IMPLEMENTASI KONVENSI ILO NOMOR 182 TAHUN 1999 DALAM MENANGGULANGI PERMASALAHAN PEKERJA ANAK KORBAN PERDAGANGAN MANUSIA DI INDONESIA
on
IMPLEMENTASI KONVENSI ILO NOMOR 182 TAHUN 1999 DALAM MENANGGULANGI PERMASALAHAN PEKERJA ANAK KORBAN PERDAGANGAN MANUSIA DI INDONESIA
Oleh
Darious Mahendra N.∗
Putu Tuni Cakabawa Landra∗∗ I Gede Pasek Eka Wisanjaya∗∗ Program Kekhususan Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Udayana
Abstract
Human trafficking on children lately has emerged as major issue related to regional as well as global and become a Transnational crime. In human trafficking, women and children are the Most victimized in very risky in the areas of health, whether physical or mental. Victims of this crime come mostly from developing countries. ILO (International Labour Organisation) which is a United Nations Organization gives special attention to employees ' children are victims of human trafficking with ILO Convention 182 of 1999. So members of the company have a basis of international law to participate and to protect workers ' children to cope with victims of human trafficking. Indonesia ratifies ILO Member States as this Convention by issuing law No. 1 of 2000. In terms of protecting children from the impact of human trafficking and exploitation of children, the government of the Republic of Indonesia provides legal protection by issuing the Act Number 21 of 2007 on The Eradication of Behaviour Criminal Trafficking and Act Number 35 of 2014 on changes in Act Number 23 of 2002 on child protection.
Keywords : Human Trafficking, Legal Protection, Child Workers, Exploitation.
Abstrak
Kejahatan perdagangan manusia terhadap anak-anak akhir-akhir ini muncul sebagai isu besar yang menarik perhatian regional serta global dan sudah menjadi suatu kejahatan transnasional. Dalam perdagangan manusia, perempuan dan anak-anak merupakan yang paling banyak menjadi korban pada posisi yang sangat beresiko dalam bidang kesehatan, baik fisik maupun mental. Korban kejahatan ini sebagian besar berasal dari negara-negara berkembang. ILO (International Labour Organization) yang merupakan organisasi PBB memberikan perhatian khusus untuk pekerja anak korban perdagangan manusia dengan mengeluarkan Konvensi ILO Nomor 182 Tahun 1999. Sehingga negara-negara anggota memiliki dasar
∗ Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana, [email protected]
∗∗ Dosen Bagian Hukum Internasional Universitas Udayana,
∗∗ Dosen Bagian Hukum Internasional Universitas Udayana,
hukum internasional untuk turut serta menanggulangi dan melindungi pekerja anak korban perdagangan manusia. Indonesia sebagai negara anggota ILO meratifikasi konvensi ini dengan mengeluarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000. Dalam hal melindungi anak-anak dari kejahatan perdagangan manusia dan eksploitasi anak, pemerintah Indonesia mengatur perlindungan hukum tersebut dengan mengeluarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Kata Kunci : Perdagangan Manusia, Perlindungan Hukum, Pekerja Anak, Eksploitasi
Hukum internasional adalah seperangkat hukum yang sebagian besar terdiri dari prinsip-prinsip dan kaidah perilaku yang mengikat negara-negara dalam hubungannya satu sama lain dan juga mengatur fungsi organisasi-organisasi internasional, hubungannya satu sama lain, dan hubungan organisasi internasional dengan negara dan individu serta mengatur hak dan kewajiban individu dan entitas non-negara yang menjadi kepentingan masyarakat internasional.1
Tindak Pidana Perdagangan Orang (Trafficking) akhir-akhir ini menjadi salah satu tindak kejahatan yang mulai mendapat perhatian khusus baik dalam ranah regional maupun global. Menurut Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, especially Women and Children, Supplementing the United Nations Convention Against Transnational Organized Crime yang dibuat oleh PBB, pengertian trafficking adalah kegiatan mencari, mengirim, memindahkan, menampung atau menerima tenaga kerja dengan ancaman, kekerasan atau bentuk-bentuk
pemaksaan lainnya dengan cara menipu, memperdaya korban, penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang atau memanfaatkan ketidaktahuan, keingintahuan, kepolosan, ketidakberdayaan dan tidak adanya perlindungan terhadap korban atau dengan memberikan izin atau menerima pembayaran atau imbalan untuk mendapatkan izin atau persetujuan orang tua/wali atau orang lain yang memiliki wewenang atas diri korban dengan tujuan untuk mengisap atau memeras tenaga (mengeksploitas) korban.
Adapun beberapa bentuk trafficking terhadap anak-anak yang dilakukan oleh sindikat perdagangan manusia, antara lain: kerja paksa, eksploitasi seksual, pekerja rumah tangga, buruh anak/pekerja anak, prostitusi hingga penjualan organ-organ tubuh dari para korban.2
Keterbatasan ekonomi serta kurangnya pendidikan menjadi faktor utama mudahnya para korban terjerat tipu daya sindikat perdagangan manusia. Sedangkan dalam dunia kejahatan trafficking, kejahatan ini merupakan bisnis yang sangat menguntungkan, didukung juga dengan banyaknya permintaan dari orang-orang yang menginginkan memiliki pekerja yang murah dan dapat diperlakukan sesuai apa yang mereka inginkan.
ILO (International Labour Organization) yang merupakan organisasi buruh di bawah PBB memberikan perhatian khusus perhatian khusus untuk pekerja anak-anak korban trafficking dengan membuat Konvensi Nomor 182 Tahun 1999 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak. Dalam rangka turut serta dalam melindungi anak-anak menjadi korban trafficking, Indonesia yang merupakan anggota PBB meratifikasi konvensi ini dengan
mengeluarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 182.
Untuk mencegah agar isi dan uraian tidak menyimpang dari pokok-pokok permasalahan, maka perlu diberikan batasan-batasan mengenai ruang lingkup masalah yang akan dibahas.3
Berdasarkan latar belakang tersebut dapat ditemukan
permasalahan yaitu:
-
1. Bagaimanakah perlindungan hukum nasional terhadap
anak korban trafficking?
-
2. Bagaimana efektifitas implementasi konvensi ILO Nomor 182 tahun 1999 terhadap perlindungan pekerja anak dibawah umur korban trafficking?
Tujuannya adalah untuk memahami perlindungan anak korban perdagangan manusia di Indonesia berdasarkan Konvensi ILO Nomor 182 Tahun 1999 dan efektifitas implementasinya, serta memberikan pengetahuan kepada masyarakat mengenai pentingnya perlindungan anak dibawah umur.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepkan
sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas.4 Oleh karena itu, sumber data dari penelitian normatif hanya data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan data tersier.
-
2.2 HASIL DAN PEMBAHASAN
Menurut pasal 1 ayat (1) Undang-undang Kerja Tahun 1948, anak ialah orang laki-laki maupun perempuan yang berumur 14 (empat belas) tahun kebawah dan orang muda ialah orang laki-laki maupun perempuan yang berumur diatas 14 (empat belas) tahun tetapi masih dibawah 18 (delapan belas) tahun.5 Setelah menyetujui Konvensi ILO nomor 182, dalam rangka melindungi anak-anak menjadi korban trafficking, pemerintah Indonesia mengatur hal tersebut dalam beberapa Undang-undang. Untuk menangulangi anak-anak korban trafficking, pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pemerintah Indonesia akan memberikan sanksi terhadap orang-orang yang membiarkan anak dalam situasi darurat, dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman untuk melakukan prbuatan cabul, memperdagangkan, menjual atau menculik anak untuk diri sendiri atau orang lain, merekrut anak untuk kepentingan militer, eksploitasi ekonomi dan membiarkan serta melibatkan anak dalam penyalahgunaan
produksi maupun distribusi narkotika dan/atau psikotropika, alkohol dan zat adiktif lainnya.
Seiring dengan bertambahnya kebutuhan perlindungan anak, pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002.
Kemudian, Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, undang-undang ini berisi tentang tugas pemerintah Indonesia untuk menindak setiap orang yang melakukan tindakan yang menyebabkan anak tereksploitasi, mengupayakan perlindungan bagi anak korban perdagangan orang baik WNI yang berada di dalam ataupun diluar negeri serta WNA yang berada di Indonesia,melaksanakan kerjasama baik di dalam maupun luar negeri untuk mencegah dan memberantas trafficking terhadap anak serta memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat yang berperan serta dalam memberikan informasi tentang adanya tindak pidana trafficking.
Pada tahun 2013, terdapat kasus eksploitasi anak yang terjadi di Jakarta Barat dengan terdakwa Tini binti Atim dengan korban sebanyak lima orang yaitu Wantini alias Tini, Alvia Feni Rahayu binti Siman, Sentia Dewi alias Tia, Efa Yulianti binti Siman dan Saminen alias Sami. Para korban merupakan anak-anak dibawah umur, mereka ditugaskan untuk memijat apabila ada pasien atau tamu, namun para korban juga diharuskan untuk melayani tamu apabila ada tamu yang meminta pelayanan seksual. Mereka dipekerjakan di Panti Pijat Lokasari Sauna & Spa. Terdakwa mempekerjakan anak-anak di bawah umur dengan menggunakan identitas palsu dan ditempatkan di tempat penampungan. Para korban menerima bayaran tidak sesuai dengan tarif yang diberikan terdakwa kepada para tamu.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut Mahkamah Agung Republik Indonesia menyatakan bahwa terdakwa terbukti secara sah mengeksploitasi orang-orang tersebut di wilayah Negara Republik Indonesia, melanggar Pasal 2 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang atau melanggar Pasal 88 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak , oleh karena itu sudah seharusnya terdakwa mendapat hukuman penjara atau pemidanaan.
Mahkamah Agung Republik Indonesia menyatakan Terdakwa Tini binti Atim terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana “MENGEKSPLOITASI EKONOMI ATAU SEKSUAL ANAK DENGAN MAKSUD UNTUK MENGUNTUNGKAN DIRI SENDIRI ATAU ORANG LAIN”; Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun dan denda sebesar Rp. 60.000.000 (enam puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka kepada terdakwa dikenakan pidana pengganti denda berupa pidana kurungan selama 1 (satu) bulan; Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa sebelum putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap, dikurangkan seluruhnya dari pidana penjara yang dijatuhkan; Membebankan terdakwa untuk membayar biaya perkara pada tingkat kasasi ini sebesar Rp. 2.500 (dua ribu lima ratus rupiah). dengan putusan Nomor 2401 K/Pid.Sus/2014.6
Dapat disimpulkan bahwa pemerintah Republik Indonesia berperan serta dalam menanggulangi permasalahan pekerja anak
korban perdagangan manusia sebagaimana diatur dalam Konvensi ILO Nomor 182 Tahun 1999 melalui Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007.
-
2.2.2 Implementasi Konvensi ILO Nomor 182 Tahun 1999 Terhadap Perlindungan Anak Korban Perdagangan Manusia
Berdirinya organisasi internasional pada hakikatnya didorong oleh keinginan untuk meningkatkan dan melembagakan kerja sama internasional secara permanen dalam rangka mencapai tujuan bersama. Pelembagaan kerja sama internasional dengan mendirikan organisasi internasional dalam beberapa hal memang lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan kerja sama internasional secara multilateral maupun bilateral saja.7
Organisasi internasional adalah subjek buatan, subjek hukum yang diciptakan oleh negara-negara yang mendirikannya. Organisasi internasional melaksanakan kehendak negara-negara anggota yang dituangkan dalam suatu perjanjian internasional. Oleh karena itu, organisasi internasional melalui bermacam-macam ikatan, sangat dekat dengan negara-negara yang mendirikannya dan dalam banyak hal sangat bergantung pada negara-negara tersebut.8
Sejak awal berdirinya ILO, telah disadari pentingnya masalah penanggulangan buruh anak yang merupakan salah satu masalah perburuhan yang harus ditangani oleh ILO dalam rangka menciptakan perdamaian dunia yang bersifat universal dan abadi.
Pada tahun 1992 ILO membuat program penghapusan buruh anak yang disebut dengan International Programme on The Elimination of Child Labour (IPEC) yang ditujukan untuk membantu negara dalam hal penanganan masalah buruh anak secara bertahap serta bergerak secara global untuk melawan perburuhan anak.9 Sasaran IPEC adalah menjalankan kegiatan pada berbagai tingkatan, mulai dari program individual di tingkat masyarakat, program nasional sampai program di tingkat internasional. Prioritas sasaran program IPEC adalah anak yang dipekerjakan secara paksa, anak yang bekerja dalam situasi yang membahayakan dan anak yang berusia dibawah 12 tahun. Dengan fokus utama pada anak perempuan, karena lebih beresiko terhadap eksploitasi dan kekerasan.
ILO melalui IPEC menerapkan program-program untuk menghapuskan perdagangan anak yang telah dilakukan di beberapa negara sebelumnya. Program-program yang telah diterapkan, antara lain:
-
a. Kampanye penyadaran;
-
b. Pelatihan penegak hukum;
-
c. Pencegahan multidisipliner dan program reintegrasi;
-
d. Promosi mekanisme antar negara dalam menghadapi
masalah perdagangan manusia.
Kemiskinan, kurangnya lapangan pekerjaan, pengaruh sosial budaya dan lemahnya penegakan hukum kepada para pelaku perdagangan manusia menyebabkan masih tingginya jumlah perdagangan anak dan eksploitasi terhadap anak.
Dalam konvensi ILO Nomor 182 Tahun 1999 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak, bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak mencakup dalam segala bentuk perbudakan atau praktik-praktik sejenis perbudakan, pemanfaatan anak-anak untuk kegiatan pornografi dan pornoaksi, pemanfaatan anak-anak untuk kegiatan produksi dan distribusi obat-obatan terlarang, serta segala bentuk pekerjaan yang sifat atau lingkungannya dapat menggangu kesehatan, keselamatan atau moral anak.
Pokok-pokok isi konvensi ini menyebutkan semua anak (berusia dibawah 18 tahun) harus dilindungi dari bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak dan mewajibkan negara-negara anggota mengambil langkah untuk penghapusan bentuk-bentuk terburuk kerja anak dan kerja paksa sebagaimana tersebut diatas.
Agar suatu hukum internasional dapat ditransformasikan ke dalam ranah hukum nasional, maka suatu negara perlu meratifikasi hukum internasional tersebut, pengertian ratifikasi menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah pengesahan suatu dokumen negara oleh parlemen, khususnya pengesahan undang-undang, perjanjian antarnegara, dan persetujuan hukum internasional Dalam hukum internasional.
Negara-negara yang meratifikasi konvensi ini diwajibkan untuk mengambil tindakan segera dan efektif untuk menjamin pelarangan dan penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk terhadap anak sebagai hal yang mendesak, mengatur jenis-jenis pekerjaan yang termasuk kriteria pekerjaan terburuk untuk anak serta wajib mengambil tindakan untuk memastikan agar ketentuan-ketentuan dalam konvensi ini dapat diterapkan secara efektif.
Fakta menunjukan bahwa perdagangan anak-anak telah berlangsung cukup lama, ruang lingkup perdagangan anak-anak tidak hanya terjadi secara bilateral, melainkan sudah mencapai multilateral dan kuantitas perdagangan anak saat ini semakin meningkat.
Menurut laporan situasi Anak dan perempuan (Unicef 2000), anak dibawah usia 18 tahun yang tereksploitasi secara seksual dilaporkan mencapai 40.000-70.000 anak. Sementara itu, menurut Pusat Data dan Informasi CNSP Center, pada tahun 2000, terdapat sekitar 75.106 tempat pekerja seks komersial yang terselubung ataupun yang "terdaftar". Sementara itu, menurut M. Farid (2000), memperkirakan 30% dari penghuni rumah bordil di Indonesia adalah perempuan berusia 18 tahun ke bawah atau setara dengan 200.000-300.000 anak-anak. Di Malaysia dilaporkan terdapat 6.750 pekerja seks komersial (PSK). 62,7% dari Jumlah PSK tersebut berasal dari Indonesia atau sekitar 4.200 orang dan 40% dari jumlah tersebut adalah anak-anak berusia antara 14-17 tahun.10
Menurut data yang ditayangkan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) kasus perlindungan anak di bidang trafficking dan eksploitasi pada tahun 2011 sampai dengan tahun 2016 terdapat 1.306 kasus, dengan rincian 160 kasus pada tahun 2011, 173 kasus pada tahun 2012, 184 kasus pada tahun 2013, 263 kasus pada tahun 2014, 345 kasus pada tahun 2015 dan 181 kasus pada tahun 2016. Apabila dilihat dari data kasus diatas, kasus yang terjadi dari tahun 2011-2015 terus mengalami
peningkatan, dan pada tahun 2016 mulai mengalami penurunan jumlah kasus.11
Data lain menyebutkan terdapat 72 kasus perdagangan anak ke luar negeri dengan tujuan untuk mengeksploitasi korban, para korban dijanjikan bayaran yang sangat besar oleh para pelaku perdagangan manusia. Sepanjang tahun 2011-2013 negara yang menjadi tujuan trafficking adalah Malaysia dengan jumlah 41 kasus, Singapura dengan jumlah 6 kasus, Saudi Arabia dengan jumlah 6 kasus, Sudan, Abu Dabhi, Yordania, Kuwait dan Qatar dengan jumlah 15 kasus, Korsel dan Jepang dengan jumlah 2 kasus dan Trinidad dengan jumlah 2 kasus.12
Dari data mengenai kasus perdagangan anak dan eksploitasi anak di atas, dapat disimpulkan bahwa implementasi Konvensi ILO Nomor 182 Tahun 1999 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak belum terlaksana secara efektif di Indonesia, karena masih banyaknya perdagangan anak lintas batas negara dengan tujuan eksploitasi.
Perdagangan manusia merupakan isu Hak Asasi Manusia dalam masyarakat internasional. Isu perdagangan manusia tersebut berkembang dengan fokus permasalahan prostitusi yang melibatkan perempuan dan anak-anak. Seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan jaman serta permintaan, perdagangan manusia tidak hanya berpusat pada perempuan dan anak-anak dalam bidang prostitusi, tetapi juga digunakan dalam bentuk praktek-praktek kerja paksa, perbudakan dan penjualan/pemindahan organ-organ tubuh.
Indonesia berperan serta dalam memberantas permasalahan pekerja anak korban perdagangan manusia di dunia. Penjatuhan hukuman terhadap pelaku perdagangan manusia dan eksploitasi pekerja anak di Indonesia dilaksanakan apabila pelaku dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang atau Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Berdasarkan data-data jumlah kasus eksploitasi anak yang ditayangkan oleh KPAI, dapat disimpulkan bahwa implementasi Konvensi ILO Nomor 182 Tahun 1999 belum diterapkan secara efektif, karena masih banyaknya kasus-kasus perdagangan anak baik di dalam negeri maupun perdagangan anak ke luar negeri.
Pemerintah Indonesia harus lebih waspada dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan sindikat perdagangan anak. Adakan sosialisasi tentang perdagangan anak kepada
masyarakat agar masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan perdagangan anak yang dapat terjadi di Indonesia. Jatuhkan hukuman seberat-beratnya bagi para pelaku perdagangan anak agar mendapatkan efek jera, agar tidak lagi terjadi perdagangan anak di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Amirudin dan H. Zainal Asikin, 2010, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo, Jakarta.
Halim, A. Ridwan, 1985, Hukum Perburuhan Dalam Tanya Jawab, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Maulana, Boer, 2001, Hukum Internasional, Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Alumni, Bandung.
Phartiana, I Wayan, 2003, Pengantar Hukum Internasional, Cetakan Kedua, Mandar Maju, Bandung.
Starke, J.G., Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kesepuluh, Buku 1, Judul asli “Introduction to International Law”, Sinar Grafika, Jakarta.
Sunggono, Bambang, 2007, Metodelogi Penelitian Hukum, Cetakan Ketujuh, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
SKRIPSI/TESIS
Bariah, Chairul, 2005, Aturan-aturan Hukum Trafficking (Perdagangan Perempuan dan Anak), USU.Press., Medan.
ARTIKEL/JURNAL
Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2014, Putusan Nomor 2401 K/Pid.Sus/2014, Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta.
International Labour Organisation, About the International Programme on the Elimination of Child Labour, URL :
http://www.ilo.org/ipec/programme/lang--en/index.htm, diakses pada 4 Agustus 2016.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia, 2014, Temuan dan Rekomendasi KPAI tentang Perlindungan Anak di Bidang Perdagangan Anak (Trafficking) dan Eksploitasi Terhadap Anak, URL : http://www.kpai.go.id/artikel/temuan-dan-rekomendas-i-kpai-tentang-perlindungan-anak-di-bidang-
perdagangan-anak-trafficking-dan-eksploitasi-terhadap-anak/ , diakses pada 15 Juli 2017.
_______ , 2016, Data Kasus Berdasarkan Klaster Perlindungan Anak, 2011-2016, URL :
http://bankdata.kpai.go.id/tabulasi-data/data-kasus-per-tahun/data-kasus-berdasarkan-klaster-perlindungan-anak-2011-2016 , diakses pada 15 Juli 2017.
Sirait, Arist Merdeka, Eksploitasi Seksual Mengintai Anak Kita, Media Publikasi Perundang-undangan dan Informasi Hukum, Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, URL :
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/hukum-pidana/648-eksploitasi-seksual-komersial-mengintai-anak-kita.html ,
diakses pada 15 Juli 2017.
DOKUMEN HUKUM INTERNASIONAL
Konvensi ILO Nomor 182 Tahun 1999 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak.
Protokol Persatuan Bangsa-bangsa, 2000, Protokol untuk Mencegah, Menekan dan Menghukum Perdagangan Manusia Khususnya Perempuan dan Anak-anak.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 182 Tahun 1999. (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3941).
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235).
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang. (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4720).
15
Discussion and feedback