LEGALITAS PENJATUHAN EKSEKUSI MATI MENURUT HUKUM INTERNASIONAL (STUDI KASUS GURDIP SINGH)

Oleh

Angga Nurhadi

I Gede Pasek Eka Wisanjaya

Made Maharta Yasa

Program Kekhususan Hukum Internasional dan Hukum Bisnis Internasional

Fakultas Hukum Universitas Udayana

ABSTRAK

Gurdip Singh pada tanggal 29 Agustus 2004, ditangkap karena membawa Heroin yang ditemukan oleh Kepolisian Resor Bandara Soekarno-Hatta. Pada tanggal 7 Februari 2005 melalui Putusan Pengadilan Negeri Tangerang terdakwa dijatuhkan pidana dengan pidana mati. Dari hal ini didapat dua pokok permasalahan yang diangkat pada karya ilmiah ini yang pertama apakah dasar hukum dalam penjatuhan pidana mati dalam kasus Gurdip Singh dan bagaimanakah legalitas penjatuhan pidana mati terhadap kasus Gurdip Singh yang dilihat dari perspektif hukum internasional. Tujuan penulisan ini dapat menambah informasi mengenai isu batasan perlindungan yang dapat diberikan kepada warga negara asing, juga penelitian ini mampu menambahkan pengetahuan terkait legalitas penjatuhan hukuman mati dilihat dari hak asasi manusia dan sekaligus dari hukum internasional. Penulisan ini menggunakan metode normatif yaitu penelitian hukum yang mempergunakan metode normatif yang bersifatdeskriptif. Dalam penulisan ini disimpulkan seluruh ketetapan-ketetapan hukum indonesia tidak ada satupun yang menentang adanya hukuman mati sama dengan dalam instrumen hukum internasional baik pada konvenan internasional tentang hak sipil dan politik maupun konvensi narkotika pidana mati tidaklah bertentangan. berbeda dengan Universal Declaration of Human Rights dimana dalam Deklarasi ini tidak ada penjelasan mengenai hukuman mati.

Kata Kunci : Eksekusi Mati, Gurdip Singh, Hukum Internasional.

ABSTRACT

Gurdip Singh on August 29, 2004, was arrested for carrying Heroin found by the Police of the Soekarno-Hatta Airport Resort. On February 7, 2005 through the Tangerang District Court's Decision the defendant was convicted of a death sentence. From this matter, there are two main issues raised in this scientific work, the first is the legal basis for the imposition of capital punishment in Gurdip Singh's case and how the legality of the death penalty for Gurdip Singh's case is viewed from the perspective of international law. The purpose of this writing can add information about the issue of protection restrictions that can be given to foreign nationals, also this research is able to add knowledge related to the legality of the death penalty seen from human rights as well as from international law. This writing uses the normative method of legal research that uses normative methods that are descriptive. In this writing, it is concluded that none of the Indonesian legal provisions that oppose the death penalty as well as international legal instruments on international covenants on civil and political rights and narcotics conventions on capital punishment are not contradictory. different from the Universal Declaration of Human Rights where in this Declaration there is no explanation of the death penalty.

Keywords : Death Execution, Gurdip Singh, International Law.

PENDAHULUAN

  • 1.1.    Latar Belakang Masalah

Gurdip Singh pada Agustus 2004, ditangkap karena narkotika jenis Heroin seberat 300 gram yang ditemukan oleh Kepolisian.1 Polisi menemukannya barang ilegal itu pada saat pemeriksaan badan terhadap Gurdip Singh.2 Dari hal inilah polisi langsung mengamankan Gurdip Singh dengan dugaan menyelundupkan barang ilegal berupa Heroin.3

Pada tanggal 7 Februari 2005 melalui Putusan Pengadilan Negeri Tangerang No.1235/Pid.B/2004/PN.Tng yang menyatakan bahwa, Gurdip Singh bersalah dan dijatuhi dengan pidana mati. Karena tidak puas dengan putusan Hakim tersebut terutama atas dasar hukum yang dijatuhkan dan tidak jelas legalitas dari aspek hukum internasional maka Gurdip mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Banten akan tetapi Pengadilan Banding menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Tangerang. Dasar hukum penjatuhan pidana mati Gurdip Singh didasari pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika pada Pasal 114 ayat 2 dimana dinyatakan siapa saja yang terlibat dalam peredaran narkotika yang tercantung dalam ayat 1 undang-undang tersebut dipidana dengan pidana mati. Sementara Legalitas penjatuhan pidana mati Gurdip Singh dilihat dari

instrumen hukum internasional tertera di dalam konvenan internasional tentang hak sipil dan politik maupun konvensi narkotika. Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia, banyak pro dan kontra yang terjadi terkait penerapan pidana mati di Indonesia dalam peraturan hukum Indonesia terdapat sangat banyak delik yang mengancam dengan pidana mati diantaranya terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, undang-undang tentang narkotika dan beberapa peraturan hukum lainnya.4

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Dari latar belakang, terdapat dua pokok persalahan yang diangkat pada karya ilmiah ini, yaitu:

  • 1.    Apakah dasar hukum penjatuhan pidana mati pada kasus Gurdip Singh ?

  • 2.    Bagaimanakah legalitas penjatuhan pidana mati terhadap kasus Gurdip Singh yang dilihat dari perspektif instrumen hukum internasional ?

  • 1.3.    Tujuan Penelitian

Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini diantaranya :

  • 1.    Menganalisis dasar hukum dalam menjatuhkan pidana mati pada kasus Gurdip Singh.

  • 2.    Menganalisis legalitas penjatuhan pidana mati terhadap kasus Gurdip Singh yang dilihat dari perspektif hukum internasional.

  • II.    ISI MAKALAH

    • 2.1.    Metode Penelitian

Dalam penulisan jurnal ini menggunakan metode hukum normatif. Dimana pada penelitian ini meletakan hukum sebagai

sebuah sistem norma, serta meletakan sistem norma yang dijadikan objek pada kajian.5 Pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan peraturan perundang-undangan berupa instrumen hukum internasional terkait, pendekatan fakta berupa fakta-fakta yang ditemukan di lapangan serta pendekatan kasus dimana disini dikaji mengenai kasus terpidana narkotika Gurdip Singh. Bahan hukum yang digunakan yaitu bahan hukum primer berupa perundang-undangan dan putusan pengadilan, serta digunakan juga bahan hukum sekunder berupa rancangan peraturan perundang-undangan, hasil penelitian dan berita di internet. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah teknik studi dokumen serta teknik analisa bahan hukum dalam tulisan ini menganalisa legalitas penjatuhan pidana mati dari perspektif hukum internasional.

  • 2.2.    Hasil dan Analisis

    • 2.2.1.    Penjatuhan Pidana Mati dalam Ketetapan Hukum di Indonesia

Indonesia merupakan negara yang masih menganut pidana mati, hal ini didasarkan pada maksud semula pembentukan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang dijelaskan oleh Mahkamah Konstitusi pada putusannya yang menyatakan bahwa Indonesia tidak menganut hak asasi manusia yang bersifat mutlak, sehingga dalam hal hak untuk hidup yang menjadi bagian dari hak asasi manusia dapat dikurangi apabila dilakukan sesuai dengan undang-undang. Hal tersebut dikuatkan dengan adanya pasal pembatasan hak asasi manusia yang termuat dalam Pasal 28 huruf J UUD 1945, dan hal inilah yang menjadi dasar berlakunya pidana mati di Indonesia

Pidana mati diancamkan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika hal itu dimaksudkan karena kejahatan narkotika dapat mengancam kestabilan bangsa dan negara Indonesia. Bagian penjelasan pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) membenarkan hukuman mati dijatuhkan dimana disebutkan bahwa negara dapat menerapkan seluruh pasal-pasal yang ada termasuk di dalamnya pidana mati dengan maksud untuk kepentingan bangsa dan negara. Pidana matipun masih dapat dilihat dalam rancangan KUHP yang baru, aturan tersebut menempatkan pidana mati sebagai hukuman alternatif bukan pokok. Indonesia sebagai negara yang berlandaskan hukum dan menjungjung tinggi hak asasi manusia tidaklah berpandangan bahwa pidana mati merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia seseorang hal ini tertuang dalam penjelasan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mengenai hak untuk hidup dapat dikesampingkan dengan alasan yang sangat darurat, termasuk pidana mati yang dijatuhkan kepada terpidana, dimana hal ini masih dapat dibenarkan. Terkait fenomena ini ahli hukum Bambang Poernomo menyatakan, hukuman mati sudah diterapkan sejak lama dan tak tergantikan.6 Pada pelaksanaan sekarang ini pidana mati dilakukan berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Umum dan Militer.

Pidana mati di Indonesia menimbulkan banyak pro dan kontra. Terlihat dalam penelitian yang pernah dilakukan oleh

Fakultas Hukum Universitas Diponogoro bekerjasama dengan Kejaksaan Agung pada tahun 1981 sampai dengan 1982, dalam laporan penelitian itu dinyatakan, bahwa ada kecenderungan di antara mereka yang pro dan kontra terhadap pidana mati, menjadikan Pancasila sebagai justification. Hal ini didasari karena Pancasila merupakan ideologi bangsa yang sudah terbentuk secara alami dan berdasarkan pada kebiasaan dan religius yang berlaku di Indonesia7. Namun nyatanya dimana dilihatasebagai satu kesatuan, ataupun berdasarkan satu persatu silanya, pancasila tidaklah memiliki kecendrungan terhadat pandangan yang menentang adanya pidana mati. Jadi hukuman mati masih relevan, dimana mayoritas agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia mengenal pidana mati serta pidana mati merupakan alat yang digunakan guna mencapai rasa keadilan di masyarakat. Denganademikian jelas bahwa penjatuhan pidanaamati pada terpidana Gurdip Singh tidaklah bertentangan dengan Pancasila karena merupakan implementasi dari penegakan keadilan serta menjamin dihormatinya hak asasi orang lain.

  • 2.2.2.    Penjatuhan Pidana Mati pada Terpidana Gurdip Singh Menurut Perspektif Hak Asasi Manusia Internasional

Apabila dilihat dari instrumen hukum internasional dimana kejahatan yang diancam hukuman mati adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM) yang tergolong berat, banyak instrumen hukum internasional yang berkaitan dengan hal ini diantaranya Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (DUHAM), International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), dan United Nations Convention Against Illicit Traffic In Narcotic Drugs And Psychotropic Subtance (Konvensi Narkotika).

Kejahatan narkotika sebagai kejahatan yang mendunia, sebagaimana dikemukakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menyatakan termasukadalam kelompok kejahatan organisasi-organisasi kejahatan transnasional yang meliputi industri perdagangan narkotika, penyelundupan barang terlarang, perdagangan senjata, perdagangan bahan-bahan nuklir, organisasi kriminal transnasional dan teroris, perdagangan wanita dan anak, perdagangan bagian-bagian tubuh manusia, pencurian dan penyelundupan kendaraan, pencucian uang, dan jenis-jenis kegiatan lainnya.

Mengenai pidana mati yang diancamkan kepada terpidana kasus narkotika menurut ICCPR tidaklah melanggar atau menyalahi apa yang tertuang dalam kovenan ini. Sesuai Pasal 6 ayat (2) di negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati, putusan hukuman mati hanya dapat dijatuhkan terhadap beberapa kejahatan yang paling serius sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat dilakukannya kejahatan tersebut, dan tidak bertentangan dengan ketentuan Kovenan dan Konvensi tentang Pencegahan dan Hukum Kejahatan Genosida. Hukuman ini hanya dapat dilaksanakan atas dasar keputusan akhir yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang berwenang, namun dinyatakan bahwa dalam Pasal 6 ayat (1) hak hidup setiap orang harus dilindungi oleh hukum, dengan kata lain negara wajib memperkenakan hukum yang memperkarakan pembunuhan. Pasal 6 mempunyai kecenderungan untuk menghapus hukuman mati. Klausul tersebut merupakan ketentuan yang tidak lazim dalam sebuah perjanjian internasional, karena klausul ini tidak menciptakan sebuah norma tetapi menyatakan sebuah tujuan yang programatis. Ketentuan ini dapat dianalogikan dengan sebuah

mukadimah, yang mewarnai pembacaan atas ayat-ayat Pasal 6

ICCPR yang lain.8

Berdasarkan hasil penelitian, pada Konvensi Narkotika dimana pokok-pokok pikiran yang tercantum dikatakan bahwa masyarakat bangsa-bangsa dan negara-negara di dunia perlu memberikan perhatian dan prioritas utama atas masalah pemberantasan peredaran gelap narkotika dan psikotropika.9 Pemerintah Indonesia menetapkan undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Pemberatasan Peredaran Gelap dan Psikotropika 1988 pada tanggal 24 Maret 1997 berdasarkan Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1997 Nomor 17.10 Menurut konvensi ini penjatuhan pidana mati pada terpidana Gurdip Singh, merupakan salah satu konsekuensi keikutsertaan Indonesia dalam Konvensi Narkotika sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (6) yang dimaksudkan di dalam memaksimalkan pencegahan tindak pidana narkotika.

Hal bebeda dinyatakan oleh DUHAM dimana tidak ada penjelasan yang dibuat mengenai hukuman mati dalam deklarasi tersebut dan tidak dapat dikatakan bahwa memihak terhadap penghapusan hukuman mati.11 William A. Schabas telah mengembangkan analisis mengenai Pasal 3 DUHAM dalam bukunya. Schabas menyatakan bahwa Pasal 3 DUHAM disusun pada tahun 1947 dan 1948, ketika sebagian besar negara

memberlakukan hukuman mati. DUHAM tersebut dimaksudkan untuk menetapkan suatu standar pencapaian bersama. Menurut Schabas, meski hukuman mati disebut dalam berbagai rancangan awal Pasal 3, Majelis Umum PBB memutuskan untuk menghapuskan segala pembahasan mengenai hukuman mati dengan tujuan tidak mau menghambat berkembangnya praktik negara-negara atau evolution of state practice menuju penghapusan hukuman mati.12

  • III.    PENUTUP

    • 3.1.    Kesimpulan

Berdasarkan uraian dari hasil penelitian dan analisis dapat ditarik kesimpulan, sebagai berikut :

  • 1.    Dasar hukum penjatuhan pidana mati Gurdip Singh didasari pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika pada Pasal 114 ayat 2, penjelasan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Umum dan Militer. Yang pada hakekatnya berlandaskan pada pancasila sebagai landasan negara dan pandangan hidup bangsa namun hal itu dianggap tidak jelas oleh terpidana.

  • 2.    Legalitas penjatuhan pidana mati Gurdip Singh menurut instrumen hukum internasional yaitu Pasal 6 ayat 2 ICCPR dan Pasal 3 ayat (6) Konvensi Narkotika dan Psikotropika pidana mati dapat diterapkan sesuai yang dimaksudkan di dalam

memaksimalkan pencegahan tindak pidana narkotika. Walaupun DUHAM tidak mengatur dengan jelas tetapi dalam berbagai rancangan awal Pasal 3, Majelis Umum PBB memutuskan untuk menghapuskan segala pembahasan mengenai hukuman mati dengan tujuan tidak mau menghambat berkembangnya praktik negara-negara menuju penghapusan hukuman mati. Namun ketidak jelasan tersebut menimbulkan implikasi dalam praktek penerapan hukum internasional.

  • 3.2.    Saran

  • 1.    Dalam memutuskan perkara tindak pidana yang dapat dijatuhi hukuman mati para penegak hukum diharapkan bisa memperbaiki lagi dasar hukum dalam penerapan hukuman mati baik hukum formil dan materiilnya sehingga tidak terjadi pro dan kontra dalam penerapan hukuman mati.

  • 2.    Sehubungan DUHAM tidak jelas menentukan pidana mati dalam isi deklarasinya PBB seharusnya dapat lebih memperjelas mengenai hukuman mati, sehingga negara-negara yang masih menerapkan hukuman mati mempuyai dasar legalitas dalam penerapan.

DAFTAR PUSTAKA

  • A.    Buku

Arba’i, Yon Artiono dan Fellycia Novka Kuaranita, 2012, Aku menolak hukuman mati : telaah atas penerapan pidana mati, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta.

Franek, Hans Goran, 2003, The Barbaric Punishment Abolishing The Death Penalty, The raoul wallenberg Institute human right library, The Hague.

Hamzah, Andi, 2008, Asas – Asas Hukum Pidana ,Cetakan III, Reneka Cipta, Jakarta.

Mansyur, Ali, 2007, Aneka Persoalan Hukum, Unissula Press, Semarang.

Schabas, William A., 2002, The Abolition of the Death Penalty in International Law, Cambridge University Press, New York.

Sunarso, Siswantoro, 2004, Penegakan Hukum Psikotropika Dalam Kajian Sosiologi Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

  • B.    Instrumen Hukum Internasional

The Universal Declaration of Human Right 1948

International Convenant on Civil and Political Right 1966

United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs

and Psychotropic substances 1988

C.aPeraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886)

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143, Lembaran Negara Nomor 5062)

Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007.

Putusan Mahkamah Agung dengan No. 1493 K/Pid/2005 tanggal

26 September 2005.

Putusan Pengadilan Tinggi Banten No. 6/Pid/2005/PT. Btn

tanggal 10 Mei 2005.

Putusan     Pengadilan     Negeri     Tangerang     Nomor

1235/Pid.B/2004/PN.Tng tanggal 7 Februari 2005.

  • C.    Artikel

Dharmawan, Ni Ketut Supasti, 2011, “Metodelogi Penelitian Hukum”, Makalah Metode Penelitian Hukum Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar.

D.Jurnal

Hanafi, 2017, “Analisis Terkait Sanksi Pidana bagi Pengguna dan Pengedar Narkoba dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika”, Jurnal Universitas Islam Madura Vol.1 No.2, Pamekasan.

  • E.    Internet

Kamilah, Ajeng Gandini, 2015, ”Portal hukuman mati Indonesia” URL :     http://hukumanmati.web.id/zulfiqar-ali-alias-ali/.

Diakses tanggal 16 Oktober 2016.

Rahardian, Lalu, 2016, ”Pengacara Terpidana Mati Asal Pakistan Temukan          BuktiaBaru“,          URL          :

http://m.cnnindonesia.com/nasional/201607241834562-146721/pengacara-terpidana-mati-asal-pakistan-temukan-bukti-baru/. Diakses tanggal 13 Oktober 2016.

Rochim, Muhammad Nur, 2016, “Kenapa empat terpidana mati dieksekusi        terlebih        dulu?”,        URL        :

https://beritagar.id/artikel/berita/kenapa-empat-terpidana-mati-dieksekusi-lebih-dulu. Diakses tanggal 16 Oktober 2016.

14