PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KEANEKARAGAMAN HAYATI LAUT DALAM DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM LAUT INTERNASIONAL
on
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP
KEANEKARAGAMAN HAYATI LAUT DALAM DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM LAUT INTERNASIONAL
Oleh:
Ida Bagus Putu Abhijana Brahmastra** Made Maharta Yasa***
Program Kekhususan Hukum Internasional dan Hukum Bisnis
Internasional
Fakultas Hukum Universitas Udayana
ABSTRAK
Laut adalah salah satu aset yang sangat berharga bagi suatu negara karena terdapat berbagai jenis flora, fauna dan keanekaragaman hayati yang belum teridentifikasi oleh manusia termasuk kekayaan mineral yang tersembunyi di dasar lautan. Perkembangan teknologi di bidang kelautan kini mulai mengarah pada aktivitas penambangan di laut dalam yang kaya akan cadangan mineral dalam bentuk Nodul yang berada di dasar laut. Dalam Konvensi Hukum Laut (UNCLOS) 1982, dasar samudera dalam yang terdapat diluar wilayah yurisdiksi negara disebut dengan Kawasan (The Area) yang juga memberlakukan konsep Common Heritage of Mankind namun masih terdapat kekosongan hukum dalam hal perlindungan terhadap keanekaragaman hayati yang hidup di laut dalam yang potensial terkena dampak dari adanya aktivitas penambangan mineral di Kawasan (The Area).
Jurnal ilmiah ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakan konsekuensi dari diberlakukanya prinsip Common Heritage of Mankind di Kawasan (The Area) dan bagaimanakah menanggapi kekosongan hukum dalam hal perlindungan terhadap keanekaragaman hayati laut dalam melalui perspektif Hukum Laut Internasional.
Diterapkanya prinsip Common Heritage of Mankind pada Kawasan (The Area) berimplikasi pada tidak ada satu negarapun yang boleh melaksanakan kedaulatanya di Kawasan (The Area) sedangkan dalam mengisi kekosongan hukum terkait perlindungan terhadap keanekaragaman hayati laut dalam, beberapa konvensi Internasional lainya seperti Convention on Biological Diversity dan ketentuan – ketentuan pada UNCLOS 1982 dapat dijadikan referensi dalam membentuk suatu peraturan yang
secara spesifik dan komprehensif memberikan perlindungan terhadap keanekaragaman hayati laut dalam.
Kata Kunci: Keanekaragaman Hayati; Perlindungan Hukum; Kawasan
ABSTRACT
The sea is one of the most valuable asset for a country because there are many kinds of flora, fauna and many other biological diversities which has not been identified by human including mineral resources that lies beneath the seabed. The development of technology in the marine sector starting to lead into mining activities in the deep sea which is rich of mineral reserve in the form of Nodules that lies on the seabed. In the Convention on The Law of The Sea (UNCLOS) 1982, the deep ocean seabed located outside the state yurisdiction known as The Area which implemented the concept of Common Heritage of Mankind but there are still some legal void in terms of protection on the biological diversities that lives in the deep ocean as one of the most potentialy affected by the impact of mineral mining in The Area.
The writers in this scientific journal intend to know the consequences by the implementation of the Common Heritage of Mankind principle in The Area and to examine the legal void in terms of protection on the biological diversities from the perspective of International Law of The Sea.
The implementation of the Common Heritage of Mankind principle in The Area caused no states shall exercise their sovereignty on The Area whilst to fill in the legal void in terms of protection on deep sea biological diversities, several international conventions as the Convention on Biological Diversity also the provisions of the UNCLOS 1982 could be used as reference to create a specific and comprehensive legal instrument to provide the protection on deep sea biological diversities.
Keywords: Biological Diversities; Legal Protection; The Area
Eksistensi laut sebagai penunjang jalannya kehidupan yang tidak bisa dipisahkan dengan manusia dan mahluk hidup lainya membuat keberadaan laut kini kian diperhatikan oleh masyarakat dunia, seiring dengan perkembangan kehidupan manusia yang mulanya memanfaatkan laut untuk memenuhi kebutuhan
makanan dan kini laut masih menjadi salah satu jalur transportasi yang banyak digunakan di berbagai belahan dunia. Namun dengan potensi kekayaan yang ada dapat menimbulkan bencana apabila dalam pengelolaanya tanpa memperhatikan batas kemampuan alam.1
Melihat fakta bahwa pemanfaatan terhadap kawasan dan sumber daya yang ada di laut semakin berkembang yang secara sekaligus memotivasi bagian dari masyarakat internasional untuk menetapkan suatu peraturan yang komprehensif dan progresif terhadap laut yang kemudian diwujudkan dengan disepakatinya Konvensi Hukum Laut Internasional 1982 (United Nations on The Law of The Sea/UNCLOS 1982). Konvensi tersebut merupakan suatu perangkat hukum laut yang baru dalam mengatur segala bentuk penggunaan laut serta pemanfaatan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, di mana tidak hanya berisi kodifikasi ketentuan hukum internasional yang telah ada, namun juga mengakomodasi perkembangan hukum laut yang bersifat progresif.2
Dalam konvensi hukum laut tahun 1982 yang juga membicarakan keadaan di laut lepas dengan segala kekayaan di dalamnya dengan hak pengelolaan serta kewajiban–kewajiban bagi negara yang memakai dan menikmati laut tersebut, lebih lanjut ditetapkan bahwa kawasan dasar laut internasional dan kekayaan alam yang terkandung di dasar laut dan tanah di bawahnya merupakan warisan bersama umat manusia (common heritage of mankind)3. Dengan diakuinya konsep rezim common heritage of mankind maka hal ini berimplikasi pada tidak ada satu negarapun
atau suatu badan hukum yang dapat mengekspolitasi dan menguasai di bawah kedaulatanya terhadap wilayah dasar laut yang disebut sebagai the Area pada konvensi hukum laut tahun 1982.
Meskipun telah mengatur tentang penambangan di laut dalam namun konvensi hukum laut tahun 1982 belum mengatur secara komprehensif tentang perlindungan terhadap
keanekaragaman hayati yang terdapat di laut dalam maka dari itu dalam penulisan jurnal ilmiah ini akan memberikan pembahasan mengenai perlindungan hukum terhadap keanekaragaman hayati laut dalam ditinjau dari perspektif Hukum Laut Internasional.
Penulisan jurnal ilmiah ini bertujuan untuk mengetahui konsekuensi dari diberlakukanya prinsip Common Heritage of Mankind di Kawasan (The area) dan menanggapi kekosongan hukum dalam hal perlindungan terhadap keanekaragaman hayati laut dalam dari perspektif Hukum Laut Internasional
Metode penulisan yang digunakan dalam jurnal ilmiah ini adalah metode penulisan hukum normatif yang menggunakan referensi pada literatur, bahan kepustakaan dan peraturan – peraturan hukum yang berlaku sebagai sumber data. Disebut juga dengan library research atau metode yang digunakan untuk mengumpulkan data dari berbagai literatur.4
Internasional
Perkembangan Hukum Laut Internasional telah melalui berbagai tahap dimulai dari masa lampau hingga kini terbentuk wajah baru Hukum Laut Internasional yaitu Konvensi Hukum Laut (UNCLOS) 1982. Perkembangan zaman, teknologi, serta adanya perbedaan kebutuhan berbagai negara di dunia membuktikan bahwa diperlukanya suatu regulasi yang harus disepakati dalam melakukan segala jenis kegiatan baik penelitian, eksplorasi dan eksploitasi terhadap bagian daripada laut itu sendiri sebagai sebuah warisan bagi umat manusia yang harus dijaga bersama tanpa terkecuali.
Lahirnya prinsip rezim common heritage of mankind diawali dengan beberapa konsepsi – konsepsi yang dikenal lebih dahulu dalam hal penguasaan wilayah, konsepsi ini dicetuskan oleh bangsa Romawi yang diantaranya adalah:5
-
1. Res Communis, konsepsi ini menyatakan bahwa laut adalah milik bersama masyarakat dunia, dan oleh karena itu tidak dapat diambil atau dimiliki oleh masing – masing negara;
-
2. Res Nullius, konsepsi ini menyatakan bahwa tidak ada yang memiliki laut dan karenanya laut dapat diambil oleh masing – masing negara.
Hingga dalam perkembanganya konsepsi – konsepsi diatas dirasa tidak lagi tepat dan sesuai dengan kebutuhan negara – negara di dunia yang kemudian menjadi langkah awal berkembangnya rezim common heritage of mankind.
Dengan diakuinya bahwa kawasan dasar laut internasional dan kekayaan alam yang terkandung di dasar laut dan tanah di
bawahnya merupakan warisan bersama umat manusia, maka timbul konsekuensi logis dari ketetapan tersebut yang diantaranya adalah:6
-
1. Tidak ada satu negara pun boleh menuntut atau melaksanakan kedaulatan atau hak berdaulat atas bagian dari kawasan dasar laut internasional atau kekayaan alam yang terdapat di dalamnya;
-
2. Tidak satu negara pun atau badan hukum atau orang boleh melaksanakan pemilikan atas salah satu bagian dari kawasan tersebut;
-
3. Semua kegiatan di kawasan dasar laut internasional dilaksanakan untuk kepentingan umat manusia secara keseluruhan.
Lahirnya rezim common heritage of mankind merupakan langkah awal terbentuknya paradigma yang bersifat universal dalam menjaga kualitas dan keutuhan sumber daya alam yang terdapat di lautan dari kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang berlebihan.
Penerapan dari diakuinya rezim common heritage of mankind dalam Hukum Laut Internasional dapat dijabarkan dalam 6 (enam) poin yang diantaranya adalah:7
-
1. Larangan penguasaan atau pelaksanaan yurisdiksi terhadap Kawasan (The area) dan sumber daya
mineral yang terkandung di dalamnya;
-
2. Pemanfaatan sumber daya mineral bagi seluruh umat manusia;
-
3. Penggunaan Kawasan (The area) dengan maksud
damai;
-
4. Perlindungan terhadap lingkungan laut;
-
5. Pembagian keuntungan secara merata dari hasil eksploitasi sumber daya mineral yang dikhususkan bagi negara – negara berkembang;
-
6. Pengaturan manajemen Kawasan (The area) secara terpadu.
Ekosistem yang terdapat di laut merupakan suatu kesatuan tidak terpisahkan yang terdiri dari berbagai jenis ikan, terumbu karang serta sumber – sumber kekayaan mineral dan non-mineral lainya. Adanya hubungan simbiosis mutualisme yang menjadi bukti bahwa harus adanya keseimbangan dalam sebuah ekosistem khususnya di kawasan (The area) yang tidak dapat dipisahkan dari unsur – unsur yang saling menjaga ketahanan serta keberadaan ekosistem itu sendiri.
Dalam mewujudkan keseimbangan ekosistem dasar laut dalam pada hakikatnya Konvensi Hukum Laut Internasional Tahun 1982 telah memberikan upaya perlindungan terhadap sumber daya mineral yang terdapat di Kawasan (The area) dengan mengakui dan mengadopsi rezim common heritage of mankind dalam pengaturan kawasan (The Area) yang dapat dilihat pada ketentuan article 136 United Nations Convention on The Law of The Sea 1982 yang menyatakan bahwa The Area and its resources are the common heritage of mankind.. Senada dengan bunyi article 137 pada point satu (1) yang berbunyi “No state shall claim or exercise sovereignty or sovereign rights over any part of the Area or its resources, nor shall any State or natural or juridicial person appropriate any part thereof. No Such claim or exercise sovereignty or sovereign rights nor such appropriation shall be recognized.” Secara umum bunyi pasal tersebut dapat diartikan bahwa tidak satu Negarapun boleh menuntut ataupun melaksanakan
kedaulatan serta hak berdaulatnya atas bagian manapun dari Kawasan atau sumberdayanya, demikian pula tidak satu Negara atau badan hukum atau peroranganpun boleh mengambil tindakan pemilikan terhadap bagian Kawasan manapun, serta tidak satupun baik tuntutan maupun penyelenggaraan kedaulatan atau hak – hak berdaulat ataupun tindakan pemilikan sejenis yang akan diakui.
Pada dasarnya penerapan rezim common heritage of mankind pada Kawasan (The area) merupakan salah satu upaya guna menciptakan suatu rezim hukum yang jelas dan dapat diterima secara universal oleh negara – negara di dunia dalam rangka menjaga keutuhan dan kualitas kekayaan alam yang berada di dasar laut dalam yang terletak di luar yurisdksi teritorial suatu negara.8 Namun muncul beberapa pertanyaan terkait pengaturan Kawasan (The area) pada UNCLOS 1982 yang mengklasifikasikan bahwa resources (sumberdaya / kekayaan) yang dimaksud pada pasal 137 UNCLOS 1982 diklasifikasikan hanya pada segala sumber daya mineral yang bersifat padat, cair, atau gas in situ di Kawasan atau di bawah dasar laut, termasuk nodul polimetalik (polymetallic nodules) yang dapat dilihat pada pasal 133 huruf a UNCLOS 1982.9. Dengan dibatasinya terminologi resource (sumberdaya) pada konvensi ini maka hal ini menyebabkan timbulnya suatu kekosongan dan ketidakjelasan terhadap status perlindungan hukum terhadap keanekaragaman hayati yang terdapat di Kawasan (The area) mengingat bahwa keanekaragaman hayati yang terdapat di Kawasan pun memiliki nilai ekonomi yang tidak kalah tinggi dengan kekayaan mineral yang ada di Kawasan.
Meskipun dengan diakuinya rezim Common heritage of mankind pada kawasan yang menetapkan bahwa wilayah dasar samudera dalam bebas dari segala bentuk pelaksanaan kedaulatan baik oleh Coastal state maupun Land locked state namun hal ini tidak begitu saja memberikan perlindungan terhadap keanekaragaman hayati yang terdapat di wilayah samudera dalam. Dapat dikatakan demikian mengingat terminologi sumber daya alam yang digunakan pada UNCLOS 1982 pada bagian Kawasan (The area) hanya mengarah kepada perlindungan terhadap sumber daya mineral dan tidak secara spesifik memberikan perlindungan terhadap keanekaragaman hayati.
Perlindungan hukum yang tegas dan jelas terhadap keanekaragaman hayati yang terdapat di Kawasan (The Area) menjadi suatu hal yang harus diperhatikan secara serius, mengingat prinsip Common heritage of mankind memberikan peluang yang sebesar – besarnya bagi negara – negara untuk melakukan eksplorasi di Kawasan (The area) serta didorong dengan kenyataan menipisnya cadangan mineral yang terdapat di daratan maka tidak menutup kemungkinan bahwa di masa yang mendatang penambangan mineral bisa saja dilakukan di dasar samudera dalam karena nilai ekonomi dari kekayaan non-hayati yang terdapat di dasar samudera dalam tidak kalah dengan yang terdapat di daratan. Aktivitas penambangan di Kawasan (The area) ini menjadi perhatian karena seluruh ekosistem kelautan terikat pada suatu hubungan Simbiosis Mutualisme khususnya ekosistem flora dan fauna yang terdapat di dasar samudera dalam termasuk
spesies yang belum teridentifikasi oleh manusia. Kegiatan penambangan di dasar samudera dalam tentu saja akan memberikan dampak secara langsung terhadap kestabilan ekosistem baik hayati maupun non – hayati yang terdapat di Kawasan karena dengan dilakukanya penambangan terhadap sumber daya mineral di Kawasan hal ini ditakutkan dapat menyebabkan putusnya rantai makanan dan timbulnya ketidakstabilan ekosistem di Kawasan yang tentu saja memberikan dampak yang signifikan terhadap keanekaragaman hayati laut dalam.
Sebagaimana pada bagian XII Konvensi Hukum Laut 1982 yang mengatur tentang Protection and Preservation of The Marine Environment atau perlindungan dan pemeliharaan lingkungan kelautan yang memberikan ketentuan bahwa setiap negara wajib turut serta melindungi dan melestarikan lingkungan laut. Dari ketentuan yang terkandung pada bagian XII KHL 1982 dapat kita lihat bahwa ketentuan pada bagian ini menjadi salah satu dasar hukum dalam melakukan penindakan terhadap pencemaran dan pengerusakan lingkungan laut yang terjadi karena adanya aktivitas penambangan mineral di Kawasan (The area).
Lebih lanjut hal senada diatur pada pasal 145 Konvensi Hukum Laut 1982 yang mengatur tentang kewenangan Otorita untuk memberlakukan serta mengadopsi peraturan – peraturan yang berkaitan dengan prosedur serta regulasi yang dapat menjadi acuan bagi segala aktivitas yang dilakukan di Kawasan (The area) sekaligus guna mewujudkan perlindungan terhadap lingkungan laut dan pelestarianya.10. Yang dimaksud dengan Otorita pada ketentuan diatas adalah The International Seabed Authority atau
Otorita dalam Bahasa Indonesia, yang merupakan sebuah organisasi Internasional yang otonom melalui pihak – pihak negara yang tergabung dalam Konvensi Hukum Laut yang bertugas mengawasi aktivitas di Kawasan, terutama yang berkaitan dengan hal penambangan sumber daya mineral.
Lalu bagaimanakah perlindungan terhadap keanekaragaman hayati yang hidup di Kawasan yang memiliki potensi tinggi terkena dampak dari dilakukanya aktivitas penambangan mineral di Kawasan (The area)? Terkait dengan perlindungan keanekaragaman hayati dari dampak dilakukanya aktivitas penambangan di Kawasan dapat dilihat pada pasal 209 KHL 1982 yang menyatakan bahwa peraturan internasional, regulasi dan prosedur akan dibentuk sesuai dengan bagian XI untuk mencegah, mengurangi dan mengendalikan polusi terhadap lingkungan kelautan dari aktivitas yang dilaksanakan di Kawasan. Peraturan, regulasi dan prosedur sebagai berikut akan di uji kembali dari waktu ke waktu sebagaimana diperlukan. Dalam ketentuan pasal ini dapat kita lihat masih adanya ketidakjelasan terhadap instrumen hukum apa yang dapat dijadikan dasar hukum yang secara spesifik memberikan perlindungan terhadap keanekaragaman hayati laut dalam.
Nyatanya hingga saat ini memang masih belum ada satu negarapun yang melakukan aktivitas penambangan mineral di Kawasan (The area) namun sudah ada beberapa negara yang menjadi sponsor dari eksplorasi terhadap sumber daya mineral yang terdapat di kawasan (Pollymetalic nodules) yakni Inggris, Jerman, Korea Selatan, Tiongkok, Kiribati, Tonga dan Nauru yang dimana negara – negara diatas memiliki lokasi potensial untuk
dilakukan penambangan mineral yang terletak di ClarionClipperton Fracture Zone.11
Adanya ketidakjelasan terkait instrumen hukum internasional yang memberikan perlindungan terhadap keanekaragaman hayati laut dalam menjadi permasalahan serius apabila tidak segera dibentuk. Aktivitas penambangan di Kawasan (The area) hingga saat ini memang belum dilakukan, namun sebagai upaya preventif seharusnya instrumen hukum yang memberikan perlindungan terhadap keanekaragaman hayati laut dalam yang terkena dampak dari aktivitas penambangan mineral di Kawasan harus segera dibentuk. Sebagaimana hal senada juga diamanatkan dalam beberapa konvensi, produk hukum internasional dan deklarasi internasional lainya, beberapa diantaranya seperti yang terkandung pada ketentuan pasal 1 Convention on Biological Diversity 1992 (Konvensi Keanekaragaman Hayati 1992) yang menetapkan bahwa tujuan diadakanya konvensi ini adalah konservasi terhadap keanekaragaman hayati dan pemanfaatan terhadap keanekaragaman hayati yang terpadu dan berkelanjutan. Secara spesifik dapat dilihat juga pada pasal 14 Konvensi Keanekaragaman Hayati 1992 yang mengamanatkan bahwa sejauh dan sebisa mungkin negara yang menjadi pihak pada konvensi ini harus memperkenalkan prosedur tepat guna yang memerlukan pengkajian dampak lingkungan terhadap proyek – proyek yang diusulkan, yang diperkirakan mempunyai akibat merugikan terhadap keanekaragaman hayati untuk menghindari dan meminimalisir dampak merugikan terhadap keanekaragaman hayati.
Secara spesifik mengenai penambangan mineral di dasar laut dapat dilihat pada The Mining Code yang merupakan suatu gabungan dari beberapa regulasi dan rekomendasi yang merujuk pada Konvensi Hukum Laut 1982 dan Implementing Agreement 1994 yang terdiri dari Recommendations for the guidance of contractors for the assessment of the possible enviromental impacts arising from exploration for marine minerals in The Area (Maret 2013), Regulations on Prospecting and Exploration for Polymetallic Nodules in the Area (Juli 2013), The Regulations on Prospecting and Exploration for Cobalt-Rich Crusts (Juli 2012) dan beberapa regulasi lainya. Di dalam Recommendations for the guidance of contractors for the assessment of the possible enviromental impacts arising from exploration for marine minerals in The Area12. Dapat dilihat beberapa ketentuan terkait penilaian dan persetujuan yang diberikan oleh Otorita (International Seabed Authority) bagi kontraktor dalam melakukan kegiatan eksplorasi di Kawasan (The area) sebagai salah satu upaya guna mencegah dampak kerusakan yang timbul akibat adanya kegiatan eksplorasi terhadap sumber daya mineral di Kawasan.
Demikian pula pada ketentuan pasal 192 dan 194 Konvensi Hukum Laut 1982 yang mewajibkan pada setiap negara untuk turut serta dalam menjaga lingkungan kelautan serta mencegah, mengendalikan dan mengurangi segala sesuatu yang dapat menjadi sumber polusi bagi lingkungan kelautan. Dengan adanya beberapa ketentuan hukum internasional diatas hal ini diharapkan dapat menjadi landasan untuk dibentuknya suatu peraturan hukum internasional terkait perlindungan terhadap keanekaragaman hayati yang berpotensi tinggi terkena dampak dari aktivitas penambangan mineral di Kawasan (The area).
Sedangkan peranan Otorita sebagai organisasi pengawasan aktivitas di Kawasan memiliki andil penting dalam partisipasinya menjaga dan memastikan keutuhan dan kelestarian keanekaragaman hayati. Guna terciptanya suatu ketegasan dan kepastian hukum maka diperlukan suatu peraturan hukum internasional terkait perlindungan terhadap keanekaragaman hayati laut dalam yang potensial terkena dampak dari aktivitas penambangan di Kawasan (The area).
-
1. Berdasarkan pada rezim Common heritage of mankind maka tidak ada satu negarapun yang dapat melaksanakan
kedaulatan dan pengakuan terhadap wilayah di Kawasan (The area) dan segala bentuk kekayaan baik mineral
maupun hayati yang hidup di Kawasan digunakan untuk kepentingan bersama umat manusia dan bebas dari
kedaulatan negara manapun.
-
2. Perlindungan terhadap keanekaragaman hayati yang hidup dan berkembang di kawasan hanya dapat diwujudkan dengan membentuk suatu peraturan hukum internasional yang secara spesifik dan komprehensif memberikan
perlindungan terhadap kekayaan hayati yang hidup di Kawasan itu sendiri untuk melindungi eksistensi dan
kelestarianya dari dampak yang timbul akibat adanya aktivitas penambangan di Kawasan guna menciptakan suatu kepastian hukum terhadap penindakan bagi pihak yang menyebabkan kerusakan dan ketidakstabilan ekosistem di Kawasan.
-
1. Diakuinya rezim Common heritage of mankind merupakan salah satu kesepakatan yang bersifat universal dalam perkemangan Hukum Laut Internasional maka dari itu negara yang menjadi pihak harus menghormati dan menjunjung tinggi kesepakatan ini.
-
2. Peraturan yang secara spesifik dan komprehensif memberikan perlindungan terhadap kekayaan hayati di Kawasan harus segera dibentuk sebagai langkah preventif dalam menghindari kerusakan ekosistem di Kawasan akibat aktivitas penambangan mineral di Kawasan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku:
Amirudin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Etty R. Agoes, 1991, Konvensi Hukum Laut 1982: Masalah Pengaturan Hak Lintas Kapal Asing, CV. Abardin, Bandung.
Hasyim Djalal dalam Dikdik Mohamad Sodik, 2011, Hukum Laut Internasional, Refika Aditama, Bandung.
I Wayan Parthiana, 2014, Hukum Laut Internasional Dan Hukum Laut Indonesia, Cetakan I, Penerbit Yrama Widya, Bandung
P. Joko Subagyo, 2013, Hukum Laut Indonesia, Cet.5, Rineka Cipta, Jakarta
R. R. Churchill, A. V. Lowe, 1999, The Law Of The Sea, Third Edition, Manchester University Press, Inggris
Jurnal Ilmiah:
Davina Oktivana, 2016, “Dampak Penerapan Prinsip Common Heritage Of Mankind Di Kawasan Dasar Laut Dan Samudera Yang Berada Di Luar Yurisdiksi Nasional Serta Pemanfaatan Sumber Daya Mineral Di Kawasan Tersebut Berdasarkan Hukum Internasional, Vol. 1 No. 1”, Jurnal Ilmiah, Fakultas Hukum, Universitas Padjajaran, Bandung.
Peraturan Perundang-Undangan:
United Nations Convention on The Law of The Sea (UNCLOS) 1982
United Nations Convention on Biological Diversity (CBD) 1992
15
Discussion and feedback