UPAYA HUKUM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NIAGA ATAS PERKARA GUGATAN PEMBATALAN MEREK
on
UPAYA HUKUM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NIAGA ATAS PERKARA GUGATAN PEMBATALAN MEREK
Ni Putu Sukma Meerani Santi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
Made Aditya Pramana Putra, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengkaji pengaturan terhadap prosedur gugatan pembatalan merek di pengadilan niaga serta menjelaskan upaya hukum pada putusan pengadilan niaga atas perkara gugatan pembatalan merek. Metode penelitian berupa penelitian hukum normatif dengan pendekatan terhadap peraturan perundang-undangan. Adapun hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan prosedur gugatan pembatalan merek, meskipun umumnya menggunakan hukum acara perdata biasa, terdapat ketentuan khusus yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, yang terdiri atas pengajuan gugatan, dasar gugatan, serta waktu pemeriksaan perkara sampai dengan putusan. Selain itu, pada upaya hukum atas putusan, tidak terdapat upaya hukum banding seperti perkara perdata pada umumnya. Upaya hukum atas putusan gugatan pembatalan merek hanya bisa diajukan upaya hukum kasasi serta peninjauan kembali. Tidak adanya upaya hukum banding merupakan bentuk perwujudan asas peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan dalam pengadilan niaga.
Kata Kunci: Upaya hukum, gugatan, pembatalan merek, pengadilan niaga
ABSTRACT
This study aims to examine the arrangements for the procedure for trademark cancellation lawsuits in commercial courts and to explain the legal remedies that can be taken in commercial court decisions for trademark cancellation lawsuits. The research method is normative legal research using the statutory regulation approach. The results of this study are that in carrying out trademark cancellation lawsuit procedures, although generally using ordinary civil procedural law, there are special provisions contained in Law Number 20 of 2016 concerning Marks and Geographical Indications, which include filing a lawsuit, basis of the lawsuit, and time of examination case to a verdict. Apart from that, in legal remedies for decisions, there are no known legal remedies for appeals like civil cases in general. Legal remedies for trademark cancellation lawsuits can only be filed for cassation and reconsideration. The absence of appeals embodies the principle of a fast, simple, and low-cost trial in a commercial court.
Key Words: Legal remedies, lawsuit, trademark cancellation, commercial courts
Globalisasi memiliki dampak terhadap peningkatan aktivitas pada dunia bisnis saat ini, seperti munculnya beberapa usaha baru, perdagangan dalam lingkup nasional dan internasional, industri manufaktur, digitalisasi bisnis, dan lain-lain. Dibalik aktivitas bisnis tersebut, terdapat hal yang harus diperhatikan sebagai faktor dalam keberlangsungan usaha serta kemampuan daya saing industri, salah satunya adalah merek. Definisi dari merek tertuang dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (selanjutnya disebut UU MIG). Secara umumnya, merek merupakan suatu tanda yang berperan untuk membantu dalam pengidentifikasian atas asal barang dan jasa (an indication of origin) antara perusahaan satu dengan perusahaan lain.1 Dengan adanya merek, perusahaan dapat memberi informasi mengenai kualitas dan jaminan terhadap barang atau jasa serta mencegah timbulnya persaingan yang tidak sehat berupa iktikad buruk yang berasal dari perusahaan lain.
Di Indonesia, hak atas merek akan diberikan bagi pihak pendaftar merek pertama. Negara memberikan hak tersebut sebagai hak ekslusif yang dimiliki oleh pemilik merek terdaftar sehingga dampak yang akan ditimbulkan adalah pemilik merek dapat menggunakan merek dalam jangka waktu tertentu serta mengizinkan pihak lain untuk memakainya.2 Pemberian hak tersebut adalah bentuk perlindungan kepada pendaftar merek pertama. Untuk mendapatkan hak ekslusif tersebut, pendaftar merek harus melalui tahap pemeriksaan formalitas dan pemeriksaan substantif. Untuk pemeriksaan formalitas mengarah kepada dokumen-dokumen yang harus dilengkapi saat melakukan pendaftaran merek, sedangkan untuk pemeriksaan susbtantif lebih menekankan terhadap hal-hal yang tertuang pada Pasal 20 dan Pasal 21 UU MIG. Dengan didapatnya hak ekslusif oleh pihak pertama pendaftar merek, maka sesuai dengan prinsip pendaftaran merek yang dianut di Indonesia yakni prinsip first to file yang mengakui pendaftar pertama merek sebagai pihak pemegang merek. Namun, penerapan prinsip ini tidak bersifat mutlak3 dan masih kerap menimbulkan sengketa. Sengketa tersebut dapat terjadi antara pihak yang sama-sama memliki merek terdaftar atau antara pihak pengguna merek pertama yang belum mendaftarkan merek dengan pihak yang telah pertama mendaftarkan merek. Maka dari itu, gugatan pembatalan dapat diajukan jika atas pendaftaran suatu merek terdapat pihak-pihak yang dirugikan.4
Gugatan pembatalan merek termasuk perkara dalam bidang kekayaan intelektual sehingga pengadilan yang memiliki kewenangan untuk menangani adalah pengadilan niaga. Pengadilan ini merupakan salah satu pengadilan khusus yang berfungsi untuk menangani perkara perniagaan seperti hak kekayaan intelektual, Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), kepailitan, dan lain-lain. Pada dasarnya, pengadilan niaga
memberlakukan hukum acara yang sama seperti pada pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung, kecuali dalam undang-undang terdapat hal yang ditentukan lain.5 Pernyataan tersebut mengandung makna bahwa terdapat pemberlakuan salah satu asas preferensi dalam ilmu hukum yaitu lex specialis derogat legi generalis yang artinya aturan-aturan umum dapat dikesampingkan oleh aturan yang bersifat khusus sehingga pada hukum acara pengadilan niaga, pelaksanaannya diutamakan berdasarkan undang-undang yang berhubungan terhadap perkara niaga itu sendiri. Apabila tidak dimuat secara tertulis pada undang-undang tersebut, maka akan diberlakukan ketentuan hukum acara perdata biasa. Seperti misalnya, dalam perkara kepailitan, prosedur hukum acaranya mengutamakan ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang Kepailitan, begitu juga dengan perkara gugatan pembatalan merek yang memuat beberapa prosedur beracara khusus yang terkandung dalam UU MIG.
Beranjak dari penjabaran tersebut, penulis melakukan pengkajian terhadap penelitian-penelitian sebelumnya. Topik penelitian pertama berjudul “Eksekutorial Putusan Pembatalan Merek Terdaftar”6 oleh Eko Yulianto dan “Akibat Hukum Penghapusan dan Pembatalan Merek Terdaftar Terhadap Hak Atas Merek“7 oleh Sudjana. Penelitian pertama lebih menekankan pada pertimbangan-pertimbangan yang dilakukan hakim di dalam putusan pembatalan merek serta tindakan eksekutorial terhadap merek yang telah dibatalkan. Berbeda dengan penelitian kedua yang lebih menekankan pada kriteria-kriteria serta akibat hukum terhadap penghapusan serta pembatalan merek terdaftar.
Atas hal tersebut, penulis melakukan tinjauan terhadap aspek lain dalam gugatan pembatalan merek melalui tulisan berjudul ‘‘UPAYA HUKUM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NIAGA ATAS PERKARA GUGATAN PEMBATALAN MEREK.‘‘ Terdapat perbedaan secara substansial antara penelitian ini dengan penelitian sebelumnya. Titik berat dari penelitian ini adalah pengaturan prosedur dalam gugatan pembatalan merek serta upaya hukum terhadap putusan dari pengadilan niaga atas perkara gugatan pembatalan merek.
-
1. Bagaimanakah pengaturan prosedur gugatan pembatalan merek di pengadilan niaga?
-
2. Bagaimanakah upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap putusan pengadilan niaga atas perkara gugatan pembatalan merek?
Penelitian bertujuan untuk memahami serta mengetahui terkait pengaturan prosedur gugatan dalam pembatalan merek yang dilakukan di pengadilan niaga serta upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap putusan pengadilan niaga tersebut atas gugatan pembatalan merek.
Penelitian menggunakan metode penelitian hukum normatif (normative legal research) dengan menggunakan objek kajian berupa norma hukum positif.8 Untuk pendekatan penelitian, dilakukan pendekatan terhadap peraturan perundang-undangan dengan melakukan kajian atas peraturan-peraturan yang berkaitan terhadap topik penelitian yang dibahas. Pada penelitian ini, digunakan bahan hukum primer serta bahan hukum sekunder. Adapun bahan hukum primer mencakup peraturan perundang-undangan terkait, sedangkan pada bahan hukum sekunder, penulis menggunakan jurnal ilmiah, tesis, dan beberapa buku hukum.
Gugatan dapat disebut sebagai tuntutan hak yang diajukan untuk mencegah tindakan main hakim sendiri (Eigenrichting).9 Jika dikaitkan dengan pengertian gugatan pembatalan merek, maka dapat diartikan sebagai gugatan atau tuntutan hak yang diajukan terhadap merek yang sudah terdaftar dengan tujuan agar dapat dibatalkannya suatu hak yang sah berdasar pada sertfikat merek serta keberadaan merek yang telah terdaftar tersebut dapat dilakukan pencoretan pada daftar umum merek. Dalam perihal pengajuan gugatan pembatalan merek, berlaku asas-asas hukum acara perdata secara umumnya, seperti pemberlakuan asas actor sequitur forum rei. Pemberlakuan asas tersebut terkandung pada Pasal 85 ayat (1) UU MIG, yang menyatakan bahwa pengajuan gugatan dilakukan pada pengadilan niaga yang berada dalam tempat tinggal domisili atau wilayah hukum dari pihak tergugat. Namun, terdapat pengecualian yakni jika terdapat salah satu pihak yang berada atau bertempat tinggal di luar negeri, untuk pengajuan gugatan pembatalan dilakukan pada Ketua Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, seperti yang telah diatur dalam Pasal 85 ayat (2) UU MIG. Perlu diperhatikan pula, saat gugatan pembatalan merek diajukan terdapat legal standing yang patut dipenuhi. Legal standing adalah dasar hak atau penentuan bagi seseorang atau pihak dalam memenuhi persyaratan ketika mengajukan permohonan penyelesaian sengketa. Maka dari itu, kualitas, hak, dan wewenang adalah hal-hal yang harus dimiliki oleh pihak yang mengajukan gugatan, seperti pada konsep legal standing atau locus standi.10 Hal yang menjadi legal standing dalam gugatan pembatalan merek tertuang pada Pasal 76 ayat (1) UU MIG, yang memuat bahwa alasan diajukannya gugatan pembatalan merek terkandung pada Pasal 20 serta Pasal 21 UU MIG dan atas gugatan tersebut bisa diajukan oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan atas merek bersangkutan. Adapun alasan tersebut, diantaranya:
-
(a) adanya merek yang mengandung unsur-unsur bertentangan terhadap kesusilaan, peraturan perundang-undangan, ideologi negara, agama, moralitas, serta ketertiban umum;
-
(b) adanya kesamaan merek yang sudah didaftarkan terhadap barang atau jasa lainnya;
-
(c) terdapat merek mengandung unsur menyesatkan;
-
(d) terdapat suatu ketidaksesuaian informasi atau keterangan terkait merek dengan barang-barang atau jasa yang diproduksi;
-
(e) tiadanya unsur daya pembeda pada suatu merek
-
(f) merek berupa lambang atau nama milik umum;
-
(g) mengandung unsur persamaan pada pokoknya terhadap merek milik pihak lain yang terkenal, merek terdaftar, serta indikasi geografis terdaftar;
-
(h) menyerupai merek orang lain atau tiruan tanpa disetujui oleh pihak berwenang;
-
(i) adanya bentuk iktikad tidak baik dalam merek yang telah terdaftar.
Terhadap gugatan pembatalan merek, berdasarkan pengaturan pada Pasal 76 ayat (2) UU MIG, pengajuan gugatan pembatalan dapat dilakukan oleh pemilik merek yang tidak terdaftar, tetapi sebelum diajukannya gugatan tersebut, terlebih dahulu harus mengajukan permohonan kepada Menteri.11 Pada penjelasan Pasal 76 ayat (2) UU MIG, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan pemilik merek yang tidak terdaftar adalah pemilik merek yang beriktikad baik, tetapi tidak terdaftar atau pemilik merek terkenal yang mereknya tidak terdaftar.12 Hal ini pun menjadi wujud penerapan keadilan untuk pihak-pihak yang memiliki kepentingan terhadap merek. Berkaitan dengan batas waktu, pengajuan gugatan pembatalan merek memiliki jangka pengajuan dalam lima tahun yang terhitung sejak tanggal didaftarkannya merek tersebut. Alasan gugatan pembatalan merek memiliki batas lima tahun dalam jangka waktu pengajuannya adalah untuk memberikan kepastian hukum serta menegakkan keadilan. Dalam hal ini, bagi merek yang sudah lolos dalam segala tahapan yang bermula dari pemeriksaan sampai dengan tahap pengumuman sebelum sertifikat merek terbit, harus mendapatkan perlindungan dengan cara tidak dapat sembarangan untuk digugat. Maka dari itu pengajuan gugatan pembatalan diberikan batasan dalam jangka waktu lima tahun. Jika suatu merek yang didaftarkan tersebut terdapat bentuk iktikad tidak baik serta bertentangan dengan hal-hal yang sebagaimana diatur pada Pasal 20 huruf a UU MIG, maka tidak ada diberlakukan batas waktu dalam pengajuan gugatan. Setelah adanya pengajuan gugatan, maka gugatan akan didaftarkan oleh panitera dan disampaikan pada ketua pengadilan niaga. Untuk tahap sidang pemeriksaan gugatan pembatalan merek sampai dengan tahap putusan, diselesaikan paling lama dalam waktu sembilan puluh hari setelah majelis hakim menerima perkara perkara. Namun, perpanjangan bisa dilakukan paling lama tiga puluh hari apabila Ketua Mahkamah Agung memberikan persetujuan. Selama berlangsungnya persidangan, baik pihak penggugat atau tergugat dapat datang mewakili dirinya sendiri atau diwakilkan oleh kuasa hukumnya. Setiap pihak memiliki kesempatan untuk memberikan bukti-bukti yang sesuai dan relevan berkaitan dengan tuntutan yang diajukan.
Berdasarkan penjabaran tersebut, hal-hal terkait pengaturan terhadap prosedur gugatan pembatalan merek yang dilakukan di pengadilan niaga secara khusus diatur
pada UU MIG. Hal ini pun sejalan pula dengan penerapan Pasal 42 Perjanjian TRIPs, yakni Indonesia sebagai negara anggota organisasi perdagangan dunia, telah memberikan penyediaan terhadap prosedur peradilan dalam perkara hak kekayaan intelektual. Prosedur tersebut berkaitan dengan tata pengajuan gugatan, legal standing, hingga proses pemeriksaan. Dalam pelaksanaannya, penyelesaian perkara gugatan pembatalan merek di pengadilan niaga tetap menggunakan prosedur serta menerapkan asas yang ada pada hukum acara perdata biasa, meskipun terdapat kekhususan ketentuan yang berbeda pelaksanaannya dengan perkara perdata biasa.
Hakim tentunya akan memberikan beberapa pertimbangan sebelum menjatuhkan putusan pada suatu perkara. Pertimbangan harus dilakukan secara cermat dan teliti agar nantinya dapat memberikan putusan yang berkeadilan. Adapun hal yang harus dimuat dalam pertimbangan hukum diantaranya:13
-
(a) Tidak adanya penyangkalan terhadap dalil tertentu serta terdapat hal atau persoalan yang diakui;
-
(b) Terdapat analisa secara yuridis terhadap pembuktian dan fakta pada persidangan;
-
(c) adanya pertimbangan yang bertitik tolak pada pendapat para ahli, doktrin, yurisprudensi, dan alat bukti. Pertimbangan tersebut harus tersusun secara sistematis, logis, dan saling berhubungan;
-
(d) adanya pertimbangan terhadap seluruh bagian petitum penggugat. Hal ini penting untuk menentukan terbukti atau tidaknya suatu perbuatan serta apakah petitum tersebut dapat dikabulkan atau tidak dalam amar putusan nantinya.
Dalam perkara gugatan pembatalan merek, pertimbangan atas perkara, tergantung dari unsur yang ingin dibuktikan. Unsur tersebut tertuang pada Pasal 20 dan Pasal 21 UU MIG. Setelah dilakukannya pertimbangan, maka hakim akan menjatuhkan putusan. Putusan umumnya mengandung amar terkait apakah gugatan dapat dikabulkan seluruhnya, dikabulkan sebagian, atau seluruh gugatan ditolak serta ketentuan terkait pihak yang berwenang dalam membiayai perkara. Atas putusan yang telah didasarkan pada pertimbangan tersebut, tentunya tidak selalu memberikan kepuasan terhadap para pihak. Terkadang, hakim dalam memberikan putusan, tak luput dari adanya kekeliruan hingga mengandung unsur keberpihakan. Maka dari itu, dalam mewujudkan terlaksananya kebenaran dan keadilan, pada putusan yang telah dijatuhkan, dapat dilakukan pengulangan pemeriksaan dengan cara mengajukan upaya hukum. Upaya hukum merupakan tindakan yang bertujuan untuk memperbaiki atau mencegah hal-hal keliru yang terkandung pada putusan.14
Secara umum, dikenal dua jenis upaya hukum dalam hukum acara perdata, diantaranya upaya hukum biasa serta upaya hukum luar biasa. Terhadap putusan
yang belum berkekuatan hukum tetap, dilakukan tindakan upaya hukum biasa.15 Adapun bagian-bagian upaya hukum biasa adalah sebagai berikut:
-
(a) Verzet: merupakan bentuk upaya perlawanan atas dijatuhkannya putusan verstek dan tertuang pada Pasal 129 HIR dan Pasal 153 Rbg;
-
(b) Banding: upaya yang dilakukan jika tidak menerima atau terdapat keberatan atas putusan pada pengadilan di tingkat pertama. Pengaturan tentang upaya hukum ini tertuang pada Pasal 199 hingga Pasal 205 Rbg.;
-
(c) Kasasi: merupakan suatu upaya hukum dari pihak-pihak atas ketidakterimaan hasil putusan di tingkat banding. Prosedur upaya hukum ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Pada upaya hukum luar biasa, terdapat dua bagian, diantaranya:
-
(a) Peninjauan Kembali: Dilakukan atas suatu keadaan yang secara tertentu diatur dalam undang-undang. Pengaturannya tertuang pada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung;
-
(b) Derden verzet: Berupa perlawanan dari pihak ketiga yang kepentingannya dirugikan akibat suatu putusan. Dasar hukum pelaksanaan dari derden verzet yakni pada Pasal 195 ayat (6) HIR serta Pasal 378-384 Rv.
Terhadap upaya hukum putusan atas gugatan pembatalan merek memiliki pelaksanaan yang berbeda dengan hukum acara perdata biasa. Hal tersebut ditunjukkan dari tidak adanya pemberlakuan upaya hukum banding atas putusan yang dijatuhkan dalam pemeriksaan di tingkat pertama. Maka dari itu, para pihak yang keberatan atas putusan tersebut, hanya dapat mengajukan kasasi dan peninjauan kembali. Ketentuan tersebut tertuang pada Pasal 78 ayat (1) UU MIG yang berbunyi “Terhadap putusan Pengadilan Niaga atas gugatan pembatalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (3) dapat diajukan kasasi.” Pengaturan prosedur terkait upaya hukum kasasi pada putusan atas perkara gugatan pembatalan merek terkandung pada Pasal 88 UU MIG yang tahapannya terdiri atas:
-
(1) Pengajuan atas permohonan kasasi selambat-lambatnya dilakukan empat belas hari setelah para pihak mendapatkan pemberitahuan atas adanya permohonan kasasi. Untuk permohonan tersebut, dilakukan pendaftaran oleh panitera pengadilan niaga yang memutus perkara bersangkutan;
-
(2) Pendaftaran atas permohonan kasasi dilakukan oleh panitera saat tanggal permohonan diajukan. Dilanjutkan dengan pemberian tanda terima dalam bentuk tertulis terhadap pemohon kasasi;
-
(3) Pemberitahuan permohonan kasasi terhadap termohon kasasi, dilakukan oleh panitera paling lama dalam waktu tujuh hari setelah pendaftaran permohonan kasasi;
-
(4) Memori kasasi dari pihak pemohon kasasi harus sudah disampaikan pada panitera paling lama dalam waktu empat belas hari sejak didaftarkannya permohonan kasasi;
-
(5) Setelah penerimaan memori kasasi oleh panitera dari pemohon kasasi, wajib dilakukan penyampaian memori kasasi tersebut kepada termohon kasasi paling lama dalm waktu dua hari;
-
(6) Dalam waktu paling lama empat belas hari, setelah diterimanya memori kasasi oleh termohon dari pihak pemohon, kontra memori kasasi dapat diajukan pihak termohon pada panitera dan ketika panitera telah menerima kontra memori kasasi tersebut, maka akan dilakukan penyampaian paling lama tujuh hari kepada pemohon kasasi;
-
(7) Berkas perkara kasasi disampaikan kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lama tujuh hari setelah penerimaan memori dan kontra meori kasasi;
-
(8) Terhadap sidang pemeriksaan sampai dengan putusan dari permohonan kasasi, diselesaikan dalam waktu paling lama sembilan puluh hari setelah Majelis Kasasi menerima tanggal permohonan kasasi;
-
(9) Pertimbangan hukum sebagai hal yang mendasari putusan, harus dimuat secara lengkap dalam putusan permohonan kasasi dan diucapkan pada sidang terbuka untuk umum;
-
(10) Setelah dilakukannya pengucapan putusan kasasi, maka wajib dilakukan penyampaian atas isi putusan kasasi oleh panitera di Mahkamah Agung kepada panitera dalam waktu paling lama tujuh hari;
-
(11) Setelah diterimanya putusan kasasi, juru sita juga wajib melakukan penyampaian isi dari putusan kasasi paling lama dalam waktu dua hari kepada pihak pemohon dan termohon kasasi;
-
(12) Pelaksanaan upaya hukum peninjauan kembali atas putusan kasasi dapat dilakukan dan akan didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam UU MIG tidak mengatur prosedur khusus terkait peninjauan kembali seperti pada upaya hukum kasasi. Dalam Pasal 88 ayat (12) UU MIG diatur, bahwa upaya hukum berupa peninjauan kembali dapat dilakukan terhadap putusan kasasi, yang pelaksanaannya berdasar pada ketentuan peraturan perundang-undangan sehingga dapat dimaknai bahwa pelaksanaan peninjauan kembali akan dilakukan berdasarkan prosedur dalam peraturan perundangan-undangan yang berlaku yakni Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Ketika diajukannya peninjauan kembali, harus mengandung alasan yang terkandung pada Pasal 67 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985, diantaranya:
-
(a) setelah diputusnya perkara, terdapat putusan yang mengandung tipu muslihat dan kebohongan dari pihak lawan serta ditemukan bukti-bukti palsu;
-
(b) terdapat bukti-bukti baru yang tidak ditemukan pada perkara sebelumnya setelah diputusnya perkara;
-
(c) terdapat pengabulan atas suatu hal yang lebih dari yang telah dituntut atau hal-hal yang tidak dituntut;
-
(d) tidak terdapat pertimbangan atas sebab-sebab dalam sesuatu yang menjadi bagian dari tuntutan;
-
(e) terdapat pemberian putusan oleh pengadilan yang sama atau dalam tingkatan yang sama yang bertentangan antara satu dengan lainnya kepada pihak-pihak dalam persoalan yang sama;
-
(f) terkandung kekeliruan serta kekhilafan yang dilakukan oleh hakim pada suatu putusan;
Ketiadaan upaya hukum banding, melainkan langsung pada proses kasasi menunjukkan bagaimana kekhususan dari keberlakuan hukum acara di pengadilan niaga itu sendiri. Tujuan dari tidak diberlakukannya upaya hukum banding adalah
mewujudkan asas peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.16 Keberlakuan dari ketiganya, terkandung di dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Adapun penjabaran lebih lanjut berkaitan dengan penerapan asas pengadilan niaga dalam perkara gugatan pembatalan merek adalah sebagai berikut:
-
(a) Asas sederhana dan cepat: mengutamakan efisiensi dan efektifitas untuk menyelesaikan suatu perkara. Hal ini ditunjukkan dari waktu penyelesaian perkara yang diatur khusus dalam UU MIG. Seperti dalam Pasal 85 ayat (7) UU MIG yang mengatur tentang jangka waktu pemeriksaan hingga putusan yang dilakukan Sembilan puluh hari setelah majelis menerima perkara dan atas hal tersebut dapat dilakukan perpanjangan selama tiga puluh hari apabila disetujui oleh Mahkamah Agung. Di samping itu, berkaitan dengan upaya hukum yang langsung pada tahap kasasi, membuat proses penyelesaian perkara dapat lebih cepat dilakukan serta menjadi tidak berbelit-belit. Dapat ditarik makna bahwa penghematan waktu dalam penyelesaian perkara sangat diutamakan agar mencapai proses yang efisien dan efektif.17 Hal ini tidak hanya memudahkan pihak yang bersengketa, tetapi juga bagi hakim yang memeriksa perkara;
-
(b) Asas biaya ringan: asas ini mengandung makna bahwa biaya perkara harus dapat dijangkau masyarakat. Jika dikaitkan dengan putusan pengadilan niaga atas pembatalan merek yang secara prosedural langsung dilakukan upaya hukum kasasi, akan sangat membantu dalam biaya penyelesaian perkara. Mengingat, perkara kekayaan intelektual termasuk perkara niaga yang memakan biaya cukup tinggi. Maka dari itu, pihak yang keberatan atas putusan tidak perlu lagi untuk melakukan tahapan banding serta membayar biaya perkara atas banding tersebut karena dalam UU MIG telah dilakukan efisiensi agar penyelesaian perkara dapat berlangsung lebih cepat dan tidak terlalu menguras biaya.
Terhadap pengaturan yang berkaitan dengan kekhususan terhadap pemberlakuan upaya hukum tersebut, selain undang-undang telah mengatur demikian, hal ini menjadi wujud nyata terlaksananya asas-asas dalam pelaksanaan peradilan. Selain itu, pengaturan dan pelaksanaan tersebut dapat memberikan kepastian hukum, kemanfaatan, serta keadilan bagi masyarakat yang ditandai dengan adanya efisiensi serta penghematan dari segi waktu dan prosedur dalam penyelesaian perkara.
Berkaitan dengan pengajuan gugatan pembatalan merek di pengadilan niaga, pada dasarnya penyelesaiannya menggunakan hukum acara perdata biasa, tetapi terdapat beberapa prosedur beracara khusus yang diatur dalam UU MIG. Adapun prosedur tersebut berkaitan dengan pengaturan tentang pengajuan gugatan, landasan diajukannya gugatan, dan pemeriksaan. Selain itu, kekhususan lainnya terimplementasi dalam upaya hukum atas putusan yang tidak mengenal adanya upaya hukum banding seperti hukum acara perdata biasa, melainkan hanya terdapat kasasi serta peninjauan kembali. Penerapan pengaturan yang diberlakukan pada
prosedur hingga upaya hukum atas putusan gugatan pembatalan merek menjadi wujud nyata pelaksanaan asas peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Jened, Rahmi. Hukum Merek Trademark Law Dalam Era Global & Integrasi Ekonomi. (Jakarta, Kencana, 2015).
Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia. (Yogyakarya, Penerbit Liberty, 2009).
Jurnal
Alexander, Rendy. "Penerapan Prinsip “First To File” Pada Konsep Pendaftaran Merek Di Indonesia." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 10, no. 9 (2022): 2110-2121.
Bahri, Syaiful. "Perlindungan Hukum Terhadap Pemilik Merek Yang Tidak Terdaftar Di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 Tentang Merek Dan Indikasi Geografis." Dinamika 28, no. 19 (2022): 5985-6001.
Benuf, Kornelius, and Muhamad Azhar. "Metodologi penelitian hukum sebagai instrumen mengurai permasalahan hukum kontemporer." Gema Keadilan 7, no. 1 (2020): 20-33.
Dinata, I. Wayan Wardiman, and I. Nyoman Bagiastra. "Cara Mengajukan Gugatan Dan Perubahan Gugatan Dalam Praktek Peradilan Hukum Acara Perdata." Kertha Negara: Journal Ilmu Hukum 5, no. 2 (2017): 1-6.
Hamzah, Mohammad Amir. "Tolok Ukur Prinsip Hukum Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan pada Peradilan Perdata." Rechtidee 10, no. 1 (2015): 78-90.
Karim, Asma. "Legal Standing Pemegang Hak Merek Terdaftar yang Belum Dimohonkan Perpanjangan." Jurnal Yudisial 13, no. 1 (2020): 107-124.
Karwur, I. Gede Febryan. "Pengaturan Hukum Tentang Kewenangan dan Prosedur Penyelesaian Sengketa di Bidang Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI)." Lex Privatum 6, no. 8 (2018): 90-101.
Manihuruk, Stephanie Karin, and Jeane Neltje Saly. "Penghapusan Merek Cristaline (Gie Cristaline) Oleh Pt. Pepper Tree Investama Berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2016." UNES Law Review 5, no. 4 (2023): 3293-3301.
Putra, I. Made Diyama, Titin Titawati, Aline Febriyani, And Gde Tusan Ardika. "Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Hak Merek Di Indonesia." Ganec Swara 16, No. 2 (2022): 1739-1746.
Safitri, Putri Ari, and Ni Luh Gede Astariyani. "Pembatalan merek oleh pihak yang tidak berhak: Kajian itikad baik." Kertha Wicara 8 (2019): 1-14.
Saraswati, Ida Ayu Kade Irsyanti Nadya, and R. Ibrahim. "Pembatalan Merek Karena Adanya Kesamaan Konotasi Dengan Merek Lain Yang Telah Terdaftar." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 7 (2019): 1-15.
Sitorus, Syahrul. "Upaya Hukum Dalam Perkara Perdata (Verzet, Banding, Kasasi, Peninjauan Kembali dan Derden Verzet)." Hikmah 15, no. 1 (2018): 63-71.
Sudjana. “Akibat Hukum Penghapusan dan Pembatalan Merek Terdaftar Terhadap Hak Atas Merek”. Res Nullius Law Journal 2, No. 2 (2020): 119-140.
Yulianto, Eko. "Eksekutorial Putusan Pembatalan Merek Terdaftar." Jurnal Fakultas Hukum Universitas Lampung. Volume 1 Issue 1. Januari-Juni (2020): 11-22.
Peraturan Perundang-Undangan
HIR/ Rbg dan Rv
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 3316).
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076).
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 252, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5953).
Jurnal Kertha Negara Vol 11 No 7 Tahun 2023 hlm 707-717
717
Discussion and feedback