PEMECAHAN PERKARA (SPLITSING) DALAM PRA PENUNTUTAN

Oleh

I Gusti Ayu Aditya Wati

Bagian Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana

ABSTRAK

Makalah ini berjudul “ Pemecahan Perkara (Splitsing) dalam Pra Penuntutan”. Makalah ini menggunakan metode pendekatan masalah secara yuridis empiris. Mengadakan pra penuntutan yang berarti sebelum Penuntut Umum bertndak melimpahkan berkas perkara ke sidang pengadilan, berhak untuk memeriksa dan menilai berkas hasil pemeriksaan Penyidik telah cukup dan sempurna. Pemecahan Perkara atau Splitsing adalah pemecahan satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa terdakwa tersebut dipecah menjadi dua atau lebih. Pra Penuntutan meliputi pelaksanaan tugas-tugas pemantauan perkembangan penyidikan, penelitian berkas perkara tahap pertama, pemberian petunjuk guna melengkapi hasil penyidikan, penelitian ulang berkas perkara, penelitian tersangka dan barang bukti pada tahap penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti serta pemeriksaan tambahan.

Kata Kunci : Pemecahan Perkara, Pra Penuntutan, Penyidik

ABSTRACT

The title of this paper is"Solving Case (Splitsing) in Pre Prosecution". This paper using empirical juridical approach. Conducting pre prosecution which means before the Public Prosecutor bestow the case file to the court, it has the right to inspect and assess the results of the investigator examination file already good enough and perfect. Solving Case or Splitsing is solving the case file containing some criminal offenses committed by some defendants were split into two or more. Pre prosecution include the tasks of monitoring the development of the investigation, the first phase of the case files research, giving instructions in order to complete the investigation results, restudy the case file, the suspect research and evidence at the stage of handover of responsibility for suspects and evidence as well as the additional checks.

Keywords: Solving Case, Pre Prosecution, Investigator

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1    Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia adalah negara berdasar hukum bukan berdasar atas kekuasaan belaka. Hukum akan menjadi aturan-aturan yang baku bila tidak ada manusia yang melaksanakannya. Manusia yang melaksanakan hukum inilah yang disebut pelaksana hukum, meliputi jaksa, polisi, hakim, pembela dan petugas permasyarakatan. Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang Undang-Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan Hakim. Sejak adanya surat pemberitahuan dimulainya penyidikan maka antara Penyidik dan Penuntut Umum telah terjalin hubungan kerjasama. Pasal 109 KUHP merupakan dasar hubungan koordinasi antara penyidik dan penuntut umum dalam melakukan proses peradilan. Sebagai proses awal dari proses peradilan ini adalah penyelidikan dan/atau penyidikan.

Pemecahan perkara dapat dilakukan oleh Penuntut Umum pada saat Penyidik menyerahkan berkas perkara tersebut secara resmi kepada Penuntut Umum. Berdasarkan latar belakang diatas maka dikemukakan beberapa permasalahan sebagai berikut : Bagaimanakah proses pemecahan perkara pidana yang dilakukan dalam pra penuntutan serta atas dasar pertimbangan apakah Jaksa Penuntut Umum melakukan pemecahan perkara pidana.

  • 1.2    Tujuan Penelitian

  • 1.    Tujuan Umum penelitian ini untuk melatih diri dalam usaha menyatakan pikiran ilmiah secara tertulis, untuk mengembangkan diri pribadi mahasiswa ke dalam kehidupan masyarakat.

  • 2.    Tujuan Khusus penelitian ini untuk mengetahui proses pemecahan perkara dalam pra penuntutan serta agar mengetahui dasar pertimbangan dilakukannya pemecahan perkara oleh Jaksa Penuntut Umum.

  • II.    ISI MAKALAH

    2.1    METODE PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis empiris artinya pendekatan yang mengkaji permasalahan dengan berpedoman pada ketentuan hukum yang berlaku terhadap masalah yang diteliti dengan mengkaji hukum yang berlaku dan juga melihat bagaimana penerapannya dalam praktek yang berkaitan dengan permasalahan.

  • 2.2    HASIL DAN PEMBAHASAN

    • 2.2.1    Proses Pemecahan Perkara Pidana (Splitsing) yang dilakukan dalam Pra Penuntutan.

Pemecahan perkara menurut Prof. DR. Wirjono Prodjodikoro, SH yang dimaksud dengan pemecahan perkara adalah apabila ada suatu berkas perkara pidana yang mengenai beberapa perbuatan melanggar hukum pidana yang dilakukan lebih dari seorang dan yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut mengenai keharusan menggabungkan beberapa berkas perkara menjadi satu maka hukum harus memecahkan berkas perkara itu menjadi beberapa berkas perkara, dan juga harus bikin surat tuduhan bagi masing-masing berkas perkara (Splitsing). 1 Mengenai pemecahan perkara ini diatur dalam Pasal 142 KUHAP yang merupakan wewenang dari Penuntut Umum.

Pemecahan perkara pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 142 KUHAP, dilakukan dengan membuat berkas-berkas baru. Dengan sendirinya dilakukan pemeriksaan kembali terhadap terdakwa maupun saksi dan masing-masing terdakwa dibuatkan surat tuntutan. Dengan pemecahan perkara yang berdiri sendiri antar terdakwa yang satu dengan yang lain, maka di antara para terdakwa tersebut dapat dijadikan saksi secara timbal balik, dalam suatu persidangan yang berbeda. Pada penyerahan tahap pertama, penyidik secara nyata dan fisik menyampaikan berkas perkara kepada penuntut umum, dan penuntut umum pun secara nyata dan fisik menerimanya dari tangan penyidik.2

Dalam hal penyidik mengirim satu berkas yang memuat tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang kepada penuntut umum yang setelah diteliti dan diperiksa oleh penuntut umum ternyata dinyatakan kurang lengkap, penuntut umum dapat menempuh kebijaksanaan sesuai dengan Pasal 142 KUHAP untuk memecahkan berkas perkara menjadi dua atau lebih sesuai dengan kebutuhan. Bila dilakukan pemecahan berkas perkara dengan sendiri dilakukan pemeriksaan kembali baik terhadap tersangka maupun saksi.

  • 2.2.2    Dasar Pertimbangan Dilakukannya Pemecahan Perkara

Dasar pertimbangan Jaksa Penuntut Umum melakukan pemecahan perkara (splitsing) adalah faktor-faktor apa yang menjadikan bahan pertimbangan bagi Jaksa Penuntut Umum, agar berkas perkara dipecah oleh penyidik. Adapun faktor-faktor yang menjadi dasar pertimbangan dapat dirinci sebagai berikut :

  • 1.    Perbuatan yang dilakukan tanpa saksi dan kurang didukung alat bukti sah lainnya yaitu keterangan kesaksian dari penderita sendiri serta tidak didukung oleh alat bukti sah lainnya akan dapat berakibat dibebaskannya terdakwa oleh Hakim. Jadi keterangan seorang saksi saja tidak akan cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya, karena berdasarkan pasal 183 KUHAP, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya diperoleh dua alat bukti yang sah dan hakim juga memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.3

  • 2.    Pelaku tindak pidana terdiri dari beberapa orang. Salah satu faktor yang menjadi alasan perlunya sebuah perkara displit adalah pelaku tindak pidana tersebut terdiri dari beberapa orang.

  • 3.    Meringankan Jaksa Penuntut Umum dalam menyusun tuntutan.Dengan dipecahnya suatu perkara, maka akan dapat diperoleh berkas perkara yang sempurna, berkas perkara harus mempunyai kelengkapan formal (Pasal 75 KUHAP) dan kelengkapan meterial. Kelengkapan material harus memuat setidak-tidaknya dua alat bukti yang sah, untuk memperoleh keyakinan hakim akan kesalahan terdakwa dan agar terdakwa tidak diputus bebas atau tidak lepas dari

tuntutan hukum.4 Pemecahan perkara tersebut dimaksudkan untuk meringankan Jaksa Penuntut Umum dalam menyusun tuntutan, untuk membuktikan tentang kebenaran surat dakwaannya atau tentang kesalahan terdakwa.

  • III.    KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat ditarik dari apa yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya adalah sebagai berikut :

  • 1.    Pemecahan perkara adalah merupakan wewenang dari Jaksa Penuntut Umum. Pemecahan perkara dilakukan atas petunjuk dari Jaksa Penuntut Umum yang mana petunjuk tersebut dapat diberikan oleh Jaksa Penuntut Umum pada saat penyerahan berkas pada tahap pertama ataupun sebelum berks tersebut diserahkan secara resmi kepada Jaksa Penuntut Umum.

  • 2.    Dalam melakukan pemecahan perkara, Jaksa Penuntut Umum mempunyai pertimbangan yaitu perbuatan yang dilakukan tanpa saksi dan kurang didukung alat bukti sah lainnya, pelaku tindak pidana terdiri dari beberapa orang dan memudahkan Jaksa Penuntut Umum dalam menyusun tuntutan.

  • IV.    DAFTAR PUSTAKA

BUKU-BUKU

Achmad S.Soema Dipradja, Pokok-Pokok Hukum Acara Pidana Indonesia,

Darwan Prinst, 1998, Hukum Acara Pidana dalam Praktek, Djambatan, Jakarta.

Djoko Prakoso, 1998, Pemecahan Perkara Pidana (Splitsing), Cet.1, Liberty

Yogyakarta.

Hendrastanto Yudowidagdo dan Anang Suryanata, 1987, Kapita Selekta Hukum Acara Pidana Indonesia, Bina Aksana, Jakarta.

M. Yahya Harahap, 1998, Pemecahan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Jilid I, Pustaka Kartini, Jakarta.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

5