EKSISTENSI WISATA SELFIE DI DESA WANAGIRI DITINJAU DARI ASPEK PENATAAN RUANG

Oleh:

Guruh Ari Mandala Putra

I Ketut Sudiarta

Ni Gusti Ayu Dyah Satyawati

Bagian Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana

Abstrak

Kabupaten Buleleng merupakan suatu kawasan yang terletak di Pulau Bali bagian utara dengan berbagai panorama alam yg indah. Panorama alam seperti Air Terjun Gitgit, Pantai Lovina, Danau Buyan dan Danau Tamblingan. Pemandangan Danau Buyan dan Danau Tamblingan dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai latar belakang dari wisata selfie yang terdapat di Desa Wanagiri. Wisata selfie yang terdapat di Desa wanagiri berdiri pada kawasan Taman wisata alam Danau buyan-danau tamblingan. Sehingga pemanfaatan kawasan tersebut sebagai tempat wisata selfie harus memiliki dasar hukum yang jelas. Adapun karya ilmiah ini bertujuan untuk mengetahui dasar hukum dan tindakan pemerintah terhadap wisata selfie.

Metode penelitian yang digunakan yaitu penelitian hukum empiris yang dipadukan dengan pendekatan fakta serta penelusuran peraturan perundang-undangan.

Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya menyatakan bahwa di dalam taman wisata alam bisa dilakukan kegiatan wisata alam. Ketentuan pasal tersebut merupakan dasar dari keberadaan wisata selfie di Desa wanagiri. Pemerintah telah melakukan tindakan langsung berupa pemberian surat peringatan, penutupan sementara dan pembongkaran terhadap wisata selfie yang tidak sesuai aturan. Tindakan tidak langsung berupa pengaturan kawasan tempat berdirinya wisata selfie sebagai kawasan lindung. Untuk itu pemerintah sebaiknya melakukan pengawasan yang lebih intensif agar kesalahan pemanfaatan ruang bisa dicegah.

Kata Kunci: Wisata Selfie, Dasar Hukum, Tindakan Pemerintah.

Abstract

Buleleng Regency is an area located in the northern part of Bali with various beautiful natural scenery. Natural panorama such as Gitgit Waterfall, Lovina Beach, Lake Buyan and Lake Tamblingan. The views of Lake Buyan and Lake Tamblingan are utilized by the community as the backdrop of selfie tourism located in Wanagiri Village. The selfie tour located in Wanagiri Village stands on the Lake Buyan natural park area-lake tamblingan. So that the utilization of the area as a tourist place selfie must have a clear legal basis. The scientific work is aimed to know the legal basis and government action on selfie tourism.

The research method used is empirical legal research combined with factual approach and traceability of legislation.

Article 33 paragraph (3) of the 1945 Constitution, Law no. 5 of 1990 on Natural Resources Conservation, PP. 36 of 2010 concerning Exploitation of Nature Tourism at Wildlife Reserve, National Park, Forest Park and Nature Park are laws and regulations which make the basis of selfie tourism existence in Wanagiri Village and the government have done direct action in the form of warning letter, temporary closing and demolition of selfie tours that do not fit the rules. Indirect action in the form of setting the area where the establishment of selfie tourism as a protected area. Therefore, the government should conduct more intensive supervision so that spatial errors can be prevented.

Keywords: Selfie Tourism, Legal Basis, Government Action.

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1.    Latar Belakang Masalah

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan menyatakan bahwa wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu dengan tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya Tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara. Sedangkan, berpariwisata adalah suatu proses kepergian sementara dari seseorang atau lebih menuju tempat lain di luar tempat tinggalnya1. Daya Tarik wisata terbaik di dunia sampai saat ini masih dipegang oleh Pulau Bali. Bali atau sering disebut pulau seribu pura dengan segala keunikan tradisi, adat, dan budayanya, juga memiliki persekutuan masyarakat adat2. Keindahan Pulau Bali bersumber dari budaya, adat dan keindahan alamnya yang tidak bisa ditemukan di pulau lain.

Tahun 2013 merupakan awal kemunculan daripada daya tarik wisata di Desa Wanagiri Kabupaten Buleleng yang memanfaatkan keindahan alam Danau Buyan dan Danau Tamblingan. Kabupaten Buleleng merupakan salah satu bagian Pulau Bali yang menyimpan keindahan alam yang sangat indah tetapi belum diketahui oleh para wisatawan secara luas. Keindahan alam tersebut berupa danau, air terjun, pantai dan bukit yang sangat indah. Pemerintah Kabupaten Buleleng sudah melakukan berbagai promosi wisata salah satunya dengan cara mengadakan festival yang diselenggarakan di obyek wista tertentu di Buleleng.

Selain pemerintah, masyarakat pun bersemangat untuk melakukan pembanguan dan pengembangan guna menemukan suatu obyek wista baru yang dapat menarik perhatian para wisatawan untuk berkunjung. Pemerintah pun merasa hal tersebut memang diperlukan sehingga pemerintah membiarkan dikarenakan merupakan tindakan yang bersifat positif.

Salah satu yang mencuri perhatian publik saat ini adalah wisata selfie yang terdapat di Desa Wanagiri. Wisata selfie merupakan kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan dengan mengambil gambar diri sendiri dengan bantuan alat fotografi dengan memanfaatkan bangunan semi permanen berbagai bentuk sebagai sarana selfie serta pemandangan Danau Buyan dan Danau Tamblingan sebagai latar belakang. Perhatiannya tertuju kepada lokasi pendirian wisata selfie yang berada di kawasan Taman Wisata Alam Danau Buyan-Danau Tamblingan. Kawasan tersebut awalnya direncakan dan dicantumkan dalam peraturan penataan ruang sebagai kawasan lindung khususnya sebagai suaka alam yaitu taman wisata alam. Selain masalah lokasinya yang berada di kawasan lindung. Wisata selfie yang sampai sekarang berjumlah tujuh titik itulah yang menjadi masalah selanjutnya. Jumlah tersebut dinyatakan terlalu banyak dan dikhawatirkan merusak kawasan karena wisata selfie berdiri di kawasan taman wisata alam dan jumlahnya terlalu banyak serta jarak antar wisata selfie satu dengan yang lain berdekatan sehingga bisa merusak keindahan kawasan tersebut.

Kesalahan yang terjadi di kawasan tersebut sangat berkaitan dengan bidang penataan ruang. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan

pengendalian pemanfaatan ruang.3 Dalam pola ruang sebagai bagian dari perencanaan ruang kawasan tersebut dicantumkan sebagai kawasan lindung, maka perlu diadakan penelusuran peraturan perundang-undangan yang bisa dijadikan dasar dan memiliki kaitan dengan wisata selfie. Selain itu dengan jumlah wisata selfie yang terlalu banyak diperlukan tindakan dari pemerintah untuk melakukan pengendalian agar sesuai dengan apa yang direncanakan pemerintah. Dan tentunya aspirasi masyarakat juga perlu dimasukan dan dipertimbangkan.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang diatas, maka dapat ditarik dua rumusan masalah sebagai berikut:

  • 1.    Bagaimanakah pengaturan Wisata Selfie di Desa Wanagiri, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng?

  • 2.    Bagaimanakah tindakan pemerintah terkait keberadaan Wisata Selfie di Desa Wanagiri?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Adapun karya ilmiah ini bertujuan untuk mengetahui dasar-dasar hukum perundang-undangan yang bisa dijadikan dasar wisata selfie serta tindakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk menanggulangi kemunculan isu di masyarakat terutama terkait dengan wisata selfie di Desa Wanagiri.

  • II.    ISI MAKALAH

    • 2.1.    Metode Penelitian

Dikatakan bahwa metode penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni.4 Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif-

empiris. Merupakan salah satu metode penelitian yang menjelaskan fenomena hukum tentang terjadinya kesenjangan antara norma dalam peraturan perundang-undangan dengan perilaku masyarakat dan kenyataan yang terjadi di lapangan. Untuk mendukung metode tersebut digunakan dua jenis pendekatan, yaitu pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan fakta (fact approach). Pendekatan peraturan perundang-undangan dilakungan penelusuran aturan-aturan hukum yang menyangkut penataan ruang termasuk pengaturan mengenai kawasan lindung di Danau Buyan dan Danau Tamblingan. Sedangkan, pendekatan fakta dilakukan dengan cara melakukan wawancara dengan informan di masing-masing pemerintahan maupun langsung ke lapangan. Agar hasil wawancara nantinya memiliki nilai validitas dan reabilitas, dalam wawancara peneliti menggunakan alat berupa pedoman wawancara atau interview guide.5 Penelitian ini menggunakan 2 sumber data, yaitu data primer dan data sekunder. Data Primer adalah sebuah data yang diperoleh setelah dikakukan penelusuran lebih lanjut ke obyek isu hukum, yaitu wisata selfie dan lembaga pemerintah yang mempunyai kewenangan di dalamnya. Data sekunder merupakan data yang didapatkan melalui penelusuran kepustakaan contohnya seperti meneliti bahan-bahan hukum. Dalam penelitian ini bahan-bahan hukum yang digunakan yaitu:

  • a.    Bahan Hukum Primer adalah bahan hukum yang berupa peraturan perundang-undangan, catatan-catatan resmi berkaitan dengan masalah.

  • b.    Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang berupa buku, skripsi, tesis, disertasi, kamus hukum dan jurnal hukum.

  • 2.2.    Hasil dan Analisis Data

    • 2.2.1. Aturan hukum yang berkaitan dengan wisata selfie di desa wanagiri

Wisata selfie merupakan daya Tarik wisata yang terletak di Desa Wanagiri, Sukasada, Buleleng. Daya Tarik wisata dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 sebagai segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan dan nilai yang berwujud keanekaragaman kekayaan alam6. Sebagai daya tarik wisata baru yang memanfaatkan kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Danau Buyan-Danau Tamblingan haruslah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Azas-Azas Hukum Tatanegara di Indonesia menyatakan bahwa tindakan Pemerintah Indonesia sebagai negara hukum harus berdasarkan hukum (the rule of Law).7 Ini menegaskan bahwasanya dalam setiap tindakan yang dilakukan pemerintah harus berdasarkan dengan hukum. Begitu juga dengan tindakan yang dilakukan masyarakat. Salah satu contohnya adalah dalam pemanfaatan kawasan Taman Wisata Alam Danau Buyan-Danau Tamblingan untuk mendirikan bagunan demi mendukung kegiatan pariwisata. Sehingga melakukan penelusuran dan pencarian aturan hukum yang memiliki keterkitan dengan wisata

selfie sangatlah penting agar nantinya sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Dengan tujuan agar tidak menyebabkan kerugian bagi kehidupan masyarakat dan lingkungan sekitar. Dasar hukum yang dimaksud, yaitu:

  • a.    Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Konsep yang terkandung dalam pasal ini ialah konsep menguasai dari negara. Maksudnya Negara Indonesia menjadi penguasa terhadap seluruh kekayaan SDA. Sebagai pelaksana dari hak menguasai, negara berhak menentukan peruntukan atas bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Pelaksanaan hak ini kemudian diserahkan kepada pemerintah. Akan tetapi, masyarakat diperbolehkan untuk memanfaatkannya tentunya jika sesuai dengan peruntukannya dan atas izin pemerintah. Ketentuan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam kaitannya dengan wisata selfie bisa dijadikan sebagai landasan konstitusional bahwa penggunaan dan peruntukan suatu kawasan harus demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

  • b.    Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria menyatakan Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi air dan ruang

angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Pelimpahan kewenangan pengelolaan SDA akan diberikan melalui lembaga di bawah pemerintah pusat yaitu Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA).

Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria menyatakan Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk:

  • a.    mengatur   dan    menyelenggarakan   peruntukan,

penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;

  • b.    menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;

  • c.    menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Ketentuan ini menjelaskan bahwa negara berwenang mengatur peruntukan TWA, hubungan hukum antara pihak yang menyelenggarakan wisata alam dengan TWA serta perbuatan hukum yang dapat dilakukannya dalam pemanfaatan sumber daya alam dalam hal ini pemanfaatan kawasan TWA Danau Buyan-Danau Tamblingan sebagai kawasan wisata.

  • d.    Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 menyatakan bahwa Di dalam taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya dan wisata alam. Pasal 1 angka 4 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya,

dan Taman Wisata Alam menyatakan Wisata alam adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati gejala keunikan dan keindahan alam di kawasan suaka margasatwa, taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam. Wisata selfie digolongkan sebagai wisata alam karena dilakukan di kawasan taman wisata alam untuk menikmati keindahan Danau Buyan dan Danau Tamblingan. Ketentuan tersebut dapat menjadi landasan operasional atau pelaksanaan wisata alam di kawasan Taman Wisata Alam Danau Buyan-Danau Tamblingan yang dilakukan masyarakat Desa Wanagiri. Pembangunannya pun harus menyesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Serta dalam memanfaatkan kawasan tersebut jangan terlalu berlebihan kaitannya jumlah tujuh titik wisata selfie dinilai terlalu banyak dan dapat merusak kawasan konservasi tersebut.

  • e.    Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam.

Pasal 8 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2010 menyatakan bahwa:

Izin pengusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh:

  • 1.    Menteri, untuk pengusahaan pariwisata alam yang dilakukan di dalam suaka margasatwa, taman nasional kecuali zona inti, dan taman wisata alam; atau

  • 2.    Gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangannya, untuk pengusahaan pariwisata alam yang dilakukan di dalam taman hutan raya.

Ketentuan diatas menjadi dasar pelaksanaan teknis atau operasional terhadap kegiatan pengusahaan pariwisata alam di

Indonesia khususnya Taman Wisata Alam Danau Buyan-Danau Tamblingan. Dalam peraturan ini kembali menegaskan bahwa pemanfaatan kawasan taman wisata alam diperbolehkan namun harus sesuai dengan ketentuan. Ketentuan tersebut misalnya izin pemanfaatan yang dimohonkan kepada lembaga yang ditunjuk dan jika masyarakat tidak mengerti bisa menanyakan terlebih dahulu kepada Pemerintah Desa Wanagiri setempat atau kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Buleleng.

  • f.    Peraturan Menteri Kehutanan  Nomor:  P.48/MENHUT-

II/2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.4/MENHUT-II/2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.48/MENHUT-II/2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam.

Pasal 5 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.48/MENHUT-II/2010 menyatakan bahwa:

Jenis usaha pariwisata alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b meliputi:

  • a.    Penyediaan jasa wisata alam; dan

  • b.    Penyediaan sarana wisata alam.

Ketentuan tersebut merupakan teknis pelaksanaan yang lebih rinci mengenai pemberian kewenangan maupun hak pemanfaatan kawasan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2010. Kementerian Kehutanan sebagai suatu badan di bawah pemerintah pusat yang menaungi bidang kehutanan diberikan kewenangan salah satunya dalam hal penerbitan izin pemanfaatan kawasan. Sehingga

peraturan di atas mengatur secara rinci mengenai persyaratan yang harus dilampirkan dalam pengajuan permohonan izin.

Berkaitan dengan dasar hukum wisata selfie, dalam surat bernomor: S. 631/BKSDA.BI-1/Lin/2017 pada poin angka 4 menyatakan Untuk menjamin legalitas pemanfaatan tempat selfie dimaksud, akan dilakukan melalui prosedur kerjasama (MoU) penguatan fungsi kawasan pelestarian alam (KPA) berupa kerjasama pengembangan wisata alam dan pemberdayaan masyarakat sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan RI No. P.85/Menhut-II/2014 tanggal 29 September 2014 tentang Tata Cara Kerjasama Penyelenggaraan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Sehingga dapat dinyatakan bahwa wisata selfie belum memiliki ijin pemanfaatan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

  • 2.2.2. Tindakan pemerintah terkait keberadaan wisata selfie di

    Desa Wanagiri

Respon terkait keberadaan wisata selfie di Desa Wanagiri ditanggapi oleh pemerintah dalam berbagai tingkatan hierarki, yaitu: Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi Bali dan Pemerintah Daerah Kabupaten Buleleng melalui tindakan pengaturan/materiil maupun nyata/formil.

  • a.    Pemerintah Pusat

Pemerintah pusat melalui Kementerian Kehutanan yang selanjutnya menunjuk Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) sebagai pemegang kewenangan di TWA Danau Buyan-Danau Tamblingan. Berdasarkan wawancara dengan Robby Sukmawan yang menjabat sebagai Pengendali Ekosistem Hutan Muda di BKSDA Bali, pada tanggal 26 Maret 2018 menyatakan

bahwa pendirian bagunan untuk sarana wisata seperti di Desa Wanagiri memang diperbolehkan. Selain adanya peraturan perundang-undangan yang memperbolehkannya juga disebabkan pembangunannya dilakukan pada blok pemanfaatan. Blok pemanfaatan merupakan wilayah konservasi yang bisa digunakan untuk kegiatan wisata. Pemerintah pusat yang memiliki kewenangan penuh terhadap taman wisata alam dapat melakukan tindakan pengaturan maupun tindakan nyata/materiil.

Tindakan pengaturan dilakukan dengan cara membuat atau merumuskan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai wisata dalam kawasan taman wisata alam, seperti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam, Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.48/MENHUT-II/2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.4/MENHUT-II/2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.48/MENHUT-II/2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam.

Sedangkan tindakan nyata/materiil yang dilakukan pemerintah pusat melalui BKSDA adalah memberikan surat peringatan bahwasanya jumlah wisata selfie yang sekarang ini sudah terlalu banyak. Selain itu, terdapat tindakan lain seperti penutupan sementara dan sampai kepada pembongkaran tempat wisata.

  • b.    Pemerintah Daerah Provinsi Bali

Kewenangan pengelolaan, pemanfaatan dan lain sebagainya dari kawasan Taman Wisata Alam Danau Buyan-Dananu Tamblingan merupakan kewenangan yang dimiliki oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam yang selanjutnya disebut BKSDA. Lembaga tersebut merupakan salah satu lembaga di bawah pemerintah pusat tepatnya Kementerian Kehutanan. Namun dikarenakan kawasan tersebut berada di wilayah administrasi dari Provinsi Bali. Maka pengaturan mengenai kawasan tersebut tetap dicantumkan di dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali. Dalam aturan tersebut Taman Wisata Alam Danau Buyan-Danau Tamblingan dimasukan sebagai kawasan lindung khususnya suaka alam. Tindakan ini merupakan tindakan pengaturan/formil dengan mengeluarkan peraturan yang mengatur mengenai kawasan tersebut.

  • c.    Pemerintah Kabupaten Buleleng

Memiliki kewenangan yang sama dengan Provinsi Bali yang hanya melakukan tindakan formil berupa mengeluarkan peraturan daerah untuk mengatur kawasan di sekitar wisata selfie dalam Peraturan Daerah Kabupaten Buleleng Nomor 9 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Buleleng. Pasal 30 ayat (5) menyatakan bahwa:

Sebaran lokasi kawasan taman wisata alam dan taman wisata alam laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, meliputi: TWA Buyan-Tamblingan seluas 948,65 Ha (sembilan empat puluh delapan koma enam puluh lima hektar) tersebar di Kecamatan banjar seluas 442,35 Ha dan di Kecamatan Sukasada 506,30 Ha dan TWA Bawah Laut Menjangan yang termasuk di dalam Kawasan Taman Nasional Bali Barat.

Pemerintah Kabupaten Buleleng menyatakan bahwa kawasan yang digunakan dibangun untuk wisata selfie merupakan kawasan

Taman Wisata Alam Danau Buyan-Danau Tamblingan dengan luas 948.65 Ha.

  • III.    PENUTUP

    • 3.1    Kesimpulan

  • 1.    Pengaturan terkait wisata selfie di Desa Wanagiri adalah Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, Pasal 8 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2010, Pasal 5 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.48/MENHUT-II/2010 dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor:  P.4/MENHUT-II/2012 tentang Perubahan Atas

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.48/MENHUT-II/2010. Untuk wisata selfie di Desa Wanagiri sampai saat ini proses legalisasi kegiatan wisata baru akan dimulai ditandai dengan adanya proses penyusunan nota kesepahaman (MoU).

  • 2.    Pemerintah Pusat melalui Balai Konservasi Sumber Daya Alam melakukan tindakan materiil berupa peringatan tertulis, penghentian sementara kegiatan, penutupan lokasi, pembongkaran bangunan dan tindakan formil berupa pengeluaran peraturan perundang-undangan sesuai dengan dasar hukum yang berlaku pada wilayah tersebut. Pemerintah Daerah Provinsi Bali melakukan tindakan pengaturan/formil berupa mengatur dan mencantumkan kawasan tersebut sebagai kawasan lindung dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009. Pemerintah Kabupaten Buleleng melakukan tindakan pengaturan/formil dengan memasukan

kawasan tersebut sebagai kawasan lindung pada Peraturan Daerah Kabupaten Buleleng Nomor 9 Tahun 2013.

  • 3.2    Saran

  • 1.    Mempercepat proses penyusunan nota kesepahaman (MoU) sebagai landasan awal pengelolaan wisata selfie di Desa Wanagiri antara Desa Adat Wanagiri dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam sehingga mempercepat proses legalisasi wisata selfie di Desa Wanagiri.

  • 2.    Meningkatkan peran dan fungsi Balai Konservasi Sumber Daya Alam khususnya pengawasan pada kawasan suaka alam seperti Taman Wisata Alam Danau Buyan-Danau Tamblingan.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Ali, H. Zainuddin, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.

Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2013, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar.

Gamal, Suwantoro, 1997, Dasar-Dasar Pariwisata, Andi, Yogyakarta.

Prodjodikoro, Wirjono, 1973, Azas-Azas Hukum Tatanegara Di Indonesia, Dian Rakjat, Jakarta.

Suada, I Nyoman, 2007, Bali Dalam Perspektif Sejarah dan Tradisi Dalam Relevansinya Dengan Era Global Menuju Ajeg Bali yang Haremonis, Yayasan Dewata, Denpasar.

Wahid, A. M. Yunus, 2014, Pengantar Hukum Tata Ruang, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta.

Jurnal Ilmiah

Erlangga Brahmanto, Hary Hermawan, dan Faizal Hamzah, 2017, “Strategi Pengembangan Kampung Batu Malakasari Sebagai Daya Tarik Wisata Minat Khusus”, Jurnal Media Wisata, Volume 15, Nomor 2, November 2017.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043)

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419).

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725).

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4966)

Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5116).

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.48/MENHUT-II/2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 595).

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor:  P.4/MENHUT-II/2012

tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor:  P.48/MENHUT-II/2010 tentang Pengusahaan

Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 124).

Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali (Lembaran Daerah Propinsi Bali Tahun 2009 Nomor 16, Tambahan Lembaran Daerah Propinsi Bali Nomor 15).

Peraturan Daerah Kabupaten Buleleng Nomor 9 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Buleleng

Tahun 2013 – 2033 (Lembaran Daerah Kabupaten Buleleng Tahun 2013 Nomor 9).

18