Pengaturan Hukum dan Mekanisme Penerapan Asas Proporsionalitas Dalam Perjanjian Waralaba (Franchise)
on
PENGATURAN HUKUM DAN MEKANISME
PENERAPAN ASAS PROPORSIONALITAS DALAM PERJANJIAN WARALABA (FRANCHISE)
Shara Mariyanti Angel, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
Putu Aras Samsithawrati, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Penulisan ini bertujuan untuk mengelaborasi pengaturan hukum perjanjian waralaba yang ada di Indonesia berserta upaya perlindungan hukum perjanjian waralaba melalui mekanisme penerapan asas proposionalitas. Penelitian ini memakai penelitian hukum normatif dengan pendekatan konsep, analitikal, dan perundang-undangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan hukum perjanjian waralaba di Indonesia ditemukan dalam KUHPerdata, PP 42/2007, dan Permendag 71/2019. Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menjelaskan semua perjanjian yang dihasilkan secara sah dapat menjadi undang-undang bagi mereka yang membuatnya, Dalam Pasal 4 PP 42/2007 menjelaskan bahwa, Waralaba dilakukan beralaskan perjanjian tertulis antara Pemberi Waralaba kepada Penerima Waralaba dengan menyimak hukum Indonesia. Dalam Pasal 6 Permendag 71/2019 menjelaskan bahwa pengurusan Waralaba patut dialaskan pada Perjanjian Waralaba yang telah dibuat antara para pihak dan memiliki kedudukan hukum yang setara serta terhadap mereka berlaku hukum Indonesia. Lebih lanjut, agar tercapai keadilan bagi semua pihak yang terlibat, maka perjanjian waralaba harus didasari dengan saling bertukarnya wewenang-kewajiban secara proporsionalitas dalam membentuk perjanjian. Mekanismenya yaitu pemberi waralaba memberikan keterangan tertulis yaitu Prospektus Penawaran Waralaba sesuai dengan ketentuan Pasal 1 Angka 7 Permendag 71/2019 kemudian diikuti dengan Surat Tanda Pendaftaran Waralaba sebagai bukti pendaftaraan kepada para pihak sebagai pemenuhan syarat pendaftaran. Mekanisme tersebut dapat dilakukan melaui Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik atau Online Single Submission.
Kata Kunci: Perjanjian Waralaba, Asas Proporsionalitas, Hukum Perikatan.
ABSTRACT
This paper aims to elaborate on the legal arrangements of franchise agreements in Indonesia as well as efforts to protect the law of franchise agreements through the mechanism of applying the principle of proportionality. This research uses normative legal research with conceptual, analytical, and legislative approaches. The results showed that the legal regulation of franchise agreements in Indonesia is found in the Civil Code, Government Regulation 42/2007, and Regulation of the Minister of Trade 71/2019. Article 1313 of the Civil Code stipulates that an agreement is a legal act in which one party agrees to bind itself to another party or more based on an agreement. Article 4 of Government Regulation 42/2007 stipulates that franchising is based on a written agreement between the Franchisor and Franchisee with due regard to Indonesian law. Article 6 of RMT 71/2019 stipulates that Franchising must be based on a Franchise Agreement made between parties who have equal legal standing and to whom Indonesian law applies. Furthermore, in order to achieve justice for the parties, the franchise agreement must be
based on the exchange of authority-obligations in proportionality in forming the agreement. The mechanism is that the franchisor provides written information, namely the Franchise Offering Prospectus in accordance with the provisions of Article 1 Point 7 of Regulation of the Minister of Trade 71/2019, followed by STPW as proof of registration to the parties as fulfillment of registration requirements. The mechanism can be done through Electronically Integrated Business Licensing or Online Single Submission.
Key Words: Franchise Agreement, Principle of Proportionality, Law of Obligations.
Di Indonesia usaha waralaba (franchise) semakin marak digemari oleh masyarakat karena selain biaya yang bisa dijangkau dan barang produksi yang sudah dipersiapkan serta tidak terlalu memakan tempat yang luas. Istilah waralaba ini pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Manajemen (LPPM) yang membuat masyarakat bisnis tertarik untuk mendalaminya. Perkembangannya dunia bisnis inilah yang membuat para pengusaha mengikuti alur kemajuan usaha termasuk waralaba (franchise) yang didasarkan pada sebuah perjanjian waralaba yang semula menggunakan kontrak yang di negosiasikan menjadi kontrak baku atau standart. Memuat kepentingan-kepentingan para pihak termasuk juga klausul-klausul dimuat dalam kontrak baku ini.1
Subekti dalam bukunya Hukum Perjanjian memberikan definisi perjanjian yaitu suatu kejadian dimana satuorang berjanji untuk melaksanakan suatu hal. 2 Dalam perjalanan menuju era globalisasi dunia bisnis semakin berkembang menuju hal yang serba cepat dan modern. Hal inilah yang membuat banyak konsep baru khususnya dalam perjanjian kontrak. Perjanjian waralaba menjadi salah konsep baru dalam dunia bisnis dan perdagangan.
Namun demikian dalam hubungan melaksanakan perjanjian waralaba diperlukan keseimbangan antara para pihak (Asas Proporsionalitas). Pada prinsipnya asas proporsionalitas adalah bentuk nyata dari “keadilan berkontrak, maka asas proposionalitas memiliki arti sebagai asas yang melandasi hak dan kewajiban para pihak sesuai dengan porsi dalam kontrak yang telah di sepakati. 3 Dasar dari pembentukan perjanjian waralaba iaalah asas kebebasan berkontrak yang kerap menjadi pemicu dalam masalah antara penerima hak dan pemberi kewajiban dalam masing-masing kewajibannya. Sehingga merugikan pihak yang lemah dalam perjanjian ini. Inilah mengapa dalam melaksanakan perjanjian diperlukan asas kebebasan berkontrak yang tetap selalu berdampingan dengan asas proporsionalitas sebagai asas yang menyeterakan masing-masing pihak.
Dalam situasi yang seperti ini, pihak yang memiliki posisi lebih tinggi mempunyai keuntungan yang lebih besar. Karena dalam penyusunan perjanjian klausul memuat syarat yang memberatkan apalagi dibuat dengan perjanjian baku. Jadi kerugian
tertinggi dari pihak yang memiliki kedudukan yang lebih rendah, serta tidak mempunyai jalan lain selain menyetujui syarat-syarat yang disuarakan oleh pemberi waralaba dan berujung pada penyimpangan hak dan kewajiban. 4
Untuk memberikan rasa kepastian kepada seseorang supaya menerima apa yang seharusnya menjadi hak dan kewajiban mereka, harus diperlukan pengawasan hukum sebagai hal yang penting. Maka, menghasilkan rasa damai dan percaya sebagai hasil dari pengawasan hukum antara para pihak dalam perjanjian waralaba. Supaya perjanjian ini menjadi suatu bisnis yang mempunyai nilai kepercayaan di masyaramat lewat adanya kemajuan di berbagai sektor terlebih ekonomi domestik. 5 Melalui penjelasan di atas, maka penting untuk melaksanakan penelitian mengenai “Pengaturan Hukum dan Mekanisme Penerapan Asas Proporsionalitas Dalam Perjanjian Waralaba (Franchise)”
Penelitian ini memiliki originalitas dibandingkan studi-studi serupa terdahulu seperti yang dilakukan oleh : (1) Linda Firdawati mengenai Perjanjian Waralaba Menurut Hukum Islam dimana objek bahasannya adalah perjanjian waralaba dalam Islam sama halnya dengan kerjasama yang bermaksud untuk mendapatkan profit secara bersama-sama dan diterapkan jika memenuhi rukun dan syarat perjanjian serta prinsip-prinsip bermuamalah dalam Islam; 6 dan (2) Bella Katrinasari menjelaskan tentang kajian hukum kepada Wanprestasi Royalty dimana objek bahasannya adalah perjanjian waralaba dapat menghasilkan ganjaran hukum kalau salah satu pihak tidak melakukan prestasinya dan perlindungan rahasia dagang dapat dilindungi selama masih terjaga kerahasiannya. 7 Sedangkan dalam penelitian ini yang diangkat adalah pengaturan hukum perjanjian waralaba di Indonesia serta upaya perlindungan hukum perjanjian waralaba (franchise) melalui mekanisme penerapan asas proporsionalitas.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka rumusan masalah yang diangkat dalam tulisan ini yaitu:
-
1. Bagaimanakah Pengaturan hukum perjanjian waralaba di Indonesia?
-
2. Bagaimanakah upaya perlindungan hukum perjanjian waralaba (franchise) melalui mekanisme penerapan asas proporsionalitas?
Penelitian dilakukan untuk mengelaborasi pengaturan hukum perjanjian waralaba di Indonesia beserta upaya perlindungan hukum perjanjian waralaba (franchise) melalui mekanisme penerapan asas proporsionalitas.
Penelitian yang dilakukan ini mengambil metode penelitian normatif. Penelitian hukum normative ialah cara untuk mengkaji tentang hukum sebagai aturan, norma, asas, prinsip yang dapat dipertanggung jawabkan sebagai jawaban dari permasalahan hukum yang diteliti.8 Jenis pendekatan dalam penelitian ini ialah perundang-undangan (statue approach), pendekatan analisis (analytical approach) serta pendekatan konsep (conceptual approach) dengan analisis deskriptif.
Pada hakikatnya perjanjian adalah kesepakatan para pihak mengenai suatu hal yang menimbulkan hak dan kewajiban, jika tidak dilaksanakan sesuai dengan apa yang diperjanjikan akan ada sanksi yang berlaku. Membuat perjanjian hendaknya harus memperhatikan hal-hal yang penting dimulai dengan syarat sahnya perjanjian, asas-asas, hak dan kewajiban, dan penyelesaian perselisihan perjanjian. Berdasarkan Pasal 1 ayat 1 dalam PP Nomor 42 Tahun 2007 tentang waralaba ialah adanya wewenang tersendiri yang mana dipunyai dari per oknum atau perusahaan atas mekanisme niaga melalui karakter niaga yang mempromosikan barang atau jasa yang sudah teruji berhasil dan dapat dipakai oleh oknum yang lain dengan berlandaskan dengan persetujuan waralaba.9
Di dalam persetujuan waralaba tersebut terdapat hukum yang valid dan dapat ditetapkan oleh pihak perorangan dan berlandaskan atas pilar hukum yang absah pada perikatan internasional. Menggenapi pernyataan di atas, British Franchise Association (BFA) merumuskan franchise menjadi persetujuan surat izin yang diturunkan oleh franchisor terhadap franchise yang mencakup : 10
-
1. Menyerahkan otoritas bagi franchisor dalam menyelesaikan pemeriksaan yang berkesinambungan sepanjang waktu berlanjut
-
2. Memandang perlu bagi para franchisor dalam menyerahkan pertolongan terhadap franchise dalam mewujudkan usaha tersebut sebanding dengan subyek dari franchise.
-
3. Memandang perlu bagi franchise secara berulang sepanjang franchise dilaksanakan yang mana harus memberikan pembayaran menjadi transaksi atas barang atau jasa yang dibagikan dari franchisore ke franchise.
-
4. Tidak ada transaksi di antara perusahaan utama dengan anak perusahaan atau antara perorangan dengan badan yang dioperasikan.
Perjanjian yang dilakukan antara para pihak dapat menyebabkan pertautan. Dengan itu, tiap-tiap perorangan yang terikat dalam membuat keunggulan berdasarkan atas esensi persetujuan yang berhubungan. Jika keunggulan tersebut terlaksana, maka maksud dari para pihak dalam menciptakan persetujuan tersebut telah terlaksana sehingga persetujuan akan berhenti. Pelaksanaan prestasi akan menghilangkan keberadaan pertautan dari Pasal 1381 KUHPerdata.
Pemuasan prestasi menjadi bentuk keberadaan penerapan tanggung jawab yang sesuai dengan kontrak, selain diputuskan oleh aspek otonomi. Kemampuan mengikat dalam suatu persetujuan bersama ditetapkan dengan faktor otonomi ataupun heteronomi. Berdasarkan Pasal 1339 KUHP dimana dijelaskan bahwa tanda kontrak bukan saja mencakup terhadap aspek yang jelas yang disebutkan di dalamnya, namun juga untuk hal-hal yang berdasarkan sifat dari perjanjian kontrak harus sesuai dengan etiket.11
Maka dari itu, mencakup tiga bagian dari perjanjian waralaba, yakni :
-
1. Waralaba barang yang menjelaskan bahwa pengambil waralaba yang menciptakan barang di bawah amaran dari pengambil waralaba serta memasarkannya atas nama pemberi waralaba.
-
2. Waralaba pembagian menjelaskan pengambil waralaba akan memasarkan barang tertentu yang ada di pasar yang memakai label dari empunya waralaba
-
3. Waralaba sarana dan prasarana yang menjelaskan bahwa pihak pengambil waralaba akan menyajikan sebuah sarana dan prasarana atas nama label dari penyedia waralaba sesuai dengan instruksi dari pemberi waralaba.
Berbeda dari golongan di atas, terdapat juga golongan yang mana telah dibagi menjadi waralaba sosial 12 dimana setiap perorangan yang memiliki disabilitas akan memiliki pekerjaan untuk bekerja di perusahaan yang melakukan tugas kasar yang mana sudah tersedia dalam kategori ini. Selanjutnya terdapat waralaba logistik yang dijelaskan bahwa pihak ketiga merupakan suatu bentuk usaha yang khusus untuk membantu orang-orang yang mau mengangkut barang-barangnya ke antar negara dimana usaha ini bertumbuh secara cepat dikarenakan peningkatan penawaran dari masyarakat akan transportasi barang dan karena banyaknya moda transportasi serta anggaran yang tercapai dari kategori waralaba ini.
Lalu terdapat waralaba berbasis tempat tinggal yang mana menjadi cara lain dalam berbisnis. Kategori waralaba ini dilandaskan atas penyalinan waralaba bisnis rumahan lainnya dan dipenuhi dengan anggaran awal. Namun, mereka dianggap sebagai cara yang terbaik dalam berbisnis bagi perorangan yang memiliki niat dalam memasuki dunia korporat, walaupun terdapat kesusahan yang mana akan dihadapi untuk mencapai kesuksesan. Lainnya adalah waralaba acara yang memiliki pengertian sebagai waralaba tentang pembentukan kegiatan yang berhasil dengan tujuan dalam
memperbanyak kegiatan umum di beberapa negara yang secara geografis memiliki perbedaan dengan negara asalnya, namun tetap mempertahankan lambang asli dari kegiatan tersebut.
Menurut PP Nomor 42 Pasal 5 Tahun 2007 mengenai waralaba, hal ini menjelaskan bahwa persetujuan franchise mencakup sekurang-kurangnya :
-
a. Nama dan alamat para pihak
Berisi keterangan identitas seperti legal standing dari perusahaan yang bertujuan dalam memahami pihak yang berkewajiban untuk pembuatan perjanjian waralaba.
-
b. Jenis HKI
Memuat hak kekayaan intelektual maupun kategori yang khas atas suatu barang atau jasa yang mewujudkan target objek dalam bisnis waralaba
-
c. Kegiatan usaha
Mencakup kegiatan para pihak yang disepakati dalam persetujuan waralaba
-
d. Wewenang dan tugas masing-masing pihak
Berisi klausul tentang wewenang dan tanggung jawab dari pihak dalam persetujuan waralaba
-
e. Dukungan, sarana prasarana, tuntunan operasional, penyuluhan, dan penjualan yang dibagikan kepada penyumbang waralaba kepada pemeroleh waralaba
Termasuk klausul dukungan dan layanan yang dirancang untuk meminta pemilik waralaba memiliki tanggung jawab atas layanannya.
-
f. Wilayah kegiatan
Memuat klausula tempat wilayah usaha agar memudahkan pemeroleh waralaba untuk menentukan lokasi bisnis dan memfasilitasi kepemilikan oleh pemilik waralaba dalam mengawasi cabang usaha
-
g. Lama waktu perjanjian
Memuat klausula jangka panjang waktu perjanjian agar menentukan kapan berakhirnya kontrak waralaba
-
h. Mekanisme penyerahan upah
Memuat besarnya biaya lisensi dengan menghitung penghasilan kotor bulanan dikurangi biaya.
-
i. Kepemilikan, peralihan hak milik, serta kuasa ahli waris
Agar dapat menjadi acuan jika suatu waktu terdapat sengketa terkait kepemilikan bisnis waralaba
-
j. Mekanisme perpanjangan, pemutusan dengan berakhirnya perjanjian.
Agus Yudho Hernoko mengusulkan ciri-ciri berikut yang mungkin diciptakan sebagai tuntunan dalam mendapatkan dasar proposionalitas dengan perjanjian, yaitu : 13
-
a. Perjanjian yang mengikuti dasar proporsionalias ialah perjanjian yang mengakui kekuasaan, kesempatan yang diperoleh dari pengusaha dalam memutuskan ganti rugi yang adil. Kesetaraan ini tidak hanya berarti kesetaraan hasil, tetapi posisi para pihak yang mensyaratkan kesetaraan posisi dan kekuasaan (equality of power)
-
b. Perjanjian proporsionalitas adalah kontrak yang didasarkan atas dasar kesetaraan kekuasaan yang didasarkan pada kebebasan para pihak yang memiliki perjanjian dalam mewujudkan terhadap yang adil dan tidak adil.
-
c. Perjanjian proposionalitas adalah perjanjian yang dapat menjalankan implementasi kekuasaan selama pembagian pajak menurut proporsional di antara para pihak dengan harus ditekankan bahwa keadilan tidak hanya memiliki arti dalam setiap orang akan memiliki hal yang serupa, tetapi hasil akhir dalam hal ini akan mungkin memiliki perbedaan dan berdasarkan atas pertukaran yang adil.
-
d. Berdasarkan terlaksananya kontroversi perjanjian, bahwa tanggungan pembenaran, tingkat kelemahan ataupun kriteria lain terpaut dengan diukur berlandaskan dasar proposionalitas dalam mendapatkan kemenangan yang sukses.
Berdasarkan poin substansi yang telah dijelaskan, tentunya sesuai atas penjelasan dari dasar yang menghendaki jaminan keseimbangan kepada para pihak dalam persetujuan secara wajib serta menguntungkan. Selain itu tujuan dari dasar proporsionalitas juga dilandaskan atas doktrin hukum yakni iustum pretium yang berarti petunjuk yang berfokus terhadap aspek kelayakan dalam melaksanakan norma hukum. 14
Pengaturan Pasal 1339 KUHperdata menjelaskan dimana adanya perjanjian mengikat tidak hanya mengenai hal-hal yang ditentukan dalam perjanjian tersebut, namun terhadap apa saja yang merupakan perjanjian karena ketidakwajaran, keharusan, atau peraturan perundang-undangan. Walaupun dasar proporsionalitas tidak diatur dengan eksplisit di dalam KUHP yang mengisyaratkan bahwa kesusilaan dan adat ialah hal yang penting dalam kontrak.
Melihat dari penjelasan di atas, dasar proporsionalitas sebenarnya diartikan sebagai usaha dalam menegakkan kesusilaan, adat, serta kelayakan dari peraturan yang lisan. Selain itu, dari sudut pandang dasar proporsionalitas memiliki peranan penting dalam menciptakan paduan peraturan kepada para pihak yang memperoleh hasil baik yang sama. Berdasarkan pembangunan ekonomi saat ini, kontrak mesti efektif dan
adaptif melainkan memiliki peraturan yang tegas dalam melindungi pergantian kekuasaan dan kewenangan antara para pihak. Begitu juga dalam kontrak franchise antara franchisor dan franchise yang terjadi saat pihak mempunyai negosiasi yang lebih baik dan yang lain cukup baik.
Prinsip dasar proporsionalitas dengan demikian sangat dibenarkan dari para pihak dengan harus memperhitungkan dalam semua aspek penyusunan kontrak. Kontrak ini menjadi sarana dimana keperluan satu pihak dipertimbangkan dengan adanya dari pihak lain untuk mengelola pergantian kebutuhan yang berlandaskan atas keadilan. Oleh karena itu, maka sangat pantas untuk menganalisis prinsip proporsionalitas dalam suatu perjanjian yang diawali dengan perspektif kewajaran kontrak. Hal ini berarti bahwa menganalisa keadilan kontraktual komersial wajib untuk menggabungkan gagasan mengenai otoritas yang sama dengan pergantian jasa dan pertimbangan yang sejauh ini dipahami dalam aspek hukum pertukaran atas dasar hubungan kontraktual
Dalam artian umum, hukum kontrak memiliki berbagai landasan dengan adanya kedaulatan dalam perjanjian itu sendiri yang bersumber dari kebebasan berkontrak dan karena itu menjatuhkan beberapa dasar penting dari Buku III KUHP yang di dalamnya membahas pentingnya kebebasan melakukan perjanjian, musyawarah, dasar Pacta Sunt Servanda, itikad baik, dan dasar proporsionalitas.
Dengan demikian, prinsip proporsionalitas biasanya mementingkan keseimbangan kedudukan para pihak yang melakukan kontrak. Maka dari itu, sekiranya terdeteksi kedudukan yang tidak sebanding yang mengarah pada pemutusan kontrak, maka dibutuhkan penerobosan dari stakeholders. Hal ini menjadi efektif dalam perjanjian pembeli dimana paduan antara penjual dan pembeli dianggap sebagai paduan sekunder yang menyebabkan pembeli ada pada keadaan yang lebih rendah untuk mengungkapkan hak kontrak yang dimiliki.15
-
3.2 Perlindungan Hukum Perjanjian Waralaba (franchise) Melalui Mekanisme Penerapan Asas Proporsionalitas
Sebuah isi perjanjian akan menghasilkan wewenang dan kewenangan khusus untuk mereka yang sebagai penerima waralaba supaya menjalankan pemasaran terhadap produk yang berbentuk jasa/barang yang menggunakan merek dagang atau nama dagang tertentu dalam melakukan sebuah kegiatan usaha berdasarkan suatu format perbisnisan yang sudah ditentukan pemberi waralaba. Berikut hal yang memuat perjanjian waralaba: 16
-
a. wewenang mencakup penggunaan metode yang khusus, nama dagang, penggunaan merek, jangka waktu, wilayah kegiatan yang wewenang lainnya dibagikan dari pemberi waralaba untuk penerima waralaba.
-
b. Upah yang akan diberikan kepada orang yang akan dikasih waralaba untuk wewenang yang diterima pemberi waralaba saat usaha itu mulai akan dijalankan.
-
c. Sebuah sesuatu hal yang akan dibuat yang akan disepakati dengan wajib sebelumnya yaitu terkait seorang penjualan wewenang penerimaan waralaba untuk pihak lain. Dalam kondisi yang akan di kasih waralaba tidak ada keinginan meneruskan dan berencana menjual untuk wewenang lain.
-
d. Adanya syarat untuk diakhiri sebuah kerjasama di dalam sebuah waralaba.
Dalam perjanjian waralaba yang didalamnya ada perlindungan hukum bagi kedua belah pihak karena itu menjadi salah satu aspek yang terutama dalam waralaba. Penerima waralaba mendapat tameng hukum yakni perlindungan hukum yang bersifat preventif dan represif. Hukum represif adalah mekanisme penyelesaian sengketa apabila terjadi sebuah masalah. Hukum preventif untuk mencegah terjadi sebuah permasalah yang sering disebut sengketa yang akan dilakukan dua pihak pelaku bisnis dalam melaksanakan kewajiban untuk perjanjiannya. Kedudukan seimbang antara pihak ada pasal-pasal yang tidak memberikannya akibat tidak terjadi perlindungan hukum dalam perjanjian yaitu: 17
-
1. Untuk mengatur perpanjangan waktu yang memberatkan penerima waralaba akibat syarat perpanjangan waktu yang ditentukan pemberi waralaba dari waktu ke waktu. Hal tersebut membuat penerima dalam kondisi yang tidak pasti.
-
2. Pasal mengenai non kompetisi yang menghalangi bahkan membatasi penerima waralaba untuk mendirikan usaha jika sewaktu-waktu perjanjian berakhir. Seharusnya penjabaran pasal ini lebih spesifik agar cakupan bagi penerima waralaba untuk mendirikian usaha bisa lebih jelas bukan didasarkan pada faktor kesamaan produk ataupun label pemberi waralaba.
-
3. Pengaturan tentang pemberian hak dan kewajiban, yang memberikan ketidakadilan bagi pemberi waralaba karena dalam perjanjian waralaba tidak satupun ketentuan mengenai kewajiban pemberi waralaba. Sehingga terjadi kedudukan yang tidak seimbang antara kedua belah pihak tersebut.
-
4. Hubungan hukum antara franchisor dan franchisee yang memuat ketidakseimbangan kekuatan tawar-menawar (ungual franchise power). Karena dalam menjalankan usahanya syarat yang diberikan oleh franchisor harus dipenuhi oleh franchisee dan pemberi waralaba mempunyai hak untuk menilai usaha bisnis yang dilakukan oleh penerima waralaba. Sehingga jika sewaktu-waktu franchisee tidak memenuhi kewajiban franchisor dapat mengajukan pembatalan perjanjian. Hal ini tentu tidak memberikan perlindungan hukum kepada franchisee, dikarenakan franchisee tidak bisa menolak pemutusan perjanjian yang diakibatkan oleh franchisor.
Untuk menyelenggarakan waralaba, para pihak wajib membuat perjanjian waralaba. Perjanjian waralaba merupakan dasar untuk menyelenggarakan suatu bisnis Waralaba, terkait hal ini diatur mekanismenya dalam Pasal 6 ayat (1) Permendag No. 71 Tahun 2019. Perjanjian tersebut harus dibuat sesuai dengan hukum yang berlaku di
Indonesia. Dalam hal ini perjanjian waralaba menjadi upaya untuk melindungi pihak-pihak yang berisi hak serta kewajiban.
Setelah para pihak membuat dan menandatangani perjanjian waralaba maka berdasarkan Pasal 7 ayat (2) Peraturan Menteri Perdagangan No. 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Waralaba ditentukan bahwa terdapat kewajiban dalam pendaftaran perjanjian waralaba. Dalam hal ini penerima waralaba harus mendaftarkan perjanjian waralaba. Pendaftaran tersebut dilaksanakan melalui menyiapkan permohonan Surat Tanda Pendaftaran Waralaba (STPW). Pasal 1 Angka 10 menjelaskan “STPW adalah bukti pendaftaran Prospektus Penawaran Waralaba bagi Pemberi Waralaba dan Pemberi Waralaba Lanjutan serta bukti pendaftaran Perjanjian Waralaba bagi Penerima Waralaba dan Penerima Waralaba Lanjutan yang diberikan setelah memenuhi persyaratan pendaftaran yang ditentukan dalam Peraturan ini”.
Permohonan STPW ini diproses melalui Lembaga OSS (Online Single Submission) yang mempunyai tugas untuk melakukan penerbitan STPW berdasarkan Pasal 11 ayat (1). Apabila keharusan untuk melaksanakan pendaftaran perjanjian waralaba ini tidak dilakukan, maka berdasarkan Pasal 29 Permendag No. 71 Tahun 2019 dikenakan sanksi yang aturannya melalui peraturan perundang-undangan yaitu Pasal 16 PP No. 42 Tahun 2007 akan dikenakan sanksi administratif.
Ada beberapa bentuk dalam melindungi hukum untuk franchisee, pertama minta sebuah kepastian ke kurator mengenai status kepastian perjanjian karena di dalam pemutusan sebuah kontrak sepihak orang akan disebutkan pailit dengan terang-terangan akan merugikan pihak lain. Sebuah pelindung di dalam hukum berikutnya adalah untuk penuntutan ganti rugi dengan bertindak selaku konkuren didalam sebuah kreditor, tameng untuk kita lainnya karena pembeli pailit dapat diandalkan untuk sebuah lindungan adanya klausula di dalam persetujuan antara dua orang untuk waralaba yang pengaturannya untuk sebuah keadaan franchisor pailit. Oleh karena itu akan mendapatkan perlindungan hukum yang pasti dan kuat.18
Alasan dari pihak pemberi waralaba secara kedudukan hukum memiliki kekuatan yang dominan dibandingkan dengan si penerima waralaba. Memaksakan kehendak untuk keuntungan dari satu pihak serta tidak membuat kepentingan penerima waralaba dalam perjanjian ini. Suatu sikap take it or leave it akan berlaku dalam pelaksanaan perjanjian ini.19
Pihak Penerima waralaba dan Pemberi akan diperantarakan suatu perjanjian atau persetujuan disebut Franchise Agreement (Perjanjian Waralaba). Memang tidak mungkin ada relasi lain selain dari itu. Upaya dari setiap perilaku yang dilakukan oleh setiap pihak terhadap pihak ketiga akan ditanggung oleh tiap pihak dan biasanya hal-hal yang disetujui pasti tanggung jawab akan ditemukan dengan secara pasti untuk persetujuan antara dua belah pihak waralaba itu. Disamping itu sebuah prinsip hukum
didalam hal yang lumrah tentang tanggung jawab tiap pihak itulah hal akan dirasa jarang mendapatkan sebuah keadilan jika hal itu diberikan secara konsekuen.20
Didalam usaha yang bisa dilakukan dalam mencegah pelanggaran perjanjian waralaba yaitu: (1) Kerangka kerja yang komprehensif; (2) Membuat pengetahuan kepentingan kerahasiaan dagang dan kependidikan dan kepelatihan, Kerangka kinerja yang komprehensif yang termasuk halnya sebagai berikut:
-
1. Sebuah identifikasi informasi yaitu hal lain yang berpotensi menjadi rahasia dagang.
-
2. Dibuatnya perjanjian waralaba yang komprehensif, ini mesti terisi izin untuk melindungi rahasia dagang. perjanjian perlindungan rahasia perdagangan tidak didalam masa perjanjian saja akan tetapi sewaktu perjanjian selesai dalam membendung adanya saingan.
-
3. Perlindungan diinternal penggunaaan kata kunci untuk pengakses komputer perusahaan, untuk penyimpanan dok penting didalam brankas, akan memberi sebuah tanda rahasia di dok, mengontrol dok dan alat memproduksi dan lain sebagainya.
Perjanjian di dalam sebuah waralaba pula erat dengan lisensi untuk memanfaatkan wewenang kekayaan intelektual di dalam objek perjanjian. Sesuai dengan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2007 HKI menjadi salah satu kriteria dalam perjanjian waralaba. Kekayaan Intelektual (KI) dalam konteksi ini berarti yang berarti KI yang sudah didaftarkan dalam urusan dalam melaksanakan usaha waralaba seperti Wewenang Cipta, Wewenang Merek, dan Wewenang Paten Rahasia Dagang memiliki sertifikat sah. Dalam konteks ini meliputi 3 wewenang yaitu:
-
1. wewenang Cipta : terlaksananya perlindungan hukum dari faktor kemampuan, inovasi, kecepatan, dan keterampilan yang berkaitan dengan pribadi seseorang
-
2. wewenang Paten : terlaksananya perlindungan hukum untuk meminimalisir adanya peniruan dari usaha milik perseorangan/badan usaha
-
3. wewenang Merek : adanya perlindungan hukum atas perjanjian waralaba yang melingkupi nama ,logo, serta lambang Perusahaan.
-
4. Kesimpulan
Perjanjian waralaba akan dinyatakan proporsional jika dalam pembentukannya terdapat hak dan kewajiban para pihak yang setara. Perjanjian waralaba di Indonesia sendiri diatur dalam dan PP Nomor 42 Tahun 2007 Tentang Waralaba dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Waralaba. Prinsip asas proporsionalitas harus mengedepankan keseimbangan kedudukan para pihak yang melakukan perjanjian waralaba.Mekanisme dalam menyelenggarakan waralaba terdapat dalam Permendag No. 71 Tahun 2019 yang mengatur tentang
kewajiban dalam mendaftarkan perjanjian waralaba. Para pihak diwajibkan untuk membuat perjanjian waralaba sebelum mendaftarkan perjanjian waralaba. Jika tahap ini sudah selesai maka dilanjutkan dengan pendaftaran yang wajib dilakukan oleh penerima waralaba sebagai pihak yang berkewajiban sesuai dengan Pasal 7 ayat (2). Bukti pendaftaran jika perjanjian waralaba sudah didaftarkan adalah Surat Tanda Pendaftaran Waralaba (STPW). permohonan pendaftaran ini dilakukan melalui lembaga OSS (Online Single Submission).
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Hernoko, Agus Yudha, and MH SH. Hukum Perjanjian. Prenada Media, 2019.
Badriyah Siti. Aspek Hukum Perjanjian Franchise. Semarang, TigaMedia Pratama, 2019.
Muhaimin., Metode Penelitian Hukum, Mataram, Mataran University Press, 2020.
Jurnal
Aidi, Zil, and Hasna Farida. "Perlindungan Hukum Para Pihak Dalam Perjanjian Waralaba Makanan." JCH (Jurnal Cendekia Hukum) 4, no. 2 (2019): 207-230.
Al-Qarano, Rachdinda Pradigda. "Asas Proporsionalitas Kontrak Standar pada Perjanjian Waralaba." Glosains: Jurnal Sains Global Indonesia 2, no. 1 (2021): 1-12.
Amalia, Ifada Qurrata A’yun, and Endang Prasetyawati. "Karakteristik asas proporsionalitas Dalam Pembentukan Klausul Perjanjian Waralaba." Jurnal Hukum Bisnis Bonum Commune 2, no. 2 (2019): 173-184.
Astutik, Dwi Puji. "Perlindungan Hukum Terhadap Franchisee yang di Rugikan Oleh Franchisor Dalam Perjanjian Waralaba." Rechtidee 15, no. 2 (2020): 273-292.
Atmoko, Dwi. "Pelaksanaan Perjanjian Serta Perlindungan Hukum Praktek Bisnis Waralaba di Indonesia." Krtha Bhayangkara 13, no. 1 (2019): 44-75.
Atmoko, Dwi. "Penerapan Asas Proporsionalitas Dalam Perjanjian Waralaba (Franchise) Pada Suatu Hubungan Kontrak Bisnis." Jurnal Hukum Sasana 8, no. 1 (2022): 153162.
Firdawaty, Linda. "Perjanjian Waralaba Menurut Hukum Islam." ASAS 3, no. 1 (2011): 40-49.
Katrinasari, Bella, and Hernawan Hadi. "Tinjauan Hukum Terhadap Wanprestasi Royalty Rahasia Dagang Dalam Perjanjian Waralaba." Jurnal Privat Law 5, no. 1 (2017): 85-94.
Nisa, Shobahatun. "Perlindungan Hukum Bagi Franchisee Terhadap Pemutusan Perjanjian Yang Disebabkan Franchisor Pailit." Dinamika: Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum 27, no. 6 (2021): 860-875.
Priyono, Ery Agus. "Aspek Keadilan dalam Kontrak Bisnis di Indonesia (Kajian pada Perjanjian Waralaba)." Law Reform 14, no. 1 (2018): 15-28.
Putri, Eka Amanda. "Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Usaha Waralaba (Franchise)." Tadulako Master Law Journal 4, no. 2 (2020): 174-200.
Rahmad, Ali, and Rahmi Zubaedah. "Tinjauan Perspektif Hukum Perdata Terhadap Perjanjian Waralaba di Indonesia." JUSTITIA: Jurnal Ilmu Hukum dan Humaniora 9, no. 1 (2022): 512-520.
Sarbini, Sarbini. "Eksistensi Asas Proporsionalitas dalam Hukum Perjanjian: Manifestasi dan Dinamika." Al Qisthas: Jurnal Hukum dan Politik Ketatanegaraan 13, no. 1 (2022): 1-26.
Suharno, Rachmat. "Aspek Perlindungan Hukum Bagi Pewaralaba Dikatikan Dengan Penegakan Hukum Kontrak.” Wacana Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum 19, no. 1 (2020): 39-46.
Trisna, Nila. "Tinjauan Yuridis Terhadap Kedudukan Franchisee dalam Perjanjian Franchise (Waralaba)." Ius Civile: Refleksi Penegakan Hukum dan Keadilan 2, no. 1 (2018):13-26.
Wahyuningtiyas, Sari, and S. H. Septarina Budiwati. "Analisis Tentang Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Perjanjian Waralaba Di Indonesia." PhD diss., Universitas Muhammadiyah Surakarta, (2017)
Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Waralaba
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 Tentang Waralaba
Jurnal Kertha Negara Vol 11 No 7 Tahun 2023 hlm 718-730
730
Discussion and feedback