyat. Berkenaan dengan hal tersebut Lembaga tinggi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (yang selanjutnya disingkat DPR RI) lahir sebagai implementasi dari konsep kedaulatan rakyat yang terkandung dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945.1 Berkedudukan sebagai salah satu lembaga negara utama atau main state organs, DPR RI memiliki 3 fungsi utama sebagai sebuah Lembaga legislative yaitu fungsi Legislasi, fungsi Budgeting dan fungsi Controlling sebagaimana yang termuat dalam Pasal 20 A ayat (1) UUD 1945.2

Dalam perkembangannya DPR RI yang merupakan Lembaga perwakilan rakyat pernah mengalami pasang surut baik dari segi kedudukan maupun kewenangannya. Hal ini ditandai dengan UU MD3 sudah diamandemen sebanyak sembilan kali yakni:

  • -    Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1975;

  • -    Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1985;

  • -    Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1995;

  • -    Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999;

  • -    Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003;

  • -    Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009;

  • -    Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014;

  • -    Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014; dan

  • -    Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018.

Proses Amandemen kesembilan UU MD3 kerap menuai pro dan kontra dari berbagai pihak, baik dari civitas akademika, praktisi maupun masyarakat ditambah dengan kebijakan Presiden Joko Widodo yang tidak bersedia mengesahkan RUU MD3 dikarenakan beberapa ketentuan yang dianggap mengkriminalisasi demokrasi. 3 Berdasarkan pada Pasal 20 ayat lima UUD 1945 yang menyatakan apabila RUU yang telah disetujui bersama tidak disahkan oleh presiden dalam tenggang waktu tiga puluh hari sah menjadi Undang-Undang, oleh sebab itu RUU MD3 tetap sah menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MD3.

Adapun yang menjadi perdebatan masyarakat tidak lain adalah beberapa ketentuan pasal dalam UU MD3 pasca amandemen ke sembilan yang dinilai mengikari prinsip negara hukum Indonesia yang diantut dalam UUD 1945. Salah satu yang menjadi sorotan publik adalah pengaturan mengenai hak imunitas anggota DPR yang diperluas. Berkenaan dari fenomena masyarakat tersebut, penyusunan jurnal ilmiah bertujuan untuk mengkaji tentang implikasi dari hak imunitas anggota DPR RI terhadap prinsip equality before the law.

  • 1.2    Rumusan Masalah

    • 1.2.1    Bagaimana Perluasan hak imunitas yang dimiliki oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dalam Undang Undang Nomor 2 tahun 2018?

    • 1.2.2    Bagaimana implikasi dari perluasan hak imunitas yang dimiliki oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia terhadap prinsip equality before the law yang dianut oleh UUD 1945?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Pada hakekatnya suatu penelitian hukum memiliki tujuan untuk mempelajari gejala atau fenomena hukum dengan menganalisisnya secara mendalam dengan fakta  hukum4.

Berkaitan dengan hal tersebut tujuan dari penulisan ini adalah: 1.3.1 Untuk mengetahui perluasan dari hak imunitas yang dimiliki oleh Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia di dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2018.

  • 1.3.2 Untuk mengetahui dan menganalisa implikasi Perluasan Hak imunitas tersebut dengan Prinsip equalty before the law yang dianut oleh UUD 1945.

  • II.    Isi Makalah.

    • 2.1   Metode penulisan hukum.

      • 2.1.1  Jenis penelitian hukum yang digunakan

Adapun penelitian hukum yang bertujuan menjawab suatu pertanyaan akademik terbagi menjadi dua yakni penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris Berkenaan dengan hal tersebut, jenis penelitian yang digunakan dalam jurnal ini penelitian hukum normatif atau doctrinal research yang mencangkup penelitian terhadap asas – asas hukum, sistematika hukum dan taraf sinkronisasi hukum.5

  • 2.1.2    Pendekatan hukum yang digunakan

Jurnal ini menggunakan dua jenis pendekatan, yang pertama adalah pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) yakni pendekatan yang dilakukan dengan mengkaji seluruh peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan isu hukum yang diangkat6, dalam hal ini penulis mengkaji UUD 1945 dan UU MD3. Selanjutnya jenis pendekatan yang kedua yakni pendekatan kasus (Case Approach) yang dilakukan dengan menggali dan menganalisis suatu kasus yang telah berkekuatan hukum tetap7

  • 2.1.3    Bahan hukum yang digunakan

Terdapat tiga jenis bahan hukum yang digunakan dalam jurnal ini, yang pertama adalah bahan hukum primer yang memiliki otiritas. yakni peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 2 tahun 2018 tentang MD3 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 16/PUU-XVI/2018 dan Nomor: 28/PUU-XVI/2018. Selanjutnya yang kedua adalah bahan hukum sekunder yang bermuatan literatur-literatur, jurnal, surat kabar yang berkaitan dengan fenomena perluasan hak imunitas anggota DPR RI dalam UU MD3. 8Yang terakhir yaitu bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia serta Kamus Hukum.9

  • 2.1.4    Teknik Pengumpulan Bahan Hukum.

Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan yakni studi kepustakaan yang dilakukan dengan mekanisme mengkaji literatur, jurnal dan bahan lain yang berkaitan dengan permasalahan dalam jurnal ini untuk dijadikan referensi dan disusun secara sistematis dalam penulisan jurnal ini.

  • 2.1.5    Teknik Analisis Bahan Hukum.

Bahan hukum yang dipergunakan dalam jurnal ini diolah dengan teknik analisis deskriptif kualitatif yang artinya menganalisa suatu bahan hukum yang tidak dapat di kalkulasi atau dihitung. Bahan hukum tersebut kemudian di analisis dengan metode interpretasi yang terdiri dari 3 tahapan yang diantaranya meliputi: (1) Interpretasi sistematis yaitu menasfirkan pasal-pasal dalam undang-undang dengan memperhatikan naskah hukum yang lain dan mengkaji apakah ketentuan ketentuan yang ada saling berkaitan. (2) Interpretasi gramatikal yakni penasfiran makna pada teks dalam suatu peraturan, dalam jurnal ini dilakukan penafsirkan makna yang terkandung dalam Pasal 245 UU MD3. (3) Interpretasi teologis yaitu penasfiran terhadap tujuan norma hukum tersebut.

  • 2.2    Hasil dan Analisis

    • 2.2.1    Perluasan hak imunitas yang dimiliki oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dalam Undang Undang Nomor 2 tahun 2018.

Berlandaskan pada Pasal 20 ayat (5) UUD 1945, revisi undang-undang MD3 yang menjadi perdebatan publik telah sah menjadi undang-undang pada tanggal 3 bulan maret tahun 2018 lalu tanpa pengesahan dari Presiden Republik Indonesia Bapak H.

Joko Widodo.10 Pasca diundangkannya UU MD3 tidak sedikit masyarakat mengajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi terkait UU MD3 yang kontroversial dikarenakan beberapa ketentuan yang menurut publik merupakan suatu kemunduran dalam demokrasi.11 Adapun salah satu sorotan publik dalam UU MD3 yang diangkat dalam penulisan ini yakni perluasan hak imunitas.

Hak imunitas pada dasarnya terbagi menjadi dua jenis, diantaranya meliputi: (1) Hak imunitas mutlak yakni hak imunitas yang tidak dapat dibatalkan oleh siapapun seperti contoh hak imunitas DPR dalam bersikap dan memberikan pernyataan dalam rapat terkait dengan tugasnya; serta (2) Hak imunitas relatif yakni hak imunitas tersebut tidak absolut seperti yang pertama dalam arti dapat dikesampingkan apabila hak tersebut disalahgunakan contohnya adalah siaran media mengenai rapat parlemen maupun persidangan.12

UUD 1945 tepatnya pada Pasal 20A ayat (3) sesungguhnya telah memberikan hak imunitas pada setiap anggota DPR sebagai lembaga kekuasaan Legislatif di Indonesia yang mengimplementasikan kedaulatan rakyat. Adapun Hak imunitas anggota DPR telah diatur dalam Pasal 224 UU MD3 merupakan hak untuk tidak dapat dituntut dimuka pengadilan dan diganti antarwaktu karena bersikap, bertindak, bertanya dan menyatakan pendapat baik lisan atau tulisan dalam hal yang berkaitan dengan tugas, fungsi, wewenang dan hak serta wewenang konstitusional di dalam rapat atau diluar rapat DPR. Adapun hak imunitas

tersebut tidak dapat berlaku dalam hal anggota DPR mengutarakan materi yang dirahasiakan dalam rapat tertutup maupun mengutarakan hal lain yang menurut Undang-Undang dianggap sebagai rahasia negara.

Pasca berlakunya UU MD3 terdapat perluasan hak imunitas dalam ketentuan pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR. Pengaturan mengenai pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR berkenaan dengan terjadinya suatu tindak pidana ini sejatinya sudah diatur pada UU MD3 sebelumnya yakni pada Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MD3 tepatnya pada Pasal 224 ayat (5) yang menyatakan bahwa dalam melakukan pemanggilan dan permintaan keterangan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan suatu tindak pidana yang berhubungan dengan tugasnya lebih dulu mendapatkan persetujuan tertulis dari Majelis Kehormatan Dewan (untuk selanjutnya disingkat MKD).

Sedangkan pasca berlakunya UU MD3 yang baru terdapat perubahan pada ketentuan Pasal 245 ayat (1) yaitu dalam melakukan pemanggilan dan meminta keterangan pada anggota DPR terkait suatu tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugasnya seperti yang termuat dalam Pasal 224 harus mendapatkan pertimbangan dari MKD yang selanjutnya mendapat persetujuan tertulis dari presiden. Selanjutnya, Pasal 245 ayat (2) menyatakan persetujuan tertulis tersebut tidak berlaku dalam hal anggota DPR tertangkap tangan dalam melakukan tindak pidana, disangka melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana mati atau seumur hidup, tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan, tindak pidana terhadap keamanan negara dan tindak pidana khusus.

Frasa “tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugasnya” dalam ketentuan Pasal 245 ayat (1) yakni dalam melakukan pemanggilan dan meminta keterangan pada anggota DPR terkait suatu tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugasnya berimplikasi kepada hak imunitas yang sebelumnya hanya berlaku dalam ruang lingkup pelaksanaan tugas, menjadikan hak imunitas tersebut meluas dikarenakan berlaku dalam hal tindak pidana yang tidak berkaitan dengan tugas anggota DPR selain yang disebutkan dalam Pasal 245 ayat (2) yang sudah disebutkan sebelumnya.

Berdasarkan Pertimbangan Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018 pemberian hak imunitas pada pada anggota DPR bertujuan untuk melindungi anggota dalam menjalankan hak, fungsi dan tugasnya agar tidak mudah dikriminalkan. Tentunya hal tersebut bertentangan dengan perluasan hak imunitas yang ada di dalam UU MD3 karena hak imunitas tersebut juga berlaku dalam hal tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas anggota DPR. Suatu implikasi dari frasa tersebut ialah terhambatnya polisi dalam menindak kasus seorang anggota DPRD Provinsi Maluku Jimmy G. Sitanalaga yang menabrak tukang ojek hingga meninggal dunia.13 Berkenaan dengan hal tersebut wajar apabila banyak dari masyarakat melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi berkenaan dengan beberapa ketentuan dalam UU MD3 salah satunya adalah ketentuan ini yang sejatinya tidak sejalan dengan konsep hak imunitas yang diamanahkan oleh UUD 1945.

Selanjutnya terjadi perubahan pada ketentuan tersebut yakni pada UU MD3 sebelumnya bahwa dalam melakukan pemanggilan

dan permintaan keterangan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan suatu tindak pidana yang berhubungan dengan tugasnya lebih dulu mendapatkan persetujuan tertulis dari MKD. Dalam UU MD3 terjadi perubahan dalam hal MKD tidak lagi memberikan persetujuan tertulis namun hanya memberikan pertimbangan yang selanjutnya pemberian persetujuan tertulis dilakukan oleh Presiden.

  • 2.2.2    Implikasi Perluasan Hak Imunitas anggota Dewan Perwakilan Rakyat terhadap prinsip equality before the law.

Sebagai negara hukum (rechstaat) yang memiliki makna pemerintahan berdasarkan undang-undang, Indonesia memiliki sumber hukum tertinggi yakni Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (yang selanjutnya disebut UUD 1945).14 UUD 1945 dengan tegas menyatakan dalam Pasal 27 ayat (1) semua warga negara memiliki persamaan kedudukan di dalam hukum, dan Pasal 28 D ayat (1) setiap orang berhak mendapatkan perlakuan yang sama di muka hukum. Selanjutnya dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak untuk memperoleh perlakuan yang sama di depan hukum. Ketentuan tersebut secara langsung menyatakan bahwa Indonesia menganut prinsip persamaan di muka hukum atau prinsip equalty before the law.

Prinsip persamaan di muka hukum bermula dari konsep The Rule of Law oleh Albert V Dincey yang muncul pada jaman Inggris modern, konsep tersebut menyatakan bahwa setiap warga negara

harus tunduk pada hukum yang sama dan diadili di pengadilan yang sama. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa persamaan di muka hukum pada hakekatnya adalah perlakuan yang sama di muka hukum terhadap setiap warga negara baik itu pejabat maupun warga biasa. Selanjutnya mengenai meluasnya hak imunitas anggota DPR RI terkait Pasal 245 ayat (1) yang telah dijabarkan pada pembahasan sebelumnya, apabila di kaitkan dengan prinsip persamaan di muka hukum memang anggota DPR RI selaku pejabat negara mendapat sebuah perlakuan istimewa yang mana apabila anggota DPR dimintai keterangan atau dipanggil terkait dengan tindak pidana yang tidak sehubungan dengan tugasnya harus mendapat pertimbangan dari MKD untuk kemudian mendapat persetujuan tertulis dari Presiden hal tersebut tentunya membedakan proses hukum anggota DPR dari warga negara indonesia lainnya.

Berdasarkan pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XII/2014 mengenai pemberian izin untuk pejabat yang melalui proses hukum sudah diatur di beberapa undang undang seperti Undang-Undang Nomor 8 tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang memuat ketentuan bahwa Hakim konstitusi hanya dapat dikenakan tindak kepolisian atas perintah Jaksa Agung setelah persetujuan tertulis dari presiden sehingga perlakuan istimewa tersebut tidak hanya di berlakukan kepada anggota DPR namun juga pejabat lain salah satunya adalah Hakim Konstitusi. Hal tesebut menunjukan adanya diskriminasi atas dasar status jabatan publik yang bertentangan dengan prinsip non diskriminasi dan persamaan di

muka hukum. Dengan kata lain tidak ada perlakuan sama antara individu dengan pejabat public dalam menempuh proses hukum.15

Selanjutnya perlu dilihat kembali meskipun tidak hanya anggota DPR selaku pejabat publik yang memiliki perlakuan istimewa seperti yang disebutkan diatas, perlakuan istimewa mengenai pemanggilan dan permintaan keterangan sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas seorang pejabat publik tidak sepenuhnya diperlukan, Mengingat hal tersebut bukan berhubungan dengan tugas namun diluar tugas seorang pejabat publik yang notabene adalah warga negara Indonesia biasa. Dengan demikian perluasan hak imunitas anggota DPR dalam Pasal 245 ayat (1) UUMD3 berimplikasi pada prinsip equality before the law yang dikesampingkan atas dasar status jabatan publik sebagaimana yang tertuang dalam Pertimbangan Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018.

  • III.    Penutup.

    3.1    Kesimpulan

Pasal 245 ayat (1) UU MD3 berimplikasi pada meluasnya hak imunitas terhadap anggota DPR dikarenakan hak imunitas tersebut juga berlaku dalam hal tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas anggota DPR, yang sejatinya Berdasarkan Pertimbangan Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018 pemberian hak imunitas pada anggota DPR bertujuan untuk melindungi anggota dalam

menjalankan hak, fungsi dan tugasnya agar tidak mudah dikriminalkan.

Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 secara langsung membuat Indonesia menganut prinsip persamaan di muka hukum atau prinsip equality before the law yang memiliki makna perlakuan yang sama di muka hukum terhadap setiap warga negara baik itu pejabat maupun warga biasa. Namun berdasarkan Pertimbangan Hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XII/2014 menyatakan adanya diskriminasi atas dasar status jabatan publik yang bertentangan dengan prinsip non diskriminasi dan persamaan di muka hukum. Berkenaan dengan hal tersebut perluasan hak imunitas anggota DPR dalam Pasal 245 ayat (1) UUMD3 berimplikasi pada prinsip equality before the law yang dikesampingkan atas dasar status jabatan publik.

  • 3.2    Saran

Adapun saran terhadap perluasan hak imunitas yang tertuang dalam Pasal 245 ayat (1) UU MD3 penting untuk dibenahi kembali sebab pada kenyataannya frasa “tidak sehubungan dengan tugas” memberikan kekebalan yang absolut kepada anggota DPR selaku pejabat publik dan bertentangan dengan Konsep hak imunitas yang sejatinya diberikan kepada pejabat publik sebagai upaya pencegahan kriminalisasi dalam pelaksanaan tugas.

DAFTAR PUSTAKA

Buku.

Asshiddiqie, Jimly, 2016, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, cet. VIII, PT. Grafindo Persada, Depok.

Ali, Zainuddin, 2016, Metode Penelitian Hukum, cet. VIII, Sinar Grafika, Jakarta.

Fudy, Munir, 2010, Konsep Negara Demokrasi, Refika Aditama, Bandung.

Kansil, C.S.T, 2003, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, cet. III, P.T Rineka Cipta, Jakarta.

Mamudji, Sri, 2005, Metode Penelitian Dan Penulisan Hukum, cet. I, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok.

Triwulan, Titik, 2010, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, cet. I, Kencana, Jakarta.

Jurnal Ilmiah

Istri, Sagung, 2017, Analisis Yuridis Hak Imunitas DPR Ditinjau Dari Prespektif Prinsip Negara Hukum, Jurnal Universitas Udayana, Denpasar.

Peraturan Perundang – Undangan

Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, (Diundangkan di Jakarta pada tanggal 5 Agustus 2014 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 5568).

Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, (Diundangkan di Jakarta pada tanggal 15 Maret 2018 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 29 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 6187).

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XII/2014, (Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 22 September 2015).

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018, (Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 28 Juni 2018).

Internet

Abbas, Muslimin, 2018, Kasus Anggota DPRD Tabrak Tukang Ojek, Polisi Terhambat UU MD3, URL: https://news.detik.com, diakes pada 3 Juli.

Sarwanto, Abi, 2018, Jokowi Tak Mau Teken UU MD, DPR Minta, Jangan     Ambekan.     CNN     Indonesia.     URL:

https://www.cnnindonesia.com.

Ihsannudin,2018, Jokowi: Saya Pastikan Tidak Menandatangani UU MD3, URL: https://nasional.kompas.com.

Setiadi, Salni, 2018, Kerisauan publik atas UU MD3 yang sah hari ini,  URL : https://beritagar.id/artikel/editorial/kerisauan-

publik-atas-uu-md3-yang-sah-hari-ini.

16