1

STATUS TENTARA ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

I Gede Adhi Supradnyana

I Dewa Gede Palguna

I Made Budi Arsika

Program Kekhususan Hukum Internasional dan Bisnis Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana

Abstract

The recruitment of child soldier in armed conflict still continously occured in various country up to now. This writing is aimed to analyze the status child soldier and to scrutinize the legal consequence in relation with involvement of child soldier. This is a normative legal research that uses some approaches namely statute approach, fact approach, historical approach, and case approach. It has been found that there are some status can be given to child soldier based on distinction principle, including chil soldier as combatant, as unlawful combatant, and as civilian. In case the child soldier is caught by or surrender to enemy will be given status as a prisoners of war. Furthermore, some legal consequences may be imposed to the children itself, the State, and muilitary commander who used child soldier.

Keywords: child soldier, armed conflict, distinction principle.

Abstrak

Proses perekrutan tentara anak dalam konflik bersenjata masih terus berlangsung di berbagai Negara hingga saat ini. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis status tentara anak dan akibat hukum yang timbul terkait dengan keterlibatan tentara anak dalam konflik bersenjata. Tulisan ini merupakan penelitian hukum normatif, yang menggunakan beberapa pendekatan, yaitu pendekatan Undang-undang, sejarah, fakta dan kasus. Dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa status yang dapat diberikan kepada anak berdasarkan prinsip pembedaan yaitu sebagai kombatan, sebagai unlawful combatant, dan sebagai penduduk sipil. Terhadap tentara anak yang tertangkap musuh atau menyerah maka diberikan status tawanan perang. Selanjutnya terdapat pula sejumlah akibat hukum yang dapat dikenakan kepada tentara anak itu sendiri, Negara dan komandan militer pengguna tentara anak.

Kata Kunci : tentara anak, konflik bersenjata, prinsip pembedaan.

  • 1.1    LATAR BELAKANG

Dalam konflik bersenjata dewasa ini sering ditemukan adanya keterlibatan anak-anak sebagai tentara yang aktif turut serta dalam melakukan operasi militer. Merujuk pada

data yang dikeluarkan oleh Human Rights Watch, sekitar 300.000 tentara di bawah usia 18 tahun saat ini sedang berperang di lebih dari 30 Negara.1

Pada masa sekitar abad ke-19 tidaklah sulit untuk membedakan mana yang merupakan tentara dan mana rakyat sipil, karena pada masa itu seluruh angkatan bersenjata memakai seragam yang jelas berbeda dari penduduk sipil. Namun pada saat sekarang, cukup susah untuk membedakan mana yang termasuk tentara dan tentara anak-anak.

Fenomena perekrutan dan penggunaan tentara anak juga bertentangan dengan apa yang lazim dikenal sebagai Prinsip Pembedaan (Distinction Principle) dalam Hukum Humaniter Internasional yang mengatur mengenai pembagian penduduk negara yang sedang terlibat dalam suatu konflik bersenjata ke dalam dua kategori, yaitu kombatan dan penduduk sipil.2 Istilah kombatan merujuk pada kelompok yang secara aktif turut serta dalam permusuhan sedangkan penduduk sipil merupakan golongan yang dilindungi dari serangan militer.

  • 1.2    TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis status tentara anak dalam konflik bersenjata dilihat dari perspektif Prinsip Pembedaan dalam Hukum Humaniter Internasional serta untuk menganalisis akibat hukum keterlibatan tentara anak-anak dalam konflik bersenjata dilihat dari perspektif Prinsip Pembedaan dalam Hukum Humaniter Internasional

  • 2.1    ISI MAKALAH

    • 2.1.1.    Metode Penelitian

Tulisan ini merupakan penelitian hukum normatif yang meneliti kaidah-kaidah yang terdapat dalam Hukum Internasional yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap perekrutan tentara anak dalam suatu konflik bersenjata. Dalam karya tulis ini, penulis menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan fakta, pendekatan sejarah, dan pendekatan kasus. Pendekatan perundang-undangan yang dimaksud adalah berupa interpretasi penulis terhadap perjanjian-perjanjian internasional yang relevan digunakan

dalam penulisan ini. Pendekatan fakta digunakan untuk menemukan fakta-fakta mengenai isu yang diangkat melalui penelusuran terhadap sumber-sumber dari internet. Selanjutnya, pendekatan sejarah digunakan untuk merekonstruksi secara sistematis dan objektif dari kejadian atau peristiwa di masa lalu yang berkaitan dengan isu yang dibahas. Adapun pendekatan kasus digunakan dalam menganalisis kasus-kasus perekrutan tentara anak yang terjadi dalam konflik bersenjata.

  • 2.1.2.    Hasil dan Pembahasan

    • 2.1.2.1    Status tentara anak dalam konflik bersenjata dilihat dari perspektif Prinsip Pembedaan dalam Hukum Humaniter Internasional

Secara teoritik, tentara anak dapat dibedakan dalam konteks statusnya sebagai Kombatan, sebagai Penduduk Sipil, dan sebagai tawanan perang. Berikut akan diuraikan pengaturna yang berkaitan dengan ketiga status tersebut.

Dalam menentukan status anak sebagai kombatan, dapat dirujuk beberapa instrument internasional, misalnya dalam Pasal 1 dan 2 Hague Regulations, Pasal 13 ayat (1) Konvensi Jenewa 1 1977, serta Pasal 43 ayat (1), 43 ayat (2), 44 ayat (3) Protokol Tamabahan I 1977. Dalam ketentuan yang telah dijabarkan maka anak akan digolongkan sebagai kombatan apabila memenuhi unsur-unsur memiliki komandan, memiliki lambing pembeda khusus, membawa senjata secara terbuka dan melakukan operasi militer sesuai dengan peraturan dan kebiasaan internasional.

Beberapa instrument yang telah dijelaskan di atas dapat diterapkan kepada tentara anak yang telah berusia lima belas tahun atau lebih. Terhadap tentara anak yang belum berusia lima belas tahun atau lebih. Terhadap tentara anak yang berusia di bawah lima belas tahun statusnya masih belum dapat ditentukan (unlawful combatant) karena peraturannya masih belum dirumuskan.

Meskipun terlibat ke dalam angkatan bersenjata, tentara anaka dapat digolongkan sebagai penduduk sipil dengan melihat tugas yang diberikan kepada mereka dan merujuk pada Pasal 50 ayat (1) Protokol Tambahan I 1977. Sehingga tentara anak yang statusnya masih diragukan maka akan dianggap sebagai penduduk sipil.

Terhadap anak yang telah tertangkap atau menyerah pada saat melakukan operasinya harus diberikan status tawanan perang sesuai dengan apa yang diatur dalam

Pasal 44 ayat (1) dan 44 ayat (5) Protokol Tambahan I 1977. Dalam ketentuan tersebut dinyatakan unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk menjadi tawanan perang, yakni seorang kombatan, menyerah atau tertangkap, terlibat atau tidak dalam operasi militer.

  • 2.1.2.2    Akibat hukum keterlibatan tentara anak-anak dalam konflik bersenjata dilihat dari perspektif Prinsip Pembedaan dalam Hukum Humaniter Internasional

Hukum Humaniter Internasional mengatur sejumlah akibat hukum yang dapat ditimbulkan dari pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan perang. Mengenai Keterlibatan Tentara Anak dalam suatu konflik bersenjata dapat memiliki akibat hukum baik terhadap anak itu sendiri maupun negara yang menggunakannya.

Akibat hukum bagai tentara anak itu sendiri dapat berupa perubahan status Penduduk Sipil yang dimilikinya menjadi kombatan dalam hal anak tersebut telah memenuhi syara-syarat kombatan. Sesuai dengan penjelasan dalam Manual of military law,3 maka tentara anak yang telah menjadi kombatan akan kehilangan privilegesnya sehingga anak yang terlibat dalam konflik bersenjata dapat dijadikan sebagai objek kekerasan, tetapi tidak dapat dokenakan hukuman mati.

Selain itu, tentara anak yang tertangkap oleh lawan maka akibat hukumnya adalah berstatus sebagai Tawanan Perang yang sekaligus mencabut kebebasan anak tersebut. Kendatipun demikian, mereka tetap harus mendapatkan perlakuan yang layak sesuai dengan Pasal 26, 27, 29, dan 30 Konvensi Jenewa III serta harus ditempatkan terpisah dari tawanan perang yang telah dewasa.

Terhadap para pihak yang menggunakan tentara anak, Negara dapat diberikan sanksi. Salah satu bentuk sanksinya berupa pembayaran kompensasi berdasarkan Pasal 91 Protokol Tambahan I 1977, Aturan 149 Hukum Humaniter Internasional Kebiasaan dan collective responsibility.4

Selain Negara, komandan yang menggunakan tentara anak tidak terlepas dari tanggung jawab berdasarkan commander responsibility sebagaimana diatur di dalam Pasal

  • 28    Statuta Roma. Adapun sanksi yang dapat dikenakan berupa penjara, denda, restitusi, rehabilitasi dan kompensasi.5

  • 3.   KESIMPULAN

Terdapat beberapa status yang dapat diberikan terhadap anak-anak yang direkrut ke dalam angkatan bersenjata, seperti kombatan, unlawfull combatant, penduduk sipil, dan tawanan perang. Terdapat beberapa pihak yang dapat diberikan akibat hukum terkait dengan penggunaan tentara anak, yaitu kepada anak itu sendiri, Negara, dan komandan perang.

  • 4.   DAFTAR PUSTAKA

Buku

Ambarawati, Denny Ramadhany dan Rina Rusman, 2009, Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Haryomataram, 1984, Hukum Humaniter, CV.Rajawali, Jakarta.

Haryomataram, 2007, Pengantar Hukum Humaniter, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Wagiman, Wahyu, 2005, Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia, ELSAM, Jakarta.

Dokumen Internasional

Convention (I) for the Amelioration of the Condition of the Wounded and Sick in Armed

Forces in the Field. Geneva, 12 August 1949.

Convention (III) relative to the Treatment of Prisoners of War. Geneva, 12 August 1949.

Customary International Humanitarian Law

Hague Regulations 1907

Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and relating to the

Protection of Victims of International Armed Conflicts (Protocol I), 8 June 1977.

Rome Statute of International Criminal Court 1998

Internet

http://www.hrw.org/news/1999/06/14/us-blocks-efforts-ban-use-child-soldiers