KONSEKUENSI YURIDIS TERHADAP ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DARI PARTAI POLITIK YANG DIBUBARKAN OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI
on
KONSEKUENSI YURIDIS TERHADAP ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DARI PARTAI POLITIK YANG DIBUBARKAN OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI*
Oleh:
I Made Gemet Dananjaya Suta** Nyoman Mas Aryani***
Program Kekhususan Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana
ABSTRAK
Dibubarkannya suatu partrai politik oleh Mahkamah Konstitusi, tentu menimbulkan suatu akibat hukum yang ditimbulkan dari hubungan hukum yang dilakukan partai politik sebelum dibubarkan, salah satunya ialah mengikuti dan terpilih dalam pemilu untuk memilih anggota DPR. Namun, sampai saat ini belum ada pengaturan yang mengikat mengenai akibat hukum pembubaran partai politik khususnya terhadap status anggota DPR dari partai yang dibubarkan. Apabila dikemudian hari ada partai politik yang dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi, maka akan timbul ketidakpastian hukum terkait status anggota DPR dari partai yang telah dibubarkan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis normatif. Simpulan dari penelitian ini ialah sebagai akibat dibubarkannya suatu partai politik, anggota DPR dari partai politik yang dibubarkan harus diberhentikan dari jabatannya dan akibat hukum ini harus diatur sesuai dengan UUD NRI 1945 agar bersifat mengikat dan menimbulkan kepastian hukum.
Kata Kunci: Akibat Hukum, Anggota DPR, Pembubaran Partai Politik
ABSTRACT
The dissolution of a political party by Constitutional Court certainly caused legal effect. The law's consequences arise from the legal relations that conducted by political parties before being dissolved, one of which is to follow and be elected in the election, to elect
members of House of Representative. However, until now there has been no binding arrangement regarding the legal consequences of the dissolution of political parties, especially for House of Representative member’s status from the dissolved political party. Thus, if in the future there is a political party dissolved by the Constitutional Court, then there will be legal insecurity related to the member’s status of House of Representative from the party that has been dissolved. The form of this thesis’s research is normative law. The conclusion in this research is As a result the dissolution of a political party, members of House of Representative from dissolved political parties must be dismissed. On the other hand, the consequences of this law must be regulated in accordance with the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia in order to binding and cause the legal security.
Keywords: Dissolution of Political Party, Legal Effect, Member of House of Representative
I.PENDAHULUAN
Sila ke-4 Pancasila mencerminkan bahwa negara Indonesia menganut sistem demokrasi perwakilan dimana, sebagai wujud bekerjanya demokrasi perwakilan partai politik memegang peranan yang sangat penting untuk menjembatani antara pemerintah dan rakyat.1 Hal ini terlihat dalam ketentuan Pasal 22E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945) yang mengatur bahwa peserta pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat adalah partai politik. Namun di sisi lain, konstitusi juga memberikan batasan kepada partai politik agar tidak sewenang-wenang dan bahkan hingga melanggar konstitusi, dengan mengatur pembubaran partai politik sebagai salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana tertuang dalam ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945. Hal ini sesuai dengan guidelines yang disusun oleh European Commission for Democracy
through Law (Venice Commission), yang menjelaskan bahwa tindakan pembubaran suatu partai politik haruslah diputuskan melalui prosedur peradilan yang benar-benar memberikan segala jaminan akan “due process of law”, keterbukaan dan proses peradilan yang “fair” oleh suatu badan peradilan yang berwenang untuk itu.2
Dalam hal pembubaran suatu partai politik oleh Mahkamah Konstitusi tentu menimbulkan suatu akibat hukum terkait hubugan-hubungan hukum yang telah dilakukan partai politik sebelum dibubarkan. Salah satu hubungan hukum yang paling mendasar yang telah dilakukan suatu partai politik ialah menjadi peserta pemilu untuk mengantarkan wakilnya untuk duduk sebagai anggota DPR. Merujuk pada hal tersebut Jimly Asshiddiqie menjelaskan, jika peserta pemilu yang dalam hal ini adalah partai politik di kemudian hari dibubarkan, tentu akan berpengaruh secara hukum terhadap status keanggotaan anggota DPR yang terpilih dari partai politik yang bersangkutan.3 Dengan adanya ketentuan pembubaran partai politik tentu dapat menimbulkan kemungkinan pemberhentian terkait status anggota dewan dari partai tersebut.
Mengingat pemberhentian anggota DPR harus diatur dengan syarat-syarat dan tata cara yang diatur dalam undang-undang sebagaimana amanat Pasal 22B UUD NRI 1945. Hingga saat ini belum terdapat ketentuan yang mengikat mengenai akibat hukum pembubaran partai politik terhadap status anggota DPR dari partai politik yang dibubarkan oleh Mahkamah Konstitsi. Sehingga apabila dikemudian hari terdapat suatu partai politik yang dibubarkan tentu akan menimbulkan kerancuan dan
ketidakpastian hukum terkait status anggota DPR dari partai yang dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Tujuan penulisan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis apa konsekuensi yuridis terhadap anggota DPR dari partai politik yang dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi dan bagaimana pengaturan yang sesuai terkait konsekuensi yuridis tersebut.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif sebagai penelitian hukum kepustakaan yang datanya diperoleh dari mengkaji bahan-bahan pustaka.4 Penelitian yuridis normatif tersebut mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan pengadilan serta norma-norma hukum yang ada dalam masyarkat. Penelitian ini bermaksud meneliti bahan-bahan pustaka hukum terkait akibat hukum terhadap status anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari partai politik yang dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi.
-
2.2 Hasil dan Pembahasan
-
2.2.1 Konsekuensi Yuridis Terhadap Status Anggota DPR dari Partai Politik yang Dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi
-
Anggota DPR dipilih secara langsung oleh rakyat melalui sistem pemilu yang pesertanya adalah partai politik sebagaimana diatur dalam konstitusi. Hal ini menunjukkan adanya suatu hubungan antara wakil rakyat dengan rakyat (pemilih) dan partai politiknya. Gilbert Abcarian sebagaimana dikutip oleh Abu Daud Busroh berusaha mengklasifikasikan tipe-tipe Hubungan antara yang diwakili dengan yang mewakili yaitu, 1) si wakil bertindak sebagai ‘wali’ (trustee); 2) si wakil bertindak sebagai ‘utusan’; (delegate), 3) wakil bertindak sebagai ‘politico’; dan 4) wakil bertindak sebagai ‘partisan’.5 Berdasarkan tipe-tipe tersebut Ni’matul Huda berpendapat jika dikonteskan dengan fenomena hubungan antara wakil rakyat dengan partai politiknya di Indonesia, terlihat bahwa hubungannya adalah ‘partisan’, karena wakil rakyat bertindak sesuai dengan program dan kebijakan partai politik yang mengusungnya. Setelah wakil rakyat dipilih oleh pemilihnya maka lepaslah hubungannya dengan pemilihnya tersebut, dan mulailah hubungannya dengan partai politik yang mencalonkannya dalam pemilihan umum.6
Kuatnya hubungan wakil rakyat dengan partai politiknya jugatercermin dalam beberpa ketentuan peraturan perundang-undangan, antara lain: 1) ketentuan mengenai pemberhentian sebagai anggota DPR apabila menjadi anggota partai politik lain yang diatur dalam Pasal 239 ayat (2) huruf h UU MD3; 2) ketentuan mengenai pemberhentian anggota parlemen apabila yang bersangkutan diberhentikan sebagai anggota partai politik yagg diatur dalam Pasal 16 ayat (3) UU Parpol; dan 3) ketentuanmengenai hak partai politik untuk mengusulkan
pergantian dan pemberhentian anggotanya di parlemen atau biasa disebut hak recall partai politik yang diatur dalam Pasal 239 UU No. 2 Tahun 2018 (UU MD3) & Pasal 12 huruf g dan h UU No. 2 Tahun 2011 (UU Parpol).
Ketentuan mengenai hak recall diperkuat dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi nomor 008/PUU-VI/2006 dan 38/PUU-VIII/2010. Dalam pertimbangannya Mahkamah berpandangan bahwa dimilikinya hak recall oleh partai politik merupakan konsekuensi dari ketentuan UUD NRI 1945 yang memang memberikan peran signifikan kepada partai politik dalam sistem ketatanegaraan. Hak recall merupakan hak yang diberikan kepada partai politik untuk menegakkan disiplin terhadap anggotanya di lembaga perwakilan agar tidak menyimpang dari Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga serta kebijakan partai politik berkaitan. Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi berpandangan bahwa masuknya seseorang menjadi anggota suatu partai politik adalah pilihan yang sukarela untuk mematuhi aturan dan kebijaksanaan partai politik tersebut, termasuk kesukarelaan untuk menerima sanksi jika suatu saat tindakannya bertentangan dengan aturan dan kebijaksanaan yang telah digariskan oleh partai politik tersebut. Padangan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 14 ayat (2) UU Parpol dimana dapat diartikan bahwa seseorang yang bergabung menjadi anggota suatu partai politik merupakan orang yang memiliki kesamaan kehendak dan cita-cita dengan partai politik tersebut sehingga ia secara sukarela bersedia mematuhi AD/ART serta kebijakan partai politik tersebut.
Dengan pemikiran yang demikian dilihat dari alasan pembubaran partai politik yaitu, apabila partai politik memiliki ideologi, asas, tujuan, program, kegiatan, akibat kegiatan yang bertentangan dengan UUD NRI 1945 atau partai politik tersebut
menganut, mengebangkan, serta menyebarluaskan ajaran komunisme,7 maka hal-hal yang menjadi alasan pembubaran partai politik tidaklah terlepas dari peran anggota partai politik tersebut. Dengan demikian apabila terdapat partai politik yang dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi karena terbukti melakukan pelanggaran konstitusional, maka seluruh anggota dari partai politik tersebut juga harus turut bertanggungjawab khususnya anggota DPR dari partai yang dibubarkan, dengan pemberhentian anggota DPR tersebut dari jabatannya karena ia merupakan anggota partai politik yang bertentangan dengan konstitusi dan ia secara sukarela turut bertentangan dengan konstitusi.
Di sisi lain, jika dilihat dari pelaksanaan putusan pembubaran partai politik oleh Mahkamah Konstitusi yang dilakukan dengan pembatalan status badan hukum partai politik oleh pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b Peraturan MK No. 12 Tahun 2008, maka sebagai akibat dibubarkannya suatu partai politik oleh Mahkamah Konstitusi ialah pemberhentian anggota DPR dari partai politik yang dibubarkan karena kehilangan legitimasinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Salah satu sayarat pemberhentian anggota DPR yang diatur dalam Pasal 239 ayat (2) huruf e yaitu bahwa anggota DPR dapat diberhentikan antara waktu apabila tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum. Selanjutnya, dalam ketentuan Pasal 173 ayat (2) huruf a & Pasal 240 ayat (1) huruf n UU No. 7 Tahun 2017 mengenai Pemilu (UU Pemilu) mengatur bahwa salah satu
syarat partai politik untuk menjadi partai politik peserta pemilu yaitu dengan memiliki status badan hukum dan untuk menjadi bakal calon anggota DPR harus memenuhi syarat yaitu, menjadi anggota partai politik peserta pemilu. Dengan demikian, hilangnya satus badan hukum partai politik sebagai akibat pembubaran partai politik membawa akibat tidak lagi dipenuhinya syarat sebagai calon anggota DPR sesuai dengan ketentuan Pasal 239 ayat (2) huruf e UU MD3 yang berakibat pada pemberhentian anggota DPR dari partai politik yang dibubarkan.
-
2.2.2 Konsep Pengaturan yang Sesuai Berkaitan dengan Status Anggota DPR dari Partai Politik yang Dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi di Indonesia.
Akibat hukum pembubaran partai politik diatur pertama kali pada masa Orde Lama dalam Perpres No. 13 Tahun 1960 tentang Pengakuan, Pengawasan, dan Pembubaran Partai-Partai. Kala itu kewenangan pembubaran partai politik ada pada Presiden. Sebagai akibat dibubarkannya partai politik oleh presiden ialah pemberhentian anggota DPR dari partai politik yang dibubarkan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Perpres No. 13 Tahun 1960. Namun, setelah amandemen UUD NRI 1945 kewenangan pembubaran partai politik ada pada Mahkamah Konstitusi. Hal ini sesuai dengan fungsi dibentuknya Mahkamah Konstitusi yaitu, sebagai lembaga pengawal konstitusi (the guardian of the constitution)8 dimana, alasan pembubaran partai politik yaitu karena partai politik tersebut telah melakukan pelanggaran konstitusional.
Adanya kekosongan hukum dalam pengaturan mengenai akibat hukum pembubaran partai politik terhadap status anggota
DPR dari partai politik yang dibubarkan tersebut, Mahkamah Konstitusi melakukan terobosan dengan mengaturnya dalam Pasal 10 ayat (2) huruf b Peraturan MK No. 12 Tahun 2008 tentang Hukum Acara Pembubaran Partai Politik yang menjelaskan bahwa sebagai akibat dibubarkannya partai politik oleh Mahkamah Konstitusi ialah pemberhentian seluruh anggota DPR dari partai politik yang dibubarkan. Namun, berdasarkan amanat Pasal 22B UUD NRI 1945 yang menjelaskan bahwa pemberhentian anggota DPR dari jabatannya harus diatur menurut syarat dan tata cara yang diatur dalam Undang-Undang. Artinya, ketentuan mengenai pemberhentian anggota DPR harus diatur dalam ketentuan Undang-Undang dan bukan dengan ketentuan setingkat Peraturan Mahkamah Konstitusi, maka dengan kata lain, ketentuan Pasal 10 ayat (2) huruf b Peraturan MK No.12 Tahun 2008 tersebut tidak dapat bersifat mengikat karena tidak sesuai dengan UUD NRI 1945.Kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk mengeluarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi diatur dalam Pasal 86 UU No. 4 Tahun 2014 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) yang menjelaskan bahwa untuk kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya Mahkamah Konstitusi dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan. Ketentuan tersebut mencerminkan pendelegasian kewenangan regulasi atau “delegation of the rule making power”. Artinya, pembentuk Undang-Undang memberikan delegasi kepada Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang diatur oleh UU MK untuk mengatur sendiri hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya.9
Dalam pemahaman yang demikian, merupakan hal yang wajar apabila Mahkamah Konstitusi berusaha menghindari
kekosongan hukum yang terjadi akibat pembubaran partai politik sebagai kewenangan yang dimilikinya dengan dikeluarkannya Peraturan MK No. 12 Tahun 2008. Di sisi lain, kekosongan hukum tersebut dapat dipandang sebagai akibat hukum mendasar yang perlu diatur, sebagai akibat dari amanat konstitusi yang memberikan peran penting kepada partai politik untuk mengisi keanggotaan lembaga perwakilan serta memberikan kewenangan pembubaran partai politik kepada Mahkamah Konstitusi.Moh. Saleh berpandangan bahwa akibat hukum pembubaran partai politik ini terkait dengan persoalan politik dalam pengambilan keputusan oleh lembaga legislatif, maka kekosongan hukum mengenai akibat hukum atas pembubaran partai politik seharusnya diatur melalui Undang-Undang yang dibuat oleh DPR.10 Pasal 86 UU MK hanya memberikan wewenang untuk mengatur lebih lanjut mengenai pelaksanaan teknis dari pada tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi, bukan berarti Mahkamah Konstitusi seakan-akan diberikan kekuasaan legislasi melalui UU MK layaknya DPR.11 Sehingga masih terjadi kekosongan hukum terhadap status anggota DPR dari partai politik yang dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi
Di sisi lain, melihat pengaturan dan praktik pembubaran partai politik di beberapa negara. Terdapat beberapa negara yang melakukan pembubaran partai politiknya dengan alasan pelanggaran konstitusional seperti di Indonesia, antara lain: Taiwan, Pakistan, Jerman, Afganistan, Bulgaria, Korea Selatan,
Turki, dan Tahiland.12 Sebagai akibat pembubaran partai politik di beberapa negara tersebut salah satunya ialah pemberhentian anggota parlemen dari partai politik yang dibubarankan yang diatur dalam Article 30-I Procedur Act Taiwan yang menjelaskan bahwa anggota parlemen dari partai yang dibubarkan dicabut keanggotaannya segera setelah pembubaran partai politik di putuskan. Pada Article 16 Paragraph 2 The Political Parties Order Pakistan tidak hanya mengatur mengenai pemberhentian anggota parlemen dari partai politik yang dibubarkan namun juga memberikan sanksi tambahan berupa larangan untuk mengikuti pemilihan umum selama empat tahun sejak pemberhentiannya. Sedangkan di jerman, walaupun belum terdapat ketentuan mengenai akibat hukum terhadap status anggota parlemen dari partai yang dibubarkan. Namun, dalam parktik pembubaran Socialist Reich Party (Partai Sosialis Jerman) dan Kommunistische Partei Deutschlands (Partai Komunis Jerman) berakibat pada pemberhentian seluruh anggota parlemen dari partai politik yang dibubarkan tersebut.13
Jadi, berdasarkan hal-hal yang telah diuaraikan tersebut, konsep pengaturan yang sesuai berkaitan dengan status anggota DPR dari partai politik yang dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi yaitu, sebagai akibat dibubarkannya suatu partai politik oleh mahkamah konstitusi, anggota DPR dari partai politik yang dibubarkan tersebut harus diberhentikan dari jabatannya dimana, ketentuan tersebut harus diatur dalam bentuk ketentuan Undang-Undang sesuai dengan Pasal 22B UUD NRI 1945 sehingga
dapat berkekuatan hukum mengikat serta memberika kepastian hukum.
Akibat hukum pembubaran partai politik terhadap status anggota DPR dari partai politik yang dibubarkan dapat dikonstruksikan dari hubungan yang sangat erat antara anggota DPR dengan partai politiknya. Pelanggaran konstitusional yang menjadi alasan dasar pembubaran partai politik tidak terlepas dari peran anggota partai politik tersebut termasuk para wakilnya di lembaga DPR. Dengan demikian, apabila terdapat partai politik yang dibubarkan, maka anggota DPR dari partai politik yang dibubarkan tersebut harus diberhentikan dari jabatannya karena ia merupakan wakil dari partai politik yang terbukti bertentangan dengan konstitusi. Di sisi lain, dilihat dari pelaksaan putusan pembubaran partai politik oleh Mahkamah Konstitusi, mengakibatkan anggota DPR dari partai politik yang dibubarkan kehilangan legitimasinya sesuai dengan ketentuan Pasal 239 ayat (2) huruf e UU MD3 yang berakibat pada pemberhentian anggota DPR tersebut dari jabatannya. Ketentuan pemberhentian anggota DPR dari partai politik yang dibubarkan tersebut haruslah diatur dalam bentuk ketentuan Undang-Undang sesuai dengan amanat Pasal 22B UUD NRI 1945 agar dapat bersifat mengikat serta memberikan kepastian hukum
Disarankan agar pembentuk Undang-Undang membentuk suatu ketentuan dalam bentuk Undang-Undang mengenai pemberhentian anggota DPR dari partai politik yang dibubarkan
oleh Mahkamah Konstitusi, yang diatur dalam ketentuan mengenai syarat-syarat dapat diberhentikannya anggota DPR dalam UU MD3 sesuai amanat UUD NRI 1945. Pemberhentian tersebut dapat dilihat sebagai bentuk pertanggungjawaban dari anggota DPR tersebut sebagai anggota partai politik yang terbukti melalukan pelanggaran konstitusional.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Abu Daud Busroh, 2013, Ilmu Negara, Bumi Aksara, Jakarta.
Jimly Asshiddiqie, 2005, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik Dan Mahkamah Konstitusi, Konstitusi Press, Jakarta.
__________________, 2017, Perihal Undang-Undang, Rajawali Pers, Depok.
Mahkamah Konstitusi, 2010, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta.
Muchamad Ali Safa’at, 2011, Pembubaran Partai Politik (Pengaturan dan Praktik Pembubaran Partai Politik dalam Pergulatan Republik), Rajawali Pers, Jakarta.
Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, RajaGrafindo Persada, Jakarta.
JURNAL
Jimly Asshiddiqie, 2006, Partai Politik dan Pemilihan Umum Sebagai Instrument Demokrasi, Jurnal Konstitusi Volume 3 Nomor 4.
Ni’matul Huda, 2011, Recall Anggota DPR dan DPRD dalam Dinamika Ketatanegaraan Indonesia, Jurnal Mimbar Hukum Volume 23 Nomor 3 Oktober 2011.
Moh, Saleh, 2011, Akibat Hukum Pembubaran Partai Politik Oleh Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi Volume 1 Nomor 1 Nopember 2011.
PUTUSAN
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 008/PUU-IV/2006 tanggal 21 September 2006.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 38/PUU-VIII/2010 tanggal 9 Maret 2011.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5189).
Undang-Undang Nomor Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5493)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 6109).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Dewan Perwakilan Daerah, & Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Nomor 6187).
Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 1960 tentang Pengakuan, Pengawasan, dan Pembubaran Partai Politik.
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Prosedur Beracara Dalam Pembubaran Partai Politik.
15
Discussion and feedback