KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI PADA SENGKETA HASIL PEMILIHAN KEPALA DAERAH
on
KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI PADA SENGKETA HASIL PEMILIHAN KEPALA DAERAH
Oleh :
Putu Tantry Octaviani
I Gusti Ngurah Parikesit Widiatedja
Bagian Hukum Pemerintahan Fakultas Hukum Universitas Udayana
ABSTRACT:
This writing shall be entitled as “The Authority of The Constitutional Court on The Result of Local Election’s Dispute". With normative, descriptive, evaluation and legal argumentation research, combined with statutory approach in its composition, this writing shall dicuss the authority of Constitutional Court before and after the existence of Constitutional Court Decision No.97/PUU-XI/2013. Before the issuance, the Constitutional Court has the right to resolve the dispute on the result of regional election. But it’s unconstitutional since Local Government and General Election was organized in a different chapter. After that desicion, the Constitutional Court has no right to resolve the dispute. Alternative that can be taken is giving authority to the High Administrative Court to resolve the dispute by publishing laws immediately.
Keywords: Authorities, Constitutional Court, Dispute, Local Election.
ABSTRAK:
Makalah ini berjudul “Kewenangan Mahkamah Konstitusi Pada Sengketa Hasil Pemilihan Kepala Daerah". Makalah ini mengkaji tentang kewenangan MK sebelum dan setelah diterbitkannya putusan MK No. 97/PUU-XI/2013. Makalah ini menggunakan metode penulisan yuridis normatif dan teknik analisis deskripsi, evaluasi, dan argumentasi, serta menggunakan pendekatan perundang-undangan. Sebelum adanya putusan MK No. 97/PUU-XI/2013, MK memiliki kewenangan untuk memutus sengketa pemilihan kepala daerah. Namun hal tersebut dinilai inkonstitusional karena perihal Pemilihan Umum dan Kepala Daerah diatur dalam bab berbeda dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Setelah adanya putusan tersebut, MK tidak lagi berwenang memutus sengketa pemilihan kepala daerah. Alternatif yang dapat diambil adalah segera menerbitkan Undang-Undang yang memberikan kewenangan kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dalam hal memutus sengketa pemilihan kepala daerah.
Kata kunci: Kewenangan, Mahkamah Konstitusi, Sengketa, Pemilihan Kepala Daerah.
Sejak lama Bangsa Indonesia begitu mendambakan kehadiran sistem kekuasaan kehakiman yang dapat digunakan untuk menguji Undang-Undang (selanjutnya disebut UU) dibawah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945). Oleh sebab itu, UUD NRI 1945 dijadikan sebagai satu-satunya simbol atas tegaknya negara yang diselenggarakan berdasarkan hukum.1 Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 melahirkan lembaga baru di bidang kekuasaan kehakiman yaitu Mahkamah Konstitusi.2 Berdasarkan Pasal 24C UUD NRI 1945 menetapkan bahwa Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut MK) merupakan salah satu lembaga negara yang utama yang mempunyai kedudukan setara dengan lembaga negara yang utama lainnya, yaitu MPR, DPR, DPD, BPK, MA, Presiden dan Wakil Presiden.
MK merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan pengadilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kewenangan MK diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945, yang berbunyi: “MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”
Mencermati UUD NRI 1945 BAB VII B tentang Pemilihan Umum, Pasal 22E ayat (2) dikatakan bahwa: “Pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Daerah”, tidak ada disebutkan dalam pasal tersebut untuk memilih kepala daerah. Sementara tentang pemilihan kepala daerah (selanjutnya disebut Pilkada) diatur dalam UUD NRI 1945, yaitu pada BAB VI tentang Pemerintahan Daerah, pada pasal 18 ayat (4) yang berbunyi : “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”. Implikasi dimasukannya Pilkada ke dalam rezim pemilihan umum oleh UU No. 22 Tahun 2007
tentang Penyelenggara Pemilihan Umum adalah terjadinya pelimpahan kewenangan terhadap perselisihan tentang hasil Pilkada ke MK. Hal tersebut dipertegas dengan dikeluarkannya UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU Pemda) dan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut UU Kekuasaan Kehakiman).
Pengalihan ini kemudian memaksa MK berbagi fokus antara wewenang yang diberikan UUD NRI 1945 dengan ketatnya batas waktu penyelesaian sengketa hasil Pilkada yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yakni pada Pasal 78 huruf a yaitu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi. Banyaknya gugatan yang masuk akibat dari penyelenggaraan Pilkada yang tidak serentak dan sempitnya waktu sidang menyebabkan MK tidak dapat maksimal secara cermat memeriksa kasus sengketa Pilkada. Sehingga pada Senin, 19/5/2014 dalam putusan MK No. 97/PUU-XI/2013, MK mengabulkan untuk seluruhnya uji materi (judicial review) Pasal 236C UU Pemda dan Pasal 29 ayat (1) huruf e UU Kekuasaan Kehakiman .
Berdasarkan uraian tersebut, dapat dikemukakan permasalahan sebagai berikut: Bagaimana kewenangan MK sebelum dikeluarkannya putusan MK No. 97/PUU-XI/2013 dan setelah dikeluarkannya putusan tersebut?
Tujuan penulisan ini adalah untuk mengkaji kewenangan MK sebelum dan setelah dikeluarkannya putusan MK No. 97/PUU-XI/2013.
Metode penulisan yang digunakan dalam penulisan ini adalah yuridis normatif, yaitu metode penulisan hukum dengan meneliti peraturan perundang-undangan tertulis dan bahan pustaka yang ada, dikaji dengan pendekatan perundang-undangan (the statute approach), yaitu menelaah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas. Teknik analisis dalam makalah ini adalah teknik deskripsi, evaluasi, dan argumentasi, yaitu menguraikan apa adanya suatu kondisi dari suatu proposisi
hukum, kemudian memberikan penilaian suatu keputusan yang didasarkan pada alasanalasan yang bersifat penalaran hukum.
Perubahan Pilkada dari rezim pemerintahan daerah ke rezim pemilihan umum ditegaskan dengan UU Pemda.3 Sebelum dikeluarkannya putusan MK No. 97/PUU-XI/2013 dan berdasarkan UU tersebut, yaitu pada Pasal 236C, terjadi pengalihan tugas dari MA kepada MK apabila terjadi sengketa dalam hasil Pilkada paling lama 18 bulan sejak UU ini diundangkan. Dengan diberlakukannya pasal tersebut, penyelesaian sengketa Pilkada menjadi kewenangan MK dan Pilkada menjadi rezim hukum pemilihan umum.4
UU Pemda tersebut didukung dengan UU Kekuasaan Kehakiman. Pada UU Kekuasaan Kehakiman, khususnya pada Pasal 29 ayat (1) huruf e, dan dijelaskan pada penjelasan Pasal 29 ayat (1) huruf e, menyebutkan bahwa kewenangan MK termasuk untuk memutus sengketa hasil Pilkada sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 236C UU Pemda dan Pasal 29 ayat (1) huruf e UU Kekuasaan Kehakiman justru mengaburkan fungsi dari MK sendiri.
Dengan menambah wewenang untuk memutus sengketa hasil Pilkada, maka MK sudah melenceng dari kewajibannya untuk mengawal konstitusi. Pasca MK mengabulkan putusan MK No. 97/PUU-XI/2013, maka hak untuk memutus sengketa hasil Pilkada tidak lagi menjadi kewenangan MK. Hal ini disebabkan karena Pasal 236C UU Pemda dan Pasal 29 ayat (1) huruf e UU Kekuasaan Kehakiman dianggap inkonstitusional karena tidak sesuai dengan Pasal 22E UUD NRI 1945. Pemilihan umum yang dimaksud dalam UUD NRI 1945 adalah pemilihan legislatif dan pemilihan presiden serta pemilihan wakil presiden, bukan Pilkada. Namun, MK masih berwenang mengadili perselisihan hasil Pilkada selama belum ada UU yang mengatur mengenai hal tersebut.
Kemudian untuk menghindari adanya ketidakpastian hukum, alternatif yang dapat diambil adalah segera menerbitkan UU yang memberikan kewenangan kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut PT TUN) dalam memutus sengketa hasil Pilkada. Hal ini mengingat bahwa obyek yang digugat adalah keputusan Komisi Pemilihan Umum Daerah (selanjutnya disebut KPUD) yang sifatnya administratif dan termasuk dalam kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut PTUN).
Salah satu kewenangan MK adalah memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Sebelum adanya putusan MK No. 97/PUU-XI/2013, melalui Pasal 263C UU Pemda dan Pasal 29 ayat (1) huruf e UU Kekuasaan Kehakiman, kewenangan MK diperluas termasuk memutus sengketa hasil Pilkada.
Pasca keluarnya putusan MK No. 97/PUU-XI/2013, kewenangan MK dicabut dalam memutus sengketa hasil Pilkada dan menjadi terbatas hanya pada memutus perselisihan hasil pemilihan umum legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden. Namun selama belum ada UU yang mengatur, MK masih berwenang memutus sengketa hasil Pilkada. Alternatif yang dapat diambil adalah segera menerbitkan UU yang memberikan kewenangan kepada PT TUN dalam menangani hal tersebut karena obyek sengketanya adalah keputusan KPUD yang bersifat administratif dan merupakan kompetensi PTUN.
Gaffar, Jenedjri M., 2013, Demokrasi dan Pemilu di Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta.
Huda, Ni’matul, 2005, Hukum Tata Negara Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Syahrizal, Ahmad, 2006, Peradilan Konstitusi, PT Pradnya Paramita, Jakarta.
Konstitusi Press, 2012, Demokrasi Lokal Evaluasi Pemilukada di Indonesia, Konstitusi
Press, Jakarta.
Peraturan Perundang – Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
5
Discussion and feedback