Penyanderaan (Gijzeling) Kepada Penunggak Pajak Yang Dilakukan Oleh Direktorat Jendral Pajak

OLEH :

Putu Mahanta Pradana Putra*

Dewa Gede Rudy**

Program Kekhususan Hukum Pemerintahan Fakultas Hukum Universitas Udayana

ABSTRAK

Direktorat Jendral Pajak merupakan instansi pemerintah yang memberikan tindakan kepada wajib pajak yang menunggak pajak. Salah satu upaya terakhir dalam penagihan pajak ada]ah penyanderaan atau gijzeling. Penyanderaan atau gijzeling harus dilakukan sesuai atauran yang berlaku. Dalam menyelesaikan karya ilmiah ini, metode yang digunakan adalah metode normatif. Masalah ini akan di kaji melalui peraturan perundang-undangan dan buku-buku.

Kata kunci : Direktorat Jendral Pajak, wajib pajak, gijzeling.

ABSTRACT

Directorate General of Taxation is a government agency that provides action to taxpayers in arrears. One of the last attempts in tax collection is a hostage or gijzeling. Hostage or gijzeling must be done according to the applicable rules. In completing this scientific work, the method used is the normative method. This issue will be reviewed through legislation and books.

Keywords: Directorate General of Taxation, taxpayers, gijzeling.

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1   Latar Belakang

Pembangunan nasional yang berkesinambungan selalu di gerakkan oleh pemerintah, yang merupakan cita-cita bangsa Indonesia.1 Pembangunan yang merata di seluruh pulau yang ada di Indonesia bisa tercapai itu memerlukan sebuah pendanaan yang cukup besar. Oleh karena itu pemerintah menetapkan suatu kebijakan dimana masyarakat di Indonesia harus memberikan sejumlah iuran wajib kepada kas Negara yang dapat dipaksakan yang sering disebut sebagai pajak.2 Secara umum pajak merupakan pungutan dari masyarakat oleh negara berdasarkan undang-undang yang dapat dipaksakan dan terutang oleh wajib pajak dengan tidak mendapat kontra prestasi secara langsung yang hasilnya digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan. Pajak yang selalu dipungut oleh pemerintah disini harus sesuai dengan norma hukum yang berlaku di Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat pada UUD 1945 pada Pasal 23A UUD 1945 menyatakan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dengan undang-undang. Sesuai dengan ketentuan ini maka diperlukan suatu undang-undang untuk mengatur tentang pajak yang diatur pada Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 Tantang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan.

Perkembangan pajak di Indonesia cukup buruk karena banyak masyarakat yang tidak taat membayar pajak, entah karena tidak

memiliki uang atau memang tidak peka terhadap pembangunan yang merata untuk kesejahteraan Bangsa Indonesia dan demi kesejahteraan masyarakat dan dirinya sendiri, mereka seperti menutup mata tidak peduli dengan keadaan itu. Tidak hanya masyarakat menengah ke bawah tetapi manyoritas orang-orang menengah ke atas yang sering kali di kejar oleh Direktorat Jenderal pajak untuk membayar pajak sesuai dengan aturan yang ada. Orang– orang menengah ke atas seperti pengusaha-pengusaha, aktris, ataupun pejabat pemerintah hanya ingin menikmati fasilitas pajak dan tidak pernah menyadari bahwa apakah mereka sudah benar untuk membayar pajak atau tidak.

Upaya untuk menekan suatu kebijakan yang harusnya di taati oleh seluruh masyarakat Indonesia baik orang menengah ke bawah atau menengah ke atas maka Direktorat Jenderal Pajak melakukan upaya terakhir bagi penunggak pajak dengan cara penyanderaan atau sering disebut gijzeling. Penyanderaan atau gijzeling yang dilakukan oleh Direktorat Jendral Pajak kepada wajib pajak yang menunggak dalam jumlah yang besar harus didasari dengan undang-undang yang berlaku sehingga sejalan dengan hukum yang ada. Untuk memuluskan tidakan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak kepada wajib pajak yang menunggak pajak, maka diperlukan suatu dasar hukum yang jelas untuk payung hukum dalam setiap tindakan gijzeling ini karena harus sesuai dengan tiga nilai dasar hukum yang terdiri dari kepastian, kemanfaatan, dan keadilan.3

  • l.2   Rumusan Masalah

Dengan permasalahan yang ada di atas maka terdapat beberapa rumusan masalah yang di angkat yaitu :

  • 1.    Bagaimanakah dasar hukum yang ada di Indonesia terkait penyanderaan atau gijzeling yang di lakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak kepada penunggak pajak ?

  • 2.    Apa saja syarat-syarat dari pelaksanaan gijzeling yang ada di Indonesia ?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Penulisan ini bertujuan untuk menjadikan karya ilmiah ini sebagai bahan bacaan untuk mengetahui bagaimana dasar hukum penyanderaan atau gijzeling yang ada di indonesia dan apa saja sayarat dari gijzeling ini agar bisa dilakukan.

II     Isi Makalah

2.1   Metode

Metode penelitian yang digunakan untuk menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul “Penyanderaan (Gijzeling) Kepada Penunggak Pajak Yang Dilakukan Oleh Direktorat Jendral Pajak” yaitu dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif. Metode ini sering disebut juga dengan penelitian perpustakaan atau studi dokumen karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain.4

  • 2.2    Hasil dan Analisis

    • 2.2.1    Dasar Hukum Yang Ada Di Indonesia Terkait Penyanderaan atau Gijzeling Yang Di Lakukan Oleh Direktorat Jenderal Pajak Kepada Penunggak Pajak

Pajak merupakan pungutan yang harus di bayar oleh masyarakat terutama masyarakat menengah ke atas, tidak tanggung-tanggung pajak yang di bayar oleh kalangan menengah ke atas bisa mencapai miliyaran rupiah sekali membayar pajak. Maka dengan uang yang cukup besar itu membuat Direktorat Jenderal Pajak gencar untuk menagih pajak terutama wajib pajak yang bandel. Segala upaya telah dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk membuat wajib pajak yang menunggak segera melunasi pajaknya tersebut. Salah satunya yaitu upaya paksa dan penyanderaan  (gijzeling).

Penyanderaan bukan dilakukan tanpa alasan melainkan dalam konteks inilah keadilan serta pemerataan dapat dilakukan untuk meningkatkan kepatuhan membayar pajak secara sukarela.5

Penyanderaan atau gijzeling merupakan upaya yang terakhir dari Direktorat Jenderal Pajak untuk membuat wajib pajak membayar pajaknya yang cukup besar. Karena memiliki resiko yang cukup serius dimana bisa melanggar hak asasi manusia maka penyanderaan atau gijzeling memiliki payung hukum untuk melindungi Direktorat Jenderal Pajak dan wajib pajak dalam kasus penunggakan pajak. Dimana perlindungan rakyat sangat penting karena pemerintah sebagai penguasa memiliki kewenangan untuk hukum publik istimewa

yang dengan ketentuan itu bisa menentukan secara sepihak6 maka perlu kepastian hukum dalam penentuan dan tindakan penyanderaan.

Pasal 20 ayat (1) Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 Tantang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan menjelaskan tentang atas jumlah pajak yang masih harus dibayar, yang berdasarkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, yang tidak dibayar oleh Penanggung Pajak sesuai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a) dilaksanakan penagihan pajak dengan Surat Paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Undang-Undang No 19 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa pada Pasal 33 disini secara tegas mengatur mengenai penyanderaan yang berbunyi:

  • 1.    Penyanderaan hanya dapat dilakukan terhadap penanggung pajak yang mempunyai utang pajak sekurang-kurangnya sebesar Rp. 100.000.000,00 (serratus juta rupiah) dan diragukan itikad baiknya dlam melunasi utang pajaknya.

  • 2.    Penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilaksanakan berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan

yang diterbitkan oleh pejabat setelah mendapat izin tertulis dari Menteri atau Gubernur Daerah tingkat I.

  • 3.    Masa penyanderaan paling lama 6 bulan dan dapat diperpanjang untuk selama-lamanya 6 bulan.

  • 4.    Surat Perintah Penyanderaan memuat sekurang-kurangnya: a. Identitas penanggung pajak; b. Alasan penyanderaan; c. Izin penyanderaan; d. Lamanya penyanderaan; dan e. Tempat penyanderaan.

  • 5.    Penyanderaan tidak boleh dilaksanakan dalam hal penanggung pajak sedang beribadah, atau sedang mengikuti sidang resmi, atau sedang mengikuti pemilihan umum.

  • 6.    Besarnya jumlah tang pajak sebagaimana dimaksudpada ayat (1) dan dalam Pasal 29 dapat diubah dengan Peraturan Pemerintah.

Selain dari undang- undang ini penyanderaan juga di atur pada PP No. 137 Tahun 2000 tentang Tempat dan Tata Cara Penyanderaan, Rehabilitasi Nama Baik Penanggung Pajak, dan Pemberian Ganti Rugi Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa. Selanjutnya dikeluarkan suatu Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Kehakiman dan HAM No .M-02.UM.09.01Tahun 2003, No 294 / KMK.03/2003 tentang Tata Cara Penitipan Penanggung Pajak Yang Disandera di Rumah Tahanan Negara Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa.

Selain pada Pasal 33 ini, pernyanderaan juga di ataur lebih lanjut pada pasal selanjutnya dimana pada Pasal 43 Undang-Undang No 19 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa yang

menjelaskan bagaimana penunggak pajak bisa dilepas yang dengan ketentuan sebagai berikut:

  • 1.    Penanggung pajak yang disanderan dilepas: a. Apabila utang pajak dan biaya penagihanya sudah dilunasi, b. Apabila jangka waktu yang ditentukan dalam Surat Perintah Penyanderaan telah terpenuhi, c. Berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hokum tetap, atau d. Berdasarkan pertimbangan tertentu Menteri atau Gubernur Kepala Daerah Tingkat I

  • 2.    Sebelum penanggung pajak dilepas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, huruf c, dan huruf d. Pejabat negara memberitahukan secara tertulis kepada kepala tempat penyanderaan sebagaimana tercantum dalam Surat Perintah Penyanderaan.

  • 3.    Penanggung pajak yang disandera dapat mengajukan gugatan terhadap pelaksanaan penyanderaan hanya kepada pengadilan negeri.

  • 4.    Dalam hal gugatan penanggung pajak sebagaimana dimaksud ayat (3), dikabulkan dan putusan pengadilan mempunyai kekuatan hokum tetap. Penanggung pajak dapat memohon rehabilitasi nama baik dang anti rugi atas masa penyanderaan yang telah dijalaninya.

  • 5.    Besarnya ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) adalah Rp. 100.000.000,00 (serratus juta rupiah) setiap hari.

  • 6.    Perubahan besarnya ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) ditetapkan oleh Menteri.

  • 7.    Penanggung pajak tidak dapat mengajukan gugatan terhadap pelaksanaan penyanderaan setelah penyanderaan berakhir.

Gijzeling dimaksudkan bukan semata-mata untuk menjadi suatu tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh pemerintah kepada penunggak pajak, melainkan suatu upaya dari penegakan hukum untuk menjalankan suatu tugas dari Negara yang berdasarkan aturan-aturan yang jelas sehingga memiliki kekuatan hukum terhadap negara maupun kepada setiap wajib pajak untuk tetap melaksanakan wewenangnya maupun hak dan kewajiban yang diberikan oleh undang-undang kepada masing-masing pihak tersebut.

Keadaan ini menjadikan suatu contoh bagi penunggak pajak untuk mendorong kesadarannya serta kepatuhan wajib pajak.7 Dengan kata lain aturan yang dibuat dalam pemungutan pajak pun tunduk kepada ketentuan hukum pajak yang tentunya berlandaskan norma-norma hukum, prinsip, dan juga asas hukum secara umum yang berlaku. Indonesia merupakan Negara hukum, jadi hukum tidak memiliki wibawa kalau tidak dipaksakan dalam impelementasinya karena setiap kalangan yang berurusan dengan namanya hukum akan mengabaikan hukum begitu saja.

  • 2.2.2 Syarat-Syarat Dari Pelaksanaan Gijzeling Di Indonesia

Setiap substansi hukum pasti memiliki aspek kepastian hukum, dimana hukum dibuat dengan landasan kerangka hukum yang rasional.8 Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk bisa dilaksanakannya tindakan penyanderaan atau gijzeling ada dua.

Pertama adalah adanya syarat kuantitatif dalam pelaksanaan gijzeling yang berarti penunggak pajak dalam hal ini wajib pajak memiliki hutang minimal 100.000.000 rupiah yang meliputi segala jenis pajak dan juga tahun pajak, tetapi penunggak pajak berpenghasilan kecil tidak akan terkena penyanderaan tersebut. Kedua adalah syarat kualitatif dimana untuk pelaksanaan gijzeling melihat bagaimana penunggak pajak apakah memiliki itikat tidak baik atau disa diragukan dalam melunasi pajak yang di tunggaknya. Dalam melihat apakah penunggak pajak memiliki niat tidak baik atau itikat tidak baik, Direktorat Jenderal Pajak dengan dikeluarkannya suatu Keputusan Dirjen Pajak No. KEP- 218/PJ/2003 mengenai petunjuk pelaksanaan penyanderaan dan juga pemberian rehabilitasi nama baik penunggak pajak yang disandera, sudah diuraikan mengenai ciri-ciri ataupun petunjuk dari penunggak pajak yang diragukan itida baiknya untuk melunasi utang pajaknya antara lain :

  • 1.    Penunggak pajak tidak merespon himbauan atau surat paksa untuk melunasi utang pajaknya

  • 2.    Penunggak pajak tidak menjelaskan atau tidak mau melunasi utang pajaknya baik dengan sekaligus maupun dengan angsuran.

  • 3.    Penunggak pajak tidak mau menyerahkan seluruh harta yang ia miliki untuk melunasi utang pajaknya.

  • 4.    Penunggak pajak mencoba lari dari Indonesia untuk selama-lamanya atau sudah berniat untuk itu.

  • 5.    Penunggak pajak mencoba untuk memindah tangankan barang yang ia miliki dalam upaya menghentikan ataupun mengecilkan kegiatan perusahaan ataupun pekerjaan yang sedang dilakukannya di Indonesia.

  • 6.    Penunggak pajak mencoba untuk membubarkan badan usahanya ataupun menggabungkan usahanya, memekarkan usahanya, memindah tangankan perusahaan yang sedang ia miliki ataupun dikuasai atau melakukan perubahan bentuk lainnya untuk menghindari pajak.

III   PENUTUP

  • 3.1   Simpulan

  • 1.    Upaya yang dapat dilakukan untuk menekan wajib pajak yang menunggak pajak adalah gijzeling atau penyanderaan. Gijzeling atau penyanderaan dapat dilakukan agar memberi efek jera terhadap para penunggak pajak. Di Indonesia telah terdapat aturan-aturan perundang-undangan yang mengatur tentang gijzeling yang dapat dilihat pada Undang-Undang No 19 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan UU No 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa yang di muat pada pasal 33 sampai 36 dalam undang- undang tersebut. Selain itu pengaturan menganai penyanderaan ini juga bisa dilihat pada PP No. 137 Tahun 2000 tentang Tempat dan Tata Cara Penyanderaan, Rehabilitasi Nama Baik Penanggung Pajak, dan Pemberian Ganti Rugi Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa. Dan selanjutnya dikeluarkan suatu Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Kehakiman dan HAM No .M-02.UM.09.01Tahun 2003, No 294 / KMK.03/2003 tentang Tata Cara Penitipan Penanggung Pajak Yang Disandera di Rumah Tahanan Negara Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa. Penagihan pajak dengan surat paksa karena kurangnya penyuluhan yang diberikan oleh

Direktorat Jendral Pajak dimana wajib pajak harus memiliki kesadaran untuk membayar pajak secara teratur.

  • 2.    Syarat pelaksaan gijzeling ini memiliki dua syarat utama yaitu, syarat kuantitatif dalam pelaksanaan gijzeling yang berarti penunggak pajak dalam hal ini wajib pajak memiliki hutang minimal 100.000.000 rupiah yang meliputi segala jenis pajak dan juga tahun pajak serta syarat kualitatif dimana untuk pelaksanaan gijzeling melihat bagaimana penunggak pajak apakah memiliki itikat tidak baik atau bisa diragukan dalam melunasi pajak yang di tunggaknya. Jika kedua hal tersebut telah terpenuhi maka gijzeling atau penyanderaan terhadap penunggak pajak dapat dilaksanakan. Penyanderaan atau gijzeling ini terjadi karena wajib pajak merasa fasilitas yang diberikan oleh negara masih kurang sehingga wajib pajak enggan untuk membayar pajak kepada negara.

  • 3.2    Saran

  • 1.    Untuk menjadikan setiap masyarakat Indonesia menjadi wajib pajak yang baik di perlukan suatu kesadaran dari setiap masyarakat Indonesia maka dari pada itu bukan hanya dengan cara penyanderaan saja cara yang harus dilakukan tetapi juga harus melakukan penyuluhan serta pengarahan terhadap pentingnya pajak yang harus di bayar untuk kepentingan bersama.

  • 2.    Dalam hal ini Direktorat Jendral Pajak harus bisa lebih memupuk rasa semnagat dan nasionalisme untuk membangun negara dengan memberikan fasilitas yang baik supaya wajib

pajak merasa uang yang di berikan kepada negara tidak sia-sia serta bisa dinikmati secara merata.

DAFTAR BACAAN

Buku

Atep Adya Barata, 2003, Meminimalisasi Dan Menghindari Sengket Pajak Dan Bea Cukai, PT Elex Media Komputindo, Jakarta

Haula Rosdianan dan Edi Slamet Irianto, 2012, Pengantar Ilmu Pajak, Kebijakan, Dan Implementasi Di Indonesia,  Rajagrafindo

Persada, Jakarta

Khudzaifah Dimyati, 2004, Teorisasi Hukum, Universitas muhammadiyah, Surakarta

Muhamamad Sukri Subki,SH,MM, 2007, Menyelesaikan Sengketa Melalui Pengadilan Pajak, PT Elex Media Komputindo, Jakarta

Philipus M. Hadjon, 2002, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press Yogyakarta

Sartjipto Rahardjo, 1991, Ilmu Hukum, Citra Asitya Bakti

Peraturan Perundang-undangan

Undang –Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 Tantang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan, Tambahan Lembar Negara Republik Indoneisa Tahun 2007 Nomor 85

Undang-Undang No 19 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan UU No 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 129

Peraturan Pemerintah Nomor 137 Tahun 2000 Tentang Tempat dan Tata Car Penyanderaan, Rehabilitasi Nama Baik Penanggung Pajak, dan Pemberian Ganti Rugi Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa

Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Mentari Kehakiman dan HAM No.M-02.UM.09.01Tahun 2003, No.294/KMK.03/2003

Tentang Tata Cara Penitipan Penanggung Pajak di Rumah Tahanan Negara Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa

Jurnal Ilmiah :

I Dewa Agung Yuda Tri Adnyana, Efektivitas Peraturan Aerah Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Pajak Hotel Di Kabupaten Bangle, URL : http//:www.ojs.unud.ac.id Diakses Tanggal 1 April 2018.

14