PERTENTANGAN SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 DENGAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 34/ PUU-XI/ 2013 TERKAIT PENINJAUAN KEMBALI

Oleh :

I Gusti Made Agus Mega Putra Ni Made Yuliartini Griadhi

Program Kekhususan Hukum Pemerintahan Fakultas Hukum Universitas Udayana

Abstract :

This paper is entitled The Conflict Between Circular of The Supreme Court of Indonesia Number 7 2014 with The Decision of the Constitutional Court of Indonesia Number 34/PUU-XI/2013 Relating Reconsideration. The background of this paper is The Circular of The Supreme Court of Indonesia Number 7 2014 which contradicts the Decision of the Constitutional Court of Indonesia Number 34/PUU-XI /2013. The purpose of writing this paper is to determine the position of Circular in the legal system in Indonesia and how the conflict between the Circular of The Supreme Court of Indonesia Number 7 2014 and the Decision of the Constitutional Court of Indonesia Number 3/PUU-XI /2013. This paper uses normative method to analyze the problems by using acts and relevant literature. The conclusion of this paper is that the Circular could be classified as a policy rule ( beleidsregel ) therefore it can not change or deviate the legislation in force. To ensure legal certainty Court Decision No.34/PUU-XI /2013 should be used as guidelines for the Supreme Court and all courts in addressing the underlying land on the PK filing criminal cases .

Keywords : Circular of The Supreme Court of Indonesia Number 7 2014, Beleidsregel, Decision of the Constitutional Court of Indonesia Number 34 / PUU - XI / 2013, and Lex Specialis

Abstrak :

Karya ilmiah ini berjudul Pertentangan SEMA NO. 7 Tahun 2014 dengan Putusan MK NO. 34 / PUU-XI/2013 Terkait Peninjauan Kembali. Latar belakang dari tulisan ini adalah diterbitkanya SEMA NO. 7 Tahun 2014 bertentangan dengan Putusan MK NO. 34 / PUU-XI/2013. Tujuan penulisan karya ilmiah ini adalah untuk mengetahui kedudukan SEMA dalam sistem hukum di Indonesia serta bagaimana pertentangan antara SEMA No. 7 Tahun 2014 dengan Putusan MK No. 34/ PUU-XI/ 2013. Tulisan ini menggunakan metode normatif dengan menganalisis permasalahan dengan undang-undang dan literatur terkait. Kesimpulan dari tulisan ini yaitu SEMA termasuk SEMA No. 7 Tahun 2014 dapat diklasifikan sebagai peraturan kebijakan (beleidsregel) karenanya tidak dapat mengubah ataupun menyimpangi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk menjamin kepastian hukum dalam pengajuan PK pada perkara pidana, Putusan MK No. 34/ PUU-XI/ 2013 harus dijadikan pedoman bagi MA beserta semua pengadilan negeri dibawahnya dalam menangani pengajuan PK pada perkara pidana.

Kata Kunci : SEMA NO. 7 Tahun 2014, Peraturan Kebijakan, Putusan MK NO.

34 / PUU-XI/2013, dan Lex Specialis

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.2    Latar Belakang

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/ PUU-XI/ 2013 (Putusan MK) yang

membatalkan Pasal 268 ayat (3) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) berimplikasi pada peninjauan kembali (PK) dapat diajukan berkali- kali. Putusan MK ini kemudian direspon oleh Mahkamah Agung (MA) dengan menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2014 tentang PK hanya boleh diajukan sekali (SEMA No. 7 Tahun 2014). Diterbitkanya SEMA No. 7 Tahun 2014 oleh MA ini dinilai bertentangan dengan Putusan MK.

SEMA merupakan salah satu bentuk produk hukum yang dikeluarkan oleh MA. Pengaturan mengenai jenis dan hierarki peraturan peraturan perundang-undangan di Indonesia diatur dalam Pasal 7 dan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP). Baik dalam Pasal 7 maupun Pasal 8 UU PPP tidak menyebutkan secara eksplisit surat edaran maupun SEMA kedalam jenis peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur kedua Pasal tersebut. Padahal dalam praktek, MA sering mengeluarkan SEMA dan hampir tidak pernah ada yang mempersoalkan legalitas, kedudukan, serta mekanisme pengujianya. Perbedaan reaksi muncul ketika MA menerbitkan SEMA No. 7 Tahun 2014 yang bertentangan dengan Putusan MK.

Diterbitkanya SEMA No. 7 Tahun 2014 akan dapat menimbulkan suatu ketidakpastian hukum dalam hal pengajuan PK. Terlepas dari apakah PK hanya sekali atau dapat diajukan berkali-kali yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah mengenai kedudukan SEMA No. 7 Tahun 2014 dalam sistem hukum Indonesia serta pertentanganya dengan Putusan MK.

  • 1.2    Tujuan Penelitian

Tujuan dari penulisan karya ilmiah ini untuk mengetahui kedudukan SEMA dalam sistem hukum di Indonesia serta bagaimana pertentangan antara SEMA No. 7 Tahun 2014 dengan Putusan MK No. 34/ PUU-XI/ 2013.

  • II.    HASIL PEMBAHASAN

    • 2.1    Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah ini yaitu metode normatif dengan menganalisis undang-undang dan literatur. Jenis pendekatan yang digunakan dalam karya ilmiah ini adalah Statute Approach yaitu pendekatan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia yang berkaitan dengan masalah hukum yang terjadi.

  • 2.2    Kedudukan SEMA NO. 7 Tahun 2014 Dalam Sistem Hukum Indonesia

Kita mengenal tiga bentuk penuangan keputusan norma hukum yaitu peraturan (regels), keputusan administrasi negara (beschiking), dan putusan pengadilan (vonnis). Disamping itu ada pula yang dinamakan sebagai beleidsregel atau peraturan kebijakan yang sering disebut quasi peraturan, seperti petunjuk pelaksanaan, surat edaran (cetak tebal oleh penulis), instruksi, dan sebagainya yang tidak dapat dikategorikan sebagai peraturan tetapi isinya bersifat mengatur juga.1 Berdasarkan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 80 Tahun 2012 tentang Pedoman Tata Naskah Dinas Instansi Pemerintah, Surat Edaran adalah naskah dinas yang memuat pemberitahuan tentang hal tertentu yang dianggap penting dan mendesak. Terlihat bahwa surat edaran hanya merupakan petunjuk dan pemberitahuan.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya baik dalam Pasal 7 maupun Pasal 8 UU PPP tidak secara eksplisit menyebutkan surat edaran maupun SEMA kedalam jenis peraturan perundang-undangan. Merujuk pada Pasal 8 ayat (2) UU PPP, semua peraturan yang dibentuk berdasarkan perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan diakui keberadaanya dan memiliki kekuatan hukum mengikat. SEMA memang dibentuk berdasarkan kewenangan yang dimiliki oleh MA. Kewenangan MA dalam membuat peraturan yang berkaitan dengan pelaksanaan kewenanganya maupun menerbitkan SEMA, secara konstitusional dijamin dalam Pasal 24A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan diatur juga dalam Pasal 79 Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung (UU MA). Ketentuan inilah yang menjadi dasar bagi MA dalam mengeluarkan SEMA, Peraturan Mahkamah Agung (PERMA), dan produk hukum lain.

Namun produk hukum MA yang dapat diklasifikasikan sebagai peraturan perundang-undangan yang dibentuk berdasarkan kewenangan ini adalah PERMA bukanya SEMA. Jimly Asshiddiqie memasukkan peraturan MA sebagai peraturan yang

bersifat khusus sehingga tunduk pada prinsip lex specialis derogat legi generalis. Namun, Jimly mengkritik bentuk surat edaran yang materinya bersifat pengaturan. Jika materinya berisi peraturan, sebaiknya bentuk produk hukumnya adalah peraturan.2

Pada dasarnya SEMA dapat diklasifikan sebagai peraturan kebijakan (beleidsregel) karena SEMA adalah surat edaran yang dikeluarkan oleh pimpinan MA yang ditujukan kepada hakim dan jajaran peradilan yang berisi bimbingan dalam penyelenggaraan peradilan yang lebih bersifat administrasi dan mengatur kedalam. Peraturan kebijakan hanya berfungsi sebagai bagian dari operasional penyelenggaraan pemerintahan, karenanya tidak dapat mengubah ataupun menyimpangi peraturan perundang-undangan.3 Demikian halnya dengan SEMA No. 7 Tahun 2014 tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

  • 2.3    Pertentangan SEMA NO. 7 Tahun 2014 Dengan Putusan MK NO. 34/ PUU-

    XI/ 2013

Pasal 47 Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 jo. Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) menyatakan “Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum”. Ketentuan tersebut menunjukan bahwa dengan sendirinya Putusan MK tidak memerlukan pelaksanaan lain, karena sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno putusan telah memiliki kekuatan hukum.4 Putusan MK merupakan tafsir tertinggi terhadap ketentuan konstitusi yang dilakukan oleh MK sebagai the sole interpreter of constitution memiliki sifat final and binding sehingga harus ditaati oleh setiap warga negara dan semua cabang-cabang kekuasaan negara termasuk MA.

Tindakan MA menerbitkan SEMA No. 7 Tahun 2014 yang membatasi PK hanya sekali, jelas bertentangan dengan Putusan MK yang membatalkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP. Dengan dibatalkanya Pasal 268 ayat (3) KUHAP telah berimplikasi pada PK dapat diajukan berkali-kali sementara melalui SEMA, MA justru mengukuhkan PK hanya sekali. Penerbitan SEMA No. 7 Tahun 2014 dapat dikatakan sebagai suatu bentuk

ketidakpatuhan terhadap konstitusi sebagai hukum dasar dan juga pelanggaran terhadap konsepsi negara hukum.

Menurut MA dasar diterbitkanya SEMA, bukanlah KUHAP melainkan Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman) dan Pasal 66 ayat (1) UU MA . Diabaikanya Putusan MK yang membatalkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP dalam SEMA No. 7 Tahun 2014 merupakan alasan yang kurang tepat karena Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang telah dibatalkan ini harus dimaknai bersifat lex specialis terhadap UU MA dan UU Kekuasaan Kehakiman. Perlu dijelaskan bahwa ketentuan yang mengatur tentang PK dalam UU MA dan UU Kekuasaan Kehakiman adalah ketentuan yang berlaku umum terhadap pengajuan PK dalam perkara perdata, tata usaha negara dan agama. Khusus untuk perkara pidana mengacu pada Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang dalam hal ini telah dibatalkan oleh MK.

Dengan demikian untuk menjamin kepastian hukum dalam pengajuan PK pada perkara pidana, Putusan MK ini harus dijadikan pedoman bagi MA beserta semua pengadilan negeri dibawahnya dalam menangani pengajuan PK pada perkara pidana. Dalam setiap perumusan SEMA dan PERMA sepanjang itu menyangkut pengajuan PK pada perkara pidana harus mencantumkan Putusan MK dalam konsideranya. Sekarang semua peraturan perundang-undangan yang diterbitkan oleh pemerintah sejauh mengacu ke undang-undang yang pernah diputus MK selalu disebutkan putusan MK sebagai salah satu konsideranya.5

  • III.    SIMPULAN

SEMA pada dasarnya dapat diklasifikan sebagai peraturan kebijakan (beleidsregel) karena SEMA adalah surat edaran yang dikeluarkan oleh pimpinan MA yang ditujukan kepada hakim dan jajaran peradilan yang berisi bimbingan dalam penyelenggaraan peradilan yang lebih bersifat administrasi dan mengatur kedalam. Oleh karenanya tidak dapat mengubah ataupun menyimpangi peraturan perundang-undangan termasuk SEMA No. 7 Tahun 2014 tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk menjamin kepastian hukum dalam pengajuan PK pada perkara pidana, Putusan MK ini harus dijadikan pedoman bagi MA beserta semua pengadilan negeri dibawahnya dalam menangani pengajuan PK pada perkara pidana.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Asshiddiqie, Jimly, 2007, Konstitusi dan Ketatanegaraan Indonesia Kontemporer, The Biograghy Institute, Bekasi.

_______, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, PT Bhuana Ilmu Populer , Jakarta.

HR, Ridwan, 2011, Hukum Administrasi Negara Edisi Revisi, Cet. VII, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Muhammad Yasin, 2013, Kekuatan Hukum Produk-produk Hukum MA (Perma, SEMA, Fatwa,           SK           KMA),           URL           :

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl6102/kekuatan-hukum-produk-produk-hukum-ma-(perma,-sema,-fatwa,-sk-kma), diakses pada hari Senin, 9 Februari 2015.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor Tahun 1985 Nomor 3316)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234)

Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 80 Tahun 2012 tentang Pedoman Tata Naskah Dinas Instansi Pemerintah

6