PENGATURAN TENTANG PERSYARATAN ARSITEKTUR BALI TERHADAP BANGUNAN GEDUNG DI KOTA DENPASAR
on
PENGATURAN TENTANG PERSYARATAN ARSITEKTUR BALI TERHADAP BANGUNAN GEDUNG DI KOTA DENPASAR1
Oleh:
I Putu Andika Pratama2
I Ketut Suardita3
Program Kekhususan Hukum Pemerintahan Fakultas Hukum
Universitas Udayana
ABSTRACT
The government of Denpasar City implemented a regulation towards building along the street in Denpasar City using Balinese nuanced architecture as regulated in Bali Province Regional Regulation Number 5 Year 2005 about Building Architecture Requirements. The problems discussed in this legal research are related to regulation and imposition of sanction. The method used in this legal research is juridical normative. The result of this legal research is that regulation towards Balinese architecture building in Denpasar City only based on Mayor Regulation Number 5 Year 2010 about Building Architecture Requirements in Denpasar City. Thus, towards offence regarding to it could not be imposed with sanction. To solve the problem, the Government of Denpasar City is suggested to make regional regulation accommodating administrative sanction or criminal sanction towards the offender.
Keywords: Balinese Architecture, Denpasar City, offence, regulation.
ABSTRAK
Pemerintah Kota Denpasar menerapkan aturan terhadap bangunan gedung di sepanjang jalan Kota Denpasar menggunakan arsitektur bernuansa Bali sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2005 Tentang Persyaratan Arsitetur Bangunan Gedung. Adapun permasalahan dalam penulisan ini berkaitan dengan pengaturan serta penjatuhan sanksi. Dalam penulisan ini, metode yang digunakan adalah metode yuridis normatif. Hasil dari penulisan ini adalah bahwa pengaturan tentang bangunan gedung berarsitektur Bali di Kota Denpasar hanya berdasarkan Peraturan Walikota Nomor 25 Tahun 2010 Tentang Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung di Kota Denpasar. Sehingga terhadap pelanggaran terkait hal tersebut tidak dapat dijatuhi sanksi. Untuk mengatasi hal tersebut, disarankan Pemerintah Kota Denpasar untuk membuat peraturan daerah yang memuat sanksi administratif ataupun sanksi pidana terhadap pelanggar.
Kata Kunci: arsitektur Bali, Kota Denpasar, pelanggaran, pengaturan.
Era globalisasi di Indonesia berkembang semakin pesat sehingga dengan mudah mendapatkan peluang berkaitan dengan kegiatan perekonomian, bisnis maupun kegiatan pariwisata yang memberikan dampak positif di dalam proses pembangunan Nasional. Salah satunya adalah Provinsi Bali yang sangat terkenal di mancanegara sebagai destinasi pariwisata dan memiliki kearifan lokal. Hal ini secara otomatis memberikan peluang yang strategis untuk pembangunan di segala aspek kehidupan.
Agar pelaksanaan pembangunan di segala aspek kehidupan tersebut terkendali dan tidak menimbulkan permasalahan, diperlukan adanya sarana perangkat berupa perizinan yang digunakan oleh pemerintah terhadap pengendalian kegiatan di dalam masyarakat.4 Beberapa instrumen perizinan yang berkaitan dengan pembangunan adalah Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) sebagai sarana pengendali perkembangan fisik di dalam pelaksanaan pembangunan yang pelaksanaannya diberikan landasan hukum berupa peraturan daerah.
Adapun pembangunan yang dimaksud ialah pendirian bangunan gedung yang tidak semata-mata dilakukan untuk menunjang aspek kehidupan, tetapi juga tidak terlepas dari seni dan budaya Bali berdasarkan fungsi kultural dan fungsi arsitektural. Sehingga Pemerintah Daerah Kota Denpasar menerapkan aturan yang mewajibkan bangunan-bangunan di sepanjang jalan di Kota
Denpasar menggunakan arsitektur bangunan bernuansa Bali sebagai cerminan ciri khas budaya Bali yang berlandaskan ajaran Tri Hita Karana. Tujuannya antara lain untuk menjamin kepastian dan ketertiban hukum dalam melakukan pembangunan khususnya bangunan gedung di Provinsi Bali.
Dalam pelaksanaannya harus dilakukan dengan tertib dan terkendali. Hal ini dikarenakan pengendalian langsung terhadap persyaratan arsitektur bangunan di Kota Denpasar harus sejalan dengan penerapan otonomi daerah sejalan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Sehingga di Provinsi Bali ditetapkannya Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2005 Tentang Persyaratan Arsitetur Bangunan Gedung (Selanjutnya disebut Perda No. 5 Tahun 2005). Sedangkan untuk di Kota Denpasar ditetapkannya Peraturan Walikota Nomor 25 Tahun 2010 Tentang Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung di Kota Denpasar (Selanjutnya disebut Perwali No. 25 Tahun 2010).
Berdasarkan Peraturan Daerah tersebut yang pada intinya menyatakan bahwa bangunan gedung diharuskan dan diwajibkan menggunakan arsitektur bernuansa Bali, terutama bangunan gedung yang terletak di sepanjang jalan Kota Denpasar. Akan tetapi penerapannya dari Perda tersebut dalam kehidupan masyarakat masih terdapat adanya pelanggaran berupa masih banyak bangunan yang terletak di sepanjang jalan Kota Denpasar tidak menggunakan arsitektur bernuansa Bali. Hal ini dapat dikatakan telah melanggar peraturan tersebut. Untuk mencegah terjadinya pelanggaran maupun tindak lanjut terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi, diperlukan peran dari Pemerintah Daerah Kota Denpasar sehingga
diperlukan adanya penjatuhan sanksi yang bertujuan untuk menertibkan dan mengarahkan tingkah laku di dalam masyarakat.5
Namun dalam hal ini terkait penjatuhan sanksi hukum terhadap pelanggaran, terdapat adanya norma kosong dikarenakan dalam peraturan tersebut tidak memuat penjatuhan sanksi terhadap pelanggaran terkait dengan bangunan gedung di Kota Denpasar yang tidak menggunakan arsitektur bernuansa Bali.
Adapun rumusan masalah yang dapat ditarik berdasarkan latar belakang tersebut adalah sebagai berikut:
-
1. Bagaimanakah aturan hukum terkait bangunan gedung dengan arsitektur Bali di Kota Denpasar?
-
2. Bagaimanakah penjatuhan sanksi terhadap pelanggaran terkait bangunan gedung tanpa menggunakan arsitektur Bali di Kota Denpasar?
Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui aturan hukum yang mengatur bangunan gedung berarsitektur Bali di Kota Denpasar dan persoalan kekosongan norma berkaitan dengan tidak adanya aturan penjatuhan sanksi terhadap pelanggaran yang diakibatkan oleh bangunan gedung disepanjang jalan di Kota Denpasar yang tidak menggunakan arsitektur bernuansa Bali.
Metode yang digunakan di dalam penulisan ini adalah metode yuridis normatif.6 Metode ini digunakan berkaitan dengan permasalahan norma, yaitu norma kosong. Metode yuridis normatif merupakan metode yang digunakan di dalam penelitian hukum dengan meneliti bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku (statue approach)7 baik di tingkat nasional maupun di tingkat lokal. Selain itu penulisan jurnal ini menggunakan bahan hukum sekunder8 berupa literatur, jurnal maupun karya tulis yang berkaitan dengan hukum pemerintahan daerah.
Pengertian bangunan gedung menurut Pasal 1 angka 6 Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 5 Tahun 2015 Tentang Bangunan Gedung merupakan wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik
untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya maupun kegiatan khusus.
Pengertian arsitektur tradisional Bali menurut Pasal 1 angka 7 Perda No. 5 Tahun 2005 adalah tata ruang dan tata bentuk yang pembangunannya didasarkan atas nilai dan norma-norma baik tertulis maupun tidak tertulis yang diwariskan secara turun temurun.
Sebagaimana yang dimaksud dalam pengertian tersebut, bahwasanya bangunan gedung di Kota Denpasar tidak terlepas dari adanya perizinan yang merupakan suatu persetujuan penguasa terhadap pemohon untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang bertujuan sebagai sarana yuridis untuk mengendalikan tingkah laku masyarakat.9 Adapun di dalam perizinan terdapat Keputusan Tata Usaha Negara yang memberikan izin terhadap suatu permohonan yang diajukan oleh pemohon terhadap suatu tindakan-tindakan tertentu.10
-
2.2.2. Aturan Hukum
Adapun aturan hukum yang mengatur tentang keharusan bangunan gedung di Kota Denpasar menggunakan arsitektur bernuansa Bali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Perwali No. 25 Tahun 2010 yaitu dari segi penampilan bangunan gedung yang harus menerapkan norma-norma, bentuk dan karakteristik arsitektur Tradisional Bali dan memenuhi unsur keselamatan di dalam bangunan gedung tersebut. Selain itu dari segi proporsi bangunan
gedung harus seimbang dan selaras dengan memperhatikan aspek lingkungan berupa adanya ruang terbuka hijau dan harus memenuhi nilai-nilai luhur serta identitas budaya setempat.
Dalam mendirikan bangunan gedung di Provinsi Bali, khususnya di Kota Denpasar juga memperhatikan norma-norma yang merupakan tradisi tertulis dalam hal arsitektur tradisional Bali sesuai dengan Pasal 1 angka 15 Perwali No. 25 Tahun 2010 yaitu sebagai berikut:
-
1. Asta Bumi (norma –norma dalam penetapan dan perancangan tapak);
-
2. Asta Kosala Kosali (norma-norma perancangan bangunan dan pelaksanaan bangunan);
-
3. Janantaka (norma-norma penggunaan bahan bangunan);
-
4. Bomakrith (norma-norma ritual dalam proses pembangunan secara tradisional).
Adapun terkait dalam hal fungsi bagunan gedung di Kota Denpasar yang didasarkan atas Pasal 2 Perwali No. 25 Tahun 2010 digolongkan meliputi sebagai berikut:
-
1. Fungsi hunian;
-
2. Fungsi keagamaan;
-
3. Fungsi usaha;
-
4. Fungsi sosial budaya;
-
5. Fungsi khusus;
-
6. Fungsi campuran.
Adapun arsitektur Bali selain digunakan dalam bentuk fisik dari bangunan gedung, juga diberlakukan untuk desain pagar dan 8
gerbang disepanjang jalan raya dan jalan lingkungan yang didasarkan dalam Pasal 15 Perda No. 5 Tahun 2005. Arsitektur Bali juga diwajibkan untuk digunakan terhadap bangunan gedung milik pemerintah, rumah dinas maupun rumah jabatan yang diatur di dalam Pasal 16 Perda No. 5 Tahun 2005.
Sehingga dapat dikatakan bahwa bangunan gedung di Kota Denpasar sejalan dengan Visi dan Misi Kota Denpasar yang pada intinya menjunjung kearifan lokal dan kultur budaya masyarakat Bali. Selain itu menjunjung keharmonisan terutama keharmonisan terhadap lingkungan dengan mengharuskan adanya ruang terbuka hijau terhadap bangunan gedung yang dalam hal ini mengedepankan aspek perlindungan terhadap lingkungan hidup sejalan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Di dalam Pasal 3 Perda No. 5 Tahun 2005 mengatur tentang tujuan pengaturan persyaratan arsitektur bangunan gedung yang pada intinya menyatakan bahwa tujuan pengaturan tersebut adalah untuk mewujudkan bangunan gedung di Kota Denpasar memiliki corak dan karakter arsitektur tradisional Bali dan juga menjamin adanya kepastian hukum dalam penyelenggaraan bagunan gedung agar terwujudnya bangunan gedung yang sesuai dengan prinsip-prinsip arsitektur tradisional Bali. Kepastian hukum yang dimaksud yang salah satunya adanya penjatuhan sanksi terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu terkait dengan bangunan gedung yang tidak menggunakan arsitektur tradisional Bali.
-
2.2.3. Permasalahan Penjatuhan Sanksi
Dalam hal ini terdapat permasalahan di dalam penegakan hukum terhadap keharusan bangunan gedung di Kota Denpasar untuk menggunakan arsitektur bernuansa Bali. Adapun permasalahan yang dimaksud adalah tidak adanya pasal yang mengatur penjatuhan sanksi terhadap pelanggaran tersebut, baik di dalam Perda No. 5 Tahun 2005 maupun di dalam Perwali No. 25 Tahun 2010. Di dalam Perda No. 5 Tahun 2005, khususnya diatur di dalam Pasal 21 dan Pasal 22 yang intinya menyatakan bahwa gubernur mengkoordinasikan pengendalian persyaratan arsitektur bangunan gedung dengan pemerintah kabupaten/kota dan peran serta dari seluruh elemen masyarakat di dalam pengendalian penerapan persyaratan arsitektur bangunan gedung.
Sedangkan di dalam Perwali No. 25 Tahun 2010, khususnya di dalam Pasal 14 yang pada intinya menyatakan bahwa pengawasan terhadap arsitektur bangunan gedung tersebut dilaksanakan oleh Dinas Tata Ruang dan Perumahan dan berkaitan dengan tindakan hukum dilaksanakan oleh Dinas Ketentraman Ketertiban dan Satuan Polisi Pamong Praja.
Dari pasal-pasal tersebut dapat dikatakan bahwa adanya pengendalian dan pengawasan terhadap bangunan gedung bernuansa arsitektur Bali dan juga tindakan hukum yang dilakukan oleh instansi terkait. Tetapi yang menjadi permasalahan adalah sanksi apa yang dapat dikenakan/dijatuhkan terhadap pelangggaran yang terjadi apakah itu merupakan sanksi administratif berupa pencabutan izin, pengenaan sanksi denda ataupun sanksi pidana berupa kurungan penjara.
Adanya kekosongan norma yang menyebabkan sangat sulit di dalam penjatuhan sanksi sehingga disepanjang Kota Denpasar masih marak adanya bangunan gedung yang tidak menggunakan arsitektur bernuansa Bali. Hal ini dikarenakan di Kota Denpasar hanya diatur dengan Peraturan Walikota. Sedangkan Peraturan Walikota dalam penerapannya tidak diperbolehkan mengenakan penjatuhan sanksi. Bahwasanya penerapan sanksi terhadap pelanggaran biasanya diterapkan di dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Tetapi di Kota Denpasar sampai sekarang belum ada Peraturan Daerah Kota yang khusus mengatur mengenai hal tersebut sehingga apabila terjadi pelanggaran tidak ada penjatuhan sanksi hukum baik berupa sanksi administratif maupun sanksi pidana terhadap pelanggaran yang terjadi.
Menurut berita yang dimuat di dalam Bali Travel News tertanggal 30 Januari 2017 yang menyatakan bahwa di Kota Denpasar terdapat banyak sekali yang menggunakan langgam arsitektur minimalis dikarenakan lebih murah daripada langgam aritektur Bali.11 Hal ini menyebabkan tergesernya langgam arsitektur Bali yang telah menjadi turun temurun di dalam masyarakat di Provinsi Bali. Dengan demikian menjadi persoalan tentang efektivitas pemberlakuan Perwali No. 25 Tahun 2010 dan Perda No. 5 Tahun 2005 jika sampai langgam arsitektur Bali berubah sedemikian rupa menjadi langgam arsitektur minimalis. Hal ini kemungkinan dapat terjadi karena tidak adanya aturan berupa peraturan daerah yang memuat penegakan sanksi hukum terkait pelanggaran tersebut.
-
2.2.4. Peran Serta Pemerintah Di dalam Penegakan Hukum Bangunan Gedung Berarsitektur Bali
Dalam hal ini diperlukan peran serta dari pemerintah daerah khususnya pemerintah daerah Kota Denpasar sejalan dengan pendapat G. Radbruch bahwa penegakan hukum memiliki tujuan yaitu kepastian, keadilan dan kemanfaatan.12 Hal ini dikarenakan pemerintah Kota Denpasar mengalami kesulitan di dalam pengakan sanksi hukum terkait keharusan bangunan gedung menggunakan arsitektur Bali. Sehingga pemerintah dituntut untuk melakukan tindakan penggunaan kewenangan diskresi (diskresionare power)13 dalam hal pembuatan kebijakan-kebijakan terkait permasalahan tersebut sejalan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB). Tetapi hanya sebatas pembentukan kebijakan-kebijakan dan pemerintah tidak dapat melakukan penjatuhan sanksi.
Sejalan dengan yang diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan yang salah satu isi pasal menyatakan bahwasanya pemerintah dapat melakukan pengambilan keputusan atau tindakan menurut kewenangan diskresi dikarenakan peraturan perundang-undangan tidak mengatur, tidak lengkap ataupun tidak jelas. Sehingga dapat dikatakan bahwa kewenangan diskresi yang dimiliki oleh pejabat pemerintahan terhadap permasalahan bangunan gedung tanpa
arsitektur Bali di Kota Denpasar hanya dapat dilakukan pada saat hal-hal tertentu.14
Tetapi efektifitas dari diskresi yang dilakukan oleh pemerintah daerah tidaklah efektif dikarenakan diperlukannya penerapan sanksi hukum sehingga pemerintah Kota Denpasar harus membuat Peraturan Daerah Kota Denpasar yang di dalam pasal-pasalnya memuat ketentuan mengenai sanksi, baik sanksi administratif maupun sanksi pidana bagi pelanggaran yang dilakukan. Karena pembentukan peraturan daerah Kota Denpasar dapat dikatakan sangat meminimalisir pelanggaran-pelanggaran terutama terhadap bangunan gedung yang tidak menggunakan arsitektur Bali di Kota Denpasar.
Adapun kesimpulan yang dapat ditarik dari pemaparan tersebut yaitu sebagai berikut:
-
1. Bahwasanya pengaturan tentang persyaratan arsitektur Bali terhadap bangunan gedung diatur di dalam Perda No. 5 Tahun 2005. Sedangkan untuk di Kota Denpasar diatur di dalam Perwali No. 25 Tahun 2010. Dalam hal ini, bangunan gedung di sepanjang jalan di Kota Denpasar diwajibkan menggunakan arsitektur bernuansa Bali sebagai cerminan ciri khas budaya Bali.
-
2. Terkait sanksi hukum, Pemerintah Daerah Kota Denpasar tidak dapat menjatuhkan sanksi terhadap pelanggaran karena tidak adanya Peraturan Daerah yang mengatur hal tersebut. Sedangkan di Kota Denpasar hanya diatur dengan Peraturan Walikota.
Berdasarkan simpulan tersebut di atas, maka disarankan sebagai berikut:
-
1. Pemerintah Daerah Kota Denpasar diharapkan segera membuat Peraturan Daerah. Sehingga terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan berkaitan dengan hal tersebut dapat dijatuhkan sanksi, baik sanksi administratif maupun sanksi pidana terhadap bangunan gedung yang tidak menggunakan arsitektur Bali di Kota Denpasar.
-
2. Dihimbau adanya kesadaran dan partisipasi dari masyarakat yang membangun di sepanjang jalan strategis di Kota Denpasar agar menonjolkan arsitektur Bali untuk melestarikan seni dan budaya Bali.
DAFTAR PUSTAKA
Erwin, Muhamad, 2013, Filsafat Hukum: Refleksi Kritis terhadap Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Hadjon, Philipus M, 1993, Pengantar Hukum Perizinan, Yuridika, Surabaya.
Marzuki, Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Pudyatmoko, Y. Sri, 2009, Perizinan: Problem dan Upaya
Pembenahan, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.
Rahardjo, Satjipto, 2000, Ilmu Hukum Cet. 5, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
Ridwan HR, 2013, Hukum Administrasi Negara Edisi Revisi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Hapsari Hadi, I Gusti Ayu, 2017, “Pertanggungjawaban Pejabat Pemerintahan Dalam Tindakan Diskresi Pasca Berlakunya Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan” Kerta Patrika Nomor 1, April 2017.
http://bali-travelnews.com/2017/01/30/langgam-minimalis-ancam-identitas-arsitektur-bali/ (Diakses pada hari Minggu Tanggal 5 November 2017 Pukul 18.10 WITA).
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140).
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244).
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 292).
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2005 Tentang Persyaratan Arsitetur Bangunan Gedung (Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2005 Nomor 4).
Peraturan Walikota Nomor 25 Tahun 2010 Tentang Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung di Kota Denpasar (Berita Daerah Kota Denpasar Tahun 2010 Nomor 25).
17
Discussion and feedback