ANALISIS PENGATURAN DALAM PERJANJIAN BILATERAL TENTANG YURISDIKSI EKSTRATERITORIAL STATUS PERSONEL PADA PEMBANGUNAN PANGKALAN MILITER ASING
on
1
ANALISIS PENGATURAN DALAM PERJANJIAN BILATERAL TENTANG YURISDIKSI EKSTRATERITORIAL STATUS PERSONEL PADA PEMBANGUNAN PANGKALAN MILITER ASING∗
Oleh
Kadek Genia Teresia∗∗ I Gde Putra Ariana∗∗∗
Bagian Hukum Internasional dan Hukum Bisnis Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana
ABSTRAK
Dewasa kini, pembangunan pangkalan militer asing bukanlah suatu hal yang luar biasa. Pembangunan pangkalan militer asing di luar wilayah negaranya masih dilakukan oleh beberapa negara. Permasalahan yang kerap timbul adalah tentang penegakkan yurisdiksi kepada personel militer yang bertugas di pangkalan militer tersebut. Hal tersebut dikarenakan tidak ada pengaturan hukum internasional yang baku terkait penerapan yurisdiksi di pangkalan militer asing. Berbeda dengan yurisdiksi ekstrateritorial pada Kantor Kedutaan Besar negara yang telah diatur dalam Pasal 22 ayat (1) Konvensi Wina 1961 mengenai Hubungan Diplomatik. Mengatasi masalah tersebut, dibentuklah perjanjian bilateral antara dua negara, yaitu negara yang akan menempatkan pasukan militer (sending state) dan negara yang akan memberikan kewenangan atas yurisdiksi tersebut (receiving state). Perjanjian bilateral ini disebut Status of Forces Agreement (SOFA). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana konsep yurisdiksi ekstrateritorial dalam perjanjian SOFA tentang status personel pada pangkalan militer asing. Metode yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya ketidakadilan dan kesamarataan posisi antar negara pihak perjanjian. Hal ini terjadi karena tidak adanya kesepakatan internasional mengenai perjanjian bilateral yang harus mengatur yurisdiksi tersebut.
Kata Kunci: pangkalan militer asing; yurisdiksi
ekstrateritorial; perjanjian bilateral tentang status personel
∗
∗∗
Tulisan ini merupakan intisari dari skripsi.
Kadek Genia Teresia, adalah mahasiswa bagian hukum internasional Fakultas Hukum
Universitas Udayana, sebagai penulis pertama.
∗∗∗ I Gde Putra Ariana, SH., M.Kn., adalah dosen bagian hukum internasional Fakultas
Hukum Universitas Udayana, sebagai penulis kedua.
ABSTRACT
Nowadays, the establishment of foreign military bases is nothing out of the ordinary. Establishment of military bases outside the territory thereof is still performed by some countries. The often-arising problem is about the enforcement of jurisdiction to military personnel in the said military base. Owing to the fact that there is no international legal basis related to jurisdiction in foreign military bases. In contrast to extraterritorial jurisdiction at Embassy's Offices of a country which has been set forth in Article 22 paragraph (1) of the 1961 Vienna Convention on Diplomatic Relations. To overcome this problem, a bilateral agreement is established between the two countries, the state that would place the military forces (the sending state) and the state that would authorise the jurisdiction (the receiving state). This bilateral agreement is called the Status of Forces Agreement (SOFA). The purpose of this research is to find out how the extraterritorial jurisdiction concept in agreement of SOFA on the status of personnel on the establishment of foreign military bases. The method used is normative legal research method. The result of this research shows that there is injustice and the equality of positions between countries involved in the agreement. This happens because there is no international agreement on bilateral agreements that should govern such jurisdictions.
Keywords: foreign military base; extraterritorial jurisdiction; bilateral agreement on personnel status
I PENDAHULUAN
Konsep kedaulatan adalah suatu hal yang cukup kompleks.
Menjabarkan arti dan kegunaannya dari waktu ke waktu memerlukan riset yang cukup mendalam.1 Di dalam suatu wilayah kedaulatan suatu negara adalah hal yang absolut, namun negara tersebut berhak membatasinya, bahkan hingga mempersilakan negara lain untuk memiliki kedaulatan di dalam wilayahnya. Dinyatakan oleh Mahkamah Internasional dalam Lotus Case, bahwa negara tidak boleh melaksanakan kedaulatannya dalam bentuk apapun di dalam wilayah negara lain dan yurisdiksi tidak
dapat dilakukan oleh negara tersebut di luar wilayahnya kecuali dengan suatu aturan yang memperbolehkannya dan diperoleh dari kebiasaan internasional atau suatu konvensi.2 Pengaturan demikian disebut yurisdiksi yang bersifat ekstrateritorial.3 Salah satu penerapan konsep yurisdiksi ekstrateritorial di masa sekarang dapat ditemukan dalam perjanjian status personel pada pembangunan pangkalan militer asing.
Amerika Serikat menjadi negara yang paling banyak membangun pangkalan militer di luar wilayahnya. Negara ini masih mengontrol hampir 800 pangkalan militer yang tersebar di lebih dari 70 negara. Sebagai perbandingan, pangkalan militer asing yang dikontrol oleh gabungan Inggris, Perancis, dan Rusia, hanyalah berjumlah sekitar 30.6 Perang Dunia II menjadi titik tolak banyaknya pembangunan pangkalan militer asing oleh Amerika Serikat. Setelah itu, dilaporkan bahwa Amerika Serikat menempatkan 60.000-70.000 pasukannya di seluruh dunia.7
Maka dari itu, akan dibahas mengenai tiga contoh pengaturan tentang status personel pada angkatan militer asing pada fase tertentu. Pertama, akan dibahas tentang pendirian serta pengaturan tentang status personel pada pangkalan militer asing milik Amerika Serikat di Guantanamo Bay, Kuba, di masa sebelum Perang Dunia I. Kedua, akan dilakukan kajian pendirian serta status personel pada pengaturan pangkalan militer asing milik Amerika Serikat di Okinawa, Jepang, di masa setelah Perang Dunia II. Ketiga, akan dilakukan kajian mengenai pengaturan tentang status personel pada keberadaan pangkalan militer asing
milik Amerika Serikat di Korea Selatan, yang dibangun dalam kaitannya dengan masa Perang Dingin.
Kajian yurisdiksi ekstrateritorial pada pangkalan militer asing adalah hal yang penting. Hal tersebut dikarenakan tidak ada pengaturan hukum internasional yang baku terkait penerapan yurisdiksi di pangkalan militer asing. Berbeda dengan yurisdiksi ekstrateritorial pada Kantor Kedutaan Besar negara yang telah diatur dalam Pasal 22 ayat (1) Konvensi Wina 1961 mengenai Hubungan Diplomatik.9 Pengaturan dalam hukum internasional menjadi krusial, demi menegaskan hukum negara mana yang berlaku apabila terjadi suatu pelanggaran atau untuk persoalan administrasi di pangkalan militer asing.
Pada praktiknya, pengaturan yurisdiksi pada pangkalan militer asing hanya berdasarkan perjanjian bilateral antara negara yang memiliki kepentingan. Perjanjian bilateral tersebut umum diejawantahkan sebagai Status of Force Agreement (SOFA). Pembangunan pangkalan militer asing milik Amerika Serikat di Okinawa dan Korea Selatan, diatur yurisdiksinya oleh SOFA. Maka dari itu, perlu diadakan kajian menyeluruh tentang timbulnya yurisdiksi ekstrateritorial berhubungan dengan pembangunan pangkalan militer asing di suatu negara.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana konsep yurisdiksi ekstrateritorial dalam perjanjian bilateral tentang status personel pada pembangunan pangkalan militer asing, serta untuk lebih memahami dan memperdalam pemahaman mengenai prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam hukum internasional terkait konsep perjanjian, kedaulatan,
dan yurisdiksi negara dalam hukum internasional berkaitan dengan konsep yurisdiksi ekstrateritorial dalam perjanjian bilateral tentang status personel pada pembangunan pangkalan militer asing.
-
II. ISI MAKALAH
Jenis Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini termasuk ke dalam penelitian hukum normatif. Soerjono Soekanto mengidentikkan penelitian hukum normatif tersebut sebagai penelitian hukum kepustakaan yang mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, sistematik hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum, serta sejarah hukum.10
-
2.2 Hasil dan Pembahasan
-
2.2.1 Perkembangan Konsep Perjanjian Bilateral Tentang Status Personel Pada Pangkalan Militer Asing di Suatu Negara
-
Perjanjian internasional merupakan instrumen utama yang digunakan sebagai sumber hukum - internasional. Hal demikian dikarenakan pada perjanjian internasional tercermin kesepakatan antara kedua negara untuk mengikatkan diri secara hukum pada perjanjian internasional tersebut.11
Hal yang diatur oleh perjanjian internasional sangat bermacam-macam seiring dengan perkembangan zaman dan hubungan internasional. Berkaitan dengan wilayah negara, perjanjian internasional dapat mengatur tentang penyerahan
wilayah, batas negara, dan banyak hal lainnya. Selain itu, perjanjian internasional juga dapat mengatur tentang kesepakatan bersekutu, gencatan senjata, serta menyatakan damai. Dewasa ini, perjanjian internasional juga mengatur tentang kerjasama pertahanan dan perjanjian tentang status personel militer asing yang bertugas di suatu negara.12
Perjanjian internasional juga memiliki bentuk yang bermacam-macam, diantaranya treaty, convention, agreement, exchange of notes, protocol, declaration, atau memoranda of understanding. Biasanya, perbedaannya juga terletak pada formalitas pembentukan perjanjian tersebut.13
Kedaulatan adalah ruang berlaku kekuasaan tertinggi suatu negara yang tentunya memiliki batas. Kedaulatan terbatas pada batas wilayah negara dan dengan demikian berakhir pula saat bersinggungan dengan wilayah negara lain. Ketika bersentuhan dengan wilayah negara lain, maka dimulailah kedaulatan negara lain tersebut.14
Kedaulatan berkembang seiring dengan model pemerintahan pada zamannya. Sebagai contoh, kedaulatan absolut ketika pimpinan negara adalah raja, dan kedaulatan terdistribusi ketika sistem negaranya mengharuskan demikian. Ruang berlaku kedaulatan untuk menegakkan aturan atau mengatur orang-orang yang ada di dalamnya dinamakan yurisdiksi.15
Yurisdiksi dikatakan sebagai alat penjamin bahwa penegakan hukum dapat dilakukan suatu negara dalam wilayah
tertentu, tidak ditutup kemungkinan bahwa terdapat pengecualian penegakan hukum suatu negara atas beberapa hal yang berada di wilayah negaranya. Hal tersebut dikarenakan terdapat batasan-batasan yang diatur oleh hukum internasional perihal apa saja yang memiliki kekebalan hukum atas yurisdiksi negara pemilik wilayah di suatu negara.16
Pengakuan terhadap prinsip kedaulatan atau pemberlakuan hukum yang berdasarkan wilayah tidak serta merta diberlakukan secara absolut. Pada praktiknya, sejak zaman dahulu telah tercipta beberapa pengecualian pemberlakuan kedaulatan di dalam wilayah suatu negara.17 Prinsip pemberlakuan yurisdiksi di luar wilayah negara atau di dalam wilayah negara lain disebut yurisdiksi ekstrateritorial.18
Perjanjian bilateral dalam menentukan status personel pada pangkalan militer asing sangat diperlukan untuk penegakan hukum. Perjanjian ini berfungsi sebagai acuan utama negara-negara pihak untuk menentukan yurisdiksi mana yang akan diberlakukan terhadap suatu peristiwa hukum.
Pada praktiknya, terdapat dua instrumen utama dalam status personel militer asing di suatu negara, yakni Mutual Defense Treaty dan Status of Force Agreement (SOFA).19 Biasanya, kesepakatan dalam bentuk SOFA merupakan implikasi yang timbul atas suatu pasal dari Mutual Defense Agreement, namun tidak semua SOFA demikian adanya. Bentuk kesepakatan dalam SOFA sangat tergantung dengan keadaan-keadaan yang terdapat di masing-masing negara. Lebih luas lagi, tidak ada standar
khusus yang mengatur SOFA dalam posisinya sebagai perjanjian antar negara.
-
2.2.2 Konsep Yurisdiksi Ekstrateritorial dalam Perjanjian Bilateral tentang Status Personel/Status of Forces pada Pembangunan Pangkalan Militer Asing
SOFA NATO (North Atlantic Treaty Organization) adalah pengaturan mengenai status personel militer satu-satunya yang bersifat multilateral. SOFA NATO sengaja dibentuk untuk menghindari permasalahan yurisdiksi dan pelanggaran terhadap hak dan kewajiban negara-negara anggotanya terkait keberadaan personel asing di wilayahnya. Secara spesifik, SOFA NATO membagi dua tipe yurisdiksi, yakni exclusive (extraterritorial untuk sending state), dan concurrent. Secara umum dapat dikatakan, yurisdiksi ekslusif akan diberlakukan apabila suatu peristiwa hanya menyebabkan pelanggaran hukum di salah satu negara saja. Sebaliknya, yurisdiksi konkuren baru akan tercipta apabila suatu peristiwa melanggar hukum kedua negara.20
Amerika Serikat menjadi negara yang paling aktif dalam menempatkan pasukannya di negara lain setelah Perang Dunia II. Kini, Amerika Serikat menjadi negara yang memiliki lebih dari seratus perjanjian bilateral atau multilateral dengan materi SOFA.21
Posisi tawar yang sejak awal tidak seimbang antar negara, sedikit banyak menimbulkan potensi konflik horizontal. Sebagai contoh adalah penolakan warga Jepang terhadap personel militer Amerika Serikat di Okinawa. Penolakan tersebut diawali dari kekecewaan warga Jepang yang melihat bahwa meskipun personel
militer Amerika Serikat telah melanggar hukum di Jepang, namun tidak dihukum setimpal dengan perbuatannya. Bahkan, otoritas Jepang menyerahkan kewenangan yurisdiksinya kepada Amerika Serikat untuk mengadili pelaku, sehingga pelaku diproses menggunakan hukum Amerika Serikat. Hal ini mencerminkan berlakunya konsep yurisdiksi ekstrateritorial oleh Amerika Serikat. 1. Perjanjian tentang Status Personel Militer Amerika Serikat di Kuba
Terdapat tiga perjanjian utama dalam pembangunan pangkalan militer dan tentang status personel Amerika Serikat di Kuba, yakni: 1) Agreement Between the United States and Cuba for the Lease of Lands for Coaling and Naval Stations22, yang ditandatangani pada tanggal 23 Februari 1903. 2) Lease to the United States by the Government of Cuba of Certain Areas of Land and Water for Naval Coaling Stations in Guantanamo and Bahia Honda23, yang ditandatangani pada tanggal 2 Juli 1903, dan 3) Treaty Between the United States of America and Cuba24, yang ditandatangani pada tanggal 29 Mei 1934.
Konsep yurisdiksi yang diberlakukan dalam perjanjian sewa antara Amerika Serikat dan Kuba adalah complete jurisdiction. Sehingga, Amerika Serikat memiliki kewenangan penuh dalam menegakkan hukumnya di wilayah yang disewakan terhadapnya, yakni Guantanamo. Hadirnya klausula complete jurisdiction tersebut bukanlah kehendak salah satu pihak, melainkan atas persetujuan kedua belah pihak karena dituangkan dalam suatu
perjanjian yang ditandatangani oleh pimpinan kedua negara. Sehingga, hal tersebut memenuhi doktrin mengenai penegakan yurisdiksi di luar wilayah milik suatu negara, yakni diperbolehkan adanya yurisdiksi ekstrateritorial selama disepakati dan diperjanjikan.
Terdapat klausula yang cukup signifikan mengenai kedaulatan di Agreement Between the United States and Cuba for the Lease of Lands for Coaling and Naval stations, yang tertera pada Article 3:25
“While on the one hand the United States recognizes the continuance of the ultimate sovereignty of the Republic of Cuba over the above described areas of land and water, on the other hand the Republic of Cuba consents that during the period of the occupation by the United States of said areas under the terms of this agreement the United States shall exercise complete jurisdiction and control over and within said areas with the right to acquire, . . .”
Dalam klausula tersebut, tercermin pada dasarnya Amerika Serikat mengakui kedaulatan Kuba sebagai negara. Namun, dalam lingkup perjanjian sewa yang telah disepakati, Amerika Serikat menunda kedaulatan penuh yang dimiliki Kuba hingga perjanjian tersebut berakhir. Sehingga Kuba belum dapat menegakkan yurisdiksinya di wilayah dimana Amerika Serikat telah cantumkan dalam perjanjian sewa tersebut.
Selain itu, perjanjian sewa yang diperjanjikan antara Amerika Serikat dan Kuba disamakan dengan keadaan okupasi. Hal demikian mengakibatkan, dalam keadaan suatu wilayah diokupasi, maka hukum yang diberlakukan adalah hukum negara yang melakukan okupasi tersebut.26 Meski kedaulatan Amerika Serikat diberlakukan secara penuh dalam wilayah Guantanamo, namun masih dimungkinkan adanya pengecualian terhadap
kedaulatan penuh tersebut. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa dalam perjanjian terdapat klausula tentang kerjasama penangkapan buronan yang melarikan diri ke masing-masing wilayah. Hal demikian mencerminkan bahwa Amerika Serikat tetap mengakui kedaulatan Kuba di luar wilayah yang telah diperjanjikan.
Terdapat dua perjanjian dalam pembangunan pangkalan militer dan tentang status personel Amerika Serikat di Jepang, yakni: 1) Treaty of Mutual Cooperation and Security between Japan and the United States of America27 , yang ditandatangani pada 19 Januari 1960, dan 2) Agreement under Article VI of the Treaty of Mutual Cooperation and Security between Japan and the United States of America regarding Facilities and Areas and the Status of United States Armed Forces in Japan28 , yang entered into force pada tanggal 23 Juni 1960.
Pada perjanjian ini, tercermin dua jenis yurisdiksi, yakni exclusive jurisdiction dan concurrent/shared jurisdiction. Exclusive jurisdiction berarti hanya ada satu negara yang berhak menerapkan yurisdiksinya. Yurisdiksi jenis ini berlaku pada tiap tindakan yang dilakukan oleh personel militer Amerika Serikat yang melanggar hukum satu negara, namun tidak melanggar hukum negara lainnya. Sebagai contoh, apabila personel militer Amerika Serikat melakukan absent without leave, yang hanya
diatur oleh ketentuan pada Uniform Code of Military Justice, maka Amerika Serikat yang wajib menegakkan yurisdiksinya.29
Concurrent/shared jurisdiction berlaku pada suatu peristiwa yang dilakukan personel militer Amerika Serikat melanggar hukum kedua negara, yakni hukum Amerika Serikat dan hukum Jepang. Yurisdiksi ini juga terbagi menjadi primary dan secondary jurisdiction sebagaimana telah dijelaskan pada bagian pengaturan dalam perjanjian sebelumnya.
Persoalan berikutnya yang cukup penting adalah bahwa Amerika Serikat dirasakan tidak bisa adil terhadap personel militernya yang telah melanggar hukum. Dilaporkan di antara September 2006 dan Desember 2010, hanya separuh dari 62 kasus pelanggaran hukum yang dikenai hukuman oleh otoritas Amerika Serikat. Sehingga, warga Jepang yang menjadi korban dari personel militer Amerika Serikat tersebut menjadi tidak puas.30 Meski terdapat pelanggaran hukum dan warga Jepang menjadi korbannya, suatu peristiwa bisa masuk ke dalam kategori primary jurisdiction milik Amerika Serikat karena terhitung “dalam rangka tugas”.
Terdapat dua perjanjian yang mengatur tentang yurisdiksi pada penempatan personel militer di Korea Selatan, yakni: 1) Mutual Defense Treaty between the United States and the Republic of Korea,31 yang ditandatangani pada tanggal 1 Oktober 1953; dan 2) Agreement under Article IV of the Mutual Defense Treaty between
the United States of America and the Republic of Korea, Regarding Facilities and Areas and the Status of United States Armed Forces in the Republic of Korea,32 yang ditandatangani pada tanggal 9 Juli 1966, dan telah diamandemen pada tanggal 18 Januari 2001.
Perjanjian yang pertama mengatur hal-hal mendasar mengenai kerjasama pertahanan antara Amerika Serikat dengan Korea Selatan. Salah satunya adalah tentang keinginan Amerika Serikat untuk berpartisipasi dalam mempertahankan stabilitas dan keamanan di wilayah Pasifik. Seperti dijelaskan sebelumnya, perjanjian ini lahir setelah Amerika Serikat menyadari pentingnya Semenanjung Korea dalam usaha penangkalan terhadap penyebaran paham komunis lebih luas lagi.
Perjanjian kedua adalah perjanjian yang secara khusus mengatur tentang fasilitas, area, dan status personel Amerika Serikat yang bertugas di Korea Selatan. Perjanjian ini merupakan aturan pelaksana tentang penggunaan wilayah darat, udara, dan laut sebagaimana tertera pada Article IV Mutual Defense Treaty antara Amerika Serikat dan Korea Selatan.33
Hal mendasar yang patut diketahui adalah bahwa pada perjanjian, sebagaimana juga yang terdapat pada SOFA Amerika Serikat-Jepang, terdapat dua yurisdiksi yang berlaku, yakni exclusive dan concurrent/shared jurisdiction. Dua yurisdiksi tersebut terbagi atas dua kelompok pelanggaran, yakni pelanggaran yang secara khusus melanggar hukum tertentu, dan pelanggaran yang secara hukum dapat pula diberlakukan antara hukum Amerika Serikat dan Korea Selatan.
Persoalan timbul ketika diketahui Amerika Serikat memiliki kebijakan sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya, yakni memaksimalkan kesempatan yang ada mengenai kemungkinan mendapatkan kewenangan penegakan yurisdiksi atas personel militernya di negara lain. Hal tersebut mengakibatkan Amerika Serikat akan selalu mengusahakan untuk meminta pelimpahan yurisdiksi dimana Korea Selatan berhak atas primary jurisdiction dan Amerika Serikat berhak atas secondary jurisdiction. Dan sebaliknya, Amerika Serikat akan mempertahankan hak primary jurisdiction apabila peristiwa hukumnya mengakibatkan hak tersebut melekat kepada Amerika Serikat.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
-
1. Pada ketiga perjanjian yang dijadikan bahan analisis, ketiganya mencerminkan konsep yurisdiksi ekstrateritorial. Dalam perjanjian sewa antara Amerika Serikat dan Kuba, disepakati bahwa Amerika Serikat memiliki complete jurisdiction atas wilayah yang diperjanjikan. Sedangkan dalam perjanjian antara Amerika Serikat dan Jepang, serta Amerika Serikat dan Korea Selatan, terdapat klausula concurrent/shared jurisdiction yang menghasilkan adanya kebijakan primary jurisdiction dan secondary jurisdiction di antara negara-negara yang menjadi pihak dalam perjanjian. Yang mana apabila Amerika Serikat berada pada posisi secondary jurisdiction, pada umumnya akan memintakan pelimpahan yurisdiksi kepada negara yang berhak atas primary jurisdiction.
-
2. Permasalahan dalam lingkup kerjasama pertahanan dan pembangunan pangkalan militer asing memang sarat dengan kepentingan negara-negara yang menjadi pihak dalam perjanjian. Hal ini dikarenakan, negara-negara tersebut memang membutuhkan bantuan atau sekadar kehadiran personel militer negara lain di wilayah negaranya agar dapat merasa aman. Dengan demikian, posisi negara yang membutuhkan seakan lebih tinggi dan berdampak pada negosiasi dan implementasi perjanjian bilateral yang disepakati.
Disarankan ada satu model perjanjian bilateral tentang status personel yang menjamin seimbangnya posisi tawar antar negara dalam hal penegakan yurisdiksi. Hal ini begitu signifikan mengingat sebenarnya receiving state memang membutuhkan kehadiran personel militer asing, namun receiving state juga berhak atas keadilan atas pelanggaran hukum di negaranya. Selain itu, perlu juga disepakati mengenai bentuk perjanjian bilateral, demi menjamin kepastian hukum antara negara-negara yang menjadi pihak perjanjian. Hingga kini belum ada pangkalan militer asing yang bermarkas di Indonesia. Namun suatu saat, hal tersebut bisa saja terjadi. Diharapkan, apabila hal tersebut terjadi, telah ada model yang mengatur tentang perjanjian bilateral ini. Sehingga Indonesia sebagai negara yang ditempati oleh personel militer asing, tidak dirugikan kewenangan penegakan yurisdiksinya oleh klausula yang sudah tidak seimbang sejak awal pembentukannya.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Boer Mauna, 2005, Hukum Internasional, Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Alumni, Bandung.
J.G. Starke, 1988, Pengantar Hukum Internasional, Buku Kesatu, Cet. 10, Sinar Grafika, Jakarta.
Kent E. Calder, 2007, Embattled Garrisons: Comparative Base Politics and American Globalism, Princeton University Press, New Jersey.
Mochtar Kusumaatmadja, 1982, Pengantar Hukum Internasional, Buku I Bagian Umum, Alumni, Bandung.
R. Chuck Mason, 2012, Status of Forces Agreement (SOFA): What Is It, and How Has It Been Utilizied?, CSR Report for Congress.
Rebecca Wallace, 1993, Hukum Internasional, terjemahan
Bambang Arumanadi, IKIP Semarang Press, Semarang
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Zdzislaw Lachowski, 2007, Foreign Military Bases in Eurasia, SIPRI, Stockholm.
Jurnal, Artikel Ilmiah dan Majalah
Earl Synder, 1959, “Military Law Abroad: The Status of Forces Agreement in England”, American Bar Association Journal, vol. 45.
Edwin G. Schuck, 1957, “Concurrent Jurisdiction under the NATO Status of Forces Agreement”, Columbia Law Review, vol. 57, No.3.
Joseph Lazar, 1969, “Cession in Lease” of the Guantanamo Bay Naval Station and Cuba’s “Ultimate Sovereignty”, The American Journal of International Law, vol. 63.
Purna Cita Nugraha, 2014, “Penerapan Rezim Ekstraterritorial Jurisdiction dalam Hukum Siber di Indonesia”, Jurnal Opinio Juris, vol. 15.
Sumaryo Suryokusumo, 2005, “Yurisdiksi Negara vs. Yurisdiksi Ekstrateritorial, Indonesian Journal of International Law”, vol. 2.
Tyler J. Hill, 2015, “Revision of the U.S.-Japan Status of Forces Agreement (SOFA): Relinquishing U.S. Legal Authority in the Name of American Foreign Policy”, UCLA Pacific Basin Law Journal, vol. 32.
Winston P. Nagan, 2011, “Sovereignty in Theory and Practice”, San Diego International Law Journal.
Instrumen Hukum Internasional
Agreement Between the United States and Cuba for the Lease of Lands for Coaling and Naval Stations
Lease to the United States by the Government of Cuba of Certain Areas of Land and Water for Naval or Coaling Stations in Guantanamo and Bahia Honda
Treaty between the United States of America and Cuba
Treaty of Mutual Cooperation and Security between Japan and the United States of America
Agreement under Article VI of the Treaty of Mutual Cooperation and Security between Japan and the United States of America regarding Facilities and Areas and the Status of United States Armed Forces in Japan
Mutual Defense Treaty between the United States and the Republic of Korea
Agreement under Article IV of the Mutual Defense Treaty between the United States of America and the Republic of Korea, Regarding Facilities and Areas and the Status of United States Armed Forces in the Republic of Korea
Internet
Agreement between the United States and Cuba for the Lease of Lands for Coaling and Naval Stations, URL: http://avalon.law.yale.edu/20th_century/dip_cuba002.as p diakses pada tanggal 19 Februari 2018.
Agreement under Article IV of the Mutual Defense Treaty between the United States and the Republic of Korea, Regarding Facilities and Areas and the Status of United States Armed Forces in the Republic of Korea, URL: http://www.usfk.mil/Portals/105/Documents/SOFA/A0 1_SOFA.Art.I-XXXI.pdf dan
http://www.usfk.mil/Portals/105/Documents/SOFA/A0 7_Agreement.Amending%20the%20Agreement.pdf diakses pada tanggal 20 Februari 2018.
Agreement under Article VI of the Treaty of Mutual Cooperation and Security between Japan and the United States of America regarding Facilities and Areas and the Status of United States Armed Forces in Japan,
http://www.mofa.go.jp/region/n-america/us/q&a/ref/2.html diakses pada tanggal 2 Maret 2018.
David Vine, “U.S. Military Bases Around the World”, Politico Magazine, URL :
http://www.politico.com/magazine/story/2015/06/us-military-bases-around-the-world-119321 diakses pada tanggal 12 November 2017.
Lease to the United States by the Government of Cuba of Certain Areas of Land and Water for Naval or Coaling Stations in Guantanamo and Bahia Honda, URL:
http://avalon.yale.edu/20th_century/dip_cuba003.asp diakses pada tanggal 19 Februari 2018.
Mutual Defense Treaty between the United States and the Republic of Korea, URL:
http://www.usfk.mil/Portals/105/Documents/SOFA/H_ Mutual%20Defense%20Treaty_1953.pdf diakses pada tanggal 20 Februari 2018.
Treaty Between the United States of America and Cuba, URL: http://avalon.law.yale.edu/20th_century/dip_cuba001.as p diakses pada tanggal 19 Februari 2018.
Treaty of Mutual Cooperation and Security between Japan and the United States of America, URL:
http://www.mofa.go.jp/region/n-america/us/q&a/ref/1.html diakses pada tanggal 2 Maret 2018.
Discussion and feedback