ANALISA HUKUM AMBANG BATAS PENCALONAN PRESIDEN (PRESIDENTIAL THRESHOLD) DALAM UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM
on
ANALISA HUKUM AMBANG BATAS PENCALONAN PRESIDEN (PRESIDENTIAL THRESHOLD) DALAM UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7
TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM*
Oleh :
Dewa Putu Wahyu Jati Pradnyana** I Gede Yusa***
Ni Luh Gede Astariyani****
Program Kekhususan Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana
ABSTRAK
Pengaturan pemilihan umum dalam konstitusi negara Indonesia terdapat pada Pasal 22E UUD NRI 1945 yang pengaturan lanjutannya terdapat pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Ketentuan Pasal 222 UU Pemilu mengatur ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) yang mensyaratkan perolehan kursi minimal 20% (dua puluh persen) jumlah kursi DPR atau minimal 25% (dua puluh lima persen) perolehan suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR sebelumnya. Dengan diselenggarakanya pemilu serentak serta munculnya partai baru pada pemilu 2019 yang tidak memiliki kursi atau suara pada pemilihan anggota DPR 2014. Kebijakan penggunaan presidential threshold yang mengacu pada hasil perolehan suara pemilu anggota DPR sebelumnya tersebut berpotensi membuat konflik norma karena hak demokrasi partai politik yang dijamin konstitusi pada Pasal 6A ayat (5), Pasal 22E ayat 6 tereliminir. Metode penelitian dalam jurnal ini adalah penelitian hukum normatif, menggunakan pendekatan undang-undang, analisa konsep hukum serta pendekatan sejarah. Adapun kesimpulannya adalah ambang batas pencalonan presiden dalam Pasal 222 UU Pemilu adalah kebijakan hukum yang terbuka dan telah dinyatakan konstitusional menurut Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 70/PUU-XV/2017.
Kata Kunci : Pemilihan Umum, Ambang Batas Pencalonan Presiden, Demokrasi
ABSTRACT
The general election regulation in the Indonesian state constitution is contained in Article 22E of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, the further regulation of which is contained in Law Number 7 of 2017 concerning General Elections. The provisions of Article 222 of the Election Law regulate the threshold for presidential threshold which requires the acquisition of seats of at least 20% (twenty percent) of the number of DPR seats or a minimum of 25% (twenty five percent) of national legitimate votes in the previous DPR member elections. With simultaneous elections and the emergence of new parties in the 2019 elections that did not have seats or votes in the 2014 DPR member elections. The policy of using presidential threshold which refers to the results of the previous parliamentary election votes has the potential to create conflict norms due to democratic rights of political parties guaranteed by the constitution in Article 6A paragraph (5), Article 22E paragraph 6 is eliminated. The research method in this journal is normative legal research, using the Law approach, legal concept analysis and historical approach. There is a conclusion that the threshold for presidential candidacy in Article 222 of the Election Law is an open legal policy and has been declared constitutional according to the Decision of the Constitutional Court Number 70 / PUU-XV / 2017.
Keywords : General Election, Boundary of Presidential
Candidate, Democracy
“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”, ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945, hasil amandemen ketiga pada konstitusi Indonesia tersebut telah mengamanatkan negara Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat. Dalam paham kedaulatan rakyat (democracy), rakyatlah yang dianggap sebagai pemilik dan pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara.1 Dengan semakin kompleksnya keadaan akhirnya kedaulatan rakyat
dijalankan dengan sistem perwakilan (representation).2 Pada pelaksanaannya kedaulatan rakyat dilakukan oleh para wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat (parlemen). Adapun cara memilih para wakil rakyat tersebut adalah dengan diselenggarakan pemilihan umum secara demokratis.3
Negara Indonesia menentukan bahwa pemilihan umum dilakukan sekali dalam lima tahun (Pasal 22E ayat 1 UUD NRI 1945). Salah satu subjek vital yang dipilih melalui pemilu adalah presiden dan wakil presiden. Konstitusi hasil amandemen mengarah pada penguatan dan purifikasi sistem pemerintahan presidensial yang antara lain di implementasikan dalam pemilu presiden dan wakil presiden secara langsung.4 Satya Arinato sebagaimana dikutip Abdul Latif mengemukakan alasan diselenggarakan pemilu presiden dan wakil presiden secara langsung yakni :5
-
a. Presiden terpilih akan mendapatkan mandat serta legitimasi kuat karena rakyat mendukung dengan cara memberikan suara secara langsung
-
b. Presiden terpilih tak terikat pada konsesi partai-partai atau faksi-faksi politik yang telah memilihnya;
-
c. Sistem ini menjadi lebih “accountable” dibandingkan sistem pada masa orde baru, karena rakyat tidak lagi menitipkan suaranya melalui MPR;
-
d. Kriteria calon presiden dapat dinilai secara langsung oleh rakyat yang akan memberikan suara.
Adapun untuk pencalonan presiden dan wakil presiden diatur pada Pasal 6A ayat (2) UUD NRI yaitu “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Tata cara lebih lanjut dijabarkan pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang dalam Pasal 222 menyatakan “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya”.
Kebijakan presidential threshold dengan berdasarkan hasil pemilu anggota DPR periode sebelumnya serta norma Pasal 222 UU Pemilu yang lahir dari kewenangan atribusi yang diberikan dari Pasal 6A ayat (5) dan Pasal 22E ayat (6) adalah suatu permasalahan yang dapat dikaji secara mendalam apakah telah sesuai ataukah malah terjadi konflik norma (geschijd van normen).
-
1. Apakah pertimbangan penggunaan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) pada pemilihan umum presiden ?
-
2. Apakah penggunaan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) termasuk kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk undang-undang ?
Tujuan penulisan dalam penelitian ini adalah untuk memahami pertimbangan penggunaan ambang batas pencalonan
presiden (presidential threshold) pada pemilihan umum presiden serta untuk mengetahui apakah penggunaan presidential threshold termasuk kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk undang-undang.
II Isi
-
2.1 Metode Penelitian
-
2.1.1 Jenis Penelitian
-
Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif (normative law research). Penelitian hukum normatif mengacu pada studi kasus normatif berupa pengkajian peraturan perundang-undangan. Hukum yang dikonsepkan menjadi norma dalam masyarakat dan acuan perilaku setiap orang adalah pokok kajiannya. Jadi dalam penelitian hukum normatif fokus acuannya pada inventarisasi hukum positif, asas-asas dan doktrin hukum, penemuan hukum dalam perkara in concreto, sistematik hukum, taraf sinkronisasi, perbandingan hukum serta sejarah hukum.6
Dalam penelitian ini, digunakan 3 (tiga) jenis pendekatan analisa konsep, yakni pendekatan perundang-undangan (the statute approach) suatu pendekatan dengan pengkajian
perundang-undangan terkait tema penelitian7, pendekatan analisis konsep hukum (analitical & conseptual approach) merupakan pendekatan dengan cara mempelajari pandangan serta doktrin yang berkembang pada ilmu hukum8, dan pendekatan sejarah
(historical approach) yang dilakukan melalui penelaahan latar belakang beserta perkembangan materi yang diteliti.9
-
2.2 Hasil Analisis
-
2.2.1 Pertimbangan Penggunaan Ambang Batas Pencalonan Presiden (Presidential Threshold) Bagi Partai Politik
-
Pada Pemilihan Umum
Undang-Undang Pemilu termasuk kedalam peraturan perundang-undangan yang bersifat umum dikarenakan sifatnya yang berlaku umum dan abstrak. Undang-Undang Pemilu tersebut dibentuk bersumber dari kewenangan atribusi yaitu pemberian kewenangan pada badan atau lembaga negara tertentu, yang diberikan dari pembentuk UUD ataupun oleh pembentuk Undang-Undang. Penciptaan wewenang baru tersebut adalah untuk dan atas nama yang diberi wewenang. Pemberian kewenangan tersebut melahirkan suatu tanggung jawab yang mandiri. Jadi, terdapat original power (originaire van macht) yang melahirkan suatu original power of legislation (originaire wetgevendemacht). Singkatnya, terdapat suatu kewenangan baru dalam suatu atribusi.10
Pembentuk Undang-Undang atau legislator yang kompeten untuk memberikan atribusi wewenang pemerintah dalam hal ini adalah MPR sebagai pembentuk Undang-Undang Dasar (Pasal 3 ayat (1) UUD NRI 1945), DPR sebagai lembaga legislatif (Pasal 20 ayat (1) UUD NRI 1945). Serta pemerintah (eksekutif) yang dapat mengajukan RUU kepada DPR, menetapkan peraturan pemerintah, membahas RUU bersama DPR dan mengesahkan
RUU yang telah disetujui bersama (Pasal 5 ayat (1) dan (2), Pasal 20 ayat (2), Pasal 22D).
Disahkanya Undang-Undang Pemilu adalah untuk pengaturan lebih lanjut dari ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945. Pengaturan lebih lanjut dalam Pasal 222 UU Pemilu yang memunculkan angka presidential threshold 20% (dua puluh persen) dari kursi DPR atau 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional pemilu anggota DPR sebelumnya tersebut dimungkinkan dilakukan karena pembuat undang-undang memiliki kewenangan “open legal policy” atau kebijakan hukum terbuka. DPR dan Presiden sebagai pembentuk undang-undang berhak mengatur pengaturan lebih lanjut berdasarkan amanat konstitusi khususnya Pasal 6A ayat (5) dan Pasal 22E ayat (6).
Bahwa lebih lanjut, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, MK menyatakan keberadaan presidential threshold adalah kebijakan hukum (legal policy) yang terbuka sebagai mana yang diatur dalam Pasal 6A ayat (5) dan Pasal 22E ayat (6) UUD NRI 1945. Suatu pengaturan yang menurut Mahkamah termasuk ke dalam kategori “tata cara sebagai prosedur pemilihan presiden dan wakil presiden dikaitkan dengan Pasal 22E ayat (6) UUD 1945 sebagai kebijakan legislasi yang didelegasikan dalam pelaksanaan Pemilu adalah sah dan konstitusional sebagai dasar kebijakan threshold sebagaimana diamanatkan UUD 1945”.
-
2.2.2 Penggunaan Ambang Batas Pencalonan Presiden (Presidential Threshold) Sebagai Kebijakan Hukum
Terbuka (Open Legal Policy)
Politik hukum secara sederhana dapat dirumuskan sebagai kebijakan hukum (legal policy) yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah, pengertian ini mencakup juga terkait bagaimana politik memengaruhi hukum dengan melihat konfigurasi kekuatan yang ada dibalik pembuat serta penegakan hukum tersebut. Politik hukum sebagai media bagaimana hukum harus mengakomodasi suatu tujuan masyarakat yang dirumuskan secara secara politik. Hukum dalam arti peraturan perundang-undangan memerlukan politik (kebijakan) dalam arti positif. Kebijakann dalam arti positif sebagai penjamin terdapat kepastian hukum (rechtmatigheid) maupun keadilan hukum (doelmatigheid).
Legal policy dapat dibedakan atas tiga sifatnya yaitu; makro, messo, dan mikro. Legal policy bersifat makro dirumuskan dalam suatu norma dasar yaitu UUD NRI 1945 sebagai peraturan tertinggi. Tujuan makro dilaksanakan dalam berbagai legal policy yang bersifat messo atau menengah melalui peraturan perundang-undangan. Sementara itu legal policy yang bersifat mikro dilakukan melalui berbagai peraturan yang lebih rendah tingkatannya. Maka dari itu terciptalah peraturan perundang-undangan sebagai hukum nasional yang taat asas yaitu dibenarkan pada tataran legal policy yang makro.11
Berdasarkan penjelasan konsep diatas maka dapat ditafsirkan bahwa ketentuan presidential threshold yang diatur dalam Pasal 222 UU Pemilu merupakan legal policy yang bersifat
messo dengan berdasarkan pada pengaturan konstitusi khususnya pada Pasal 6A ayat (5) dan Pasal 22E ayat (6).
Dalam beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi (MK), MK menyatakan adanya ketentuan norma yang merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy). Ketika suatu norma UU masuk dalam kategori kebijakan hukum terbuka maka menurut MK norma tersebut berada di wilayah yang bernilai konstitusional dengan UUD 1945. Konsep open legal policy sendiri pertama kali digunakan oleh MK dalam Putusan Nomor 10/PUU-III/2005, terkait dengan uji materi ketentuan persentase perolehan partai politik atau gabungan partai politik dari jumlah kursi DPRD atau akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah pemilihan yang bersangkutan untuk mencalonkan pasangan calon kepala daerah pada pemilihan umum tahun 2004. Dalam pertimbangannya MK berpendapat bahwa pilihan kebijakan yang demikian merupakan hak pembentuk UU dan dilindungi oleh konstitusi;
...sepanjang pilihan kebijakan demikian tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembuat undang-undang dan tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan dalam UUD 1945, maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat dilakukan pengujian oleh Mahkamah. Lagi pula pembatasan-pembatasan dalam bentuk mekanisme dan prosedur dalam pelaksanaan hak-hak tersebut dapat dilakukan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28J ayat (2)...
Berdasarkan pertimbangan mahkamah konstitusi (MK) diatas, maka dapat dikatakan kebijakan hukum adalah suatu tindakan pembentuk UU dalam menentukan subyek, obyek, perbuatan, peristiwa, dan/atau akibat untuk diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dengan demikian kata terbuka dalam istilah kebijakan hukum terbuka diartikan sebagai suatu
kebebasan bagi pembentuk UU untuk mengambil kebijakan hukum.
Kata terbuka dalam logika oposisi biner memiliki lawan berupa kata tertutup. Makna tertutup dalam pembuatan hukum diartikan sebagai pembatasan kewenangan pembentuk hukum dalam menentukan subyek, obyek, perbuatan, peristiwa, dan/atau akibat hukum yang diatur dalam peraturan perundang-undangan tertentu. Pembatasan demikian dilakukan oleh norma hukum yang lebih tinggi dari norma hukum yang sedang dibentuk.
Ketika norma hukum yang lebih tinggi memberi batasan-batasan tertentu, maka hal demikian menjadi rem bagi pembentuk peraturan perundang-undangan sehingga kebijakannya bersifat close. Adapun ketika norma hukum yang lebih tinggi menyerahkan atau mendelegasikan sepenuhnya pengaturan kepada norma hukum yang lebih rendah, atau bahkan tidak mengatur sama sekali, maka hal demikian membuat suatu kebijakan hukum bersifat open.12
Dalam konteks ketentuan presidensial threshold dalam Pasal 222 UU Pemilu kebijakan tersebut dikatakan terbuka (open legal policy) karena dalam ketentuan konstitusi Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 22E ayat (6) sebagai norma hukum yang lebih tinggi tidak mengatur atau memberikan batasan yang jelas mengenai apa dan bagaimana suatu materi harus diatur oleh UU.
Adapun kebalikanya, kebijakan pembentuk UU dikatakan bersifat tertutup manakala konstitusi telah memberikan batasan jelas mengenai apa dan bagaimana suatu materi harus diatur dalam UU.
Jadi terdapat kondisi-kondisi yang menjadi landasan pembentukan UU yang bersifat open legal policy yaitu :13
-
a. UUD 1945 memberikan mandat kepada pembentuk UU untuk mengatur suatu materi lebih lanjut, namun tidak memberikan batasan pengaturan materinya.
-
b. UUD 1945 tidak memberikan mandat kepada pembentuk UU untuk mengatur suatu materi lebih lanjut.
III Penutup
3.1 Simpulan
-
1. Penggunaan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) adalah wewenang pembentuk
Undang-Undang dengan tetap berdasarkan ketentuan
atribusi UUD NRI 1945. Presidential Threshold telah dinyatakan konstitusional oleh Mahkamah Konstitusi
melalui Putusan MK Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 dan Putusan MK Nomor 70/PUU-XV/2017. Presidential threshold adalah kebijakan hukum (legal policy) yang terbuka yang diatur konstitusi khusunya dalam Pasal 6A ayat (5) dan Pasal 22E ayat (6), sebagai kebijakan membentuk Undang-Undang yang didelegasikan konstitusi untuk tata cara penyelenggaraan pemilu.
-
2. Penggunaan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) termasuk kebijakan hukum terbuka (open legal policy) karena sumber kewenangan atribusi di dalam konstitusi khususnya dalam Pasal 6A ayat (5) dan Pasal 22E ayat (6) sebagai norma hukum yang lebih tinggi tidak mengatur atau memberikan batasan yang jelas
mengenai apa dan bagaimana suatu materi harus diatur oleh UU.
-
1. Terbitnya Putusan MK Nomor 70/PUU-XV/2017 tentang ketentuan presidential threshold, haruslah dihormati terlebih lagi Indonesia sebagai negara hukum, dimana konsep Rule of Law dan Supremacy of Law harus tetap dijaga kokoh.
-
2. Pembentuk undang-undang harus menjunjung tinggi prinsip-prinsip negara hukum dan demokrasi yang ada, sehingga produk perundang-undangan yang dihasilkan dapat diterima oleh seluruh masyarakat.
Abdulkadir, Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya, Bandung.
Asshidiqie, Jimly, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Cet.I, Sekretarit Jenderal & Kepaniteraan MK RI, Jakarta.
Fajar, Mukti ND, Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Ibrahim, Jonny, 2007, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, PT Citra Aditya, Bandung.
Kusnardi & Ibrahim, 1983, Pengantar Hukum Tata Negara
Indonesia, PSHTN-FHUI, Jakarta.
Mahfud,MD,Moh, 2013, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta.
Marzuki, Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, PT Kencana Prenada Media Grup, Jakarta.
Ranggawidjaja, Rosjidi, 1996, Pedoman Teknik Perancangan Peraturan Perundang-Undangan, Citra Bakti Akademika, Bandung.
Latif, Abdul, 2009, Pilpres Dalam Perspektif Koalisi Multi Partai, Jurnal Konstitusi, Volume 6 Nomor 3, April 2009.
Mardian Wibowo, 2015, Menakar Konstitusionalitas sebuah Kebijakan Hukum Terbuka dalam Pengajuan Undang-Undang, Jurnal Konstitusi Volume 4 Nomor 3, April 2015.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembara Negara Republik Indonesia Nomor 6109).
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 51-52-59/PUU-
VI/2008
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 10/PUU-III/2005
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 14/PUU-XI/2013
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 70/PUU-XV/2017
13
Discussion and feedback