IMPLIKASI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 39/PUU-XIV/2016 TERHADAP BARANG KEBUTUHAN POKOK SEBAGAI OBJEK PAJAK PERTAMBAHAN NILAI

Oleh :

Ni Made Ratih Wijayanti* Made Nurmawati**

Program Kekhususan Hukum Pemerintahan Fakultas Hukum Universitas Udayana

ABSTRAK

Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN dan PPnBM mengatur mengenai sebelas barang kebutuhan pokok sebagaimana dijabarkan pada bagian Penjelasan pasal yang tidak dikenakan pajak pertambahan nilai, dengan demikian maka di luar kelompok kebutuhan tersebut dikenakan PPN. Atas berlakunya ketentuan ini menimbulkan unsur diskriminasi yang menyebabkan munculnya komoditas impor ilegal yang tidak dikenakan PPN atas barang kebutuhan pokok yang seharusnya dikenakan pajak di luar yang telah diatur undang-undang. Pedagang komoditas impor legal merasa tidak mendapat kepastian hukum yang baik karena adanya persaingan yang tidak sehat. Beberapa pihak pada akhirnya mengatasi hal tersebut dengan melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi terhadap Penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b dan permohonan dikabulkan sebagian dengan ditetapkannya Putusan MK No. 39/PUU-XIV/2016. Atas dasar hal tersebut maka timbul pertanyaan apakah terdapat pertentangan antara penjelasan pasal tersebut dengan peraturan perundang-undangan lainnya dan bagaimana kedudukan barang kebutuhan pokok sebagai objek pajak setelah adanya putusan MK. Tulisan ini bertujuan untuk mengungkap tiap-tiap permasalahan dengan melakukan analisis menggunakan metode hukum normatif dan penelitian hukum doktrinal, yaitu dengan meneliti peraturan perundang-undangan dan pendapat ahli yang berkaitan dengan sub permasalahan. Atas penelitian yang dilakukan ditemukan pertentangan antara Penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b dengan Pasal 28C ayat (1) dan 28I ayat (2) UUD NRI tahun 1945, serta asas kesejahteraan. Berdasarkan Putusan MK No. 39/PUU-XIV/2016 kedudukan barang kebutuhan pokok bukan sebagai

) Makalah ini merupakan di luar ringkasan skripsi

objek pajak pertambahan nilai secara keseluruhan dan tidak lagi dibatasi dengan suatu kelompok saja.

Kata Kunci : PPN, Barang Kebutuhan Pokok, Pemungutan Pajak

ABSTRACT

Article 4A Paragraph (2) Sub-Article b of the Law of Tax On Value Of Goods And Services And Sales Tax On Luxury Goods regulates the eleven basic goods which has been described in the section explanation of articles that are not subject to value added tax, so that outside the set group are subjects to value-added tax. The enforcement of this provision creates an elemnt of discrimination that causes illegal imported commodities which do not pay tax on essential goods which should be taxed other than those which have been regulated by law. Traders of legal imported commodities feel they have no good legal certainty because of unhealthy competition. Some parties ultimately overcome this problem by conducting a judicial review to the Constitutional Court against the Elucidation of Article 4A paragraph (2) letter b and the petition is granted partially with the stipulation of Decision Number 39/PUU-XIV/2016. On that basis then the questions arises whether there is a conflict between the explanation of the article with other laws and regulations and how the position of basic goods as a tax object after the decision of the Constitutional Court. This paper aims to reveal each problem by conducting an analysis using the method of normative law and doctrinal law research, namely by examining the legislation and expert opinions related to sub-issues. The research conducted found the contradiction between the explanation of Article 4A paragraph (2) letter b with Article 28C paragraph (1) and Article 28I paragraph (2) of the constitution of the Republic of Indonesia 1945, as well as the principle of walfare. Based on the decision of the Constitutional Court number 39/PUU-XIV/2016 the position of staple goods is no longer as the object of value added tax as a whole and is no longer limited to a single group.

Keywords : Value-added Tax, Staple Goods, Tax Collection

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1    Latar Belakang

Pajak Pertambahan Nilai (selanjutnya disebut PPN) merupakan jenis pajak konsumsi yang dikenakan akibat mengkonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dalam Daerah Pabean. Baik orang pribadi, perusahaan, hingga

pemerintah yang turut mengkonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak akan dikenakan PPN, itu dikarenakan semua barang dan jasa merupakan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, kecuali apabila telah ditentukan lain oleh Undang-Undang1 yaitu Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (selanjutnya disebut UU PPN dan PPnBM).

Dilakukannya pemungutan PPN tidak terlepas dari tujuan negara Indonesia yaitu untuk mencapai dan menciptakan kesejahteraan masyarakat dengan adanya suatu pembangunan yang baik serta terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Terpenuhinya setiap kebutuhan-kebutuhan pokok masyarakat merupakan sebagai salah satu tolak ukur apakah masyarakat tersebut dapat dikategorikan sebagai masyarakat sejahtera atau tidak.

Dalam UU PPN dan PPnBM, terdapat pasal yang mengatur mengenai barang kebutuhan pokok yang tidak dikenakan pajak pertambahan nilai. Terdapat 11 barang kebutuhan pokok yang diperlukan oleh rakyat banyak yang diatur dalam Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN dan PPnBM yang diperjelas pada bagian penjelasan, yang juga telah ditetapkan sebelumnya dalam Keputusan Menteri Keuangan RI No. 653/KMK.03/2001 Tanggal 27 Desember 2001 tentang Barang-Barang Kebutuhan Pokok Yang Atas Impor Dan Atau Penyerahannya Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Selain barang kebutuhan pokok yang tercantum di dalam pasal tersebut dikenakan pajak pertambahan nilai.

Kesebelas barang kebutuhan pokok tersebut memang merupakan bahan pangan yang sangat diperlukan sebagai kebutuhan dasar untuk konsumsi sehari-hari oleh orang banyak yang tidak dikenakan pajak pertambahan nilai. Namun, di luar sebelas kebutuhan pokok tersebut juga masih banyak ada bahan pangan yang sering diperlukan. Penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b tersebut mengandung unsur diskriminasi.

Adanya pengenaan pajak yang dibedakan antara barang yang dibutuhkan dengan rakyat banyak dan rakyat sedikit (minoritas). Salah satu contohnya yaitu umbi-umbian seperti singkong tidak tercantum di dalam pasal tersebut yang mana merupakan bahan pokok masyarakat Papua, yang dalam hal ini tergolong masyarakat minoritas dibandingkan masyarakat mayoritas yang mengkonsumsi beras dan jagung. Masyarakat Papua juga merupakan bagian dari masyarakat Indonesia yang sangat tidak patut untuk dibedakan kebutuhannya. Kemudian, dibedakannya pula pajak yang dikenakan antara kelompok yang memiliki tujuan, fungsi dan kegunaan yang sama seperti bahan pangan non beras yang mengandung karbohidrat contohnya jagung, ubi, ketela, dan terigu.

Akibat adanya unsur diskriminasi ini sudah ada pihak yang mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi untuk dilakukan judicial review terhadap Pasal 4A ayat (2) Huruf b UU PPN dan PPnBM. Pada akhirnya permohonan tersebut telah dikabulkan untuk sebagian oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 39/PUU-XIV/2016. Setelah adanya putusan MK, harus diketahui bagaimanakah kedudukan barang kebutuhan pokok tersebut sebagai objek pajak pertambahan nilai. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka penulis akan mengangkat suatu penulisan yang berjudul “IMPLIKASI YURIDIS PUTUSAN

MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 39/PUU-XIV/2016 TERHADAP BARANG KEBUTUHAN POKOK SEBAGAI OBJEK PAJAK PERTAMBAHAN NILAI”.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang, terdapat beberapa permasalahan yang akan dibahas, diantaranya adalah :

  • 1.    Apakah ketentuan dalam Penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 telah sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945?

  • 2.    Bagaimanakah kedudukan barang kebutuhan pokok sebagai objek pajak berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 39/PUU-XIV/2016?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan hukum yang hendak dicapai oleh penulis adalah :

  • 1.    Mengkaji dan mengetahui mengenai apakah Pasal 4A ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 terjadi pertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau tidak.

  • 2.    Memberikan informasi mengenai barang kebutuhan pokok apakah masih dikenakan pajak pertambahan nilai atau tidak.

  • II.    ISI MAKALAH

    • 2.1.    Metode Penelitian

      2.1.1.    Jenis Penelitian

Metode penelitian yang dipergunakan penulis yaitu penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal, dengan membahas hukum yang tertulis dalam peraturan

perundang-undangan, doktrin-doktrin atau asas-asas dalam ilmu hukum.2

  • 2.1.2.    Jenis Pendekatan

Penelitian ini menggunakan Pendekatan Kasus (Case Approach) dan Pendekatan Perundang-undangan (The Statute Approach). Pendekatan kasus dilakukan dengan menganalisis kasus yang terjadi dengan menghubungkannya dengan isu-su yang telah terjadi. Peter Mahmud Marzuki memberikan pengertiannya yang dimaksud dengan pendekatan undang-undang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkutan dengan isi hukum yang sedang ditangani. 3 Pendekatan undang-undang dilakukan dengan mengkaji peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan permasalahan yang diangkat.

  • 2.1.3.    Sumber Bahan Hukum

Bahan hukum yang dipergunakan dalam penulisan ini diantaranya adalah :

  • 1.    Bahan hukum primer, merupakan bahan hukum positif yang mengikat dan masih berlaku di Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, Keputusan Menteri Keuangan RI No. 653/KMK.03/2001 Tanggal 27 Desember 2001 tentang Barang-Barang Kebutuhan Pokok Yang Atas Impor Dan Atau Penyerahannya Tidak Dikenakan Pajak

Pertambahan Nilai, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 39/PUU-XIV/2016.

  • 2.    Bahan hukum sekunder, memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku literatur dan jurnal ilmiah.4

  • 2.1.4.    Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Penyusunan penulisan ini mempergunakan penulisan hukum normatif, maka dilakukan dengan mencari dan mengumpulkan literatur yang berkaitan dengan permasalahan, lalu diteliti dengan mencermati dan mencatat hal-hal apa saja yang patut untuk dijadikan pembahasan serta untuk diulas secara sistematis.

  • 2.1.5.    Teknik Pengolahan Bahan Hukum

Bahan-bahan penulisan penelitian hukum normatif merupakan bahan kepustakaan. Dalam tahap penelitiannya, dilakukannya suatu penelitian terhadap masalah dan penelitian yang dimaksudkan untuk mendapatkan hukum yang subjektif.

  • 2.2.    Hasil dan Pembahasan

    • 2.2.1    Kesesuaian Penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Terhadap Ketentuan Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Sudah menjadi kewajiban bagi negara Indonesia untuk menyelenggarakan berbagai tugas-tugas yang harus bermanfaat untuk seluruh masyarakat. Negara tidak dapat menyelenggarakan tugas-tugasnya tersebut dengan sempurna tanpa adanya bantuan dari masyarakat. Namun, hal tersebut saja tidak cukup, sebab dibutuhkannya pula bantuan finansial atau dana untuk membiayai segala keperluan yang dibutuhkan negara dalam

melaksanakan tugasnya. 5 Untuk mendapatkan dana tersebut, selain dari mencetak sendiri atau meminjam, ada jalan lain pula yang dapat ditempuh oleh pemerintah, salah satunya adalah dengan melakukan pemungutan pajak.

Pajak memiliki peran penting dalam pembangunan karena ada dua fungsi yang melekat padanya, yaitu fungsi budgeter dan fungsi regulerend. Fungsi budgeter pajak adalah mengisi kas negara dalam rangka melancarkan roda pemerintahan dengan cara mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya sesuai dengan undang-undang yang berlaku yang pada waktunya akan digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara, yakni pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan, dan apabila terdapat sisa (surplus) akan dipergunakan sebagai tabungan pemerintah. Sedangkan fungsi regulerend adalah fungsi yang dapat dimanfaatkan oleh pemerintah untuk menopang usaha pemerintah di bidang ekonomi, sosial, dan budaya sesuai yang telah ditetapkan dalam program pembangunan.6

Dasar hukum berlakunya pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara terhadap rakyat yang selaku wajib pajak telah dicantumkan dalam Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945). Pasal tersebut menegaskan bahwa pengenaan dan pemungutan pajak untuk keperluan negara hanya boleh terjadi berdasarkan undang-undang, ini karena terjadinya peralihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor pemerintah untuk membiayai keperluan negara tanpa ada jasa timbal balik yang langsung terjadi. Pemungutan pajak bukan berarti terampasnya

hak rakyat atau kekayaan rakyat, juga bukan sebagai pembayaran sukarela, pajak ini mengandung kewajiban bagi rakyat untuk mematuhinya dan bila tidak dipenuhi maka bagi yang tidak memenuhi kewajibannya tersebut akan dikenakan sanksi.7

Berdasarkan dengan hal-hal tersebut maka dapat diketahui bahwa dalam hal perpajakan baik pemungutan atau hal lainnya tidak dapat dilaksanakan oleh pemerintah dengan semena-mena. Tetap harus melihat kondisi masyarakatnya, tidak boleh sampai terjadi suatu diskriminasi, dan berpedoman kepada UUD NRI 1945 atau peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perpajakan.

Dalam Penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN dan PPnBM mengatur mengenai sebelas jenis barang kebutuhan pokok yang sangat diperlukan oleh rakyat banyak yang tidak dipungut pajak pertambahan nilai. Terdapat kejanggalan dalam penjelasan pasal tersebut dengan ketentuan yang ada dalam UUD NRI 1945, selain itu juga adanya ketidaksesuaian dengan asas pemungutan pajak.

Adanya ketidaksesuaian dalam penjelasan pasal yang dimuat didalamnya dengan ketentuan Pasal 28C ayat (1) UUD NRI 1945, terdapat pernyataan yang menyebutkan bahwa tiap orang memiliki hak untuk mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya. Dikaitkan dengan Penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b, terjadinya pembatasan kebutuhan pokok yang tidak dikenakan PPN. Tidak semua terbebas dari PPN dan ini berpengaruh terhadap kekuatan beli hingga pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat. Sebab, Indonesia masih tergolong tinggi akan penduduk yang miskin. Terkadang untuk membeli bahan dasar yang tidak dikenakan PPN saja mereka tidak mudah,

apalagi jika membeli kebutuhan pokok yang dikenakan PPN. Hal ini jelas dapat menghambat pemenuhan hak (kebutuhan dasar) masyarakat dan tidak sesuai dengan yang ditentukan dalam Pasal 28C ayat (1) UUD NRI 1945.

Ketidak sesuaian dengan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI 1945 juga terjadi terhadap Penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b. Pasal dalam UUD tersebut di dalamnya mengatur bahwa setiap orang tidak boleh ada diskriminasi atas dasar apapun dan memiliki hak untuk memperoleh perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif tersebut. Kurang didapatkannya suatu perlindungan atau kepastian hukum yang diperoleh ketika mengakses kebutuhan pangan selain sebelas jenis yang ditentukan dalam penjelasan pasal. Karena, akibat dikenakannya PPN terhadap banyak kebutuhan pangan terjadinya pedagang ilegal yang merupakan bahan selundupan, jadi PPN tidak dibayarkan lalu menjualnya lebih murah. Pedagang jujur menjadi kalah saing dan merasa kurangnya perlindungan serta kepastian hukum.

Dalam hal ini, dapat diketahui bahwa kesejahteraan masyarakat terganggu akibat tidak sesuainya harapan yang ada pada masyarakat terhadap pemerintah. Ini dapat diartikan bahwa tidak sesuai pula dengan asas yang terkandung dalam hal perpajakan, yaitu asas kesejahteraan. Sesuai dengan yang dikemukaan oleh W.J. de Langen yang ahli dalam bidang pajak berpendapat bahwa asas kesejahteraan merupakan asas yang mengartikan bahwa, pemerintah itu memiliki tugas yang mana dari tugas tersebut satu sisi diberikan atau disediaannya barang dan jasa untuk masyarakat, dan lain sisi juga ditariknya pungutan-pungutan dalam membiayai kegiatan pemerintah,

namun sebagai keseluruhan yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.8

Masyarakat yang merasa dirugikan akibat dikenakannya bahan pokok dalam pajak pertambahan nilai tidak dapat dikatakan sejahtera. Mereka merasa disusahkan dan merasa kurangnya kepastian hukum yang tepat untuk mengatasi situasi yang dialaminya tersebut. Maka, pengenaan PPN terhadap bahan kebutuhan pokok diluar barang yang telah diatur dalam undang-undang selain tidak sesuai dengan ketentuan pasal-pasal dalam UUD NRI 1945, juga tidak sesuai dengan asas dalam pajak yaitu asas kesejahteraan.

  • 2.2.2 . Kedudukan Barang Kebutuhan Pokok Sebagai Objek Pajak Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 39/PUU-XIV/2016

Dilakukannya uji materiil terhadap Penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN dan PPnBM oleh Shilviana yang dalam hal ini sebagai wakil dari Dolly Hutari yang merupakan ibu rumah tangga dan Sutejo yang seorang pedagang komoditas pangan di Pasar Bambu Kuning. Menurutnya, pengenaan pajak pertambahan nilai pada kebutuhan bahan pokok menimbulkan ketidakadilan bagi beberapa pedagang. PPN yang dikenakan menimbulkan dampak terhadap maraknya komoditas impor yang diperoleh dari penyelundupan dengan tidak membayar pajak. Persaingan dilakukan dengan tidak sehat sebab produk-produk ilegal yang tanpa membayar pajak dijual dengan harga yang murah dibandingkan dengan produk yang telah dikenakan pajak (legal). Hasilnya, produk-produk dari para pedagang yang jujur menjadi kalah bersaing dengan komoditas pangan ilegal.

Kurangnya kepastian serta perlindungan hukum yang didapatkan para pemohon ketika diaksesnya komoditas pangan terkecuali 11 jenis pangan yang telah ditentukan dalam penjelasan pasal tersebut. Ini menjadi suatu kerugian dalam hal pemenuhan hak akibat adanya pemberlakuan secara diskriminasi.9 Jadi tidak terpenuhinya sikap yang sama terhadap komoditas pangan lain yang juga diperlukan masyarakat banyak dalam keberlakuan penjelasan pasal dalam UU PPN dan PPnBM.

Mengetahui faktor-faktor tersebut melalui Putusan MK Nomor 39/PUU-XIV/2016 Hakim MK memberikan tanggapannya mengenai hal ini yaitu dalam penjelasan pasal memiliki potensi yang dapat memunculkan ketidakpastian hukum, penjelasan pasal juga tidak sesuai dengan definisi dan dasar pemikiran dari PPN. Dilihat dari segi termilogis dan karakteristknya yang memiliki peran pajak atas nilai tambah, pengenaan PPN hanya kepada barang yang sudah dilakukan nilai tambah, yakni sudah melalui proses pabrik.

Dalam PPN yang menjadi penentu dalam proses pengenaannya adalah objek pajak, hal tersebut dapat dikatakan pula sebagai pajak objektif. Maka dari itu, apabila dari mengenakan bahan pokok dianggap dapat memberikan keuntungan, justru dapat menimbulkan kerugian terhadap masyarakat saat membeli bahan-bahan tersebut untuk dikonsumsi, mengingat di Indonesia masih banyak terdapat masyarakat miskin yang malah membutuhkan keringanan. Mengingat pula bahwa pemungutan pajak haruslah adil, pengenaannya serta harus sesuai dengan kemampuan orang yang

membayar pajak.10 Di sinilah dapat dilihat pula tidak sesuainya penerapan penjelasan pasal yang bertentangan dengan asas kesejahteraan.

Bahan pokok yang tidak dikenakan pajak hanya sebatas yang telah ditentukan dalam penjelasan pasal saja, namun di luar itu bahan pokok tetap dikenakan pajak. Ini juga justru dapat menghambat kecukupan asupan gizi masyarakat. Masyarakat Indonesia sangat banyak, beraneka ragam kebiasaan, serta kebutuhan pokok yang diperlukan juga tidak hanya terbatas itu saja dan sangat beraneka ragam bahan pangan yang diperlukan. Keanekaragaman yang dipengaruhi faktor ekologi, ekonomi, dan selera menjadi penyebab mengapa dalam mempenuhi gizi yang cukup membutuhkan setidaknya 33 zat gizi yang sebaiknya terpenuhi dengan baik oleh tiap orang demi hidup sehat. Dan dalam memenuhi gizi yang cukup, tidaklah cukup hanya satu kelompok pangan yang terdiri dari 11 jenis bahan pokok saja seperti yang diatur dalam Penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN dan PPnBM.

Berdasarkan hal-hal tersebut, kedudukan bahan kebutuhan pokok tidak lagi sebagai objek pajak pertambahan nilai serta Penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN dan PPnBM sepanjang rinciang “barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan rakyat banyak” memiliki arti membatasi (limitative). Dari hal ini pula Keputusan Menteri Keuangan RI No. 653/KMK.03/2001 Tanggal 27 Desember 2001 tentang Barang-Barang Kebutuhan Pokok Yang Atas Impor Dan Atau Penyerahannya Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai yang sebelumnya terlebih dahulu menetapkan 11 bahan kebutuhan

pokok yang terbeas dari pajak pertambahan nilai sudah tidak diberlakukan lagi.

  • III.    PENUTUP

    • 3.1.    Kesimpulan

  • 1.    Ketentuan dalam Penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 yang mengatur mengenai barang kebutuhan pokok yang tidak dikenakan pajak pertambahan nilai bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1) dan 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain itu juga tidak sesuai dengan asas kesejahteraan yang merupakan salah satu asas perpajakan. Maka dapat diketahui bahwa penjelasan pasal tersebut tidak sesuai dengan UUD NRI Tahun 1945 dan asas kesejahteraan.

  • 2.    Berdasarkan Putusan MK No. 39/PUU-XIV/2016 kedudukan barang kebutuhan pokok bukan lagi menjadi objek pajak pertambahan nilai secara keseluruhan dan tidak hanya dibatasi oleh sebelas barang pokok saja seperti yang tercantuk dalam Penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN dan PPnBM.

  • 3.2.    Saran

Pemerintah selaku penyusun suatu peraturan perundang-undangan dalam membentuk suatu peraturan baru diharapkan dapat lebih memperhatikan keadaan masyarakat yang ditinjau dari segi sosial dan segi ekonomi, mengingat bahwa setiap orang memiliki keadaan dan kemampuan yang berbeda-beda, serta lebih mendengar aspirasi masyarakat luas.

  • IV.    DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Buku

Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2016, Pengantar Metode Penelitian  Hukum, cet. IX, Rajagrafindo Persada, Depok.

Bohari, H, 2014, Pengantar Hukum Pajak, cet. X, Rajagrafindo Persada, Jakarta

Brotodihardjo, R. Santoso, 2013, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Refika Aditama, Bandung.

Marzuki, Peter Mahmud, 2008, Penelitian Hukum, cet. IV, Persada Media Group, Jakarta.

Sutedi, Adrian, 2016, Hukum Pajak, cet. III, Sinar Grafika, Jakarta.

Soekanto, Soerjono, 2015, Pengantar Penelitian Hukum, cet. III, Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta.

  • 2.    Artikel

Ida Bagus Prayoga, “Kewenangan Pemerintah Provinsi Bali Dalam Pemungutan Pajak Progresif”, Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal).

Sri Hanggana, 2017, “Kesalahan Mekanisme Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai”, Jurnal Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

  • 3.    Internet

Lulu Hanifah, 2017, “Komoditas Kebutuhan Pokok Bebas PPN”, mahkamahkonstitusi.go,id,             URL             :

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=w b.Publikasi&id=2&pages=1&menu=8

  • 4.    Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.

Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 653/KMK.03/2001 Tanggal 27 Desember 2001 tentang Barang-Barang Kebutuhan Pokok Yang Atas Impor Dan Atau Penyerahannya Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.

16