PENGATURAN KEARIFAN LOKAL DALAM PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG KEPARIWISATAAN BUDAYA BALI
on
PENGATURAN KEARIFAN LOKAL DALAM PERATURAN
DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG KEPARIWISATAAN BUDAYA BALI
Oleh
I Nyoman Yatna Dwipayana Genta
I Made Sarjana
Bagian Hukum Pemerintahan Fakultas Hukum Universitas Udayana
ABSTRACT
This paper is titled "Regulation of Local Wisdom with regard to Provincial Act of Bali Number 2 Year 2012 about Bali Cultural Tourism" with using normative legal methods. Problem which is brought as matter in this paper is in connection with the foundation to the consideration of Provincial Act of Bali Number 2 Year 2012 as well as its regulation. According to its analysis, Tri Hita Karana is found to be the foundation to actualize of Balinese Tourism which further affirmed as a norm in the substance of the above mentioned Act.
Keywords : Local Wisdom, Provincial Act, Cultural Tourism, Tri Hita Karana
ABSTRAK
Makalah ini berjudul “Pengaturan Kearifan Lokal dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2012 tentang Kepariwisataan Budaya Bali” dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif. Permasalahan yang dijadikan bahan dari makalah ini menyangkut dasar pertimbangan pengaturan kearifan lokal di dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 2 Tahun 2012 serta bentuk pengaturannya. Berdasarkan atas penganalisaannya, ditemukan bahwa konsep Tri Hita Karana merupakan landasan untuk mengaktualisasikan kepariwisataan di Bali yang selanjutnya dituangkan dalam bentuk norma sebagai substansi materi muatan dari Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 2 Tahun 2012.
Kata Kunci : Kearifan Lokal, Peraturan Daerah Provinsi, Kepariwisataan
Budaya, Tri Hita Karana
Kearifan lokal atau local wisdom, di dalam disiplin ilmu antropologi hukum dikenal sebagai local genius. Local genius sendiri merupakan istilah yang pada awal mulanya dikenalkan oleh Quaritch Wales.1 Kearifan lokal diartikan sebagai gagasangagasan setempat (lokal) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.2
Peraturan Daerah Provinsi yang kemudian disebut dengan Perda Provinsi berdasarkan Pasal 1 ayat (7) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan diartikan sebagai peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh legislatif tingkat daerah Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur.
Pembentukan Perda ditujukan sebagai suatu pedoman di dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Berdasarkan konsideran menimbang huruf b UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa pemerintahan daerah di dalam penyelenggaraannya ditujukan guna percepatan kesejahteraan masyarakat dengan berlandaskan prinsip kekhasan suatu daerah di dalam kerangka sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebagai suatu pedoman tentunya Perda harus dibuat dengan sebaik mungkin sehingga diharapkan suatu Perda dapat mengakomodir kebutuhan masyarakat maupun wilayah yang diaturnya dengan berlandaskan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
Kebutuhan-kebutuhan masyarakat maupun wilayah yang harus diakomodir oleh Perda sebagaimana dimaksud di atas diantaranya menyangkut pula mengenai kearifan lokal. Berdasarkan uraian diatas maka perlu dilakukan kajian mengenai pengaturan kearifan lokal di dalam suatu Perda, khususnya di dalam Perda Provinsi Bali No. 2 Tahun 2012 tentang Kepariwisataan Budaya.
-
a. Untuk mengetahui dasar pertimbangan pengaturan kearifan lokal di dalam Perda Provinsi Bali No. 2 Tahun 2012 tentang Kepariwisataan Budaya.
-
b. Untuk mengetahui bagaimana bentuk pengaturan kearifan lokal di dalam Perda Provinsi Bali No. 2 Tahun 2012 tentang Kepariwisataan Budaya.
Jenis penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah penelitian hukum normatif dengan mengkaji norma-norma dan bahan hukum yang terkait dengan permasalahan penelitian. Adapun sumber bahan hukum yang digunakan berupa bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum primer yang dikaji salah satunya Perda Provinsi Bali No. 2 Tahun 2012 tentang Kepariwisataan Budaya yang dalam penelitian hukum normative termasuk dalam pendekatan Undang-Undang (statute approach).3
Sedangkan bahan hukum sekundernya berupa buku-buku, jurnal, karya tulis, kamus dan ensiklopedi hukum, dan juga internet dengan menyebut nama situsnya.4
-
2.2 HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebagai suatu pedoman dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah maka Perda haruslah dibuat dengan baik sesuai dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Berdasarkan Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik meliputi kejelasan tujuan; kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; dapat dilaksanakan; kedayagunaan dan kehasilgunaan; kejelasan rumusan; dan keterbukaan.
Menyangkut dasar pertimbangan dimasukannya kearifan lokal (local wisdom) ke dalam Perda, bahwa :
-
a. Secara filosofis, pengaturan kepariwisataan harus sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dikaitkan dengan isi Pasal 18 b Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, salah satunya nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, pada dasarnya juga disebut budaya masyarakat. Hal ini selaras dengan pernyataan “tidak ada masyarakat yang tidak memiliki kebudayaan begitupun sebaliknya”.5 Demikian juga dengan di Bali dimana budaya yang dimaksud dalam kepariwisataan budaya Bali adalah kebudayaan yang dijiwai oleh ajaran Agama Hindu dan didalamnya mengandung unsur kearifan lokal, dalam hal ini falsafah Tri Hita Karana adalah potensi utamanya.
-
b. Secara yuridis, merujuk pada Pasal 236 Ayat (4) UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, menyebutkan bahwa suatu Perda dapat berisikan materi muatan lokal, dalam hal ini juga local wisdom didalamnya. Kemudian disebutkan pula dalam Pasal 5 UU No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan bahwa kepariwisataan diselenggarakan dengan prinsip menjunjung tinggi kearifan lokal.
-
c. Secara sosiologis, adanya konsep-konsep kearifan lokal di Bali yang perlu dikaitkan dengan pengaturan kepariwisataan Bali sebagai pedomannya. Sebagai contoh, bahwa konsep Tri Hita Karana dijadikan sebagai landasan untuk mengaktualisasikan
kepariwisataan di Bali. Penerapan Tri Hita Karana sendiri di dalam kehidupan umat Hindu dituangkan melalui :
-
1) Hubungan antara manusia dengan Tuhannya (Parhyangan) yang
diwujudkan dengan Dewa yadnya.
-
2) Hubungan antara manusia dengan sesamanya (Pawongan) yang
diwujudkan dengan Pitra, Resi dan Manusia yadnya.
-
3) Hubungan manusia dengan alam lingkungannya (Palemahan) yang diwujudkan dengan Bhuta yadnya.6
Bentuk pengaturan kearifan lokal di dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 2 Tahun 2012 tentang Kepariwisataan Budaya dapat dilihat pada beberapa substansi dari Perda ini, antara lain :
-
a. Dalam Pasal 1 Angka 14 yang secara nyata menerangkan bahwa kepariwisataan Bali yang berlandaskan budaya setempat merupakan kepariwisataan yang dijiwai ajaran Agama Hindu dan falsafah Tri Hita Karana sebagai salah satu kearifan lokal masyarakat Bali.
-
b. Dalam Pasal 1 Angka 15 dijelaskan bahwa Tri Hita Karana terdiri dari hubungan antara manusia dengan Tuhan, sesama manusia, dan manusia dengan lingkungannya demi keharmonisan dan keseimbangan bersama.
-
c. Dalam Pasal 2 disebutkan bahwa penyelenggaraan kepariwisataan Bali didasarkan atas beberapa asas dengan menerapkan falsafah Tri Hita Karana.
-
d. Dalam Pasal 8 ayat (2) dikatakan bahwa usaha pariwisata yang dilakukan harus bercirikan budaya Bali, yang harus bercerminkan Tri Hita Karana sebagai kearifan lokal.
-
e. Dalam Pasal 11 Huruf (a) dinyatakan bahwa pembangunan destinasi pariwisata yang dilakukan harus memperhatikan unsur kearifan lokal berdasarkan kepercayaan masyarakat salah satunya falsafah Tri Hita Karana.
-
f. Dalam Pasal 27 ayat (4) Huruf (a) ditentukan bahwa wajib hukumnya bagi pengelola daya tarik wisata untuk memelihara dan mengembangkan serta
dapat juga mempromosikan produk dan daya tarik wisata berdasarkan atas kearifan lokal setempat dalam hal ini falsafah hidup Tri Hita Karana.
III. KESIMPULAN
Berdasarkan atas uraian kajian diatas dapat disimpulkan bahwa unsur kearifan lokal memiliki dasar pertimbangan yang kuat untuk dimasukkan ke dalam materi muatan Perda, dalam hal ini Perda Provinsi Bali No. 2 Tahun 2012 tentang Kepariwisataan Budaya. Dikatakan cukup kuat karena memiliki landasan berpikir, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis. Beranjak dari hal tersebut maka dalam Perda Provinsi Bali No. 2 Tahun 2012 diatur didalam materi muatannya beberapa hal mengenai kearifan lokal, seperti pengaturan tentang penyelenggaran kepariwisataan, usaha pariwisata, pembangunan destinasi pariwisata, pengembangan produk dan daya tarik wisata harus bercirikan budaya Bali.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Anonim, 2013, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar. Ayatrohaedi, 1986, Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius), Pustaka Jaya, Jakarta. Marzuki Peter Mahmud, 2011, Penelitian Hukum, cetakan ke-11, Jakarta, Kencana.
Sartini, 2004, Menggali Kearifan Lokal Nusantara: Sebuah Kajian Filsafat, Jurnal Filsafat.
Soekanto Soerjono, 1987, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta, Rajawali.
Internet :
Yayasan Bali Galang, 2015, Himpunan Keputusan Seminar: Kesatuan Tafsir terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu, http://www.babadbali.com, diakses tanggal 15 Mei 2015.
Peraturan Perundang-Undangan :
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2012 tentang Kepariwisataan Budaya Bali, Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2012 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 2.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587.
5
Discussion and feedback