PERTANGGUNGJAWABAN NEGARA PENGIRIM TERHADAP PENYALAHGUNAAN KEWENANGAN OLEH PEJABAT DIPLOMATIK

Oleh:

Lastri Timor Jaya Putu Tuni Caka Bawa Landra

Bagian Hukum Internasiona Fakultas Hukum Universitas Udayana

ABSTRAK

Setiap negara yang melakukan hubungan internasional dengan negara lain akan memberikan kekebalan dan keistimewaan kepada perwakilan dari negara asing di negaranya hal ini diperlukan guna mengembangkan hubungan persahabatan antar negara dan bukan untuk kepentingan perorangan. Hak istimewa yang diberikan kepada para perwakilan diplomatik menjadi dilemma besar bagi para Negara penerima perwakilan diplomatik dalam menegakkan keadilan bagi warga negaranya yang menjadi korban. Sehingga, berdasarkan latarbelakang tersebut diatas menimbulkan suatu permasalahan yakni bagaimana pertanggungjawaban Negara Pengirim perwkilan diplomat kepada Negara penerima terhadap peyalahgunaan kewenangan yang dilakukan oleh pejabat diplomatiknya.

Kajian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami mengenai tanggung jawab Negara Pengirim Perwakilan Diplomat terhadap penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan oleh pejabat diplomat pada Negara Penerimanya. Penulisan ini mempergunakan jenis penelitian yuridis normative. Hukum diplomatik telah mengatur di dalam Perjanjian-perjanjian Internasional dan pertanggungjawaban suatu Negara yang menentukan konsekuensi hukum bagi pejabat diplomat termasuk sanksi yang akan dikenakan diatur dalam Konvensi Wina 1961 terdapat beberapa pasal yang dapat diterapkan sebagai cara penyelesaian bagi Negara Penerima antara lain Persona Non Grata, Penanggalan Kekebalan Diplomatik dan Recall atau pemanggilan kembali perwakilan diplomatik. Pertanggungjawaban kepada negara pengirim dapat berupa suatu permohonan maaf secara resmi atau sebuah jaminan agar perbuatan tersebut tidak dilakukannya lagi. Tindakan pejabat yang terkait dapat menimbulkan kerugian materil maka sebagai Negara penerima memiliki hak untuk meminta ganti kerugian materiil kepada Negara Pengirim.

Kata Kunci : Pertanggungjawaban, Penyalahgunaan Kewenangan, Pejabat Diplomatik

ABSTRACT

Any country that makes international contact with another country will provide immunity and privileges to representatives of foreign countries in the country it is necessary to develop friendly relations between countries and not for the benefit of individuals. The privileges granted to diplomatic representatives are a major dilemma for the receiving countries of diplomatic representation in upholding justice for their victimized citizens. Thus, based on the above background raises a problem that is how the accountability of the sending State of diplomatic representation to the receiving State against the abuse of authority exercised by its diplomatic officer.

This study aims to know and understand the responsibilities of the sending State of the Diplomatic Representative on the abuse of authority exercised by a diplomatic official in the receiving state

This writing uses a type of normative juridical research. Diplomatic law has been regulated in the International Covenants and State Accountability which determines what the legal consequences for the perpetrators, including sanctions to be imposed In the Vienna Convention 1961 there are several articles that can be applied as settlement by the receiving countries such as Persona Non Grata, Diplomatic Immunity Dates And Recall or recall of diplomatic representatives. Accountability to a sending country may be a formal apology or a guarantee of non-repetition of the act. The acts of the respective official may incur material losses so the recipient country shall have the right to request material compensation to the sending country.

Key Words : Responsibility, Abuse of authority, Diplomatic Offices

PENDAHULUAN

  • 1.1    Latar Belakang

Perkembangan masyarakat Internasional sekarang semakin pesat. Negara adalah salah satu subjek hukum internasional yang mempunyai kemampuan untuk melakukan hubungan internasional, konvensi-konvensi internasional merupakan pedoman yang digunakan dalam menjalankan hubungan internasional. Hubungan Internasional merupakan hubungan yang sangat penting guna berinteraksi antar Negara satu dengan Negara lainnya.

Hubungan diplomatik adalah bentuk dari hubungan internasional yang merupakan suatu kebijakan yang dapat dilakukan suatu Negara untuk meningkatkan hubungan dengan Negara-negara lainnya, adapun aturan yang mengatur mengenai hubungan internasional yaitu diatur dalam Konvensi Wina 1963 yang mengatur mengenai hubungan konsuler dan Konvensi Wina 1961 yang mengatur mengenai hubungan diplomatik yang menjadi landasan dalam hubungan diplomatik antar Negara, Pasal 2 Konvensi Wina disebutkan bahwa pembentukan suatu hubungan diplomatik antar suatu Negara dan oleh misi diplomatik yang permanen dibentuk berdasarkan kesepakatan bersama. Untuk dapat dilaksanakannya suatu hubungan diplomatik, Negara membutuhkan perantara atau alat yang nantinya dapat menjadi penghubung antara satu Negara dengan Negara yang lain, alat penghubung tersebut dapat diwujudkan dengan cara membuka hubungan diplomatik dan menempatkan perwakilan atau duta diplomatik Negara pengirim (sending state) pada Negara penerima (receiving state).1

Perwakilan Diplomatik merupakan petugas Negara yang dikirim pada Negara lain untuk melaksanakan hubungan resmi antar Negara. Berdasarkan Konvensi Wina 1961 fungsi pejabat diplomatik adalah untuk mewakili suatu Negara yang mengirim pada Negara penerima, melindungi kepentingan Negara penerima dan warga negaranya di Negara penerima tersebut pada batasan-batasan yang diijinkan oleh hukum internasional, membuat persetujuan dengan pemerintah Negara penerima, memberi keterangan tentang keadaan dan perkembangan Negara penerima, sesuai dengan undang-undang dan

membuat laporan kepada pemerintah Negara pengirim, serta menjaga hubungan persahabatan antara Negara penerima dan Negara pengirim.

Negara yang melaksanakan hubungan internasional dengan negara lain akan memberikan kekebalan dan keistimewaan kepada perwakilan dari negara asing di negaranya hal ini diperlukan guna mengembangkan hubungan persahabatan antar negara dan tidak untuk kepentingan perorangan melainkan untuk menjamin tugas pejabat diplomatik agar efisien. 2

Penempatan perwakilan diplomatik di Negara lain secara langsung memberikan hak istimewa atau yang sering disebut hak territoriality kepada para diplomat dimana salah satu hak istimewa tersebut berupa kekebalan terhadap yurisdiksi sipil dan kriminal Negara penerima, sehingga apabila para perwakilan diplomatik melakukan pelanggaran di Negara tempat mereka ditempatkan maka dengan hak istimewa tersebut para perwakilan diplomat tidak dapat diadili di Negara penerima perwakilan diplomatik tersebut, seperti halnya dalam kasus Makharadze dimana seorang diplomat Republik Georgia di Amerika Serikat yang menabrak sebuah mobil dan menewaskan seorang anak kecil, kemudian ia mengajukan kekebalan diplomatik sebagai alasan untuk menghindari tuntutan atas tindakan yang dilakukannya tersebut, kasus ini merupakan salah satu contoh penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan oleh seorang perwakilan diplomat dimana hak istimewa disalahgunakan. Hak istimewa yang diberikan kepada para perwakilan diplomatik berdasarkan Pasal 29 Konvensi Wina 1961 menjadi dilemma besar bagi para Negara penerima perwakilan diplomatik dalam menegakkan keadilan bagi warga

negaranya yang menjadi korban. Sehingga, berdasarkan latarbelakang tersebut diatas menimbulkan suatu permasalahan yakni bagaimana pertanggungjawaban Negara pengirim perwakilan diplomatik kepada Negara penerima terhadap penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan oleh pejabat diplomatiknya.

  • 1.2    Tujuan

Kajian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami mengenai tanggung jawab Negara pengirim Perwakilan Diplomat terhadap penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan oleh perwakilan diplomat pada Negara Penerima.

II ISI MAKALAH

  • 2.1    Metode Penelitian

Penelitian adalah suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi yang dilakukan secara metodelogi, sistematis dan konsisten3. Penulisan ini mempergunakan jenis penelitian normatif yuridis yang merupakan bagian dari penelitian hukum kepustakaan yakni dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang dinamakan penelitian hukum normatif.4 Penelitian ini penelitian hukum dengan meneliti dan mengkaji norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan konvensi-konvensi internasional.

  • 2.2    Hasil dan Pembahasan

    • 2.2.1    Tanggung Jawab Negara Pengirim Perwakilan Diplomat Terhadap Penyalahgunaan Kewenangan oleh Pejabat Diplomat di Negara Penerima

Berdasarkan Konvensi Wina 1961 mengenai Hubungan Diplomatik, pada Pasal 39 ayat 1 yang pada intinya bahwa setiap orang yang mendapat hak istimewa dan kekebalan baru mulai berlaku atau mulai dapat menikmatinya semenjak ia memasuki wilayah Negara penerima di dalam perjalanannya untuk memangku jabatannya atau jika sudah berada di Negara penerima, mulai menikmatinya pada saat pengangkatannya diketahui oleh Kementerian Luar Negeri.5 Ketentuan-ketentuan yang mengatur perlindungan pribadi pejabat diplomat atau kekebalan pribadi para pejabat diplomat diatur pada Konvensi Wina tahun 1961 bahwa para pejabat diplomat tidak dapat diganggu (Inviolable), pejabat diplomat tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam bentuk apapun baik penahanan ataupun penangkapan.

Negara penerima memperlakukan dengan hormat dan mengambil semua langkah tepat untuk dapat mencegah tiap serangan terhadap badannya, kebebasan atau martabatnya. Kekebalan diplomatik mencangkup dua pengertian yakni inviolability adalah kekebalan terhadap gangguan yang merugikan, dimana terkandung pengertian bahwa pejabat diplomat mempunyai hak untuk dapat perlindungan dari Negara penerima, dan immunity merupakan

kekebalan terhadap jurusdiksi Negara penerima, baik hukum pidana maupun hukum perdata. 6

Pemberian kekebalan serta keistimewaan diplomatik adalah aspek yang penting dalam menjamin pelaksanaan tugas-tugas dan pelaksanaan fungsi para pejabat diplomatik secara efisien dari Negara yang diwakili.

  • 1.    Kekebalan Jurisdiksi Kriminal

Pasal 31 ayat 1 Konvensi Wina 1961 menyebutkan “a diplomatic agent shall enjoy imunity from criminal jurisdiction of the receiving state” Alat alat dari sesuatu Negara tidak boleh menangkap, menuntut ataupun mengadili seorang diplomat di dalam sesuatu perkara kejahatan. Namun tidak berarti seorang diplomatik tidak harus mentaati peraturan atau ketentuan hukum pidana di negara penerima.

Seorang diplomat tidak dapat diajukan di depan pengadilan Negara penerima atas kesalahan kesalahan mereka. Namun dalam hal kekebalan diplomatik terhadap jurisdiksi sipil tidak secara mutlak berlaku, tapi ada beberapa pengecualian yaitu seorang wakil diplomatik dapat menikmati kekebalan kekebalan dari tuntutan pengadilan perdata atau sipil kecuali jika pengadilan perdata tersebut mengenai : 1. Tindakan yang berhubungan dengan benda tidak bergerak milik

pribadi yang terdapat di wilayah Negara penerima, kecuali yang pejabat diplomat tersebut kuasai tersebut atas nama Negara pengirim dan guna keperluan dinasnya.

  • 2.    Tindakan yang berkaitan dengan soal pewarisan yang wakil diplomatik tersangkut executor atau administrator atau sebagai ahli waris atau legataris.

  • 3.    Tindakan atau gugatan gugatan yang berkaitan dengan beberapa kegiatan perofesional dan perdagangan komersial yang dilakukan oleh wakil diplomatik di dalam Negara penerimanya di luar fungsinya yang resmi.7

  • 2.    Hak Immunitas.

Hak Immunitas merupakan hak yang menyangkut individu atau pribadi seorang diplomat serta gedung perwakilannya, dengan hak ini wakil diplomat memiliki hak istimewa guna keselamatan pribadi serta harta bendanya, para wakil diplomat juga tidak tunduk pada yuridiksi dalam Negara penerima baik dalam hukum pidana maupun hukum perdata.

  • 3.    Hak Ekstrateritorial.

Hak Ekstrateritorial merupakan hak kebebasan yang dimiliki wakil diplomatik terhadap daerah perwakilannya termasuk halaman bangunan dan perlengkapan seperti lambang dan bendera Negara, surat serta dokumen bebas sensor, dalam hal ini aparat keamanan termasuk polisi Negara penerima tidak diperbolehkan masuk tanpa seijin pihak perwakilan terkait.

Hak istimewa perwakilan diplomatik diatur dalam Konvensi Wina 1961 dan Konvensi Wina 1963 mencangkup mengenai :

  • a.    Pembebasan terhadap kewajiban membayar pajak, yakni pajak penghasilan, kekayaan, kendaraan bermotor, radio, televisi, pajak bumi dan bangunan, dan sebagainya.

  • b.    Pembebasan atas kewajiban bea masuk, bea keluar, bea cukai terhadap barang-barang dinas, misi perwakilan, barang-barang pribadi, keperluan rumah tangga, dan lain sebagainya.

Berdasarkan Konvensi Wina 1961, Perwakilan Diplomatik diberikan kekebalan serta keistimewaan dengan maksud sebagai berikut :

  • a.    Menjamin pelaksanaan tuga Negara perwakilan tersebut sebagai wakil Negara.

  • b.    Menjamin pelaksanaan fungsi perwakilan secara efisien.

  • c.    Adapun hak kekebalan perwakilan diplomatik sebagai berikut :

  • d. Hak Imunitas;

  • e. Hak Ekstrateritorial

  • f. Korespondensi  diplomatik,  yakni  kekebalan  pada  surat

menyurat, arsip, termasuk dokumen pada kantor diplomatik dan

lain sebagainya.

Pejabat Diplomatik memiliki hak untuk mendapat perlindungan dari Negara penerima, dengan adanya langkah yang dianggap perlu oleh Negara penerima guna mencegah serangan terhadap kehormatan, kebebasan pribadi seorang diplomat, Sehingga ia kebal terhadap gangguan yang merugikan pribadinya. 8

Negara penerima adalah Negara yang menerima pihak perwakilan dari Negara pengirim harus dapat menilai dan memeriksa latar belakang hubungan Negara pengirim dengan Negara penerima.9 Selain

memeriksa latar belakang personal dari perwakilan Negara pengirim tersebut, penerima juga dapat meninjau atau memeriksa rekam jejak hubungan diplomatik yang dilakukan oleh kedua Negara di dalam melakukan hubungan diplomatik. Meski memiliki hak istimewa seorang perwakilan diplomatik yang ditempatkan di Negara lain wajib mematuhi segala aturan hukum yang berlaku pada Negara tersebut.

Pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat diplomat dapat menyebabkan kerugian terhadap negara penerima. Oleh karena Hukum diplomatik telah mengatur didalam Perjanjian-perjanjian Internasional dan pertanggungjawaban Negara menentukan konsekuensi hukum bagi pelaku, termasuk mengenai sanksi yang akan dikenakan, Dalam Konvensi Wina 1961 disebutkan beberapa pasal yang digunakan sebagai penyelesaian sengketa oleh Negara penerima diantaranya :

  • 1.    Persona Non Grata

Persona non grata adalah suatu tindakan penolakan terhadap perwakilan diplomatik oleh suatu negara di negara tujuan penempatan perwakilan diplomatik, yang dijatuhkan pada seorang pejabat diplomat termasuk anggota perwakilan misi lainnya, khususnya pada mereka yang telah tiba atau sedang berada di Negara penerima dengan dilakukannya kegiatan yang dinilai bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 41 Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik, yakni :

  • a.    Kegiatan yang dilakukan oleh anggota diplomat yang dianggap bersifat politis maupun subversive dan bukan merugikan kepenting nasional tetapi juga melanggar kedaulatan Negara penerima.

  • b.    Kegiatan yang dilakukan tersebut terbukti melanggar peraturan hukum dan perarturan perundang-undangan Negara penerima.

Pasal 9 Konvensi Wina 1961 menyebutkan bahwa Negara penerima dapat menyatakan persona non grata dan ketentuan pasal 41 dan pasal 9 konveni wina 1961 negara penerima dapat mengusir dan menyatakan persona non grata pada pejabat diplomatik, Namun tindakan pengusiran atau pernyataan persona non grata dapat diadakan oleh Negara penerima di dalam hal atau keadaan yang sangat terpaksa.

Pernyataan Persona Non Grata menimbulkan konsekuensi pada pejabat diplomat tersebut dimana pejabat diplomat tersebut harus meninggalkan wilayah Negara penerima dalam rentang waktu yang telah ditentukan dan pejabat tersebut harus kembali ke Negara asalnya. Meskipun kekebalan diplomatik membebaskan pejabat tersebut dari kekuasaan hukum setempat tetapi apabila pejabat tersebut terlibat dalam tindak pidana berat, maka setelah dijatuhkan persona non grata oleh Negara penerima dan telah kembali ke Negara asalnya pejabat tersebut tidak dapat bebas dari tanggung jawab baik di Negara asalnya. Hal ini sesuai dalam Pasal 41 ayat 4 Konvensi Wina 1961 yang menyebutkan bahwa kekebaan wakil diplomatik dari pengadilan Negara penerima tidak membebaskannya dari pengadilan Negara asalnya”.

  • 2.    Penanggalan Kekebalan Diplomatik dari Kekuasaan Hukum Berdasarkan Pasal 32 Konvensi Wina 1961 menentukan bahwa kekebalan dari tuntutan pengadilan yang dimiliki wakil diplomat dan orang-orang yang menikmati kekebalan tersebut dapat

ditanggalkan oleh Negara penerima, penanggalan tersebut harus dinyatakan dengan jelas.10

Kekebalan diplomatik bersumber pada Hukum Internasional, maka yang memiliki hak tersebut merupakan subjek hukum internasional. Namun, saat ini wakil diplomatik bukanlah subjek hukum internasional, melainkan alat perlengkapan Negara, negaralah yang berperan sebagai subjek hukum internasional. Dengan demikian Negara pengirim yang merupakan instansi yang dapat dan atau berwenang untuk melepaskan dan atau menanggalkan kekebalan diplomatik tersebut.11

Setelah kekebalan pejabat diplomatik tersebut ditanggalkan oleh negara pengirim maka pejabat diplomatik tersebut dapat diadili di Negara penerima dengan syarat adanya keterangan dari pemerintah Negara pengirim yang memperbolehkan hal tersebut.

  • 3.    Recall

Recall atau pemanggilan kembali seorang diplomat untuk kembali ke negara asal (negara pengirim), hal ini dilakukan demi menjaga hubungan baik antar kedua negara. Menurut Strake Negara penerima dapat meminta kepada negara pengirim untuk memanggil kembali wakil diplomatiknya. Hal ini juga dapat berarti bahwa hubungan kedua Negara itu telah memburuk adanya, selain itu karena wakil negara itu tidak disenangi lagi oleh negara penerima.12 Jika seorang pejabat diplomatik melakukan tindakan yang mengakibatkan kerugian terhadap negara penerima maka

negara pengirim dapat dibebani tanggungjawab oleh Negara penerima. Latarbelakang timbulnya tanggung jawab Negara yakni tidak ada satu Negara pun yang tidak dapat menikmati hak Negara lain.

Negara penerima dapat melakukan upaya hukum terhadap seorang pejabat diplomatik yang melakukan penyalahgunaan kedutaan dengan cara pertama, berdasarkan ketentuan Pasal 32 Konvensi Wina 1961 bahwa yang mempunyai hak untuk menanggalkan kekebalan diplomatik adalah Negara asalnya atau Negara pengirimnya, akan tetapi jika hal tersebut tidak dapat dilaksanakan maka, negara penerima dapat melakukan deklarasi persona non grata sebagaimana yang sudah diatur didalam Pasal 31 ayat 4 Konvensi Wina 1961. Apabila Negara penerima merasa dirugikan atas perbuatan yang dilakukan pejabat diplomatik tersebut maka Negara penerima dapat menuntut pertanggungjawaban kepada Negara pengirim dan tututan tersebut dapat berupa permohonan maaf secara resmi. Perbuatan pejabat yang bersangkutan itu dapat menimbulkan kerugian materil maka negara penerima memiliki hak untuk meminta ganti rugi berupa materil kepada negara pengirim, tetapi untuk memulihkan hubungan kedua negara tidak dapat di wujudkan dalam waktu yang singkat.

Seperti halnya pada kasus Makharadze seorang diplomat Republik Georgia di Amerika Serikat yang menabrak sebuah mobil hingga menewaskan satu orang warga negara penerimanya tersebut, kemudian diplomat tersebut mengajukan kekebelan diplomatik untuk terhindar dari tuntutan atas tindakannya tersebut. Jelas disini bahwa diplomat Republik Georgia tersebut

telah melakukan pelanggaran pidana yang merugikan negara penerimanya. Bentuk kekebalan yang diberikan pada seorang pejabat diplomatik diatur dalam Pasal 39 Ayat 1 Konvensi Wina 1961 disebutkan bahwa setiap orang yang berhak akan kekebalan hukum dan hak-hak istimewa akan didapat sejak saat ia memasuki negara penerima dalam proses menempati atau telah berada di dalam wilayahnya, sejak saat pengangkatannya yang diberitahukan kepada Kementerian Luar Negeri atau Kementerian lainnya yang disetujui. Kekebalan yang diberikan kepada seorang pejabat diplomat juga termasuk kekebalan pribadi dari yuridiksi pidana yang diatur dalam Konvensi Wina 1961 pada pasal 31 Ayat 1 disebutkan bahwa seorang pejabat diplomatik memiliki kekebalan terhadap yurisdiksi pidana negara penerima, selain itu pejabat diplomatik juga memiliki kekebalan terhadap yurisdiksi sipil dan administrasi kecuali dalam hal yang diatur pada pasal tersebut diatas, dengan demikian pejabat diplomatik Republik Georgia tersebut memiliki hak kekebalan meskipun pejabat diplomatik tersebut telah melakukan tindak pidana, yang dalam hal ini pejabat tersebut tidak dapat diadili atas tindakannya tersebut dengan menggunakan hukum yang berlaku di Amerika Serikat.

Dalam hal ini pejabat diplomatik memang memiliki kekebalan terhadap yurisdiksi pidana negara penerima, namun perlu diperhatikan bahwa pejabat diplomatik berkewajiban selalu menghormati hukum negara penerimanya sebagaimana tersebut dalam Konvensi Wina 1961 pada Pasal 41 ayat 1 disebutkan bahwa tanpa merugikan hak-hak istimewa dan kekebalan hukum para pejabat diplomatik dan orang-orang yang menikmati hak-hak istimewa dan kekebalan hukum berkewajiban untuk menghormati

hukum dan peraturan negara penerimanya, mereka juga wajib untuk tidak mencampuri masalah dalam negeri penerima tersebut.

Kekebalan seorang pejabat diplomatik tidak lantas membebaskan pejabat tersebut dari tanggung jawabnya pada negara pengirim sebagaimana diatur pada Konvensi Wina 1961 pada Pasal 31 ayat 4 yaitu kekebalan pejabat diplomatik dari yurisdiksi negara penerima tidak membebaskannya dari yurisdiksi negara pengirim, sehingga dalam kasus ini pejabat diplomatik Republik Georgia tersebut tidak dapat diadili di Amerika Serikat namun dapat diadili di Negara pengirimnya tersebut.

Hak kekebalan seorang pejabat diplomatik dapat ditanggalkan oleh negara pengirimnya sebagaimana diatur dalam Konvensi Wina 1961 pada Pasal 32 ayat 1 disebutkan bahwa kekebalan dari yurisdiksi bagi pejabat-pejabat diplomatik dan orang-orang yang menikmati kekebalan di dalam Pasal 37 dapat ditanggalkan oleh negara pengirim, namun dalam hal ini penanggalan hak kekebalan tersebut harus dinyatakan dengan tegas. Apabila Republik Georgia menolak untuk menanggalkan kekebalan diplomatiknya tersebut agar diplomatik yang bersangkutan dapat diadili dengan hukum negara penerima maka, negara penerima berhak untuk melakukan persona non grata terhadap pejabat diplomatik Republik Georgia tersebut sebagaimana diatur dalam Konvensi Wina 1961 pada Pasal 9 ayat 1 disebutkan bahwa negara penerima dapat setiap saat dan tanpa harus menerangkan keputusannya tersebut kepada negara pengirim bahwa kepala misinya atau seorang anggota staf diplomatiknya adalah persona non grata atau bahwa anggota lainnya dari staf misi tidak dapat diterima. Dalam hal ini negara

pengirim harus memanggil orang tersebut atau mengakhiri fungsi-fungsinya di dalam misi.

Namun apabila Amerika Serikat menjatuhkan persona non grata terhadap diplomat Republik Georgia tersebut dapat mengubah hubungan diplomatik diantara kedua negara, sehingga diperlukan jalan keluar yang terbaik. Penanggalan kekebalan dan keistimewaan yang dimiliki diplomat tersebut menrupakan langkah efektif. karena hal ini dapat pejabat diplomatik yang bersangkutan dapat diadili dan mempertanggungjawabkan tindakannya tersebut di negara penerima.

Berdasarkan prinsip nasionalitas pasif, prinsip ini membenarkan negara untuk menjalankan yurisdiksi apabila warga negaranya tersebut mengalami kerugian atau warga negaranya tersebut menjadi korban kejahatan yang dilakukan oleh warga negara asing. 13 Adapun upaya yang dapat dilakukan Amerika Serikat dalam hal melindungi hak warga negaranya tersebut yang menjadi korban atas tindakan pejabat diplomat Republik Georgia tersebut yaitu dengan mengajukan kompensasi, dalam hal ini Amerika Serikat dapat meminta pertanggungjawaban kepada Republik Georgia sebagai negara pengirim berupa kompensasi, pembayaran sejumlah uang atas kerugian materiil yang diderita oleh korban atau keluarga korban, selain itu Amerika Serikat juga dapat mengajukan tuntuttan berupa permohonan maaf dari Republik Georgia atas tindakan pejabat diplomatiknya tersebut.

Selain itu penyelesaian secara hukum internasional untuk masalah sengketa diplomatik. Para pihak yang berselisih dapat mengajukan permohonan ke Internasional Court of Justice (ICJ),

namun sebelumnya dapat menempuh jalan abritrase. Penyelesaian sengketa melalui ICJ mengenai pertanggungjawabannya yang di dapat hanya sebatas pada Negara Pengirim saja dan bukan pertanggungjawaban secara individu dari diplomat yang bersangkutan, hal ini dikarenakan yang mengajukan sengketa adalah para peserta konvensi yang dalam hal ini adalah “Negara-Negara” atau “Organisasi Internasional” .

III PENUTUP

  • 3.1    Kesimpulan

Hak Kekebalan Yurisdiksi terhadap tindak pidana yang diatur dalam Konvensi Wina 1961 dalam hal ini seringkali melepaskan pejabat diplomatik yang melakukan tindak pidana di negara penerima bebas dari sanksi hukum yang seharusnya diterima dan sulit untuk diadili, sehingga dalam hal ini sebagai negara pengirim sudah seharusnya juga turut bertanggung jawab atas tindakan pejabat diplomatnya tersebut dalam hal ini untuk saling menjaga hubungan baik antar negara. Apabila pelanggaran yang dilakukan perwakilan diplomatik dianggap telah merugikan maka negara penerima dapat meminta pertanggung jawaban kepada negara pengirim berupa permohonan maaf secara resmi guna menjamin tidak dilakukannya kembali perbuatan itu. Perbuatan pejabat yang bersangkutan itu dapat menimbulkan kerugian materil maka Negara penerima memiliki hak untuk meminta ganti kerugian materiil pada Negara pengirim.

  • 3.2    Saran

Negara pengirim dan penerima sudah perlu membentuk kerjasama diplomatik untuk mencegah dan menindak pejabat diplomatik yang melakukan penyalahgunaan tugas dan

kewenangannya berdasarkan itikad baik dan prinsip timbal balik untuk tetap menjaga hubungan antar negara.

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku :

C.S.T Kansil, 1988, Hubungan Diplomatik Republik Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.

Edy Suryono dan Moenir Arisoendha, 1986, Hukum Diplomatik Kekebalan dan Keistimewaannya, Angkasa, Bandung.

J.G. Strake, 1986, Pengantar Hukum Internasional, Justitia Studi Group,Bandung.

Setyo Widagdo dan Hanif Nur W, 2008, Hukum Diplomatik dan Konsuler, Banyumedia Publishing, Malang.

Soerjono Soekanto, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1985, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali, Jakarta.

Sumaryo Suryo Kusumo, 2005, Hukum Diplomatik (Teori dan Kasus), Alumni, Bandung.

Syahmin Ak, 1988, Hukum Diplomatik Suatu Pengantar, Armico, Bandung.

Jurnal :

Ali Sentosa, Tinjauan Hukum Internasional Terhadap Diplomat yang Melakukan Tindakan Melawan Hukum Dihubungkan dengan Kekebalan Diplomatik, Jurnal, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Konvensi :

Konvensi Wina Tahun 1961 tentang Hubungan Diplomatik.

Konvensi Wina Tahun 1963 tentang Hubungan Konsuler.

Internet :

Sigit Fahrudi, dalam Artikel, “Hubungan Diplomatik Menurut Hukum Internasional”,http://rudikomarudin.blogspot.com/2010/04/hubung an-diplomatikmenurut-hukum.html, diakses tanggal 14 Juni 2017

19