PENYELESAIAN KASUS KEKERASAN TERHADAP JEMAAT AHMADIYAH DI WILAYAH CIKEUSIK INDONESIA DALAM PERSPEKTIF KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK

Oleh:

I Made Juli Untung Pratama I Gede Pasek Eka Wisanjaya I Made Budi Arsika

Program Kekhususan Hukum Internasional dan Hukum Bisnis Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana

ABSTRACT

On February 6, 2011 an act of violence against the Ahmadis in Cikeusik, Padegelang Regency, Banten which killed three persons and injured the others. This writing is aimed to analyze the concept and the legal protection as well as to analyze the settlement of case of violence against religious freedom Ahmadiyah in Indonesia based on the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). It is a normative legal research that uses statutory (instrumental), fact, and case approaches. This article concludes that the legal protection of religious freedom of Ahmadiyah in Indonesia have been stipulated in Indonesian Constitution, Indonesian Human Rights Act, and ICCPR. It is also concluded that the judgment issued by the District Court of Serang on this case tends to merely consider criminal aspect without considering any human r ights approach.

Keywords: Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Act of Violence, Cikeusik, Human Rights

ABSTRAK

Pada tanggal 6 Februari 2011 terjadi aksi kekerasan terhadap warga Ahmadiyah di Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Padegelang, Banten yang menyebabkan 3 (tiga) orang meninggal dan terdapat korban luka-luka. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis konsep dan perlindungan hukum dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan terhadap Jemaat Ahmadiyah di Indonesia serta menganalisis penyelesaian kasus kekerasan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan Jemaat Ahmadiyah di Indonesia berdasarkan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR). Artikel ini merupakan penelitian hukum normatif yang menggunakan pendekatan-pendekatan instrumen, fakta, dan kasus. Tulisan ini menyimpulkan bahwa perlindungan hukum terhadap hak kebebasan beragama dan berkeyakinan untuk Jemaat Ahmadiyah Indonesia diatur dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR). Tulisan ini juga menyimpulkan bahwa putusan Pengadilan Negeri Serang dalam kasus ini cenderung mengarah ke aspek pidana saja tanpa memperhatikan pendekatan HAM.

Kata Kunci: Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Aksi Kekerasan, Cikeusik, Hak Asasi Manusia

  • I.    Pendahuluan

    1.1.    Latar Belakang

Penyerangan terhadap warga Ahmadiyah di Kampung Peundeuy, Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Padegelang, Banten yang terjadi pada tanggal 6 Februari 2011 telah menghebohkan masyarakat.1 Berdasarkan laporan dari Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), peristiwa tersebut telah menyebabkan tiga orang meninggal, yakni Roni Passaroni, Tubagus Candra Mubarok Syafai, dan Warsono. 2 Selain itu, terdapat korban luka-luka yakni Muhammad Ahmad 3 alias Bebi, Ahmad Masihudin, Ferdias, Apip Yuhana, dan Deden Sudjana.3

Sayangnya, penyerangan tersebut terjadi justru pasca diterbitkannya Surat Keputusan Bersama 3 Menteri (SKB 3 Menteri) yang diterbitkan oleh Menteri Agama Muhammad M. Basyumi, Menteri Dalam Negeri H. Mardiyanto, dan Jaksa Agung Hendarman Supandji yang pada intinya melarang kegiatan kegamaan Jemaat Ahmadiyah.4 Menariknya, salah satu dasar hukum yang digunakan pada SKB 3 adalah Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik International (International Covenant on Civil and Political Rights /ICCPR). Dalam hal ini, ICCPR yang idealnya digunakan untuk melindungi hak-hak sipil dalam hal kebebasan beragama dan berkeyakinan justru terlihat digunakan sebagai legitimasi bagi SKB 3 Menteri tersebut dalam mengambil tindakan terhadap Jemaat Ahmadiyah.

Seorang Jemaat Ahmadiyah bernama Deden divonis selama 6 (enam) bulan oleh Pengadilan Negeri Serang.

  • 1.2.    Tujuan Penulisan

Tulisan ini bermaksud untuk menganalisis perlindungan hukum dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan terhadap Jemaat Ahmadiyah di Indonesia dan

untuk menganalisis penyelesaian kasus kekerasan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan Jemaat Ahmadiyah di Indonesia berdasarkan ICCPR.

  • II.   HASIL PEMBAHASAN

    • 2.1.   Metode Penelitian

Tulisan ini merupakan penelitian hukum normatif yang mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum, penelitian sejarah hukum, dan penelitian perbandingan hukum.5 Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan yang dalam hal ini menganalisis instrumen hukum internasional dan nasional yang relevan, pendekatan fakta, dan pendekatan kasus.

  • 2.2.    Hasil dan Pembahasan

    2.2.1.    Perlindungan Hukum Terhadap Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan untuk Jemaat Ahmadiyah Indonesia

Pada prinsipnya, perlindungan hukum terhadap hak kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi semua orang, termasuk Jemaat Ahmadiyah Indonesia, telah diatur di dalam hukum nasional dan hukum internasional. Secara garis besar, pengaturan dalam konteks hukum nasional dapat dilihat pada Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) dan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), sedangkan dalam hukum internasional telah diatur pada ICCPR.

Pasal 28 I ayat (1) UUD NRI 1945 pada intinya menyatakan bahwa hak beragama adalah hak yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun. Selanjutnya, Pasal 28I ayat (4) menyatakan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab Negara, terutama pemerintah. Pada UU HAM, pengaturan perlindungan hukum terhadap hak kebebasan beragama dan berkeyakinan dimuat dalam Pasal 4 yang menyatakan bahwa bahwa hak kebebasan beragama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Lebih lanjut konsep tanggung jawab negara untuk memajukan perlindungan, penghormatan, dan perlindungan HAM diatur di dalam Pasal 71 UU HAM.

Dalam hukum internasional, Pasal 4 ayat (2) ICCPR menyatakan bahwa pengurangan kewajiban atas Pasal 6, 7, 8 ayat (1 dan 2), 11, 15, 16 dan 18 sama sekali tidak dapat dibenarkan. Berkaitan dengan isu yang dibahas oleh penulis, maka sudah jelas bahwa kebebasan beragama dan berkeyakinan tidak dapat dikurangi oleh Negara sekalipun Negara dalam keadaan darurat sebagaimana bunyi Pasal 4 ayat (2) ICCPR. Dalam hal perlindungan hukum terhadap hak kebebasan beragama dan berkeyakinan UUD NRI 1945, UU HAM dan ICCPR sama-sama memuat konsep non derogable rights.6 ICCPR tidak mengatur tentang konsep tanggung jawab negara dalam hal perlindungan hukum terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagaimana yang diatur pada UUD NRI 1945 dan UU HAM.

  • 2.2.2.    Penyelesaian Kasus Kekerasan Terhadap Jemaat Ahmadiyah di Wilayah Cikeusik Indonesia Ditinjau dari Perspektif Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik

Pengadilan Negeri Serang (PN Serang) mengadili seorang anggota Jemaat Ahmadiyah yang menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh kelompok intoleran. Dalam putusan atas kasus tersebut, dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana 6 (enam) bulan terhadap terdakwa Deden karena ia dipandang secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 212 KUHP tentang melawan pejabat dan Pasal 351 (1) KUHP tentang penganiayaan.7

Penyelesaian kasus kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah dengan menggunakan pendekatan HAM ternyata tidak dilakukan oleh PN Serang sebagai representasi negara jika melihat dasar pertimbangan vonis enam bulan yang dijatuhkan kepada Jemaat Ahmadiyah Indonesia yang seharusnya menjadi korban amuk dari kaum Intoleran. Penyelesaian kasus terhadap Tragedi Cikeusik yang dilakukan oleh Hakim seharusnya tidak dilihat hanya melalui aspek pidananya saja bahkan hingga memvonis 6 (enam) bulan penjara terhadap Jemaat Ahmadiyah yang menjadi korban penyerangan kelompok intoleran. Dalam penyelesaian kasus kekerasan ini, hakim seharusnya

memperhatikan aspek HAM yang dimiliki terdakwa dengan menggunakan pendekatan 8

HAM (A Human Rights Based Approach).8

Hakim seharusnya mempertimbangkan bahwa setidaknya telah terjadi 4 pelanggaran HAM terhadap terdakwa dan Jemaat Ahmadiyah akibat dari penyerangan tersebut yakni pelanggaran hak atas rasa aman, pelanggaran atas kebebasan beragama dan berkeyakinan, hak untuk hidup, dan hak untuk berkumpul secara damai. Selain itu, hakim juga seharusnya melihat bahwa dalam kasus penyerangan tersebut, telah terjadi pelanggaran hak untuk hidup sebagaimana Pasal 6 ayat (1) ICCPR pada intinya menjelaskan hak untuk hidup adalah hak yang melekat pada semua orang dan wajib dilindungi oleh hukum. Lebih lanjut Paragraf 1 Komentar Umum 6 Komite Hak Asasi Manusia menegaskan bahwa hak hidup adalah hak yang yang tidak boleh diderogasi9 bahkan dalam kondisi darurat publik yang mengancam kehidupan bangsa.10

Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

  • 1.    Perlindungan hukum terhadap hak kebebasan beragama dan berkeyakinan untuk Jemaat Ahmadiyah Indonesia diatur dalam bahwa perlindungan hukum terhadap hak kebebasan beragama dan berkeyakinan untuk Jemaat Ahmadiyah Indonesia diatur dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) dan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR). Hukum nasional memuat konsep non derogable rights dan tanggung jawab negara dalam hal pemajuan perlindungan, penghormatan dan pemenuhan HAM dalam hal hak kebebasan beragama dan berkeyakinan dan pengaturan pada ICCPR berbeda karena hanya mengatur konsep non derogable rights.

  • 2.    Ditinjau dari Perspektif Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR), penyelesaian kasus kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah di wilayah

Cikeusik Indonesia sebagaimana diputuskan oleh PN Serang cenderung mengarah ke aspek pidana saja tanpa memperhatikan pendekatan HAM.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Komnas HAM, 2009, Komentar Umum Kovenan Internasional Hak Sipil Dan Politik Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, Dan Budaya, cet. I, Komnas HAM, Jakarta

_______, 2013, Pembangunan Berbasis Hak Asasi Manusia: Sebuah Panduan, cet.II, Komnas HAM, Jakarta.

KontraS, Tanpa Tahun terbit, Panduan Pemolisian & Hak Berkeyakinan, Beragama, dan Beribadah, KontraS, Jakarta.

Mukti Fajar dan yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Rhona K. M. Smith, et.al, 2008, Hukum Hak Asasi Manusia, cet. I, PUSHAM UII, Yogyakarta.

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

International Covenant on Civil and Political Rights.

Surat Keputusan Bersama 3 Menteri Nomor 3 Tahun 2008, KEP-033/A/JA/6/2008, 199 Tahun 2008 (SKB 3 Menteri) tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat.

Laporan KontraS, 2011, Negara Tak Kunjung Terusik Laporan Hak Asasi Manusia penyerangan Jama’ah Ahmadiyah Cikeusik 6 Februari 2011.

6