KEWAJIBAN KONSUMEN PEMILIK PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA DIESEL PERMANEN DAYA DIBAWAH 500 KVA UNTUK KEPENTINGAN SENDIRI
on
KEWAJIBAN KONSUMEN PEMILIK PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA DIESEL PERMANEN DAYA DIBAWAH 500 KVA
UNTUK KEPENTINGAN SENDIRI
Gede Adi Widiatmika, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: Adiwidiatmika58@gmail.com
I Putu Rasmadi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: rasmadifh@gmail.com
ABSTRAK
Penelitian ini menginvestigasi kewajiban konsumen yang menjadi pemilik Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) instalasi permanen dengan daya di bawah 500 kVA dan menekankan pentingnya memenuhi kewajiban tersebut. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, yang juga dikenal sebagai metode penelitian kajian hukum, yang memfokuskan penelitian pada peraturan yang tertulis atau kaidah dan norma yang berlaku. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan kewajiban oleh konsumen dapat memberikan perlindungan terhadap hak-hak konsumen. Melaksanakan kewajiban ini dianggap sebagai upaya preventif dalam perlindungan konsumen, bertujuan untuk mencegah timbulnya permasalahan terkait penggunaan barang dan jasa oleh konsumen. Dalam konteks kepemilikan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel instalasi permanen dengan daya di bawah 500 kVA, konsumen memiliki kewajiban tertentu. PLTD berkapasitas 0-25 kVA memerlukan laporan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri, sementara PLTD berkapasitas 25-200 kVA harus mendapatkan surat keterangan terdaftar dari Kementerian ESDM dengan masa berlaku hingga genset rusak. Untuk PLTD berkapasitas di atas 200 kVA, diperlukan Izin Operasi dan Sertifikat Laik Operasi dari Dinas ESDM dengan masa berlaku lima tahun, yang dapat diperpanjang setelah berakhir. Kelalaian dalam memenuhi kewajiban ini berpotensi menimbulkan sanksi bagi konsumen. Oleh karena itu, guna melindungi hak-hak konsumen dan memenuhi kewajiban, pemilik PLTD instalasi permanen dengan daya di bawah 500 kVA disarankan untuk secara penuh mematuhi persyaratan perizinan, memiliki Sertifikat Laik Operasi, dan mengoperasikan PLTD sesuai dengan perizinan yang dimilikinya.
Kata Kunci : Perlindungan Konsumen, Kewajiban Konsumen, Sertifikat Laik Operasi, PLTD, Izin Operasi.
ABSTRACT
This research investigates the obligations of consumers who own Permanent Diesel Power Plant (PLTD) installations with a capacity below 500 kVA and emphasizes the importance of fulfilling these obligations. The study employs a normative legal research method, also known as the legal study method, which focuses on regulations, written rules, and applicable norms. The research findings indicate that the implementation of consumer obligations can provide protection for consumer rights. Fulfilling these obligations is considered a preventive measure in consumer protection, aiming to prevent issues related to the use of goods and services by consumers. In the context of owning Permanent Diesel Power Plant installations with a capacity below 500 kVA, consumers have specific obligations. PLTD with a capacity of 0-25 kVA requires a report on the provision of electricity for personal use, while PLTD with a capacity of 25-200 kVA must obtain a registered certificate from the Ministry of Energy and Mineral Resources with validity until the generator set is damaged. For PLTD with a capacity above 200 kVA, an Operating Permit and a Certificate of Operation Suitability from the Ministry of Energy and Mineral Resources are required, valid for five years and extendable upon expiration. Neglecting these obligations may lead to sanctions for consumers. Therefore, to protect consumer rights and fulfill obligations, owners of Permanent Diesel Power Plant installations with a capacity below 500 kVA are advised to fully comply with licensing requirements, possess a Certificate of Operation Suitability, and operate the PLTD in accordance with the obtained permits.
Keywords: Consumer Protection, Consumer Obligations, Certificate of Fitness for Operation, PLTD, Operational Permit.
Barang dan atau jasa merupakan suatu alat yang pada dasarnya dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan setiap manusia.1 Listrik menjadi keperluan pokok konsumen dalam menjalani kesehariannya, hingga bisnis serta perindustrian bagi setiap konsumen yang menggunakan listrik. Perseroan Terbatas Perusahaan Listrik Negara (Persero) menjadi Perusahaan Listrik yang memenuhi pasokan akan kebutuhan listrik di Indonesia yang telah memiliki izin.2 Namun, beberapa pemadaman terhadap kelistrikan yang dilaksanakan oleh PT Perusahaan Listrik Negara kerap kali menyebabkan konsumen atau pelanggan listrik terganggu. Seperti contoh, Terdapat gangguan pada suatu Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) dengan daya 500KV yang berlokasi di Paiton-Grati yang menyebabkan PT Perusahaan Listrik Negara memutuskan pasokan listrik bergilir selama 3 (tiga) jam diseluruh wilayah Bali dan berbagai masalah memutuskan pasokan listrik secara sepihak oleh PT PLN (Persero).
Menanggapi situasi tersebut, konsumen mencari opsi lain untuk memenuhi pasokan listrik mereka ketika PT PLN (Persero) tidak dapat menyediakan listrik. Salah satu opsi tersebut adalah dengan menggunakan Pembangkit Listrik Bertenaga Diesel yang disingkat menjadi PLTD. PLTD menciptakan listrik yang dihasilkan melalui tenaga diesel, dengan mesin diesel yang menjadi Prime Mover.3 Prime mover atau mesin diesel berperan dalam mewujudkan energi gerak untuk memutar Rotor. Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) umumnya dimanfaatkan dalam menyumbang listrik dengan kuantitas rendah, seperti untuk daerah pelosok, pedesaan, dan penyediaan pasokan listrik kepada konsumen pabrik.4 Kemudian, PLTD ini merupakan pilihan untuk pembakit listrik cadangan yang harus dapat dioperasikan ketika terjadi kekurangan pasokan listrik (gangguan) yang dialami konsumen listrik.5
Terdapat jenis PLTD instalasi permanen yaitu PLTD dengan daya dibawah 500 kVa untuk kepentingan sendiri sebagai penyedia kebutuhan listrik pribadi konsumen. Dimana, PLTD tersebut memberikan jaminan akan pasokan listrik, saat penyedia jasa listrik yaitu PT. PLN (Persero) melakukan pemadaman listrik atau sebagai pembangkit cadangan. Hal ini begitu penting karena Listrik menjadi
prioritas dan tak terpisahkan dari kehidupan rakyat atau konsumen yang memerlukannya.6
Melihat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang selanjutnya disebut UUPK dapat dipahami bahwa Perlindungan yang diberikan berasaskan kemanfaatan, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan subyek hukum yang dilindungi dalam hal ini konsumen serta kepastian hukum baginya. Untuk memenuhi asas kemanan serta keselamatan, undang-undang mewajibkan pula untuk membaca dengan seksama, kemudian mengikuti dengan baik dan benar semua informasi petunjuk beserta prosedur pemanfaatan barang dan jasa agar keamanan, keselamatan dan kenyamanan konsumen terlindungi. Dalam hal kewajiban konsumen yang memiliki PLTD instalasi permanen dengan daya dibawah 500 kVa untuk kepentingan sendiri, telah diatur kewajibannya yang tersebar di beberapa peraturan yang ada di Indonesia demi menghindari konsumen dari kerugian, dimana sekiranya akan timbul dikemudian hari dan hal ini tentunya wajib dipatuhi oleh seluruh pemilik instalasi PLTD dengan daya dibawah 500 kVA untuk kepentingan sendiri.
Penelitian sebelumnya yang digunakan sebagai perbandingan penelitian ini (State of Art) adalah Penelitian tentang Aspek Hukum Pidana Penyalahgunaan Genset Pada Rumah Sakit dan Pabrik Dikaitkan dengan Kepastian Hukum Berdasarkan UU Ketenagalistrikan yang ditulis oleh Theta Natasha yang membahas mengenai Penyalahgunaan Genset atau Pembangkit Listrik Tenaga Diesel atau PLTD oleh suatu rumah sakit dan pabrik dengan menggunakan UU Ketenagalistrikan untuk mengetahui penegakan hukum dan faktor kendala dari penegakan hukum tersebut.7 Kemudian, penelitian yang kemudian menjadi perbandingan dari penelitian ini adalah penelitian yang diteliti oleh Ni Putu Sarasita Kismadewi dan Made Gde Subha Karma Resen Fakultas Hukum Universitas Udayana yang berisikan tentang bagaimana Perlindungan Konsumen Pengguna Listrik Ditinjau Dari sisi Hukum Normatif.8
Kemudian, Adapun fokus dari penelitian ini adalah membahas mengenai mengapa pemenuhan kewajiban yang dimiliki oleh konsumen atau pemilik PLTD (Pembangkit Listrik Tenaga Diesel/Genset) dapat melindungi hak yang dimiliki konsumen itu sendiri dan bagaimana kewajiban yang dimiliki oleh pemilik PLTD dengan daya dibawah 500kVa yang tentunya berbeda fokus dari State of Art atau penelitian sebelumnya. Penelitian ini memiliki urgensi untuk melindungi konsumen dari dampak berbahaya yang mungkin timbul dikemudian hari serta
memudahkan konsumen dalam mengetahui dan memenuhi kewajibannya hingga memberikan pandangan mengapa kewajiban tersebut harus konsumen penuhi.
Hal yang menjadi pokok permasalahan dan selanjutnya akan dibahas pada bagian hasil dan pembahasan yaitu:
-
1. Mengapa pemenuhan kewajiban yang dimiliki oleh konsumen dapat melindungi hak-hak yang dimiliki oleh konsumen itu sendiri?
-
2. Bagaimana kewajiban pemilik Pembangkit Listrik Tenaga Diesel instalasi permanen dengan daya dibawah 500 kVa serta sanksi apa yang timbul bila tidak mengindahkan kewajiban tersebut?
Terdapat manfaat atau hasil yang akan dituju dari penulisan artikel ini yaitu bertujuan mengetahui alasan pemenuhan kewajiban yang dimiliki oleh konsumen dapat melindungi hak-hak yang dimiliki oleh konsumen itu sendiri. Serta mengetahui kewajiban pemilik Pembangkit Listrik Tenaga Diesel instalasi permanen dengan daya dibawah 500 kVa serta sanksi apa yang timbul bila tidak mengindahkan kewajiban tersebut.
Artikel ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif atau hukum normatif. Metode penelitian ini sering disebut sebagai kajian hukum yang fokus pada analisis peraturan dan undang-undang yang terdokumentasi secara tertulis, serta pada prinsip-prinsip dan norma-norma yang berlaku.9 Penelitian normatif juga mengfokuskan pada penilaian dokumen dengan mengumpulkan data sekunder melalui analisis literatur, yang melibatkan implementasi metode deskriptif terhadap informasi yang diperoleh dari sumber-sumber pustaka.10 Sumber-sumber hukum utama yang akan dieksplorasi mencakup UU Perlindungan Konsumen, UU tentang Ketenagalistrikan, Permen ESDM Nomor 12 Tahun 2021 mengenai Klasifikasi, Kualifikasi, Akreditasi, dan Sertifikasi Usaha Jasa Penunjang Tenaga Listrik, Permen ESDM Nomor 29 Tahun 2012 tentang Kapasitas Pembangkit Tenaga Listrik untuk Kepentingan Sendiri yang Dilaksanakan Berdasarkan Izin Operasi, serta PP tentang Kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik. Di samping itu, sumber hukum kedua melibatkan penelitian jurnal dan buku yang relevan dengan fokus penelitian ini. Sumber-sumber, baik primer maupun sekunder, akan dikumpulkan melalui pendekatan studi kepustakaan. Penelitian ini bersifat deskriptif dalam ranah hukum, di mana temuan dari sumber-sumber primer dan sekunder akan diuraikan dan dianalisis untuk mencapai kesimpulan yang akurat dan benar.
-
3. Hasil dan Pembahasan
-
3.1. Pemenuhan kewajiban yang dimiliki oleh konsumen dapat melindungi hak-hak yang dimiliki oleh konsumen itu sendiri.
-
Konsumen berwujud seseorang pengguna barang atau jasa dalam kehidupan bermasyarakat, entah untuk keperluan pribadi, sesamanya, atau hewan
maupun tumbuhan, dan bukan diperuntukkan terhadap keperluan niaga.11 Perlindungan Konsumen melibatkan upaya untuk melindungi konsumen dari risiko yang terkait dengan pengadaan dan penggunaan barang atau jasa, mulai dari proses perolehan hingga dampak penggunaannya. Tujuan utama dari Perlindungan Konsumen adalah menciptakan lingkungan yang aman dan memberikan kepastian hukum kepada konsumen dalam memenuhi kebutuhan mereka. Dengan demikian, Perlindungan Konsumen dapat dijelaskan sebagai prinsip-prinsip dan regulasi yang mengatur serta menjaga hak-hak konsumen dalam interaksi, proses penyediaan, dan pemanfaatan produk konsumen di dalam masyarakat.12 Didukung pula dengan pernyataan dari Sidharta yang menyatakan pada intinya Perlindungan Konsumen adalah prinsip-prinsip hukum yang mengatur penyelesaian masalah yang muncul di antara berbagai pihak terkait barang dan/atau jasa konsumen dalam kehidupan masyarakat juga Kehadiran Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) bertujuan memberikan perlindungan dan menjamin kepastian hukum.13
UUPK memiliki dasar dari Perlindungan Hukumnya yaitu prinsip kemanfaatan, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum. Prinsip-prinsip ini membentuk hak juga kewajiban konsumen, sebagaimana diatur dalam UUPK, yaitu dapat disimpulkan sebagai berikut:
-
a. Hak Konsumen
Perlu diketahui hak adalah suatu kuasa untuk menerima hingga melakukan sesuatu yang seharusnya.14 Kemudian, Hak Konsumen pada intinya ialah hak konsumen memegang peran sentral dalam dinamika hubungan antara pelaku usaha dan konsumen, menjadi dasar utama yang mengukur kualitas pengalaman konsumsi. Hak ini mencakup dimensi-dimensi yang mencerminkan esensi dari sebuah transaksi yang adil dan bermartabat. Mulai dari hak untuk merasakan kenyamanan, keamanan, dan keselamatan, hingga kebebasan memilih barang/jasa yang sejalan dengan nilai tukar dan janji yang dipegang teguh. Lebih dari sekadar hak, hak konsumen menjadi sebuah panggilan untuk transparansi yang sejati, informasi yang terang benderang, dan perlakuan yang tidak hanya jujur namun juga bebas dari diskriminasi. Hak konsumen mencapai puncaknya dalam kebebasan menyuarakan pendapat dan keluhan, serta dijamin mendapatkan advokasi, perlindungan, dan penyelesaian sengketa yang seimbang. Pembinaan dan pendidikan konsumen menjadi landasan bagi kesadaran akan hak-haknya, dan pelayanan yang adil menjadi manifestasi dari hak untuk diperlakukan secara manusiawi. Selain itu, hak konsumen mencakup hak untuk mendapatkan kompensasi jika barang/jasa tidak sesuai dengan perjanjian, serta hak-hak lain yang tertulis dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Serangkaian hak ini mencitrakan konsumen sebagai individu yang bertanggung jawab, berintegritas, dan diakui dalam setiap tahap transaksi konsumtifnya.
-
b. Kewajiban Konsumen
Kewajiban konsumen terdiri dari beberapa aspek penting yang mencerminkan tanggung jawab dan integritas dalam setiap transaksi konsumtif. Pertama, konsumen berkewajiban untuk membaca dan mengikuti dengan seksama prosedur penggunaan atau pemanfaatan barang dan/atau jasa beserta memahami informasi pelengkapnya, dengan tujuan menjaga keamanan ditambah keselamatan pengguna. Kedua, konsumen diharapkan berlaku dengan Good Faith sepanjang melakukan transaksi barang jasa, menjunjung tinggi etika dan integritas dalam setiap langkahnya. Ketiga, kewajiban membayar dengan nilai tukar sebagaimana telah disepakati yang juga menjadi aspek penting lainnya, menandakan komitmen konsumen untuk mematuhi perjanjian finansial. Terakhir, konsumen juga berkewajiban untuk ikut serta dalam penyelesaian sengketa perlindungan konsumen dengan cara yang benar, menunjukkan partisipasi aktif dalam menyelesaikan ketidaksepakatan secara adil dan seimbang. Melalui pemenuhan kewajiban-kewajiban ini, konsumen memberikan kontribusi positif dalam turut serta menjaga hak-hak yang ia miliki.
Hak-hak konsumen yang patut dijaga melibatkan aspek-aspek krusial. Ini mencakup hak terhadap keamanan dan keselamatan, menekankan perlunya memberikan prioritas terhadap aspek-aspek tersebut dalam setiap transaksi konsumtif. Hak mendapatkan informasi yang akurat serta jujur menjadi unsur penting lainnya, mencerminkan kebutuhan konsumen dalam mendapatkan informasi yang dapat diandalkan. Hak untuk memilih barang/jasa sesuai kebutuhan menegaskan pentingnya memberikan konsumen kebebasan untuk membuat pilihan sesuai preferensi dan kebutuhan mereka. Hak untuk menyampaikan pendapat memberikan wadah bagi konsumen untuk berpartisipasi aktif dalam memberikan masukan dan keluhan terkait pengalaman konsumtif mereka. Hak untuk mendapatkan kompensasi menciptakan landasan untuk perlindungan konsumen dalam menghadapi ketidaksesuaian atau kerugian dalam transaksi. Terakhir, hak terhadap lingkungan yang bersih dan sehat menekankan pentingnya keberlanjutan dan dampak positif transaksi konsumtif terhadap lingkungan. Melalui pemahaman dan penjagaan hak-hak ini, konsumen dapat memastikan bahwa pengalaman konsumtif mereka didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan, keamanan, dan kesejahteraan.15
Dalam istilah yang lebih teknis, konsep perlindungan hukum dapat didefinisikan sebagai penyatuan dua gagasan, yaitu "perlindungan" dan "hukum." Pemahaman konsep ini dapat dijabarkan sebagai berikut: "Perlindungan" merujuk pada langkah-langkah atau inisiatif yang diambil untuk melindungi, sementara "hukum" mengacu pada aturan atau norma yang diakui secara resmi dan mengikat, yang diberlakukan oleh pemerintah atau otoritas yang berwenang. Dalam perspektif Philipus M. Hadjon, Perlindungan hukum terbagi menjadi dua bentuk, yakni preventif dan represif. Perlindungan hukum preventif bertujuan untuk mencegah timbulnya sengketa dengan mendorong pemerintah agar berhati-hati dalam pengambilan keputusan dan berdiskresi sesuai dengan hukum. Sementara itu, perlindungan hukum represif bertujuan menyelesaikan sengketa melalui
lembaga peradilan setelah terjadinya pelanggaran, mencakup penyelidikan dan penegakan hukum untuk memastikan keadilan. Dalam keseluruhan, kedua pendekatan ini saling melengkapi untuk menjaga keseimbangan dan keadilan dalam sistem hukum.16 Sasaran perlindungan hukum ini adalah untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan atau tindakan sewenang-wenang. Dengan demikian, konsep perlindungan hukum mencerminkan harmonisasi antara langkah-langkah proaktif untuk melindungi dengan prinsip-prinsip hukum yang terikat secara resmi, dengan tujuan utama mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan memastikan perlakuan adil dan sesuai dengan norma hukum.
Jika kita merujuk kembali kepada UUPK, segala tindakan yang memiliki tujuan untuk memberikan kepastian terhadap hukum dalam rangka melindungi hak dan kepentingan konsumen merupakan Perlindungan Konsumen. Terdapat dua jenis upaya perlindungan konsumen yang dapat dilakukan, yaitu upaya represif (yang dilakukan setelah terjadinya pelanggaran atau akibat) dan upaya preventif (yang bertujuan untuk mencegah terjadinya pelanggaran atau masalah).17 Upaya yang bersifat represif adalah tindakan yang dilakukan setelah munculnya masalah atau perselisihan dalam perlindungan konsumen, dengan niat untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Sementara upaya yang bersifat preventif adalah usaha yang diambil sebelum terjadinya konflik atau permasalahan, dengan maksud untuk menjauhi dan mengendalikan dampak berbahaya sehubungan dengan penggunaan barang dan jasa dalam perlindungan konsumen.18 Terutama pada Pasal 5 huruf a UUPK, terdapat suatu ketentuan yang mengharuskan konsumen untuk membaca, mengikuti, melaksanakan petunjuk serta prosedur yang memuat informasi mengenai pemanfaatan barang dan jasa. Tindakan ini dilakukan dengan tujuan utama untuk menjamin keamanan, kenyamanan hingga keselamatan konsumen. Pasal 5 huruf a menjadi satu langkah preventif yang diatur dalam perlindungan konsumen, bertujuan mencegah timbulnya dampak yang akan membahayakan. Hak yang dijelaskan dalam Pasal 4 UUPK, termasuk hak terhadap kenyamanan dalam penggunaaannya, keamanan dalam penggunaannya, dan keselamatan dalam menggunakan barang dan jasa, diperoleh setelah mereka melaksanakan kewajibannya dalam pasal 5 UUPK. Ini mencerminkan bahwa kewajiban konsumen untuk membaca dan mengikuti petunjuk juga berdampak positif, memberikan akses kepada konsumen terhadap hak-hak mereka guna menjaga keamanan dan kenyamanan dalam penggunaan barang dan jasa. Dengan mematuhi kewajiban-kewajiban konsumen, hak-hak mereka akan lebih terlindungi, sehingga ini juga merupakan upaya preventif dalam perlindungan konsumen.
-
3.2. Kewajiban pemilik Pembangkit Listrik Tenaga Diesel instalasi permanen dengan daya dibawah 500 kVa serta sanksi yang timbul bila tidak mengindahkan kewajiban tersebut.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini berfokus pada aspek kepastian hukum yang terkait dengan segala dimensi pemenuhan kebutuhan
konsumen, dimana dimensi kepastian hukum ini melibatkan segala tindakan yang disusun berdasarkan prinsip-prinsip hukum yang berlaku, dengan tujuan memberdayakan konsumen dalam membuat pilihan terkait barang dan jasa yang mereka butuhkan. Lebih dari itu, dimensi ini juga bertujuan melindungi hak-hak konsumen apabila mereka merugi oleh tindakan penyedia usaha barang dan jasa tersebut. Upaya pemberdayaan konsumen mencakup peningkatan kesadaran, peningkatan keterampilan, dan peningkatan kemandirian mereka dalam melindungi diri, sehingga mereka mampu meningkatkan martabat dan kualitas hidup dengan mampu mengendalikan dampak negatif dari dan pemanfaatan barang dan jasa yang diperlukan.19 Dampak negatif yang mungkin ditimbulkan dari PLTD dan harus dikendalikan, salah satunya ialah seperti Gangguan Pendengaran Akibat Bising, atau GPAB (Noise Induced Hearing Loss/NIHL), merujuk pada kerusakan pendengaran yang disebabkan oleh paparan terus-menerus terhadap suara keras dalam periode waktu yang cukup lama. Umumnya, gangguan ini dipicu oleh kebisingan di lingkungan kerja.20 Hingga, Pemakaian bensin dan solar untuk mengoperasikan PLTD seringkali menimbulkan dampak negatif karena dapat menyebabkan emisi gas karbon dioksida, yang berpotensi menciptakan polusi dan merusak lingkungan. Penggunaan air dianggap sebagai opsi terbaik dalam menyuplai bahan bakar untuk genset karena tidak menyebabkan pencemaran udara yang tentunya harus dikendalikan pula melalui pemenuhan tanggung jawab bagi konsumen yang menggunakannya.21
Maka, konsumen perlu memahami dan mematuhi tanggung jawab mereka sebagai pemilik instalasi PLTD permanen dengan kapasitas di bawah 500 kVa dengan mengacu pada beberapa regulasi yang ada, yaitu:
Pertama, Dalam kajian ini, mari kita perhatikan UU Ketenagalistrikan, yaitu Merinci bahwa Izin Operasi adalah persyaratan esensial untuk menyediakan pasokan tenaga listrik untuk keperluan internal. Konsep ini mengacu pada pemanfaatan tenaga listrik untuk kebutuhan sendiri tanpa niat niaga. Penyediaan (listirik) untuk kebutuhan internal mencakup tahap pembangkitan, distribusi, dan transmisi tenaga listrik. Penting diketahui pelaksanaan Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan internal, seperti yang diatur dalam Pasal 12, bisa dilakukan oleh berbagai entitas seperti BUMN, Swasta, Individu dan Badan Usaha maupun lembaga lainnya.
Kedua, jika kita mengacu Permen ESDM Nomor 12 Tahun 2021 mengenai Klasifikasi, Kualifikasi, Akreditasi, dan Sertifikasi Usaha Jasa Penunjang Tenaga Listrik, terdapat ketentuan-ketentuan berhubungan dengan pembangkit tenaga listrik untuk penggunaan internal dengan kapasitas maksimal hingga 500 kilowatt dan spesifikasi teknis kontrol panelnya. Dalam Pasal 46, disebutkan bahwa dalam hal kontrol panel pembangkit tersebut terdiri dari satu bagian terpisahkan, maka diperlukan Sertifikat Laik Operasi (SLO) atau dokumen yang menegaskan bahwa
perangkat ini memenuhi standar operasi yang ditetapkan. Namun, jika kontrol panel tersebut terdiri dari satu bagian yang tak terpisahkan, maka harus mematuhi persyaratan SLO atau sertifikat Laik Operasi yang mencakup dokumen seperti Sertifikat Produk atau pernyataan resmi yang menegaskan kualitas keselamatan dari pemilik instalasi Tenaga Listrik. Dokumen ini juga harus dilengkapi dengan garansi dari produsen, hasil uji atau Comissioning Test oleh teknisi distributor, atau dokumen pemeliharaan instalasi pembangkit tenaga listrik.
Ketiga, dalam Permen ESDM Nomor 29 Tahun 2012 tentang Kapasitas Pembangkit Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Sendiri yang Dilaksanakan Berdasarkan Izin Operasi, dijelaskan bahwa usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri dengan kapasitas pembangkit tenaga listrik di atas 200 kVA wajib memperoleh izin operasi dan untuk usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri dengan kapasitas pembangkit tenaga listrik hingga 25 kVA, diwajibkan untuk menyampaikan laporan ke pejabat yang berwenang.
Keempat, PP Nomor 14 Tahun 2012 mengenai Kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik, Terdapat suatu regulasi yang memastikan bahwa penyediaan tenaga listrik untuk keperluan sendiri dengan kapasitas tertentu hanya diizinkan setelah memperoleh Izin Operasi dan Besaran kapasitas ini diatur dalam peraturan menteri yang berlaku.
Maka, dapat disimpulkan bahwa pemilik instalasi PLTD permanen yang memiliki kapasitas di bawah 500 kVA memiliki sejumlah tanggung jawab yang perlu dipenuhi. Untuk kapasitas sampai dengan 25 kVA, diwajibkan untuk melaporkan PLTD mereka. Sementara itu, pada kapasitas antara 25 kVA sampai dengan 200 kVA, wajib mendapatkan surat keterangan terdaftar dari Dinas ESDM yang berlaku hingga pembangkit rusak. Di sisi lain, pemilik instalasi dengan kapasitas di atas 200 kVA harus memperoleh Izin Operasi dan Sertifikat Laik Operasi dari ESDM yang berlaku dalam 5 tahun. Namun, ketidakpatuhan terhadap kewajiban ini memiliki sanksi yang dapat menjerat konsumen sesuai dengan ketentuan UU Ketenagalistrikan bersama dengan UU Cipta Kerja, dimana sanksi merupakan wujud penegakan hukum terhadap suatu peraturan perundang-undangan.22 Setiap instalasi tenaga listrik yang beroperasi diwajibkan memiliki Sertifikat Laik Operasi (SLO), dan setiap individu yang mengoperasikan instalasi tanpa SLO yang menyebabkan terjadinya kecelakaan dapat dikenai pidana penjara hingga 5 tahun dan denda maksimal Rp 500.000.000. Untuk instalasi dengan kapasitas di atas 200 kVA, perlu mendapatkan izin operasi yang berlaku selama lima tahun. Melanggar ketentuan ini berpotensi menimbulkan sanksi pidana penjara hingga lima tahun dan denda maksimal Rp 4.000.000.000. Badan usaha yang melakukan pelanggaran dikenai denda maksimal ditambah sepertiganya berdasarkan UU Ketenagalistrikan. Namun, Dalam konteks instalasi tenaga listrik rumah tangga masyarakat yang dioperasikan tanpa SLO, dampak yang timbul karena absennya SLO menjadi tanggung jawab penyedia tenaga listrik. 23
Melaksanakan kewajiban sebagai konsumen memiliki peran sentral dalam menjaga hak-hak konsumen dan berperan sebagai langkah preventif dalam perlindungan konsumen. Terkait kepemilikan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) instalasi permanen dengan daya di bawah 500 kVA, konsumen memikul tanggung jawab spesifik. Pertama, untuk PLTD berkapasitas 0 kVA - 25 kVA, konsumen diwajibkan untuk melaporkan kegiatan penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri. Sedangkan untuk PLTD dengan kapasitas 0 kVA - 25 kVA, konsumen harus mendapatkan surat keterangan terdaftar dari Dinas ESDM yang berlaku hingga genset tersebut mengalami kerusakan. Sementara untuk PLTD berkapasitas di atas 200 kVA, diperlukan izin operasi dan Sertifikat Laik Operasi dari Dinas ESDM yang berlaku selama 5 (lima) tahun, dengan opsi perpanjangan. Namun, kelalaian terhadap kewajiban ini mendapat konsekuensi serius sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Setiap instalasi tenaga listrik diwajibkan memiliki Sertifikat Laik Operasi (SLO), dan pelaku yang mengoperasikan instalasi tanpa SLO yang menyebabkan kecelakaan dapat dihukum penjara hingga 5 (lima) tahun dan dikenakan denda maksimal Rp. 500.000.000. Selanjutnya, jika instalasi tenaga listrik rumah tangga masyarakat dijalankan tanpa SLO, dampak yang timbul karena ketiadaan SLO menjadi tanggung jawab penyedia tenaga listrik. Adapun instalasi dengan kapasitas di atas 200 kVA wajib memiliki izin operasi berlaku selama 5 (lima) tahun. Pelanggaran terhadap peraturan ini dapat mengakibatkan sanksi penjara hingga 5 (lima) tahun dan denda maksimal Rp. 4.000.000.000. Peraturan tersebut juga memberikan sanksi serius jika badan usaha terlibat dalam pelanggaran, dengan denda maksimal yang dapat ditingkatkan hingga sepertiganya. Dengan demikian, untuk melindungi hak-hak konsumen dan mematuhi kewajibannya, pemilik PLTD disarankan harus mematuhi persyaratan perizinan dan memegang Sertifikat Laik Operasi sebagai bukti bahwa PLTD telah melewati uji dan aman digunakan. Selain itu, PLTD harus digunakan sesuai dengan izin yang dimiliki untuk mencegah potensi risiko bagi konsumen dan masyarakat. Ini adalah bentuk perlindungan konsumen yang bersifat pencegahan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Armia, Muhammad Siddiq. Penentuan Metode & Pendekatan Penelitian Hukum. Banda Aceh, Lembaga Kajian Konstitusi Indonesia (LKKI), 2022.
Dewi, Eli Wuria. Hukum Perlindungan Konsumen. Yogyakarta, Graha Ilmu, 2015.
Panjaitan, Hulnan. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta, Jala Permata Aksara, 2021.
Jurnal:
Ariwibowo, Didik, dkk. “Sistem Perawatan Mensin Genset Di PT (Persero) Pelabuhan Indonesia II.“ Prosiding Seminar Nasional Pendidikan FKIP 3, No. 1 (2020): 294-580.
Farahdiba, Siti Zikrina, dkk. “Tinjauan Pelanggaran Hak Dan Pengingkaran Kewajiban Warga Negara Berdasarkan UUD 1945” Jurnal Kewarganegaraan 5, No. 2 (2021): 838. DOI: https://doi.org/10.31316/jk.v5i2.2044.
Fitri, Anak Agung Wulan Mutiara dan Priyanto, I Made Dedy. “Perlindungan Hukum Konsumen dalam Kegiatan Jual Beli Photocard di Indonesia.” Jurnal Kertha Desa 11, No. 7 (2023) : 2791-2801.
Indra Susanto, dkk. “Analisis Pembangkit Tenaga Diesel Di Pulau Celagen.” Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 3 (2019): 122. DOI:
https://doi.org/10.33019/snppm.v3i0.1329.
Kismadewi, Ni Putu Sarasita Kismadewi dan Resen, Made Gde Subha Karma. “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Pengguna Listrik Ditinjau Dari Hukum Normatif Yang Berlaku Di Indonesia.” Jurnal Kertha Semaya 10, No. 5 (2022): 1046-1056. https://doi.org/10.24843/KS.2022.v10.i05.p06.
Kusuma, I Gusti Ngurah Wijaya Kusuma dan Wiryawan, I Wayan. “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Akibat Pembatalan Konser Musik.” Jurnal Kertha Desa 11, No. 2 (2023) : 1669-1680.
Natasha, Theta. “Aspek Hukum Pidana Penyalahgunaan Genset Pada Rumah Sakit dan Pabrik Dikaitkan dengan Kepastian Hukum Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.” Prosiding Ilmu Hukum 7, No. 1(2021): 531536. DOI: http://dx.doi.org/10.29313/.v7i1.26977.
Pakiding, Anton Ilintamon, dan Tumaliang, Hans. “Analisis Unjuk Kerja Sistem Produksi Listrik Pada Pembangkit Listrik Tenaga Diesel Waena.” Jurnal Teknik Elektro dan Komputer 8, No. 3 (2019): 133. DOI: https://doi.org/10.35793/jtek.v8i3.26593.
Pratiwiningrat, Anak Agung Ayu Manik, dkk. “Tanggung jawab Pelaku Usaha Terhadap Konsumen Yang Mengalami Kerugian Akibat Produk Makanan Kadaluarsa.” Jurnal Kertha Semaya 3, No. 3 (2015): 16.
Royhan, Muhamad. “Perencanaan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel 2 MW.” EPIC (Journal of Electrical Power, Instrumentation and Control) 4 No.1 (2021): 46. DOI:
http://dx.doi.org/10.32493/epic.v4i1.10485.
Saifulloh, Putra Perdana Ahmad. “Urgensi Penataan Regulasi Desentralisasi Ketenagalistrikan untuk Mewujudkan Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya Masyarakat Daerah.” Jurnal Legislasi Indonesia 19, No. 3 (2022): 410-424. DOI:
https://doi.org/10.54629/jli.v19i3.955.
Safitri, Riri dan Westra, I Ketut. “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Atas Padamnya Listrik Akibat Keadaan Memaksa (Fource Majure) di Wilayah Area Bali Selatan.” Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum 1, No.8 (2013): 1-14.
Sinaga, Niru Anita dan Sulisrudatin, Nunuk. “Pelaksanaan Perlindungan Konsumen Di Indonesia.” Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara 5, No. 2 (2015) : 77.
Swadesi, Made Isma Amanda, dkk. “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Terkait Label Berbahasa Asing Dalam Suatu Produk Kosmetik.” Jurnal Analogi Hukum 3, No. 3 (2021): 3. DOI: https://doi.org/10.22225/ah.3.3.2021.344-349.
Swari, Dewa Ayu Nadia dan Putra, I Putu Rasmadi Arsha. “Tanggung Jawab Pelaku Usaha Dalam Penjualan Produk Masker Wajah Organik Tanpa Pencantuman Tanggal Kedaluarsa.” Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum 11, No. 3 (2023) : 644 – 654. DOI: : https://doi.org/10.24843/KS.2023.v11.i03.p15.
Peraturan Perundang-Undangan dan Lembaran Negara dan Tambahan Lembaran Negara: Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2021 tentang Klasifikasi, Kualifikasi, Akreditasi, dan Sertifikasi Usaha Jasa Penunjang Tenaga Listrik.
Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2012 tentang Kapasitas Pembangkit Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Sendiri Yang Dilaksanakan Berdasarkan Izin Operasi.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Kegiatan Usaha
Penyediaan Tenaga Listrik.
Jurnal Kertha Negara Vol 11 No. 10 Tahun 2023 hlm 1106-1117
1117
Discussion and feedback