DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN PRESIDENSIAL YANG EFEKTIF

Susilo Imam Santosa

I Ketut Suardita

Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana

Abstract

Constitutionally Indonesia adopted a presidential system of government, proportional electoral system and embrace multi-party system. Until now, the democratic government built yet stable, this is not apart from the three buildings is not compatible. The formulation of the constitution mandated a presidential system proved difficult in practice, even walking is less effective especially supported by the weak performance and presidential institution in maintaining political stability. Thus the need to design an effective presidential system of government with an realignment both institutional and non institutional.

Keywords : Design, presidential system, effective.

Abstrak

Secara konstitusional Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial, sistem pemilu proporsional dan menganut sistem multi partai. Sampai sekarang, pemerintahan demokratis yang dibangun belum stabil, hal ini tidak terlepas dari tidak cocoknya bangunan ketiga sistem tersebut. Rumusan sistem presidensial yang diamanatkan konstitusi ternyata sulit dalam penerapannya, bahkan berjalan kurang efektif apalagi didukung oleh lemahnya performa dan lembaga presiden dalam menjaga stabilitas politik. Dengan demikian perlu desain sistem pemerintahan presidensial yang efektif dengan penataan kembali baik secara institusional maupun non institusional.

Kata Kunci : Desain, sistem presidensial, efektif.

  • I.   PENDAHULUAN

    II.   LATAR BELAKANG

Konstitusi kita telah menegaskan melalui ciri- cirinya, bahwa Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial, akan tetapi sistem presidensial ini diterapkan dalam konstruksi politik multipartai. Sistem multipartai merupakan sebuah konteks politik yang sulit dihindari karena Indonesia merupakan negara yang memiliki tingkat kemajemukan

masyarakat yang sangat tinggi dan tingkat pluralitas sosial yang kompleks. Secara teoretis, presidensialisme menjadi masalah jika berkombinasi dengan sistem multipartai. Ketidakstabilan pemerintahan dalam sistem presidensial diyakini semakin terlihat bila dipadukan dengan sistem multipartai. Pengalaman di beberapa negara yang mampu membentuk pemerintahan yang stabil karena memadukan sistem presidensial dengan sistem dwi partai, bukan multipartai, contohnya Amerika Serikat. Terkait dengan realitas yang demikian, muncul pertanyaan bagaimana desain sistem pemerintahan presidensial yang efektif di Indonesia dalam perspektif Hukum Tata Negara?

  • I .2. TUJUAN PENELITIAN

Kajian ini bertujuan untuk memahami serta mengetahui bagaimana seharusnya desain sistem pemerintahan presidensial yang efektif di Indonesia dalam perspektif Hukum Tata Negara.

  • II . ISI MAKALAH

    2.1    METODE PENELITIAN

Pengkajian penulisan ini termasuk dalam penelitian hukum normatif, penelitian hukum normatif juga disebut penelitian hukum doktrinal, juga disebut sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen. Disebut dengan penelitian hukum doktrinal, karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan – peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum lain. Sebagai penelitian perpustakaan ataupun studi dokumen disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan.1

  • 2.2 .  PEMBAHASAN

  • a.     Desain Sistem Presidensial di Indonesia

Indonesia menerapkan sistem presidensial yang tidak murni hal ini bisa dicermati dari karakteristik parlementer dalam proses legislasi. Meskipun adanya karakteristik parlementer dalam proses legislasi, namun hal tersebut tidak menjadi masalah karena kondisinya masih memungkinkan dan juga dilihat dalam konteks ketatanegaraan hal

semacam ini sah-sah saja, asalkan penggabungan sistem pemerintahan tetap dapat menghadirkan pemerintahan yang efektif, akuntabel, dan demokratis. Sistem presidensialisme di Indonesia pada kenyataannya telah dikombinasikan dengan sistem multipartai. Indonesia merupakan negara yang memiliki tingkat kemajemukan masyarakat yang sangat tinggi dan pluralitas sosial yang kompleks. Hal inilah yang menyebabkan Indonesia menggunakan sistem multipartai. Faktor utama adalah kemajemukan masyarakat. Faktor ini yang menyebabkan keniscayaan bagi penerapan sistem multipartai. Sementara kemajemukan masyarakat merupakan sesuatu yang bersifat given dalam struktur masyarakat Indonesia. Faktor kedua, sejarah dan sosio-kultural masyarakat, merupakan faktor pendukung bagi terbentuknya sistem multipartai. Multipartai semakin mantap ketika ditopang sistem pemilihan proporsional. Penerapan sistem pemilu proporsional menjadi faktor ketiga bagi terbentuknya multipartai di Indonesia. Ketiga faktor ini merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan dan memengaruhi. Pada saat ini terlihat bahwa penerapan presidensialisme yang berkombinasi dengan sistem multipartai dalam beberapa hal masih mengakibatkan pemerintahan kurang efektif.

  • b.    Desain Sistem Pemerintahan Presidensial yang Efektif di Indonesia dalam Perspektif Hukum Tata Negara

Sistem multipartai dengan jumlah partai sangat banyak perlu segera di dorong menjadi multipartai sederhana, terutama jumlah partai di parlemen. Multipartai dengan jumlah partai yang banyak perlu direkayasa secara institusional menjadi sistem multipartai sederhana. Penciutan jumlah partai politik juga dapat dilakukan asal saja direkayasa agar hal itu terjadi secara alamiah, bukan dipaksakan secara tidak demokratis.2 Ada tiga desain institusi politik yang perlu dirancang dan di tata kembali. Pertama, desain pemilu, pemilu perlu dirancang untuk mendorong penyederhanaan jumlah partai politik di parlemen sekaligus mendukung penguatan sistem pemerintahan presidensial. Dengan meroformasi sistem pemilu, penyederhanaan jumlah partai politik dapat ditempuh melalui beberapa agenda rekayasa institusional (institutional engineering), antara lain : menerapkan sistem pemilu distrik (plurality/majority system) atau sistem campuran (mixed member

proportional), memperkecil besaran daerah pemilihan (distric magnitude), menerapkan ambang batas kursi di parlemen (parliamentary threshold) secara konsisten, dan menggabungkan pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilu presiden. Kedua, desain institusi parlemen, rancangan kelembagaan parlemen diarahkan untuk menyederhanakan polarisasi kekuatan politik di parlemen, seperti pengurangan jumlah fraksi dan efektivitas koalisi agar proses-proses politik di parlemen menjadi lebih sederhana dan efisien dalam kerangka checks and balances yang proporsional untuk menghindari terlalu kuatnya lembaga legislatif. Berkaitan dengan hal itu, agenda rekayasa institusional yang perlu dirancang, antara lain : penyederhanaan jumlah fraksi di parlemen melalui pengetatan persyaratan ambang batas pembentukan fraksi, regulasi koalisi parlemen diarahkan ke dua blok politik (pendukung dan oposisi), dan penguatan kelembagaan dan kewenangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk mengimbangi DPR agar fungsi checks and balances tidak hanya terjadi antara presiden dan DPR, tetapi juga antara DPR dan DPD. Ketiga, desain institusi kepresidenan, desain institusi kepresidenan juga diarahkan untuk memperkuat posisi politik presiden di hadapan parlemen, agar kekuasaan parlemen tidak di atas presiden, tetapi juga menghindari terlalu kuatnya posisi presiden. Selain itu juga diarahkan kabinet solid dan pemerintahan dapat berjalan efektif. Karena itu, ada beberapa agenda rekayasa institusional, antara lain : penataan ulang sistem legislasi, presiden tidak memiliki kekuasaan dalam membentuk undang- undang tetapi diberikan hak veto, kejelasan kewenangan wakil presiden dan relasi antara presiden dan wakil presiden, dan aturan larangan rangkap jabatan bagi anggota kabinet. Selanjutnya masalah penyederhanaan partai, secara riil perlu desain untuk menyederhanakan jumlah partai di lembaga parlemen yakni dengan menerapkan parliamentary threshold sebesar 5% secara konsisten. Pengaturan ambang batas formal menimbulkan konsekuensi yuridis terjadinya penyederhanaan sistem kepartaian (sistem multipartai sederhana) dengan hilangnya sejumlah suara pada partai politik tertentu yang tidak memenuhi persentase yang ditentukan.3

Dengan berkurangnya jumlah partai dalam lembaga parlemen berarti juga jumlah fraksi yang ada dalam parlemen menjadi berkurang. Dengan demikian proses-proses politik di parlemen menjadi lebih sederhana dan efisien dalam kerangka checks and balances yang proporsional. Jika jumlah partai dalam lembaga parlemen sedikit berarti juga konfigurasi

koalisi partai pendukung pemerintah semakin sedikit namun semakin kuat dan kokoh. Untuk menyederhanakan jumlah partai juga bisa dilakukan dengan menerapkan sistem campuran antara sistem distrik dan sistem proporsional dalam sistem pemilunya. Upaya tersebut semakin menjadi sempurna jika didukung oleh karakter kepemimpinan presiden yang kuat dan tegas, sehingga tidak mudah untuk diintervensi dalam pembentukan kabinetnya. Struktur kabinet yang ideal adalah 10% dari parpol koalisinya, sedangkan sisanya diisi dari kalangan profesional murni non parpol. Dengan angka 10% ini diharapkan intervensi partai politik koalisinya semakin kecil dan lebih mengutamakan profesionalitas dari para menterinya. Selain itu para menteri yang berasal dari partai politik harus tidak menduduki jabatan tertentu di partainya, agar para menteri sepenuhnya dapat loyal kepada Presiden. Terkait dengan institusi presiden, maka kewenangan antara presiden dan wakil presiden harus jelas, disamping itu pemilihan langsung hanya untuk presiden saja sedangkan wakilnya dipilih oleh presiden.

III KESIMPULAN

Sistem presidensial yang efektif seharusnya menselaraskan antara pemilu, dimana pemilu perlu dirancang untuk mendorong penyederhanaan jumlah partai politik di parlemen. Kemudian desain institusi parlemen perlu diarahkan untuk menyederhanakan polarisasi kekuatan politik di parlemen, seperti pengurangan jumlah fraksi dan efektivitas koalisi agar proses-proses politik di parlemen menjadi lebih sederhana dan efisien dan yang terakhir desain institusi kepresidenan, desain institusi kepresidenan juga diarahkan untuk memperkuat posisi politik presiden di hadapan parlemen, agar kekuasaan parlemen tidak di atas presiden, tetapi juga menghindari terlalu kuatnya posisi presiden.

DAFTAR PUSTAKA

Bambang Waluyo, 2008, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta.

Janedjri M. Gaffar, 2012, Politik Hukum Pemilu, Konstitusi Press, Jakarta.

Jimly Asshiddiqie, 2006, Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi, Konstitusi Press, Jakarta.

5