ISSN:2303-1395

E-JURNAL MEDIKA,VOL 6 NO 08,AGUSTUS 2017

KARAKTERISTIK DAN MANAJEMEN SKABIES PASIENRAWAT

JALAN DI RUMAH SAKIT INDERA DENPASARPERIODE
JANUARI-JUNI 2014

Diandra Sabila Giana1, I Gede Made Adioka2, Desak Ketut Ernawati3, IGA Artini3 1Program Studi Pendidikan Dokter, 2Bagian Farmasi, 3Bagian Farmakologi dan Terapi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

ABSTRAK

Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infeksi Sarcoptes scabei varian hominis dan produknya. Skabies ditemukan hampir di semua negara dengan prevalensi yang berbeda-beda. Sampai saat ini, belum ada penelitian yang dilakukan di Bali yang berkaitan dengan skabies. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik dan manajemen skabies yang dilakukan di Rumah Sakit Indera Denpasar. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian deskriptif dimana data merupakan data retrospektif yang diambil secara cross sectional pada bulan Juni 2014. Data didapat dengan cara observasi dan pencatatan data rekam medis. Sampel dipilih dengan menggunakan teknik purposive sampling. Dari 50 kasus skabies di Rumah Sakit Indera Denpasar periode Januari-Juni 2014 diketahui bahwa kasus terbanyak yaitu laki-laki (70%), kelompok usia 0-20 tahun (70%), lokasi sela jari tangan (56%), dengan keluhan tersering gatal (98%), efloresensi yang paling sering ditemukan berupa papula (100%), serta manajemen yang dilakukan adalah dengan farmakoterapi berupa sediaan topikal dan per oral. Sediaan topikal yang digunakan mengandung anti ektoparasit (100%) dan sediaan per oral mengandung antihistamin (94%).

Kata kunci : skabies, gatal, papula, anti ektoparasit

ABSTRACT

Scabies is a skin disease caused by infection of Sarcoptes scabei hominis variant and its products. Scabies is found in almost all countries with different prevalence. There is limited research on scabies conducted in Bali. Thus, this study aimed to determine the characteristics and management of scabies at Indera Hospital Denpasar. This study was retrospective and cross-sectional study. Data collected from patients’ medical records. The samples were selected using purposive sampling technique. Fifty cases of scabies athospital from January to June 2014 was obtained. The majority of sample was male (70%), age group 0-20 years (70%), location of symptoms was on fingers (56%), patients mostly complained about itching (98%), the most common efflorescence was papule (100%). It was also found that topical and oral preparations were managed of scabies in this study. Topical preparations contained anti ectoparasites (100%) and oral preparations contained antihistamines (94%) were mostly used at the study hospital.

Keywords : scabies, itching, papule, anti ectoparasite

PENDAHULUAN

Kulit adalah organ tubuh terbesar yang memiliki beberapa fungsi, fungsi yang terpenting adalah menjadi pelindung fisik terhadap lingkungan luar, mengatur keluar masuknya air, elektrolit, dan berbagai zat lain yang memberikan perlindungan

terhadap mikroorganisme, radiasi ultraviolet, zat-zat beracun, serta ancaman mekanik.

Kulit membentuk 16% dari berat tubuh manusia, dengan luas area permukaan 1,8 m2. 1 Penyakit kulit dapat disebabkan oleh beberapa hal, seperti bakteri, jamur, virus,

kuman, parasit hewani, dan sebagainya. Beberapa contoh penyakit kulit yang disebabkan oleh parasit hewani yaitu pedikulosis, skabies, dan creeping disease.2 Penyakit skabies adalah penyakit kulit menular yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi terhadap Sarcoptes scabei varian hominis dan produknya. Penyakit ini dikenal juga dengan nama the itch, gudik atau gatal agogo.3

Skabies terjadi hampir di seluruh belahan dunia terutama pada daerah-daerah yang erat sekali kaitannya dengan lahan kritis, kemiskinan, padat penduduk serta rendahnya sanitasi dan status gizi, baik pada hewan maupun manusia. Penularan scabies terjadi melalui kontak langsung. Gejala utama adalah gatal pada malam hari, lesi kulit berupa terowongan, papula, vesikula, terutama pada tempat dengan stratum korneum yang tipis seperti sela-sela jari tangan, pergelangan tangan, siku bagian luar (sikut), lipat ketiak, umbilikus, genetalia eksterna pria, areola mammae, telapak kaki dan telapak tangan.

Skabies ditemukan hampir di semua negara dengan prevalensi yang berbeda-beda.2 Sebanyak 300 juta orang per tahun di dunia dilaporkan terserang skabies.4

Skabies merupakan penyakit endemik pada banyak masyarakat. Penyakit ini dapat mengenai semua ras dan golongan di seluruh dunia. Penyakit skabies banyak dijumpai pada anak dan orang dewasa muda, insidennya sama terjadi pada pria dan wanita. Insiden skabies di negara berkembang menunjukkan siklus fluktuasi yang sampai saat ini belum dapat dijelaskan. Interval antara akhir dari suatu endemik dan permulaan epidemik berikutnya kurang lebih 10-15 tahun.5

Skabies di beberapa negara berkembang termasuk Indonesia mempunyai prevalensi yang cukup tinggi yaitu 6% hingga 27% dari populasi umum dan cenderung tinggi pada anak-anak sampai dewasa. Di pusat kesehatan

masyarakat (PUSKESMAS) maupun di rumah sakit rujukan, rata-rata infeksi kulit menduduki peringkat ke-2 setelah dermatitis. Skabies menempati urutan ke-3 dari 10 urutan penyakit kulit terbesar pada pelita IV.2 Menurut Departemen Kesehatan RI (2000) prevalensi skabies di Puskesmas seluruh Indonesia pada tahun 1986 adalah 4,6%-12,9%, dan skabies menduduki urutan ketiga dari 12 penyakit kulit tersering. Di Bagian Kulit dan Kelamin FKUI/RSCM pada tahun 1988, dijumpai 734 kasus skabies yang merupakan 5,77% dari seluruh kasus baru. Pada tahun 1989 dan 1990 prevalensi skabies adalah 6% dan 3,9%. Prevalensi skabies sangat tinggi pada lingkungan dengan tingkat kepadatan penghuni yang tinggi dan kebersihan yang kurang memadai.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik dan manajemen skabies di Rumah Sakit Indera Denpasar pada periode Januari hingga Juni 2014.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2014, bertempat di Rumah Sakit Indera Denpasar Bali. Penelitian ini menggunakan rancangan deskriptif. Data adalah data retrospektif yang diambil secara crosssectional pada periode Januari-Juni 2014. Jumlah sampel dalam penelitian adalah 50 sampel yang memenuhi kriteria inklusi. Teknik pemilihan sampel pada penelitian ini adalah dengan metode purposive sampling. Sampel yang diteliti merupakan pasien skabies baru di Rumah Sakit Indera Denpasar pada periode Januari-Juni 2014 dan memiliki data rekam medis yang lengkap, baik data medis maupun data non-medis pasien.

HASIL

Berdasarkan hasil pengambilan data pada bulan Juni 2014, bertempat di Rumah Sakit Indera Denpasar Bali, telah didapatkan sejumlah 50 sampel yang termasuk ke dalam kriteria inklusi.

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Sosiodemografi

Variabel                 Frekuensi            Persentase(%)

Jenis Kelamin

Laki-laki Perempuan Kelompok Usia (tahun) 0-20 21-40 >40

35                     70

15                      30

35                     70

11                      22

Tabel 1 menunjukkan distribusi pasien berdasarkan jenis kelamin yakni pasien laki-laki sebanyak 35 pasien (70%) dan perempuan sebanyak 15 pasien (30%). Berdasarkan kelompok usia yakni pasien

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Lokasi

Munculnya Gejala

Lokasi Munculnya

Gejala

dengan kelompok usia 0-20 tahun sebanyak 35 pasien (70%), kelompok usia 21-40 tahun sebanyak 11 pasien (22%), dan kelompok usia di atas 40 tahun sebanyak 4 pasien (8%).

Frekuensi Persentase(%)

Sela jaritangan

28                 56

Perut Ketiak Seluruh tubuh Bokong Tangan Sela jari kaki Badan Kaki Kemaluan Selangkangan Punggung Lengan Siku Telapak tangan Leher Pergelangan tangan Lutut

23                 46

19                  38

19                  38

16                  32

12                 24

11                   22

9                     18

9                     18

8                     16

6                    12

5                     10

3                     6

3                     6

3                     6

2                    4

2                    4

2                    4

3 https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/submissions

Telapak kaki

Kepala

Wajah

Bawah payudara

Pergelangan

kaki

2                    4

1                         2

1                         2

1                         2

1                         2

Tabel 2 menunjukkan distribusi pasien

selangkangan sebanyak 6 pasien (12%),

berdasarkan  lokasi  munculnya  gejala,

punggung sebanyak  5   pasien   (10%),

diperoleh data yaitu sela jari tangan

lengan sebanyak 3 pasien (6%), siku

sebanyak 28 pasien (56%), perut sebanyak

sebanyak 3 pasien (6%), telapak tangan

23 pasien (46%), ketiak sebanyak 19

sebanyak 3 pasien (6%), leher sebanyak 2

pasien (38%), seluruh tubuh  sebanyak

pasien (4%), pergelangan tangan sebanyak

19 pasien (38%), bokong sebanyak 16

2 pasien (4%), lutut sebanyak 2 pasien

pasien (32%), tangan sebanyak 12 pasien

(4%), telapak kaki sebanyak 2 pasien

(24%), sela jari kaki sebanyak 11 pasien

(4%), kepala sebanyak 1 pasien (2%),

(22%), badan sebanyak 9 pasien (18%),

wajah sebanyak 1 pasien (2%), bawah

kaki   sebanyak    9    pasien    (18%),

payudara sebanyak 1 pasien (2%), dan

kemaluan sebanyak 8  pasien  (16%),

pergelangan kaki sebanyak 1 pasien (2%).

Tabel 3. Distribusi Gejala Karakteristik

dan

Gejala dan

Frekuensi      Persen- tase

Karakteristik

(%)

Gatal

49             98

Timbul bintik

5                 10

Kemerahan

3                 6

Lesi

1                   2

Tabel 3 menunjukkan distribusi pasien

pasien (10%) mengeluh timbul bintik, 3

berdasarkan gejala dan karakteristik, terlihat

pasien (6%) mengeluh kemerahan, dan 1

bahwa 49 pasien (98%) mengeluh gatal, 5

pasien (2%) mengeluh munculnya lesi.

Table 4. Distribusi Frekuensi Efloresensi

Efloresensi              Frekuensi             Persentase(%)

Papula                   50

100

Erosi                      29

58

Makula                 12

24

Skuama                7

14

Pustula                    5

10

Krusta                    5

10

Vesikula                   1

2

Plak                        1

2

Tabel 4 menunjukkan distribusi pasien berdasarkan effloresensi, terlihat bahwa

papula ditemukan pada 50 pasien (100%), erosi pada 29 pasien (58%), makula pada 12

pasien (24%), skuama pada 7 pasien (14%), pustula dan krusta pada masing-masing 5

pasien (10%), serta vesikel dan plak pada masing-masing 1 pasien (2%).

Tabel 5. Distribusi Frekuensi

Manajemen yang Didapat

Manajemen                       Frekuensi

Persen-tase


(%)

Per Oral

Anti-histamin

47

94

Kortikosteroid

20

40

Vitamin

2

4

Antibiotik

1

2

Topikal

Anti ektoparasit

50

100

Antibiotik

42

84

Kortikosteroid

41

82

Analgesik

8

16

Tabel 5 menunjukkan bentuksediaan dan bahan aktif obat yang digunakan pada manajemen pasien skabies di Rumah Sakit Indera Denpasar. Terlihat bahwa bahan aktif yang digunakan pada penanganan skabies melalui sediaan per oral antara lain golongan obat anti histamine (mebhydrolin dan oxatomide) diberikan kepada 47 pasien (94%), kortikosteroid (methylprednisolone dan prednisone) 20 pasien (40%), vitamin (vitamin C dan vitamin E) 2 pasien (4%), dan antibiotik (cefadroxil) 1 pasien (2%). Sedangkan penanganan skabies melalui sediaan topikal antara lain golongan obat anti ektoparasit (permetrin) diberikan kepada 50 pasien (100%), antibiotik (chlorampenicol, mupirocin, dangentamicin) 42 pasien (84%), kortikosteroid (desoximetasone, triamcinolone, mometasone, methylprednisolone, hidrocortisone, dan betamethasone) 41 pasien (82%), dan analgesik (asam salisilat) 8 pasien (16%).

PEMBAHASAN

Pada penelitian ini didapatkan distribusi pasien berdasarkan jenis kelamin, diperoleh data pasien dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 35 orang (70%) dan perempuan sebanyak 15 orang (30%). Penelitian

sebelumnya yang dilakukan di Pesantren X, Jakarta Timur, menyebutkan bahwa terdapat 66 santri laki-laki (57,4%) dan 33 santri perempuan (42,9%) yang menderita skabies.6 Penelitian lain yang dilakukan di Makassar, Malaysia, dan Nigeria menunjukkan bahwa laki-laki cenderung lebih rentan terinfeksi skabies dengan prevalensi 58% dibandingkan perempuan.7 Berdasarkan data diatas, tampak bahwa mayoritas pasien dengan skabies berjenis kelamin laki-laki. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satu faktor penyebab yang paling mungkin terjadi adalah kurangnya kepeduliaan seseorang terhadap kebersihan diri sendiri. Perempuan tampaknya lebih memperhatikan kebersihan diri sendiri daripada laki-laki, sehingga jumlah kasus skabies yang terjadi pada pasien dengan jenis kelamin perempuan jauhlebih sedikit.

Berdasarkan kelompok usia, sebagian besar pasien skabies di Rumah Sakit Indera Denpasar periode Januari 2014 sampai Juni 2014 berada di kelompok usia 020 tahun (70%). Sebaliknya, dari 50 kasus hanya ditemukan 4 pasien yang termasuk dalam kelompok usia diatas 40 tahun. Berdasarkan KSDAI, diperoleh data bahwa

dari 9 rumah sakit di 7 kota besar di Indonesia, ditemukan sebanyak 892 penderita skabies dimana insiden tertinggi terjadi pada kelompok usia 5-14 tahun yakni sebesar 54,6%. Penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) H. Adam Malik Medan pada periode Januari- Desember 2008, menunjukkan terdapat 139 pasien yang menderita skabies dan 57 diantaranya adalah pasien dengan kelompok usia 6-18 tahun.5 Dapat disimpulkan bahwa pasien dengan kelompok usia 0-10 tahun dan 1120 tahun lebih rentan terinfeksi skabies daripada pasien dengan kelompok usia lain. Diduga bahwa di usia ini, imunitas pasien belum terbentuk secara maksimal. Serta, kewaspadaan terhadap kebersihan diri yang kurang juga berpengaruh. Sehingga risiko pasienuntuk terinfeksi skabies lebih besar.

Berdasarkan lokasi munculnya gejala, lokasi yang paling dominan adalah di sela jari tangan sebanyak 28 pasien (56%). Sedangkan lokasi munculnya gejala yang paling jarang terjadi adalah di bagian kepala, wajah, bawah payudara, dan pergelangan kaki dengan persentase masing-masing 2%. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan di Pesantren X, Jakarta Timur, ditemukan bahwa lokasi yang dominan adalah bokong pada 65 santri (33,8%) dan sela jari tangan pada 56 santri (29,2%). Sebaliknya, lokasi munculnya gejala yang paling jarang adalah di bagian kepala yakni diderita oleh 2 santri (1%) dan dada pada 9 santri (4,7%).6 Tinjauan Pustaka sebelumnya juga menjelaskan bahwa predileksi terutama terjadi pada lapisan kulit yang tipis seperti di sela-sela jari, pergelangan tangan, daerah aksila, payudara wanita (terutama di kulit putting susu), area pusar, penis, skrotum, dan bokong.8,9 Hal ini memperkuat data hasil penelitian yang telah ditemukan. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa sela jari tangan merupakan lokasi munculnya gejala yang dominan pada kasus skabies dan sebaliknya,

kepala dan bawah payudara (dada) merupakan lokasi munculnya gejala yang paling jarang terjadi.

Berdasarkan gejala dan karakteristik, hampir seluruh pasien skabies yang datang ke Rumah Sakit Indera Denpasar pada periode Januari 2014 sampai Juni 2014 yaitu sebanyak 49 pasien (98%) mengeluh gatal pada satu atau beberapa lokasi. Hal ini sesuai dengan tinjauan pustaka yang menyebutkan bahwa pruritus (gatal) adalah ciri khas skabies tanpa memandang usia.10

Selanjutnya, gejala lain yang juga dikeluhkan oleh pasien yaitu timbulnya bintik oleh 5 pasien (10%), kemerahan oleh 3 pasien (6%), dan lesi oleh 1 pasien (2%). Data diatas sesuai dengan tinjauan pustaka yang juga menyebutkan bahwa gejala lain yang menyertai adalah bintik-bintik merah (rash).4

Berdasarkan efloresensi, diperoleh data bahwa papula ditemukan pada 50 pasien skabies (100%) di Rumah Sakit Indera Denpasar pada periode Januari-Juni 2014. Disusul oleh erosi (58%) dan makula (24%) yang juga merupakan efloresensi yang paling sering ditemukan. Data ini didukung oleh tinjauan pustaka yang menyebutkan bahwa manifestasi kulit berupa papula, vesikel atau nodul dapat timbul pada ujung terowongan.11 Selanjutnya, Wardhana dkk. juga menyebutkan hal yang sama, yakni vesikel dan papula merupakan manifestasi klinis skabies. Namun, hasil penelitian menunjukkan bahwa vesikel hanya ditemukan pada 1 pasien (2%) di Rumah Sakit Indera Denpasar padaperiode Januari-Juni 2014.

Manajemen

Bahan aktif yang digunakan pada penanganan skabies melalui sediaan peroral antara lain golongan obat anti histamine (mebhydrolin dan oxatomide), kortikosteroid (methylprednisolone dan prednisone), antibiotik (cefadroxil), dan vitamin (vitamin C dan vitamin E).

Sedangkan penanganan skabies melalui sediaan topikal antara lain golongan obat anti ektoparasit (permetrin), antibiotik (chlorampenicol, mupirocin, dan gentamicin), kortikosteroid (desoximetason triamcinolone, mometasone, methylprednisolone, hidrocortisone, dan betamethasone), dan analgesik (asam salisilat).

Penggunaan obat-obatan yang diberikan secara topikal lebih sering diberikan kepada pasien-pasien skabies yang datang ke Rumah Sakit Indera Denpasar pada periode Januari-Juni 2014. Seluruh pasien (100%) diberikan obat golongan anti ektoparasit topikal yang berbahan aktif Permetrin 5%. Permetrin bekerja dengan cara mengganggu polarisasi dinding sel melalui ikatan dengan natrium sehingga menghambat repolarisasi dinding sel dan akhirnya terjadi paralisis parasit. Obat ini ditoleransi dengan baik, diserap minimal oleh kulit, tidak diabsorbsi sistemik, dimetabolisasi dengan cepat, serta dikeluarkan kembali melalui keringat dan sebum. Oleh karena itu, obat ini merupakan terapi pilihan linipertama rekomendasi CDC untuk terapi tungau tubuh.12

Selain obat anti ektoparasit topikal, obat lain yang sering digunakan dalam manajemen skabies adalah obat antihistamin oral (94%). Bahan aktif yang paling banyak digunakan untuk obat golongan ini adalah mebhydrolin napadysilate atau yang lebih dikenal sebagai mebhydrolin.

Campuran antara antibiotik (84%) dan kortikosteroid (82%) topikal juga sering digunakan pada kasus-kasus skabies, dimana bahan aktif yang paling banyak digunakan untuk golongan antibiotik adalah chlorampenicol dan mometasone pada golongan kortikosteroid. Penggunaan kortikosteroid oral (40%) lebih jarang digunakan. Begitupun dengan analgesik topikal (16%), vitamin per oral (4%), dan antibiotik per oral (2%). Hanya beberapa pasien yang mendapat pengobatan tersebut sesuai dengan keluhan masing-masing

pasien. Pemilihan obat ini berdasarkan ketersediaan obat di rumah sakit.

SIMPULAN

Kesimpulan dari penelitian ini adalah gambaran umum karakteristik skabies pasien rawat jalan di Rumah Sakit Indera Denpasar periode Januari- Juni 2014 yang paling sering dijumpai adalah jenis kelamin laki-laki, kelompok usia 0-20 tahun, lokasi sela jari tangan, gejala dan tanda klinis berupa gatal pada satu atau beberapa lokasi, serta efloresensi berupa papula.

Manajemen skabies pasien rawat jalan di Rumah Sakit Indera Denpasar periode Januari-Juni 2014 meliputi pemberian obat topikal maupun peroral. Jenis obat topikal yang paling sering diberikan adalah obat anti- ektoparasit dan jenis obat per -oral yang paling sering diberikan adalah anti histamin.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Sanchez, WH. “Elucidating the Role of Silicone in the Treatment of Burn Scars: An Essential Step in the Development of Improved Treatment Products”. Tesis. Brisbane: School of Physical and Chemical Science, Queensland University of Technology. 2005.

  • 2.    Putri, BSSA. “Hubungan Higiene Perseorangan, Sanitasi Lingkungan dan Status Gizi Terhadap Kejadian Skabies Pada Anak”. Skripsi. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. 2011.

  • 3.    Djuanda, A., Kosasih, A., dan Wiryadi, BE. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 6th Ed., Jakarta: FKUI.2011.

  • 4.    Wardhana, AH., Manurung, J., dan Iskandar, T. Skabies: Tantangan Penyakit Zoonosis Masa Kini dan Masa Datang. WARTAZOA 2006; 16(1): 40-49.

  • 5.    Nababan, BR. “Karakteristik Penderita Skabies di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2010- 2012”. Skripsi. Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera

Utara. 2014.

  • 6.    Ratnasari, AF. dan Sungkar, S. Prevalensi Skabies dan Faktor- Faktor yang Berhubungan di Pesantren X, Jakarta Timur, eJKI

2014; 2 (1): 251–255

  • 7.    Setyaningrum, YI. “Skabies Penyakit Kulit yang Terabaikan: Prevalensi, Tantangan, dan Pendidikan sebagai Solusi Pencegahan”. Tesis. Malang: Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret. 2013.

  • 8.    Strong, M. dan Johnstone, P. Interventions for treating scabies. Cochrane Database of Systematic Reviews Issue 2010; 3 (1): 1-4.

  • 9.    Iskandar, T. Masalah Skabies pada Hewan dan Manusia Serta Penanggulangannya. WARTAZOA 2000; 10 (1): 28-32.

  • 10. Johnston, G. dan Sladden, M. Scabies: diagnosis and treatment. BMJ 2005; 331 (7517): 619–622.

  • 11. American Academy

of Dermatology. Scabies: Signs and symptoms. Washington: American Academy of Dermatology. 2014.

  • 12. Rahayu, M. Skabies. Padang: Laporan Kasus Kepaniteraan Klinik Rotasi II, Fakultas KedokteranUniversitas Andalas. 2013.

8 https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/submissions