KEBIJAKAN AMERIKA SERIKAT TENTANG PENANGGUHAN SELURUH PENERIMAAN PENGUNGSI DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL
on
KEBIJAKAN AMERIKA SERIKAT TENTANG PENANGGUHAN SELURUH PENERIMAAN PENGUNGSI DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL
Oleh:
Rizky Amalia Pratiwi
I Ketut Mertha
Program Kekhususan Hukum Internasional dan Hukum Bisnis Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana
ABSTRACT
This article discusses United States policy concerning suspension of admission all refugees who entering United States according to International Law. It is a normative legal research that uses the statutory, analytical-conceptual, and the fact approaches. There are two viewpoints in analyzing United States policy, first under The 1951 Convention relating to the Status of Refugees and the second by using the principle of state sovereignty which is territorial jurisdiction.
Keywords : refugees, jurisdiction, state sovereignty, policy, United States
ABSTRAK
Tulisan ini membahas tentang kebijakan Amerika Serikat tentang penangguhan seluruh penerimaan pengungsi yang ditinjau dari Hukum Internasional. Karya Ilmiah ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan analisis konsep hukum dan pendekatan fakta. Ada dua sudut pandang dalam menganalisis kebijakan Amerika Serikat, pertama dengan berdasarkan Konvensi tentang Status Pengungsi 1951 dan kedua dengan menggunakan prinsip kedaulatan negara dalam hal ini yurisdiksi teritorial.
Kata Kunci : pengungsi, yurisdiksi, kedaulatan negara, kebijakan, Amerika Serikat
PENDAHULUAN
Pada tanggal 27 Januari 2017 Amerika Serikat secara resmi mengeluarkan
Instruksi Presiden yang salah satunya berisi tentang penangguhan seluruh penerimaan pengungsi dari seluruh negara yang akan dilaksanakan selama 120 hari.1 Presiden Amerika Serikat Donald Trump menyatakan bahwa program tersebut dibutuhkan untuk memberikan waktu terhadap lembaga pemerintah untuk mengembangkan sistem pemeriksaan yang ketat.2 Hal ini juga demi memastikan bahwa visa tidak akan diterbitkan terhadap individu yang mengancam keamanan nasional.3
Hukum internasional memberikan perlindungan kepada pengungsi melalui The 1951 Convention relating to the Status of Refugees (selanjutnya disebut Konvensi tentang Status Pengungsi 1951) yang mulai berlaku pada 22 April 1954. Sesungguhnya Amerika Serikat telah terikat dengan konvensi tersebut (Pasal 2 sampai dengan Pasal 34) sejak meratifikasi The 1967 Protocol relating to the Status of Refugees pada tanggal 1 November 1968.4 Dengan demikian, Amerika Serikat memiliki kewajiban melakukan upaya-upaya yang diperlukan guna menjamin dan memastikan bahwa hak-hak dasar seseorang yang dalam kapasitas pengungsi tetap dilindungi dan dihormati termasuk salah satunya adalah hak untuk tidak diusir atau dikembalikan dengan cara apa pun ke perbatasan wilayah-wilayah dimana hidup dan kebebasannya akan terancam.
Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis kebijakan Amerika Serikat tentang penangguhan seluruh penerimaan pengungsi yang ditinjau dari Konvensi tentang Status Pengungsi 1951 dan prinsip kedaulatan negara dalam hal ini yurisdiksi teritorial.
Tulisan ini merupakan penelitian hukum normatif yang dilakukan dengan cara mengkaji pokok permasalahan yang dibahas kemudian mengkaitkannya dengan peraturan perundang-undangan dan pendapat para sarjana dari berbagai sumber buku yang terkait dengan permasalahan.5 Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan khususnya berkaitan dengan instrumen hukum internasional yang relevan, pendekatan analisis konsep hukum serta pendekatan fakta.
-
2.2. Hasil dan Pembahasan
-
2.2.1 Tanggung Jawab Amerika Serikat sebagai Negara Peratifikasi Konvensi tentang Status Pengungsi 1951
-
Penerimaan pengungsi oleh suatu negara pada dasarnya ditujukan sebagai sifat damai dan kemanusiaan yang sejalan dengan isu penegakan Hak Asasi Manusia (HAM).
Dengan adanya suatu penerimaan pengungsi oleh negara penerima (host countries), berarti menunjukkan sikap persahabatan sebagai bagian dari masyarakat internasional dan mencegah agar masalah pengungsi tidak menjadi sebab ketegangan antara negara-negara.6
Dalam Konvensi tentang Status Pengungsi 1951 terdapat prinsip penting dalam hukum pengungsi internasional yakni prinsip non-refoulement yang diatur dalam Pasal 33. Prinsip tersebut menentukan bahwa negara peratifikasi konvensi tidak akan mengusir atau mengembalikan pengungsi dengan cara apa pun ke perbatasan wilayah-wilayah dimana hidup dan kebebasannya akan terancam. Prinsip non-refoulement sangat mendasar sehingga tidak diperbolehkan adanya pengecualian (reservasi) atau pengurangan atas prinsip tersebut. Prinsip tersebut menggariskan bahwa tidak ada seorang pun yang akan mengusir atau mengembalikan seorang pengungsi diluar keinginannya dengan cara apapun ke wilayah di mana ia takut kehidupan atau kebebasannya terancam.
Amerika Serikat sebagai negara peratifikasi semestinya memperhatikan prinsip non-refoulement sebelum mengeluarkan kebijakan penangguhan pengungsi. Meskipun terdapat pengecualian dari prinsip non-refoulement namun hal tersebut dijabarkan dengan sempit sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (2). Pengecualian tersebut mempersyaratkan bahwa pengungsi yang dimaksud telah terbukti merupakan ancaman yang serius terhadap keamanan negara penerima (host countries) atau telah terdapat putusan hakim yang bersifat final terhadap kejahatan berat yang yang dilakukannya.
-
2.2.2 Kebijakan Amerika Serikat tentang Penangguhan Seluruh Penerimaan
Pengungsi ditinjau dari Yurisdiksi Teritorial
Yurisdiksi adalah kekuasaan atau kompetensi hukum negara terhadap orang, benda atau peristiwa (hukum) yang merupakan refleksi dari prinsip dasar kedaulatan negara, kesamaan derajat negara dan prinsip tidak campur tangan. Yurisdiksi juga merupakan suatu bentuk kedaulatan yang vital dan sentral yang dapat mengubah, menciptakan atau mengakhiri suatu hubungan atau kewajiban hukum.7 Dalam kaitannya dengan prinsip dasar kedaulatan negara, suatu negara yang berdaulat menjalankan
yurisdiksi/kewenangannnya dalam wilayah negara itu. Berdasarkan kedaulatannya itu, maka dapat diturunkan hak, kekuasaan, atau kewenangan negara untuk mengatur masalah intern dan ekstern.8 Dengan kata lain dari kedaulatannya itulah diturunkan atau lahir yurisdiksi negara.9
Amerika Serikat dalam hal mengeluarkan kebijakan tentang pengungsi memang memiliki yurisdiksi terhadap persoalan tersebut terlebih lagi kebijakan tersebut ditujukan demi keamanan nasional. Negara ini juga memiliki yurisdiksi penuh terhadap seluruh orang yang memasuki wilayah kekuasaannya. Jika seorang pengungsi dalam keadaan seperti apapun yang keluar dari negara asalnya yang sedang berkonflik kemudian masuk ke dalam negara lain dalam hal ini Amerika Serikat, maka sudah sepatutnya dia tunduk dan patuh terhadap hukum yang ada. Kewajiban untuk tunduk dan patuh terhadap hukum yang ada pada negara penerima (host countries) didasarkan pada tertib hukum internasional yang dilandasi oleh prinsip kedaulatan negara.
Kebijakan yang diambil Amerika Serikat jelas menimbulkan suatu pembatasan karena kebijakan tersebut dilakukan untuk menghentikan penerimaan program pengungsi dari seluruh negara selama 120 hari. Jika dilihat dari prinsip kedaulatan negara yang merupakan dasar dari yurisdiksi, sesungguhnya suatu pelaksanaan yurisdiksi memang dapat menimbulkan pembatasan praktis. Mengutip pendapat Hakim Lord Macmillan, bahwa tidak ada suatu negara pun berusaha untuk melaksanakan suatu yurisdiksi terhadap persoalan, orang atau benda dimana negara itu sama sekali tidak bersangkut paut, karena pada umumnya orang atau benda dalam wilayah suatu negara akan tunduk pada kedaulatan negara itu, maka dasar yurisdiksi teritorial dianggap merupakan kaidah yang biasa berlaku.10
Kebijakan yang diambil Amerika Serikat berkaitan dengan penangguhan penerimaan pengungsi dapat ditinjau dari dua sudut pandang. Pertama, dilihat dari Konvensi tentang Status Pengungsi 1951 yang didalamnya terdapat norma dasar yaitu
prinsip non-refoulement. Prinsip tersebut telah menjadi suatu dasar bahwa pengungsi tidak boleh diusir atau dikembalikan ke perbatasan wilayah-wilayah yang dapat mengancam jiwa dan kebebasannya. Kedua, berdasarkan Prinsip Kedaulatan Negara Amerika Serikat jelas memiliki yurisdiksi terhadap peristiwa, benda, atau orang yang berada dalam wilayah teritorialnya. Namun, perlu dipahami ketika menjadi negara peratifikasi dari suatu konvensi tertentu, berarti negara telah sepakat memberikan sebagian kedaulatannya kepada isi dari konvensi serta memiliki kewajiban untuk tunduk terhadap segala ketentuan yang berlaku.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Adolf, Huala, 1991, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, Rajawali Pers, Jakarta, dikutip dari Shaw, International Law, 1986, Butterworths, London.
Parthiana, I Wayan, 1990, Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamuji, 1990, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, CV. Rajawali, Jakarta.
Starke, J. G., 2012, Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kesepuluh, terjemahan Bambang Iriana Djajaatmadja, Sinar Grafika, Jakarta.
JURNAL ILMIAH
Fitzpatrick, Joan, 1997, “The International Dimension of U.S. Refugee Law” dalam Berkeley Journal of International Law, Volume 15, Issue 1, Article 1, Berkeley Law Scholarship Repository.
ARTIKEL INTERNET
Glori K. Wadrianto, 2017, “Simak, Hal-Hal Penting dari Kebijakan Trump Soal Imigran”, Kompas.com, http://internasional.kompas.com/read/2017/01/30/05192461/simak.hal-hal.penting.dari.kebijakan.trump.soal.imigran. diakses pada 8 Februari 2017
INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL
The 1951 Convention relating to the Status of Refugees
The 1967 Protocol relating to the Status of Refugees
5
Discussion and feedback