PENGATURAN APARATUR SIPIL NEGARA ESELON I YANG MERANGKAP JABATAN SEBAGAI KOMISARIS

DI BUMN

Oleh

Martchella Setiawan*

I Nyoman Suyatna**

Bagian Hukum Administrasi Negara *** Fakultas Hukum Universitas Udayana

Abstract

The explicit policy about the prohibition of double position was regulated on Law no. 25 in 2009 about Public Services, the Article No. 17 stated that the public service officer is prohibited to take double position as commissioner or organizational board of the government implementers, Public Companyand Regional Public Company. The settlement of double positioning for the ASN can raise the distraction and ambiguity. The consequence of this statement is the rejection argumentation for double positioning is not based on legal formal reason since the permission rule is available.

This research is a normative research with law and conceptual approach. This study aimed at knowing and reviewing the arrangement of ASN echelon I in double positioning as commissionaires company and also to know and review the juridical implication of State Civil Apparatus echelon I who have double position as commissionaires company.

The results of this research are the Arrangement of State Civil Apparatus Echelon I to have double position as commissioner Company according to the regulation of granting licenses to public officials for having double position concurrently, in the other hand there is an explicit regulation to prohibit the officials for having double position in the government. Juridical implications to the State Civil Apparatus Echelon I for double position as commissionaires Company, one of them is unsuitable to the country’s vision, the function and the roles of the State Civil Apparatus as public officials and it is not accordance with the Law of State Civil Apparatus and Law of Public Service.

Keywords: Double position, Echelon I, BUMN

Abstrak

Kebijakan yang secara tegas melarang rangkap jabatan diatur dalam ketentuan UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, Pasal 17 menyebutkan pejabat pelaksana pelayanan publik dilarang merangkap jabatan sebagai komisaris atau pengurus organisasi yang berasal dari lingkungan instansi pemerintah, BUMN, dan BUMD. Peraturan mengenai rangkap jabatan bagi ASN yang bertentangan di atas menimbulkan kebingungan dan kerancuan. Konsekuensi dari pernyataan demikian, maka argumentasi penolakan rangkap jabatan tidak bisa didasarkan pada alasan legal formal karena nyatanya terdapat peraturan yang membolehkannya

Penulisan ini merupakan penulisan hukum normatif menggunakan pendekatan undang-undang dan pendekatan konseptual, tujuan penelitian ini untuk mengetahui dan mengkaji pengaturan Aparatur Sipil Negara (ASN) Eselon I yang merangkap jabatan sebagai komisaris di BUMN dan untuk mengetahui dan mengkaji implikasi yuridis terhadap Aparatur Sipil Negara (ASN) Eselon I yang merangkap jabatan sebagai komisaris di BUMN.

Hasil dari penulisan ini adalah Pengaturan Aparatur Sipil Negara (ASN) Eselon I yang merangkap jabatan sebagai komisaris di BUMN, di satu sisi ada pengaturan yang mengizinkan pejabat publik merangkap jabatan, namun di sisi lain ada juga pengaturan yang secara tegas melarang rangkap jabatan di pemerintahan. Implikasi yuridis terhadap Aparatur Sipil Negara (ASN) Eselon I yang merangkap jabatan sebagai komisaris di BUMN, diantaranya : tidak sesuai dengan tujuan Negara; tidak sesuai dengan fungsi, tugas dan peran ASN sebagai pejabat publik; dan tidak sesuai dengan UU ASN dan UU Pelayanan Publik.

Kata kunci : Rangkap Jabatan, Eselon I, BUMN

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1    Latar Belakang

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) pada Pasal 1 ayat (1) menentukan ASN sebagai sebuah profesi. Implikasi dari ketentuan tersebut, ASN kini wajib menginkorporasikan prinsip-prinsip keprofesian di dalam diri dan pekerjaannya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 bagian Menimbang Huruf C yang menguraikan “bahwa untuk mewujudkan Aparatur Sipil Negara sebagai bagian dari reformasi birokrasi, perlu ditetapkan aparatur sipil negara sebagai profesi yang memiliki kewajiban mengelola dan mengembangkan dirinya dan wajib mempertanggungjawabkan kinerjanya dan menerapkan prinsip merit dalam pelaksanaan manajemen aparatu sipil negara”. Sistem keprofesian selalu menyertakan kode etik, yang secara universal memuat keutamaan-keutamaan universal seperti integritas, jujur, amanah, dan bertanggung jawab.1 Dalam rangka menjaga agar keutamaan tersebut tetap terpelihara, ASN menghindari situasi dan kondisi di mana prinsip-prinsip profesionalitasnya. Salah satu ancaman yang paling nyata dan terang adalah konflik kepentingan (conflict of interest).

ASN sebagai aparatur yang bekerja di sektor publik dan tindakannya berkaitan erat dengan masyarakat umum, dan sangat rawan dengan konflik kepentingan. Kepentingan publik begitu luas dan umum. Seringkali kepentingan publik tersebut berseberangan dengan kepentingan privat, entah itu kepentingan pribadi, keluarga, sejawat, kelompok, maupun golongan. Ketika keduanya berseberangan, dan ASN dituntut untuk bertindak atau membuat keputusan di tengah

persimpangan tersebut, maka hadirlah konflik kepentingan secara aktual. Ada banyak contoh kasus di mana ASN dihadapkan pada situasi konflik kepentingan yang dilematis, salah satunya adalah ketika ASN memegang rangkap jabatan sebagai komisaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Kebijakan yang mendukung rangkap jabatan bersumber dari Peraturan Menteri BUMN PER-02/MBU/02/2015 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota Dewan Komisaris dan Dewan Pengawas BUMN menyatakan bahwa Dewan Komisaris/Dewan Pengawas BUMN bisa berasal dari pejabat struktural dan pejabat fungsional pemerintah. Peraturan tersebut mengasumsikan bahwa ASN bukanlah jabatan yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan bagi komisaris BUMN, mengingat UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN (yang merupakan salah satu landasan dari Permen tersebut) pada Pasal 33 menyebutkan bahwa komisaris BUMN dilarang merangkap jabatan lain yang dapat menimbulkan benturan kepentingan.

Kebijakan yang secara tegas melarang rangkap jabatan dapat ditentukan pada UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik Pasal 17 yang menyebutkan pejabat pelaksana pelayanan publik dilarang merangkap jabatan sebagai komisaris atau pengurus organisasi usaha bagi pelaksana yang berasal dari lingkungan instansi pemerintah, BUMN, dan BUMD. Pejabat pelaksana pelayanan publik adalah pejabat yang bekerja di dalam organisasi penyelenggara yang bertugas melaksanakan tindakan atau serangkaian tindakan pelayanan publik dan ASN tentu termasuk di dalamnya. Kemudian ada juga PP No. 47 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas PP No. 29 Tahun 1997 tentang Pegawai Negeri Sipil yang Menduduki Jabatan Rangkap yang dalam Pasal 2

diatur bahwa Pegawai Negeri Sipil hanya boleh menduduki jabatan rangkap dalam jabatan struktural sekaligus jabatan jaksa, peneliti, dan perancang. Komisaris BUMN tidak disebutkan sebagai bagian dari jabatan yang boleh dirangkap sehingga praktik tersebut sesungguhnya dilarang.

Peraturan mengenai rangkap jabatan bagi ASN yang bertentangan di atas menimbulkan kebingungan dan kerancuan. Konsekuensi dari pernyataan demikian, maka argumentasi penolakan rangkap jabatan tidak bisa didasarkan pada alasan legal formal karena nyatanya terdapat peraturan yang membolehkannya. Oleh karena itu, penataan regulasi untuk memperjelas posisi boleh tidaknya ASN merangkap sebagai komisaris BUMN dalam satu pandangan yang koheren mendesak untuk segera dilakukan. Bertolak dari uraian diatas maka relevan untuk dilakukan penulisan dengan judul “Pengaturan Aparatur Sipil Negara Eselon I Yang Merangkap Jabatan Komisaris di BUMN”

  • 1.2    Rumusan Masalah

Adapun permasalahan yang diangkat dalam penulisan ini sebagai berikut:

  • 1.    Bagaimanakah pengaturan Aparatur Sipil Negara Eselon I yang merangkap jabatan sebagai komisaris di BUMN ?

  • 2.    Bagaimanakah implikasi yuridis terhadap Aparatur Sipil Negara Eselon I yang merangkap jabatan sebagai komisaris di BUMN ?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Secara umum penelitian ini diawali untuk mengetahui, memahami dan mengkaji pengaturan aparatur sipil negara eselon I yang merangkap jabatan sebagai komisaris di BUMN.

  • II.    ISI MAKALAH

    • 2.1    Metode Penulisan

Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian hukum yang dilakukan berdasarkan norma dan kaidah dari peraturan perundang-undangan.2 Dalam penelitian ini, sumber utamanya adalah bahan hukum karena dalam penelitian hukum normatif yang dikaji adalah bahan hukum yang berisi aturan-aturan yang bersifat normatif.3 Pemilihan jenis penelitian didasarkan pada pemikiran bahwa penelitian ini hendak menganalisis tentang pengaturan dan implikasi yuridis Aparatur Sipil Negara sebagai pelayan publik yang seharusnya dilarang melakukan rangkap jabatan tapi dalam Permen BUMN hal tersebut diperbolehkan..

Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Pendekatan perundang-undangan (statute approach). Pendekatan konsep (conceptual approach). Bahan hukum merupakan bahan kajian yang berasal dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang memiliki keterkaitan dengan permasalahan yang dibahas. Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini diawali dengan mencatat pencarian dan penyusunan bahan hukum secara akurat dari rumusan masalah yang diangkat. Teknik analisa bahan hukum diawali dengan menentukan fokus utama yang ada dari peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah pengaturan dan implikasi yuridis Aparatur Sipil Negara sebagai pelayan publik yang seharusnya dilarang melakukan rangkap jabatan.

  • 2.2    Hasil dan Pembahasan

    • 2.2.1    Pengaturan Aparatur Sipil Negara (Asn) Eselon I

Yang Merangkap Jabatan Sebagai Komisaris di BUMN

Pengertian disiplin dapat dikonotasikan sebagai suatu hukuman, meskipun arti yang sesungguhnya tidaklah demikian. Disiplin adalah sikap mental yang tercermin dalam perbuatan, tingkah laku perorangan, kelompok atau masyarakat yang berupa kepatuhan atau ketaatan terhadap peraturan-peraturan yang ditetapkan pemerintah atau etik, norma serta kaidah yang berlaku dalam masyarakat4. Di lain sisi, definisi disiplin dipahami sebagai suatu kekuatan yang selalu berkembang di tubuh para pekerja yang membuat mereka dapat mematuhi keputusan dan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan5, atau disiplin tersebut masuk dalam sikap kejiwaan dari seseorang atau kelompok orang untuk mengikuti atau mematuhi keputusan yang telah ditetapkan6

Merangkap dimaknai sebagai perbuatan atau kehendak seseorang untuk menduduki jabatan dua atau lebih dalam pemerintahan atau organisasi, seperti sekretaris jenderal, kepala biro, dan lain sebagainya7

Rangkap jabatan ASN sebagai pelayanan publik di lingkup pemerintahan yang menduduki posisi komisaris BUMN ada berbagai pandangan. Pandangan-pandangan ini merupakan fakta empirik yang akan dipaparkan sebagai kebijakan apa saja yang mendukung dan melarang rangkap jabatan. Karena pada tataran kebijakan sebenarnya ada kebijakan yang mengizinkan pejabat

publik merangkap jabatan, namun di sisi lain ada juga kebijakan yang secara tegas melarang rangkap jabatan di pemerintahan.

Kebijakan yang mendukung rangkap jabatan ASN yang menduduki posisi komisaris BUMN karena berbagai pertimbangan, salah satunya seperti yang disebutkan dalam Pusat Kajian Sistem dan Hukum Administrasi Negara Lembaga Administrasi Negara (PKSANHAN)8, bahwa pertimbangan perlunya pejabat pemerintah yang menjadi komisaris BUMN adalah karena adanya kepemilikan saham pemerintah minimal 51% dalam bentuk penyertaan modal negara (Public Service Obligation), atas dasar pertimbangan untuk menjaga kepentingan dan kebijakan pemerintah di BUMN tersebut maka dibutuhkan wakil pemerintah Selain itu, adanya perwakilan pemerintah bertujuan untuk memastikan agar Corporate Social Responsibility (CSR) berjalan sesuai dengan yang dikehendaki pemerintah.

Berbeda dengan Asman Abnur melalui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB)9, menyatakan bahwa rangkap jabatan tidak menjadi soal bagi internal pemerintah. Menurutnya, hal ini diperbolehkan dan tidak ada aturan yang melarang. Sebab BUMN adalah milik pemerintah, sehingga pemerintah menempatkan pejabat pemerintah (ASN) boleh saja.

Pengaturan Aparatur Sipil Negara (ASN) Eselon I yang merangkap jabatan sebagai komisaris di BUMN didasarkan atas pengaturan yang mengizinkan pejabat publik merangkap jabatan

(pro), namun di sisi lain ada juga pengaturan yang secara tegas melarang rangkap jabatan di pemerintah (kontra). Pengaturan yang mendukung rangkap jabatan ASN sebagai komisaris BUMN didasarkan atas ketentuan Peraturan Menteri BUMN PER-02/MBU/02/2015 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota Dewan Komisaris dan Dewan Pengawas BUMN. Sementara, pengaturan yang melarang rangkap jabatan ASN sebagai komisaris BUM didasarkan atas ketentuan Pasal 17 huruf (a) UU Pelayanan Publik. Disebutkan bahwa pelaksana dilarang merangkap sebagai “Komisaris atau Pengurus Organisasi usaha bagi pelaksana yang berasal dari lingkungan instansi pemerintah, BUMN dan BUMD.”

  • 2.2.2    Implikasi Yuridis Aparatur Sipil Negara (ASN) Eselon I yang Merangkap Jabatan

Implikasi yuridis terhadap Aparatur Sipil Negara (ASN) Eselon I yang merangkap jabatan sebagai komisaris di BUMN, diantaranya : tidak sesuai dengan tujuan Negara; tidak sesuai dengan fungsi, tugas dan peran ASN sebagai pejabat publik; dan tidak sesuai dengan UU ASN dan UU Pelayanan Publik. Terlebih lagi, implikasi ini didukung adanya persyaratan profesional, menyediakan waktu yang cukup, tidak terikat hubungan keluarga, serta mempunyai pengalaman dalam bidang keahliannya merupakan persyaratan yang masih bersifat umum dan sederhana sehingga ‘dapat’ membuka peluang untuk menempatkan siapapun melalui kulifikasi sederhana yang mudah untuk dipenuhi, termasuk membuka peluang untuk menempatkan ASN yang telah mempunyai jabatan struktural di pemerintahan untuk menjadi komisaris di BUMN.

Untuk menjamin tercapainya tujuan UUD NRI 1945 perihal etika ASN dalam rangkap jabatan, maka diperlukan ASN yang berkualitas sehingga dapat melaksanakan tugasnya secara berdayaguna dan berhasilguna. Dasar pertimbangan ditetapkan pembinaan jiwa korps dank kode etik pegawai negeri sipil adalah untuk mewujudkan pegawai negeri sipil yang kuat, kompak dan bersatu padu, memiliki kepekaan, tanggap dan memiliki kesetiakawanan yang tinggi, berdisiplin, netral, profesional dan bertanggungjawab melaksanakan tugasnya, serta penuh kesetiaan pada pancasila, UUD 1945, Negara dan pemerintah. Apabila kode etik tersebut dilanggar, tentu dibutuhkan peraturan perundang-undangan yang jelas dan tidak tumpang tindih agar negara tidak gagal dalam menanggapi isu dan kontra rangkap jabatan ASN tersebut. Sebagaimana Adhyaksa Dault memberikan uraian terkait penyebab gagalnya Negara, diantaranya adalah sebagai berikut10 : 1. Lemahnya kepemimpinan politik Negara. Kepemimpinan yang

lemah mengakibatkan lemahnya Negara dalam menjalankan tugas-tugas pokoknya, seperti melindungi Negara, menyediakan kebutuhan public, menciptakan keadilan sosial, menciptakan rasa aman dan damai, serta menjaga kedaulatan nasional

  • 2.    Tiadanya strategi pencapaian tujuan Negara yang tunduk pada tujuan ideologis Negara, yang seharusnya dijalankan pimpinan, elite politik, dan pejabat Negara sebagai pihak yang paling bertanggungjawab. Tanpa ideologi yang jelas, tujuan Negara tidak akan menjadi jelas. Negara-negara lemah tidak memiliki tujuan yang berarti sebagai sebuah Negara. Sebaliknya Negara menjadi saran bagi beroperasinya berbagai kelompok dengan

tujuan-tujuan untuk kepentingan kelompoknya dan yang jauh dari ideal.

  • 2.2.3    Pelaksanaan Rangkap Jabatan Aparatur Sipil Negara (ASN) Eselon I Sebagai Komisaris di BUMN

Pelaksanaan rangkap jabatan ASN di ranah BUMN sebagai komisaris ditinjau berdasar Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Republik Indonesia Nomor PER-02/MBU/02/2015 dan Dewan Pengawas Badan Usaha Milik Negara tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota Dewan Komisaris. Peraturan ini secara mendasar menjabarkan kebolehan rangkap jabatan ASN Eselon I di level (Pemerintahan) pusat. Berdasarkan ketentuan pada lampiran Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Republik Indonesia Nomor PER-02/MBU/02/2015 dan Dewan Pengawas Badan Usaha Milik Negara dalam Bab III dijelaskan tentang tata cara pengangkatan sumber bakal calon Dewan Komisaris atau Dewan Pengawas BUMN dijelaskan bahwa calon harus berasal dari: 1) Mantan Direksi BUMN; 2) Dewan Komisaris atau Dewan BUMN; 3) Pejabat Struktural dan Pejabat Fungsional Pemerintah; dan 4) Sumber lain.

Sebagai upaya dalam mempertahankan kualitas calon Komisaris Utama/Anggota Dewan Komisaris BUMN sebagaimana diatur dalam Permen BUMN, maka para calon Komisaris Utama/Anggota Dewan Komisaris BUMN diharuskan untuk mengikuti ujian kelayakan yang selenggarakan oleh Lembaga Profesional yang telah ditunjuk oleh Menteri. Tidak dijelaskan secara terperinci dalam Peraturan Menteri Nomor 2 Tahun 2015 tentang calon Komisaris Utama/Anggota Dewan Komisaris beserta Badan Pengawas terutama bagi mereka yang merangkap jabatan

di BUMN manapun tetap harus mengikuti uji kelayakan yang dilakukan secara profesional dengan tujuan untuk menunjukkan kinerja transparan serta mempertahankan kualitas dalam menjalan tugas dan fungsinya dalam perusahaan.

Berdasarkan ketentuan diatas bahwa bakal calon Dewan Komisaris/Dewan Pengawas dimungkinkan dari pejabat struktural dan pejabat fungsional pemerintah.

Berdasarkan peraturan tidak ada larangan implementasi rangkap jabatan, namun harus dilakukan melalui tahap seleksi atau penjaringan. Tahap seleksi yang baik harus dilakukan berdasarkan uji kelayaka pada seorang pejabat struktural yang biasanya dilakukan pada level BUMN, namun pejabat yang dimaksud harus mampu bekerja sesuai dengan harapan dan berdaya guna dalam operasional BUMD sehingga dapat memberikan keuntungan bagi pemerintah. 11

KESIMPULAN

  • 1.    Pengaturan yang mengizinkan rangkap jabatan ASN sebagai komisaris BUMN didasarkan atas ketentuan Peraturan Menteri BUMN PER-02/MBU/02/2015 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota Dewan Komisaris dan Dewan Pengawas BUMN. Sementara, pengaturan yang melarang rangkap jabatan ASN sebagai komisaris BUM didasarkan atas ketentuan Pasal 17 huruf (a) UU Pelayanan Publik, disebutkan bahwa pelaksana dilarang merangkap sebagai Komisaris atau Pengurus Organisasi usaha bagi pelaksana yang berasal dari lingkungan instansi pemerintah, BUMN dan BUMD.

  • 2.    Implikasi yuridis terhadap Aparatur Sipil Negara (ASN) Eselon I yang merangkap jabatan sebagai komisaris di BUMN, diantaranya : tidak sesuai dengan tujuan Negara; tidak sesuai dengan fungsi, tugas dan peran ASN sebagai pejabat publik; dan tidak sesuai dengan UU ASN dan UU Pelayanan Publik.

SARAN

  • 1.    Merujuk pada hasil penelitian, dapat diberikan saran yaitu : meninjau praktik ASN yang merangkap sebagai komisaris BUMN tersebut sebaiknya tidak dilakukan, meskipun terdapat perangkat regulasi yang mengizinkannya. Guna membenahi praktik tersebut agar integritas pejabat publik tetap terjaga dan kepercayaan masyarakat tidak hilang, maka dapat dilakukan beberapa alternatif kebijakan seperti : ASN sebagai pejabat publik yang menduduki posisi

komisaris BUMN sebaiknya melalui mekanisme yang sudah diatur oleh peraturan perundangan terkait manajemen ASN.

  • 2.    perlunya keberadaan kode etik yang dapat digunakan sebagai sarana untuk melaksanakan evaluasi secara periodik . Kode etik yang dibuat dan digunakan sebagai media untuk menstimulus nilai-nilai etik seorang badan pengawas agar bekerja secara ‘berbudaya’.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Ali, H. Zainuddin, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta

Atmosudirdjo, Prajudi, 1994, Hukum Administrasi Negara, Cet. 10, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Crysnadi, Bambang, 2014, Rangkap Jabatan, disampaikan dalam P2TIK BKN.

Istianto, Bambang, 2011, Manajemen Pemerintahan dalam Perspektif Pelayanan Publik Ed. 2, Mitra Wacana Media, Jakarta

Nasution, Bahder Johan, 2008, Metode Penelitian Hukum, Mandar Maju, Bandung.

Susanto, Heru, 2011, The Power of Discipline: Kekuatan untuk Bertahan di Badai Krisis dan Meningkatkan Apa Pun yang Anda Inginkan, Elex Media Komputindo, Jakarta

Artikel ilmiah

Tri Wahyuni, 2017. “Rangkap jabatan : batas antara hukum dan etika dalam penyelenggaraan pemerintahan. Policy Paper. Pusat Kajian Dan Pendidikan Dan Pelatihan Aparatur III LAN”

Tri Atmojo Sejati, 2017, “Menyoal Profesionalisme PNS yang Merangkap Jabatan sebagai Komisaris BUMN dan BUMD”, Policy Brief : Pusat Kajian Sistem Administrasi Negara dan Hukum Administrasi Negara (PKSANHAN) No. 007/DKK.PB (dkk.lan.go.id), diakses pada 23 Februari 2018, Pukul 20.18 WITA.

Internet

Dahl Tor Arne, 2015, “Theory Of Professions”, http://www.mediaindonesia.com/index.php/news/read/108 127/rangkap-jabatan-pns-di-bumn-dinilai-pemborosan/2017-06-08. Diakses tanggal 21 november 2017, Pukul 15:11 WITA.

Dedy Afrianto (Red.), 2017, “Rangkap Jabatan Komisaris BUMN”, Menpan-RB: Boleh Saja, diakses pada 28 Februari 2018, Pukul           21.22           WITA           melalui:

https://economy.okezone.com/read/2017/06/07/320/1710 343/rangkap-jabatan-komisaris-bumn-menpan-rb-boleh-saja

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil

Negara (Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 6, Tambahan

Lembaran Negara Nomor 5494)

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha

Milik Negara (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4297)

Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Nomor: PER-02/MBU/02/2015 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkutan dan Pemberhentian Anggota Dewan Komisaris dan Dewan Pengawas BUMN. (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 283)

15