PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA NARKOTIKA SEBAGAI KEJAHATAN TRANS NASIONAL DI KAWASAN ASIA TENGGARA

Oleh

Ni Putu Nita Mutiara Sari Suatra Putrawan, S.H.,M.H**

Program Kekhususan Hukum Internasional, Fakultas Hukum, Universitas Udayana

ABSTRAK

Berdasarkan laporan terakhir World Drug Report Tahun 2016, produksi, penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika di Asia Tenggara terus meningkat. Maka dari itu, guna memerangi persebarannya, diperlukan pengaturan hukum yang terintegrasi yang diakui dan dijalankan oleh aparat penegak hukum masing – masing negara.

Permasalahan dalam penelitian ini pengaturan apa sajakah yang digunakan untuk memberantas peredaran gelap narkotika di kawasan Asia Tenggara? dan apakah pengaturan tersebut sudah cukup untuk memberantas peredaran gelap narkotika di kawasan asia tenggara? Metode penelitian yang digunakan untuk menganalisis permasalahan tersebut adalah metode normatif, dimana metode normatif merupakan metode penelitian yang meneliti dan menganalisis bahan-bahan hukum terkait.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat beberapa instrumen hukum internasional di kawasan asia tenggara yang mengatur tindak pidana narkotika hukum internasional di Asia Tenggara dalam rangka pemberantasan peredaran gelap narkotika, namum masih terdapat norma kabur dalam pengaturan hukum internasional. Norma kabur tersebut berdampak pada penerapannya jenis hukuman yang masih berbeda di tiap negara dan perlu adanya keseragaman dalam penerapan demi mengurangi peredaran narkoba di Asia Tenggara.

Kata Kunci : Peredaran Gelap Narkotika, Narkotika, ASEAN, Hukum Internasional.

ABSTRACT

Based on the latest report of World Drug Report of 2016, the production, abuse and illicit trafficking of narcotics in Southeast Asia continues to increase. Therefore, in order to combat its spread, an integrated legal arrangement that is recognized and implemented by law enforcement officers of each country is required.

The problems in this study are what arrangements are used to combat the illicit trafficking of narcotics in Southeast Asia? and whether the arrangement is sufficient to combat the illicit trafficking of narcotics in the Southeast Asian region? The research method used to analyze the problem is the normative method, where the normative method is a research method that examines and analyzes the relevant legal materials.

The conclusion of this research is that there are several international legal instruments in south east asia which arrange the criminal act of narcotics of international law in Southeast Asia in order to eradicate illicit narcotics, but there are still vague norms in international law arrangement. The blurring norm has an impact on the application of different types of punishment in each country and the need for uniformity in implementation to reduce the circulation of drugs in Southeast Asia.

Keywords: Illicit Circulation of Narcotics, Narcotics, ASEAN, International Law.

  • I.    PENDAHULUAN

    1.1 . LATAR BELAKANG

Masalah produksi, penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika (production, abuse and illicit drug trafficking) dalam kurun tiga dasa warsa terakhir terjadi peningkatan . Hal ini dalam sekejap menjadi persoalan besar tidak hanya di tingkat nasional dan regional Asia Tenggara (ASEAN) namun juga menjadi masalah internasional. Menurut catatan terbaru dari World Drug Report tahun 2017, total pengguna narkotika di seluruh dunia semenjak tahun 2006 hingga tahun 2015 terus meningkat hingga mencapai angka 255.000.000 (dua ratus lima puluh lima juta) jiwa.1 Oleh karenanya, 3 (tiga) hal tersebut sejauh ini masih menjadi target

sasaran prioritas yang ingin diperangi oleh komunitas internasional melalui Gerakan Anti Madat Sedunia.2 Peredaran gelap narkotika di kawasan Asia Tenggara memiliki dua rute utama peredaran, yakni rute selatan melalui Thailand menuju Bangkok untuk alur distribusi dan jalur utara yang memasuki daerah Provinsi Yunnan di Tiongkok, kemudian menuju Kunming dan selanjutnya menyebar ke kawasan lain.3

Menurut Laporan UNODC (United Nations Office on Drugs and Crime) tahun 2014, produksi dan peredaran gelap Narkotika paling dominan muncul di sekitar kawasan Laos, Myanmar dan Thailand yang merupakan ”Segitiga Emas” bersama dengan Tiongkok. ”Segitiga Emas” merupakan istilah bagi salah satu kawasan yang paling mendominasi arus peredaran narkotika yang membanjiri pasar global dalam rentang beberapa tahun terakhir4. Kota Shan di utara Myanmar menjadi poros utama segitiga emas ini dengan menguasai 89% aktivitas tersebut yang berkenaan dengan peredaran opium dan heroin.

Hal ini secara gradual menempatkan kawasan Asia Tenggara sebagai kawasan dengan tingkat produksi, penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika terbesar kedua di dunia setelah kawasan Amerika Utara. Di samping itu, tindak pidana narkotika yang terjadi dalam arus lintas negara di suatu kawasan/regional tertentu, dalam aspek apapun (baik itu produksi, penyalahgunaan dan peredaran gelap). Dalam kesempatan yang terpisah, Kepala Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia dalam Laporan Press Release Akhir Tahun 2016 – Kerja Nyata Perangi Narkotika

turut mengungkapkan bahwa penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang mengancam dunia dan bisa digunakan sebagai salah satu senjata dalam proxy war untuk melumpuhkan kekuatan bangsa. Oleh karena itu, kejahatan ini harus diberantas dan ditangani secara komprehensif.5

Kondisi tersebut pada akhirnya membuat pengaturan dan penegakan hukum dalam rangka memberantas produksi, penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika harus dilaksanakan secara terintegrasi, sebagaimana terungkap dalam Asean Plan of Action to Combat Trans – National Crime :

ASEAN's initial efforts in combating transnational crime were focused on drug abuse and drug trafficking, the prevalent crime then, which affected the growth and vitality of ASEAN. With globalization, technological advancement and greater mobility of People and resources across national borders, transnational crime has become increasingly pervasive, diversified and organized. The region has to deal with many new forms of organized crimes that transcend national borders and political sovereignty such as terrorism, new types of drug, abuse and trafficking, innovative forms of money laundering activities, arms smuggling, trafficking in women and children and piracy.

(Terjemahan bebas dari pendapat diatas adalah : Target utama dari ASEAN adalah memerangi kejahatan transnasional dan perdagangan narkoba, kejahatan umum, yang mempengaruhi pertumbuhan dan vitalitas di Negara-negara ASEAN. Dampak globalisasi, kemajuan teknologi dan mobilitas orang dan sumber daya yang meluas di seluruh perbatasan negara, kejahatan lintas negara semakin merajalela, terdiversifikasi dan terorganisir. Wilayah ini harus menghadapi banyak bentuk kejahatan lainnya yang melampaui perbatasan negara dan kedaulatan politik seperti

terorisme, jenis obat terlarang yang baru, penyelundupan seni, perdagangan perempuan dan anak-anak dan pembajakan).

Oleh karena itulah peneliti melakukan penelitian mengenai pengaturan hukum tindak pidana narkotika dalam kerangka hukum internasional di kawasan Asia Tenggara, agar dapat memberikan pandangan mengenai sejauh mana permasalahan ini telah diatur dalam instrumen-instrumen yang tersedia.

  • 1.2    RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas, adapun permasalahan yang dapat peneliti rumuskan adalah :

  • (1)    Pengaturan apa sajakah yang digunakan untuk memberantas peredaran gelap narkotika di kawasan Asia Tenggara?

  • (2)    Apakah pengaturan tersebut sudah cukup untuk memberantas peredaran gelap narkotika di kawasan asia tenggara?”

  • 1.3    TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaturan yang digunakan untuk memberantas peredaran gelap narkotika di kawasan Asia Tenggaraserta untuk mengetahui pengaturan hukum perihal narkotika di Asia Tenggara sudah cukup untuk memberantas peredaran gelap narkotika di kawasan Asia Tenggara. Di samping itu, peneliti mengharapkan agar penelitian ini nantinya dapat menjadi rujukan dalam penelitian selanjutnya mengenai efektifitas pelaksanaan dari pengaturan yang telah ada.

  • II.    ISI MAKALAH

    2.1.    METODE PENELITIAN

Metode Penelitian ini menggunnakan metode penelitian hukum normatif. Metode penelitian hukum normatif merupakan penelitian terhadap hukum yang dikonsepkan dan dikembangkan atas dasar doktrin yang dianut sang pengonsep.6

  • 2.2.    HASIL DAN PEMBAHASAN

    • 2.2.1. Pengaturan yang digunakan untuk memberantas peredaran gelap narkotika di kawasan Asia Tenggara.

Pengaturan hukum dengan skala internasional mengenai peredaran gelap narkotika pertama kali diatur dalam The United Nation’s Single Convention on Narcotic Drugs Tahun 1961 yang kemudian diamandemen dengan Protokol Tahun 1972 tentang Perubahan atas United Nation’s Single Convention on Narcotic Drugs Tahun 1961. Perbedaan The United Nation’s Single Convention on Narcotic Drugs dengan United Nations Convention against Transnational Organized Crime (UNCTOC) adalah dimana Konvensi The United Nation’s Single Convention on Narcotic Drugs Tunggal ini pada awalnya dibentuk dengan maksud untuk :

  • 1.    Menciptakan satu konvensi internasional yang dapat diterima oleh negara-negara di dunia dan dapat mengganti peraturan mengenai pengawasan internasional terhadap penyalahgunaan narkotika yang terpisah-pisah di 8 (delapan) bentuk perjanjian internasional;

  • 2.    Menyempurnakan cara-cara pengawasan peredaran narkotika dan membatasi penggunaannya khusus untuk kepentingan pengobatan dan pengembangan ilmu pengetahuan; dan

  • 3.    Menjamin adanya kerjasama internasional dalam pengawasan peredaran narkotika untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut diatas.7

Selain penjelasan diatas terdapat pula beberapa konvensi internasional lainnya yang juga berkaitan dengan permasalahan Narkotika ini, yakni United Nation’s Convention Against Illicit Traffic in Narcotic drugs and Psychotropic substances 1988 dan UNCTOC. Implikasi dari pertemuan tersebut adalah penandatanganan ASEAN Declaration of Principles to Combat the Abuse of Narcotic Drugs oleh Menteri Luar Negeri dari negara-negara anggota ASEAN pada tahun 1976 di Manila, yang mana dalam ketentuannya secara umum menyepakati beberapa hal, yakni :

  • 1.    Kesamaan cara pandang dan pendekatan serta strategi penanggulangan kejahatan narkotika;

  • 2.    Keseragaman peraturan perundang-undangan di bidang narkotika;

  • 3.    Membentuk badan koordinasi di tingkat nasional; dan

  • 4.    Kerjasama antar negara-negara ASEAN secara bilateral, regional dan internasional.8

  • 5.    Upaya awal ASEAN dalam memerangi kejahatan transnasional difokuskan pada penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang mana sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan negara-negara ASEAN pada saat itu.

Selain menyepakati Deklarasi tersebut, Negara - negara ASEAN sepakat untuk dibentuknya organisasi Narcotic Board. Narcotic Board diharapkan dapat sesuai dengan karakteristik

permasalahan narkotika dan penegakan hukum masing-masing negara, yang mana pada akhirnya menjadi cikal bakal kelahiran Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia (BNN RI).

Berdasarkan The Narcotics Drug And Psychotropic Substance Law For Asean (27-January-2013), berikut merupakan beberapa hukuman dari kegiatan penjualan narkoba yang disepakati oleh anggota ASEAN seperti berikut :

  • 1.    Budidaya, pengolahan, pengangkutan, pendistribusian, pengiriman,    pemindahan,    terpaksa   menimbulkan

penyalahgunaan, perilaku buruk terhadap obat-obatan narkotika dan zat psikotropika exhabits. 5 tahun penjara minimal, maksimal 10 tahun dan mungkin juga dikenakan denda.

  • 2.    Memiliki narkot2ika untuk dijual kembali dengan hukuman 10 tahun penjara minimal, jangka waktu pemenjaraan tidak terbatas secara maksimal

  • 3.    Produksi, distribusi, penjualan, impor dan ekspor narkotika dikenakan hukuman 15 tahun penjara minimal, jangka waktu pemenjaraan tidak terbatas maksimal atau kematian.

United Nations Convention against Transnational Organized Crime (UNCTOC) tahun 2016 sebagai sarana dalam menciptakan perjanjian internasional yang bersifat law making treaties. 9 Pada UNCTOC, tidak diatur secara rigid pengertian dari “transnational organized crime” dan tidak juga memuat daftar tindak pidana yang dapat digolongkan ke dalamnya. Hal tersebut kemungkinan disebabkan dengan aturan hukum yang berlaku di setiap Negara, seperti contoh penggunaan narkotika jenis Sabu-Sabu dilegalkan

di California, Amerika Serikat, sedangkan perdagangan narkotika jenis Sabu-Sabu dilarang oleh pemerintah Indonesia.10

Berdasarkan data yang ditampilkan oleh World Drug Report tahun 2016, luas area penanaman opium/heroin di Asia Tenggara secara rata-rata dihitung dari tahun 2000 hingga tahun 2015 mencapai 59.625 (lima puluh sembilan ribu enam ratus dua puluh lima) hektar. Angka rata-rata produksi opium/heroin siap edar di Asia Tenggara dihitung dari periode tahun yang sama mencapai angka 695 (enam ratus sembilan puluh lima) ton.11 Fakta yang terjadi selain jumlah luas lahan dan angka produksi opium/heroin, laporan yang sama juga menampilkan data pengguna 3 (tiga) jenis zat adiktif lainnya di kawasan Asia Tenggara pada kurun tahun 2014. Penggunaan zat adiktif berupa kokain dalam satu tahun tersebut, dilakukan oleh hampir 470.000 (empat ratus tujuh puluh ribu) orang. Untuk zat dengan jenis Amphetamine mencapai 9.100.000 (sembilan juta seratus ribu) pengguna dan untuk ekstasi mencapai angka 3.210.000 (tiga juta dua ratus sepuluh ribu) orang.12

  • 2.2.2 Norma Kabur Dalam Pengaturan Terhadap Peredaran

    Gelap Narkotika Di Kawasan Asia Tenggara.

Akibat kekaburan norma yang terjadi pada perancangan hukum mengenai peredaran gelap narkotika di kawasan Asia Tenggara, menyebabkan beberapa kekaburan norma di Negara – Negara Asia Tenggara seperti di Indonesia dengn Malaysia perihal penegakan hukum narkotika. Hal tersebut menyebabkan penerapan sanksi hukum yang berbeda antar Negara, dan membuat peraturan yang telah ditetapkan secara kesepakatan

internasional mengalami norma kabur. Peraturan hukum narkotika internasional yang berlaku di ASEAN telah ditentukan melalui pertemuan antar Negara seperti ASOD (ASEAN Senior Officials on Drug Matters) dan ASEANAPOL (ASEAN Chiefs of National Police). Selain peraturan hukum yang disepakati bersama, terdapat peraturan hukum yang berlaku di masing-masing Negara. Hukum yang berlaku di masing-masing Negara tersebut mengandung unsur norma kabur antara hukum Negara satu dengan hukum Negara lainnya di kawasan ASEAN.13

Sebagai contoh peraturan narkotika di Indonesia dengan Malaysia. Menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika membagi narkotika menjadi tiga golongan, sesuai dengan pasal 6 ayat 1 menyatakan bahwa :

  • 1.    Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh: Heroin, Kokain, Daun Kokain, Opium, Ganja, Jicing, Katinon, MDMDA/ Ecstasy, dan lebih dari 65 macam jenis lainnya.

  • 2.    Narkotika Golongan II adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/ atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh: Morfin, Petidin, Fentanil, Metadon, dll.

  • 3.    Narkotika Golongan III adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/ atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta

mempunyai     potensi     ringan     mengakibatkan

ketergantungan.    Contoh:    Codein,    Buprenorfin,

Etilmorfina, Kodeina, Nikokodina, Polkodina, Proiram da nada 13 maca, termasuk beberapa campuran lainnya.

Untuk pelaku penyalahgunaan Narkotika dapat dikenakan Undang-undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, hal ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

  • 1.    Sebagai pengguna

Dikenakan ketentuan pidana berdasarkan pasal 116 Undang-undang Nomor 35 tahun 2009   tentang

Narkotika, dengan ancaman hukuman paling lama 15 tahun.

  • 2.    Sebagai pengedar

Dikenakan ketentuan pidana berdasarkan pasal 81 dan 82 Undang-undang No. 35 tahun 2009   tentang

narkotika, dengan ancaman hukuman paling lama 15 + denda.

  • 3.    Sebagai produsen

Dikenakan ketentuan pidana berdasarkan pasal 113 Undang-undang No. 35 tahun 2009, dengan ancaman hukuman paling lama 15 tahun/ seumur hidup/ mati dan denda.

Berbeda dengan penerapan hukuman terkait narkotika di Malaysia. Akta Dadah Berbahaya (undang-undang barang berbahaya) telah diperkenalkan di Malaysia sejak tahun 1952. Kemudian diaplikasi secaranasional pada 1985 Berdasarkan Seksyen 39 B Akta Dadah Berbahaya 1952 dinyatakan bahwa:

  • 1.    Tiada seorangpun yang boleh, bagi pihak dirinya atau bagi pihak mana-mana orang lain, sama ada atau tidak orang lain itu berada di Malaysia (a). mengedarkan dadah

berbahaya; atau menawar untuk mengedarkan dadah berbahaya ; atau (c) melakukan atau menawar atau melakukan sesuatu perbuatan sebagai persediaan untuk bagi maksud pengedaran dadah berbahaya.

  • 2.    Mana-mana orang yang melanggar mana-mana peruntukan subseksyen (1) adalah melakukan sesuatu kesalahan terhadap Akta ini dan jika disabitkan hendaklah dijatuhi hukuman mati

Hukuman atau sanksinya adalah berdasarkan Akta Dadah Berbahaya Seksyen 39 adalah sebagai berikut:

  • 1.    Hukuman mati untuk para orang yang:

  • a.    Pengedar narkoba;

  • b.    Melakukan atau menawar atau melakukan sesuatu perbuatan sebagai persedian untuk atau bagi pengedar narkoba berbahaya;

  • c.    Memiliki 15 gram atau lebih dan heroin dan morfin;

  • d.    Memiliki 1000 gram atau lebih candu masak atau mentah;

  • e.    Memiliki 50 gram atau lebih Amphetamine Type Stimulants (ATS) contoh; syabu atau pil ecstasy.

  • 2.    Hukuman diatas lima tahun penjara atau dipenjara seumur hidup untuk para orang yang:

  • a.    Memiliki 2-5 gram heroin atau morfin;

  • b.    Memiliki 100-200 gram candu;

  • c.    Memiliki 20-50 gram ganja;

  • d.    Memiliki 5-15 gram kokain;

  • e.    Memiliki 5-30 gram Amphetamine Type Stimulants (ATS) contoh; syabu atau pil ecstasy.

  • 3.    Hukuman Penjara tidak lebih dari 5 tahun dan denda tidak lebih RM20.000.00 untuk para orang yang:

  • a.    Memiliki kurang 100 gram candu masak.

  • b.    Memiliki Alat-alat menghisap narkoba.

  • c.    Memiliki kurang 2 gram heroin atau morfin;

  • d.    Memiliki lain-lain narkoba kurang dari pada Sek 39(A)(1)

Berdasarkan kedua aturan dari Negara Indonesia dengan Negara Malaysia, terdapat norma kabur dimana sebagai pengguna di Indonesia, berdasarkan 116 Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika mengatakan sanksi dengan ancaman hukuman paling lama 15 tahun. Berdasarkan Akta Dadah Berbahaya Seksyen 39 yang berlaku di Malaysia, pengguna yang memiliki kurang 100 gram candu masak dan memiliki Alat-alat menghisap narkoba dipenjara maksimal selama 5 tahun penjara.14

Hal tersebut menimbulkan persepsi yang berbeda, dimana di Indonesia sebagai pemilik barang berbahaya memiliki ancaman sanksi hingga 15 tahun, sedangkan pengguna di Malaysia dikategorikan dengan dua jenis sanksi yaitu 1 sampai 5 tahun dan 5 tahun sampai seumur hidup. Perbedaan tersebut membuat norma kabur yang terjadi apabila terdapat warga Negara Malaysia yang menjadi pengguna narkoba di Indonesia, dimana WNA tersebut dapat dijatuhi hukuman lebih berat dari hukuman yang berlaku di Malaysia. Permasalahan tersebut dapat diselesaikan dengan perundingan antara kedutaan besar Indonesia dan Malaysia perihal hukuman pidana bagi warga Negara asing.

  • III.  PENUTUP

    3.1  KESIMPULAN

Pengaturan yang digunakan untuk memberantas peredaran gelap narkotika di kawasan Asia Tenggaraberdasarkan The

Narcotics Drug And Psychotropic Substance Law For Asean adalah Budidaya,    pengolahan,    pengangkutan,    pendistribusian,

pengiriman,     pemindahan,     terpaksa     menimbulkan

penyalahgunaan, perilaku buruk terhadap obat-obatan narkotika dan zat psikotropika exhabits. 5 tahun penjara minimal, maksimal 10 tahun dan mungkin juga dikenakan denda.

Pengaturan mengenai peredaran narkotika di Asia Tenggara dianggap belum cukup untuk memberantas peredaran gelap narkotika di kawasan Asia Tenggara. Hal tersebut disebabkan terdapat norma kabur dalam penegakan hukum terkait masalah narkotika di Negara ASEAN. Berdasarkan kedua aturan dari Negara Indonesia dengan Negara Malaysia, terdapat norma kabur dimana sebagai pengguna di Indonesia, berdasarkan 116 Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika mengatakan sanksi dengan ancaman hukuman paling lama 15 tahun. Sedangkan berdasarkan Akta Dadah Berbahaya Seksyen 39 yang berlaku di Malaysia, pengguna yang memiliki kurang 100 gram candu masak dan memiliki Alat-alat menghisap narkoba dipenjara maksimal selama 5 tahun penjara.

  • 3.2 . SARAN

Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat dijabarkan saran dari hasil penelitian sebagai berikut:

  • 1.    Hendaknya pihak petinggi ASEAN merumuskan suatu hukum yang bersifat internasional, dimana sanksi hukum beserta prosesnya dapat berlaku setara di seluruh Negara ASEAN.

  • 2.    Pihak kepolisian antar Negara hendaknya lebih kooperatif dalam melakukan proses penegakan hukum yang melibatkan kasus narkotika antar Negara, agar pihak

pengedar narkotika mendapatkan efek jera dan mengurangi kegiatan bisnis narkotikanya.

Daftar Pustaka

Atmasasmita, Romli, 1997, Tindak Pidana Narkotika Transnasional Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia, Cetakan Pertama, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Fajar, Mukti dan Achmad, Yulianto, 2013, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Cetakan Pertama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Kusumaatmadja, Mochtar, 1984, Pengantar Hukum Internasional Bag. I, Cetakan Pertama, Bina Cipta, Bandung.

Mappaseng, Erwin, 2002, Pemberantasan dan Pencegahan Narkoba yang Dilakukan oleh Polri dalam Aspek Hukum dan Pelaksanaannya, Cetakan Pertama, Buana Ilmu, Surakarta.

Press Release Akhir Tahun 2016 – Kerja Nyata Perangi Narkotika Nomor B/PR-90/XII/2016/HUMAS , tanggal 22 Desember 2016.

Penelitian Ilmu Hukum Legal Opinion, 2014, Perdagangan Narkotika dalam Perspektif Hukum Pidana Internasional, Edisi I, Volume 2.

Rifan Takaliuang, 2016, Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Di Indonesia dan Malaysia, Jurnal Hukum Internasional

Southeast Asia Opium Survey 2014, Edisi Pertama, https://www.unodc.org/documents/crop-monitoring/sea/SE-ASIA-opium-poppy-2014-web.pdf

http://jakartaglobe.id/news/local-narcotics-problem-global-solution-asean/

World Drug Report 2016.

World Drug Report 2017

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

15