ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN DISPENSASI NIKAH ANAK DI BAWAH UMUR

Ni Luh Made Yari Purwani Sasih, Fakultas Hukum Universitas Udayana, email: yaripurwanis03@gmail.com

Putri Triari Dwijayanthi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: putritriari@unud.ac.id

ABSTRAK

Studi ini bertujuan untuk menggali informasi mengenai ketentuan hukum positif di Indonesia tentang dispensasi pernikahan serta menganalisis sebuah putusan pengadilan Nomor 131/Pdt.P/2023/PN Gin untuk mengetahui apa sajakah yang dijadikan pertimbangan oleh Hakim dalam mengabulkan sebuah permohonan dispensasi pernikahan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif yang berfokus pada analisis kaidah hukum yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, maupun doktrin para pakar hukum. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, “dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur, orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup” sebagaimana ketentuan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan. Kemudian, terkait dengan analisis pertimbangan yang Hakim gunakan untuk mengabulkan sebuah permohonan dispensasi yang terdapat dalam kasus Nomor 131/Pdt.P/2023/PN Gin mendapati hasil bahwa, Hakim telah mempertimbangkan keadaan dan kebaikan anak dari para pemohonon dan calon anaknya nanti, baik dalam segi sosial maupun spiritual.

Kata Kunci: Perkawinan, Dispensasi Nikah, Permohonan Dispensasi

ABSTRACT

This study aims to explore information on positive legal provisions in Indonesia regarding the This study aims to explore information on positive legal provisions in Indonesia regarding marriage dispensation and analyze a court decision number 131 / Pdt.P / 2023 / PN Gin to find out what are the considerations taken by the judge in granting a marriage dispensation application. This study uses a normative research method that focuses on the analysis of legal rules derived from legislation, Court decisions, and the doctrine of legal experts. The results of this study indicate that, “in the event of a deviation in the age provision, the parents of the man and/or the parents of the woman may request a dispensation to the court on the grounds of urgency accompanied by sufficient supporting evidence” as provided in Article 7 Paragraph (2) of the Marriage Law. Then, related to the analysis of the consideration that the judge used to grant a dispensation application contained in case number 131/Pdt.P / 2023 / PN Gin found that the judge had considered the circumstances and kindness of the children of the applicants and their prospective children, both in terms of social and spiritual.

Keywords: Marriage, Marriage Dispensation, Petition for Dispensation

  • 1.    Pendahuluan

    1.1.    Latar Belakang Masalah

Melangsungkan pernikahan sesuai impian dan rencana yang begitu matang tentu menjadi idaman setiap pasangan. Sebagai makhluk biologis, manusia melakukan perkawinan dengan tujuan untuk melanjutkan

kelangsungan hidup dengan melahirkan keturunan.1 Undang-Undang Perkawinan menerangkan bahwa, “Perkawinan ialah ikatan lahir dan bathin seorang pria dan seorang Wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Perkawinan menjadi sebuah hak yang telah dimiliki oleh setiap individu manusia, baik pria maupun wanita. Di Indonesia, ketentuan mengenai perkawinan telah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019. Dalam UU tersebut, terdapat beberapa persyaratan yang wajib dipenuhi sebelum seseorang bisa melangsungkan perkawinan, termasuk kematangan dan kesiapan emosional serta psikologis dalam membina rumah tangga. Salah satu hasil dari pertimbangan kematangan dan kesiapan ini adalah penetapan usia minimal untuk menikah. Pengaturan terhadap usia minimum untuk seseorang ketika ingin melangsungkan perkawinan bertujuan guna melindungi hak anak-anak dan remaja serta untuk mencegah perkawinan anak.2 Dalam lembar penjelasan UU Perkawinan menerangkan bahwa, “Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun. Ketentuan tersebut memungkinkan terjadinya perkawinan dalam usia anak pada wanita. Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Pelindungan Anak didefinisikan bahwa, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.” Sehingga, dalam perubahannya pada Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan bahwa, “perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 Tahun.” Dengan ini, diperlukan juga pengimplementasian yang tepat untuk merealisasikan Undang-Undang Perlindungan Anak terkhususnya pada Pasal 26 mengatur bahwa “orang tua berkewajiban untuk mencegah pernikahan di usia anak-anak.”3

Adanya sebuah syarat minimal umur tersebut tentu memikiki tujuan sebagai upaya membatasi terjadinya perkawinan dini. Kematangan psikologis sangat dibutuhkan untuk mewujudkan keluarga yang harmonis, kematangan psikologis tersebutlah sangat memiliki kaitan erat dengan usia.4 Melangsungkan perkawinan ketika belum cukup umur dinilai dapat melahirkan dampak-dampak negatif terhadap masa bertumbuh dan berkembang bagi anak. Pernikahan ketika berusia di bawah umur juga dinilai menyebabkan penghambat terpenuhinya berbagai hak dasar anak-anak, “hak atas Pedidikan, hak atas Kesehatan, hak sipil anak, hak atas

perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, dan hak sosial anak” merupakan serangkaian hak anak yang wajib untuk dipenuhi. Di samping dampak-dampak tersebut, pernikahan di bawah umur dapat menimbulkan dampak signifikan yang diawali dengan ketidakharmonisan rumah tangga, hingga pernikahan menjadi kandas dan berakhir dengan perceraian.5 Hal tersebut disebabkan karena kurangnya kesiapan mental dan emosional setiap pasangan dengan usia yang masih minor.6 Namun, apabila kemudian adanya “hal penyimpangan” terhadap ketentuan minimum usia, maka para pihak-pihak yang memiliki kepentingan bisa mengajukan sebuah permohonan dispensasi kepada Pengadilan. Dispensasi nikah merupakan sebuah izin pengecualian terhadap sebuah ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan. Untuk mengajukan sebuah permohonan dispensasi ke Pengadilan, permohonan tersebut dapat disampaikan ke Pengadilan ketika dalam suatu perkawinan posisi calon mempelai pria maupun wanita masih berusia di bawah 19 Tahun. Jadi, sebuah dispensasi dapat dimaknai sebagai sebuah izin pengecualian terhadap ketentuan peraturan hukum dalam hal ini adalah UU Perkawinan yang seharusnya berlaku secara formil.7

Jika dikaitkan dan dibandingkan dengan beberapa penelitian sebelumnya yang telah penulis amati, penelitian ini memuat kesamaan dalam segi topik, yaitu persamaan dalam hal membahas dispensasi nikah. Namun, dengan fokus kajian yang berbeda. Pada tahun 2019, Suhaila Zukifli mengkaji mengenai “Analisis Yuridis Terhadap Permohonan Izin (Dispensasi) Nikah Bagi Anak Dibawah Umur”. Penelitian tersebut berfokus pada kasus dispensasi menikah dalam kasus nomor 95/PDT.P/2017/PA.MDN.8 Kemudian tahun 2019, A. Riyan Fadhil dan A.A. Ngurah Yusa Darmadi mengkaji mengenai “Tinjauan Yuridis Terhadap Dispensasi Perkawinan di Bawah Umur Menurut Hukum Islam9”. Penelitian tersebut berfokus pada pengaturan dispensasi perkawinan anak di bawah umur dan akibat hukumnya di dalam perspektif Hukum Islam. Sedangkan, dalam penelitian ini, penulis berfokus untuk menganalisis ketentuan perkawinan di bawah umur disertai analisis apa sajakah pertimbangan yang digunakan oleh Hakim ketika akan mengabulkan sebuah permohonan dispensasi nikah anak di bawah umur di PN Gianyar. Selain itu, pembeda penelitian ini dengan penelitian lainnya ialah, penelitian ini akan mengkaji berdasarkan perspektif hukum positif di Indonesia terlebih lagi setelah diubahnya Undang-Undang Perkawinan. Kajian ini juga menganalisis putusan Nomor 131/Pdt.P/2023/PN Gin dengan tujuan

untuk mengetahui apa sajakah pertimbangan yang digunakan oleh Hakim di PN Gianyar untuk mengabulkan sebuah permohonan dispensasi tersebut.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimanakah ketentuan dispensasi perkawinan menurut perspektif Hukum Positif di Indonesia?

  • 2.    Apa sajakah pertimbangan yang digunakan oleh Hakim ketika mengabulkan permohonan dispensasi nikah dalam putusan nomor 131/Pdt.P/2023/PN Gin?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Tujuan dari studi ini adalah untuk mengetahui ketentuan hukum positif di Indonesia mengenai dispensasi pernikahan. Selain itu, studi ini juga menganalisis putusan pengadilan Nomor 131/Pdt.P/2023/PN Gin untuk mengetahui mengetahui apa sajakah pertimbangan yang digunakan oleh Hakim di PN Gianyar untuk mengabulkan permohonan tersebut.

  • 2.    Metode Penelitian

Dalam studi ini penulis menggunakan sebuah metode penelitian hukum normatif. “Penelitian hukum normatif adalah jenis penelitian hukum yang berfokus pada analisis kaidah hukum yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, maupun doktrin para pakar hukum.”10 Kemudian, penelitian ini dikenal juga sebagai studi kepustakaan, karena penulis melakukan analisis berdasarkan literatur hukum yang telah ada. Dalam tulisan ini, penulis menggunakan "Statute Approach" atau pendekatan undang-undang. Pendekatan ini melibatkan pengkajian undang-undang maupun regulasi yang isu yang dibahas. Metode penelitian ini melibatkan dua tahap utama, yaitu Literature Review (Tinjauan Pustaka), Penulis melakukan penelusuran dan pengumpulan literatur hukum yang relevan terkait dengan topik penelitian. Kemudian, setelah mendapatkan literatur yang dianggap relevan, penulis akan melakukan analisis berupa analisis kualitatif terhadap bahan atau materi-materi yang ditemukan. Metode penelitian dan pendekatan yang digunakan dalam kajian ini yaitu untuk menemukan serta menganalisis terkait kaidah atau norma permohonan dispensasi nikah anak di bawah umur, terkhusunya menemukan ketentuan dispensasi perkawinan dalam perspektif hukum positif di Indonesia dan pertimbangan Hakim dalam hal mengabulkan permohonan dispensasi nikah sesuai dengan Putusan Nomor 131/Pdt.P/2023/PN Gin.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    3.1.    Ketentuan Dispensasi Perkawinan menurut Hukum Positif di Indonesia

Dilangsungkannya suatu perkawinan tidak sekedar sebagai pemenuhan kebutuhan biologis saja, melainkan sebagai pelaksanaan kodrat hidup seorang manusia.11 Perkawinan merupakan suatu ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berlandaskan

Ketuhanan Yang Maha Esa. Ikatan lahir mengacu pada aspek hukum dari perkawinan, yang menciptakan hubungan resmi diantara pasangan suami istri. Dalam hal ini ialah hubungan yang diakui oleh hukum dan masyarakat secara umum. Melalui perkawinan, pasangan tersebut memiliki tanggung jawab dan hak-hak hukum tertentu, seperti hak atas harta bersama, hak untuk memutuskan tentang anak-anak mereka, dan lain-lain. Sedangkan Ikatan bathin adalah aspek emosional dan spiritual dari perkawinan. Ini mencerminkan pertalian jiwa kedua belah pihak yang telah memutuskan untuk menjalani kehidupannya secara bersama, yaitu sebagai pasangan suami dan isteri. Dalam hal ini berkaitan dengan kesepakatan dan komitmen mereka untuk saling mendukung, mencintai, dan menjalani kehidupan bersama. Ini dimulai dengan persetujuan dan kemauan bersama untuk menikah. Ikatan bathin ini seringkali menjadi dasar dari hubungan yang kuat dan berkelanjutan dalam perkawinan, di mana pasangan saling menghormati, saling mencintai, dan saling memahami.

Di Indonesia, segala ketentuan mengenai perkawinan telah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Suatu perkawinan dianggap sebagai suatu perbuatan hukum, yang berarti bahwa setiap perkawinan harus mematuhi ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. Untuk melaksanakan perkawinan yang sah, pasangan wajib mematuhi prosedur dan memenuhi seluruh syarat sebagaimana tertuang dalam undang-undang. Beberapa persyaratan tersebut mencakup usia minimum, persetujuan atau kesepakatan dari pihak yang berkepentingan, dan lain sebagainya. Melalui perkawinan yang sah, pasangan suami isteri memperoleh kepastian hukum atas status mereka sebagai pasangan yang dapat dikatakan telah sah di mata hukum. Dengan itu, mereka memiliki “hak dan kewajiban” tertentu yang diakui secara resmi oleh negara. Sehingga, kepentingan hukum pasangan suami isteri juga pasti akan terlindungi terlindungi.12 Dengan berlakunya UU Perkawinan, negara pun mengatur perkawinan untuk melindungi hak-hak dan kewajiban pasangan serta memberikan landasan hukum yang jelas dalam kasus perkawinan dan perceraian. Hal ini juga membantu mencegah perkawinan yang sah secara hukum dilangsungkan tanpa mematuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku.

Untuk menilai sah atau tidaknya suatu perbuatan hukum, yang dalam pembahasan ini adalah perkawinan, telah diatur oleh ketentuan UU Perkawinan. Suatu perkawinan dapat dikatakan sah sebagaimana dalam bunyi Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu” beserta Pasal 2 ayat (2) yang menentukan bahwa, “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku”. Jika salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi, maka perkawinan yang telah dilaksanakan tidak dapat dikatakan sah di mata hukum. Syarat-syarat yang dimaksud adalah syarat materil dan syarat formil. Pertama syarat materiil, merupakan sebuah syarat yang diperuntukkan untuk individu setiap calon mempelai. Kedua

syarat formil, adalah suatu hal yang wajib dipenuhi saat dilangsungkannya perkawinan.13

  • A.    Syarat Materiil

Syarat materiil yang diatur dalam UU Perkawinan, yaitu:

  • -    “Perkawinan harus didasarkan persetujuan kedua calon mempelai.” Sebagaimana ketentuan Pasal 6 ayat (1).

  • -    “Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan Wanita sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun.” Sebagaimana ketentuan Pasal 7 ayat (1).

  • -    “Seorang yang masih terikat perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali dalam hal yang termuat dalam pasal 3 ayat (2) dan pasal 4.” Sebagaimana ketentuan Pasal 9.

  • B.    Syarat Formil

Sedangkan syarat formil dalam UU Perkawinan, meliputi:

  • -    “Pencatatan perkawinan”, bertujuan untuk mewujudkan suatu ketertiban perkawinan dalam tatanan Masyarakat.

  • -    “Akta nikah”, merupakan sebuah surat tanda bukti perkawinan yang dapat menjadi sebuah jaminan hukum apabila di kemudian hari baik pihak suami maupun pihak isteri dianggap telah melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang.

Berdasarkan syarat-syarat tersebut, dalam syarat materiil terdapat batasan usia ketika ingin melansungkan perkawinan. Tepatnya pada Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan menetapkan bahwa “perkawinan hanya diizinkan jika pria dan wanita telah mencapai usia 19 tahun.” Namun tidak dapat dipungkiri bahwa, kasus pernikahan anak di bawah umur di Indonesia masih sering terjadi karena berbagai faktor, seperti rendahnya pendidikan, masalah ekonomi, dan pemahaman terhadap budaya atau agama tertentu, serta masih banyak lagi.14 Faktor yang lumrah terjadi salah satunya adalah kehamilan. Pernikahan inilah yang disebut sebagai “maried by accident” atau menikah karena “kecelakaan.”15 Ketika seorang pria dan wanita yang berusia minor melakukan hubungan seksual, seringkali dapat mengakibatkan kehamilan yang tidak diinginkan. Sehingga, mengharuskan kedua belah pihak tersebut untuk dinikahkan. Pernikahan semacam ini sering kali terjadi karena tekanan sosial, agama, atau keputusan darurat yang diambil oleh pasangan yang merasa perlu untuk menikah setelah mengetahui bahwa mereka akan memiliki anak.

Melihat masih banyaknya kemungkinan pelaksanaan pernikahan anak dengan usia minor, Pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan kemudian mengatur bahwa, “dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur, orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup.” Penggunaan frasa "dengan alasan

sangat mendesak" dalam konteks permohonan dispensasi memiliki tujuan yang baik dalam memastikan bahwa pengajuan dispensasi berlangsung secara transparan, adil, dan dengan mempertimbangkan kepentingan yang benar-benar mendesak yang disertai dengan bukti-bukti yang mendukung.16

Berikut merupakan penjelasan pasalnya sebagaimana tertuang dalam lembar penjelasan, “Yang dimaksud dengan "penyimpangan" hanya dapat dilakukan melalui pengajuan permohonan dispensasi oleh orang tua dari salah satu atau kedua belah pihak dari calon mempelai kepada Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi yang lainnya apabila salah satu atau kedua mempelai masih berumur di bawah 19 tahun. Yang dimaksud dengan "alasan sangat mendesak" adalah keadaan yang tidak ada pilihan lain dan sangat terpaksa harus dilangsungkan perkawinan. Yang dimaksud dengan "bukti-bukti pendukung yang cukup" adalah surat keterangan yang membuktikan bahwa usia mempelai masih di bawah ketentuan undang-undang (19 tahun) dan surat keterangan dari tenaga kesehatan yang mendukung pernyataan orang tua bahwa perkawinan tersebut sangat mendesak untuk dilaksanakan. Untuk memastikan terlaksananya ketentuan tersebut, Pemerintah melakukan sosialisasi dan pembinaan kepada masyarakat mengenai pencegahan perkawinan usia dini, bahaya seks bebas, dan akibat perkawinan tidak tercatat, demi mewujudkan generasi bangsa yang lebih unggul.”

  • 3.2.    Pertimbangan Yang Digunakan Oleh Hakim Ketika Mengabulkan Permohonan Dispensasi Nikah Dalam Putusan Nomor 131/Pdt.P/2023/PN Gin

Salah satu hal yang menjadi prinsip penting sebuah negara hukum adalah adanya sebuah “jaminan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.”17 Hakim harus mempertimbangkan aspek hukum dalam memberikan putusan. Ini mencakup pemahaman yang baik tentang peristiwa atau duduk perkara yang sedang dipertimbangkan dan kemampuan untuk menghubungkannya dengan peraturan yang relevan. Kemudian, Hakim juga harus dapat mengaitkan hukum yang berlaku dengan situasi kenyataan yang ada dalam perkara yang dihadapinya. Ini memungkinkan Hakim untuk memberikan putusan yang lebih tepat sesuai dengan konteks kasus yang bersangkutan. Tujuan utama dari sistem peradilan adalah untuk menciptakan suatu keadilan bagi semua pihak. Hakim harus memastikan bahwa putusannya menghasilkan keadilan, dan ini bisa berarti mempertimbangkan berbagai faktor yang relevan. Putusan hakim harus memberikan kepastian hukum, hal ini penting untuk memastikan bahwa hukum diterapkan secara konsisten dan dapat diandalkan. Pentingnya prinsip-prinsip ini dalam negara hukum adalah untuk memastikan bahwa hukum ditegakkan dengan adil, bahwa hak-hak

individu dihormati, dan bahwa masyarakat dapat mempercayai sistem peradilan untuk mencari keadilan. Dispensasi nikah adalah salah satu contoh kasus yang perlu ditangani dengan cermat oleh sistem peradilan untuk memenuhi prinsip-prinsip ini. Sehingga, untuk mengabulkan maupun menolaknya, seorang Hakim selalu memerlukan sebuah pertimbangan yang sangat matang.18

Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 5 tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin telah memuat “konsep dasar hukum dalam hal pemeriksaan permohonan dispensasi”. Pemeriksaan dispensasi perkawin ini harus memperhatikan berbagai faktor.19 Faktor Kesehatan: Pihak berwenang dapat memeriksa kesehatan calon mempelai untuk memastikan bahwa mereka memiliki kondisi fisik dan mental yang memadai untuk menikah. Faktor Ekonomi Sosial Budaya: Aspek-aspek ekonomi, sosial, dan budaya calon mempelai dapat menjadi pertimbangan. Ini bisa mencakup kemampuan finansial mereka untuk menikah dan memenuhi kebutuhan keluarga. Faktor Kekerasan dan Pemaksaan: Pemeriksaan harus mencari tahu apakah ada unsur pemaksaan atau kekerasan yang terlibat dalam permohonan dispensasi kawin. Perlindungan terhadap calon mempelai yang mungkin menjadi korban pemaksaan harus diutamakan.

Hasil analisis penulis terhadap putusan Nomor 131/Pdt.P/2023/PN Gin, bahwa terdapat beberapa alasan yang dikemukakan oleh Hakim dalam mempertimbangkan putusan untuk mengabulkan permohonan izin dispensasi tersebut. Bahwa, Hakim telah menerima dan memeriksa bukti-bukti surat (P-1) hingga (P-3) dan mendengarkan keterangan para saksi sebanyak 4 orang. Bahwa, anak para pemohon telah hamil dan telah dilaksanakan pula perkawinan sesuai adat dan agama Hindu pada 16 Desember 2021 dikarenakan keadaan mendesak (hamil) dan telah atas persetujuan kedua belah pihak. Kemudian, para pemohon dan keluarga pihak laki-laki pun tidak dapat mendaftarkan perwakinan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Kabupaten Bangli dikarenakan anak para pemohon baru berusia 17 Tahun, sehingga masih terbilang minor dan belum memenuhi ketentuan usia minimum, yakni 19 Tahun. Bahwa, perkawinan tersebut telah mendapat persetujuan kedua belah keluarga serta tidak terdapat indikasi atau unsur paksaan dari pihak manapun. Selain itu, Hakim juga telah memberikan nasihat kepada Ni Luh Suri Wahyuni dan I Wayan Wahyu Indrawan agar siap secara psikologi membangun dan membina rumah tangga kedepannya. Para orang tua anak yang dimohonkan dispensasi pun telah menyatakan siap untuk membimbing dan turut memberikan dukungan terhadap kesiapan anak dalam membina rumah tangga. Di sisi lain, Hakim telah menilai bahwa Ni Luh Suri Wahyuni dan I Wayan Wahyu Indrawan yang berusia 25 Tahun telah dewasa dan telah memiliki perkerjaan di percetakan. Sehingga, demi kebaikan si anak

yang telah dimohonkan dispensasi beserta calon anaknya nanti dalam segi spiritual maupun kehidupan bermasyarakat, Hakim memutuskan untuk mengabulkan permohonan yang disampaikan para pemohon, yaitu dengan memberikan izin atau dispensasi perkawinan kepada Ni Luh Suri Wahyuni.

  • 4.    Kesimpulan

Ketentuan dispensasi perkawinan dalam hukum positif di Indonesia telah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan atau dalam tulisan ini disebut sebagai UU Perkawinan. Terkait dispensasi telah tertuang dalam Pasal 7 ayat (2) yang menerangkan bahwa, “dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur, orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup.” Selanjutnya, berdasarkan analisis penulis terhadap putusan Nomor 131/Pdt.P/2023/PN Gin bahwasanya dapat disimpulkan terkait pertimbangan yang digunakan oleh Hakim dalam mengabulkan permohonan a quo yaitu memang dibenarkan anak para pemohon telah hami dan telah dilaksanakan perkawinan sesuai dengan adat dan agama Hindu pada tanggal 16 Desember 2021 serta dengan persetujuan kedua belah pihak dan tidak ada unsur paksaan di dalamnya. Kedua pihak mempelai juga dinilai oleh Hakim telah mampu menghidupi calon anaknya baik dari segi spiritual maupun kehidupan bermasyarakat. Saran yang dapat penulis sampaikan terkait isu yang telah penulis uraikan, seharusnya pemerintah tetap melaksanakan sosialisasi dan pembinaan kepada masyarakat mengenai pencegahan perkawinan usia dini, bahaya seks bebas, dan akibat perkawinan tidak tercatat, demi mewujudkan generasi bangsa yang lebih unggul serta mengadakan evaluasi terkait hal ini, guna mencegah peningkatan perkawinan usia dini.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Asyhadie, Zaeni dan Rahman, Arief. 2014. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Bachtiar. Metode Penelitian Hukum. 2018. Tanggerang Selatan: UNPAM PRESS.

Hakiki, Gaib. 2020. Pencegahan Perkawinan Anak Percepatan Yang Tidak Bisa Di Tunda Jakarta: Badan Pusat Statistik.

Umar, Zulkifli dan P., Jimmy. 2012. Kamus Hukum. Surabaya: Grahamedia.

Jurnal

Asmarini, Andini. “Pertimbangan Hakim Terhadap Dispensasi Nikah di Bawah Umur (Studi Kasus Pengadilan Agama Parigi.” Familia: Jurnal Hukum Keluarga 2, No.2 (2021): 169.

https://doi.org/10.24239/familia.v2i2.30.

Fadhil, A. Riyan, dan Darmadi, A.A Ngurah Yusa. "Tinjauan Yuridis Terhadap Dispensasi Perkawinan Di Bawah Umur Menurut Hukum Islam." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 6, No. 5 (2019): 1-14.

https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthasemaya/article/view/54126 Hidayatulloh, Haris dan Janah, Miftakhul. “Dispensasi Nikah di Bawah Umur Dalam Hukum Islam.” Jurnal Hukum Keluarga Islam 5, No.1 (2020): 36.

Ilma, Mughniatul, “Regulasi Dispensasi Dalam Penguatan Aturan Batas Usia Kawin Bagi Anak Pasca Lahirnya UU No.16 Tahun 2019.” Al-Manhaj: Jurnal Hukum dan Pranata Sosial Islam 2, No.2 (2020): 149-150. https://doi.org/10.37680/almanhaj.v2i2.478.

Munawar, Akhmad. “Sahnya Perkawinan Menurut Hukum Positif yang Berlaku di Indonesia.” Al’ Adi 7, No.13 (2015): 21 – 22.

http://dx.doi.org/10.31602/al-adl.v7i13.208.

Muqaffi, Rusdiyah, dan Rahmi. “Menilik Problematika Dispensasi Nikah Dalam Upaya Pencegahan Pernikahan Anak Pasca Revisi UU Perkawinan”. Journal of Islamic and Law Studies 5, No. 3 (2021): 362.

https://doi.org/10.18592/jils.v5i3.5914.

Nurhidayah. “Efektivitas Pemberian Dispensasi Perkawinan Terhadap Perkawinan di Bawah Umur di Makassar.” El-Iqtishady 1, No.1 (2019): 44.

Priyambodo, Mas Agus. “Pernikahan Dini Dalam Perfektif Hukum Positif Indonesia Serta Permasalahannya.” Jurnal Pro Hukum: Jurnal Penelitian Bidang Hukum Universitas Gresik 11, No.4 (2022): 391.

Salam, Muhalling, dan Gafar. “Analisis Yuridis Pertimbangan Penetapan Hakim dalam Perkara Dispensasi Kawin Atas Dasar Mendesak.” Kalosara: Family Law Review 2, No. 2 (2022): 192.

https://dx.doi.org/10.31332/kalosara.v2i2.4264.

Santoso. “Hakekat Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan, Hukum Islam dan Hukum Adat.” Yudisia 7, No.2 (2016): 413.

http://dx.doi.org/10.21043/yudisia.v7i2.2162.

Zulfiani. “Kajian Hukum Terhadap Perkawinan Anak di Bawah Umur Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.” Jurnal Hukum Samudra Keadilan 12, No.2 (2017): 218-219.

Zulkifli, Suhaila. "Analisis Yuridis Terhadap Permohonan Izin (Dispensasi) Nikah Bagi Anak Dibawah Umur." Jurnal Hukum Kaidah: Media Komunikasi dan Informasi Hukum dan Masyarakat 18, No.2 (2019): 1-10. https://doi.org/10.30743/jhk.v18i2.1085.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 297, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5606).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 186, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6401).

Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 5 tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin.

Jurnal Kertha Negara Vol 11 No. 10 Tahun 2023 hlm 1095-1105

1105