KONTRIBUSI BATUR GLOBAL GEOPARK DALAM PEREKONOMIAN LOKAL DI KINTAMANI
on
JUMPA 4 [2] : 253 - 268
p-ISSN 2406-9116 e-ISSN 2502-802n2i
KONTRIBUSI BATUR GLOBAL GEOPARK
DALAM PEREKONOMIAN LOKAL DI KINTAMANI
Putu Swasti Asparini Syahrijati
Universitas Pakuan dan Sekolah Tinggi Pariwisata Bogor
Email [email protected]
Abstract
The aims of this study are to determine the Batur Global Geopark, Kintamani, Bali, contribution to the economy of the local community, determine the ratio and changes in the standard of living that occur before and after Batur be the member of Batur Global Geoparks Network GGN, and the level of community participation in tourism activities in Batur Geopark. This study used a combination of qualitative and quantitative analysis. Research instrument was a questionnaire with accidental sampling technique and interviews with a sample set with a purposive. The results of this study stated that there was no change of standard of living as well as earnings before and after Batur Geopark designated as members of GGN. Lack of community participation is considered as a cause. Therefore, the article suggests a community-based tourism / community as a solution.
Key words: Batur Geopark, community-based tourism, tourism economic impacts
Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui kontribusi Batur Global Geopark, Kintamani Bali, terhadap perekonomian masyarakat lokal. Hal ini dilakukan dengan menganalisis perubahan taraf hidup yang terjadi sebelum dan sesudah Batur Global Geopark menjadi anggota Global Geoparks Network (GGN), serta tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan pariwisata di Batur Geopark. Penelitian ini menggunakan kombinasi analisis kualitatif dan kuantitatif. Instrumen penelitian adalah kuesioner dengan teknik pengambilan sampel secara accidental serta interview dengan sampel yang ditetapkan dengan cara purposive. Hasil penelitian menyatakan bahwa Batur Geopark tidak adanya perubahan taraf hidup serta pendapatan yang terjadi sebelum dan sesudah Batur Geopark
ditetapkan sebagai anggota GGN yang dirasakan masyarakat lokal. Dapat disimpulkan bahwa tidak ada kenaikan pendapatan dan penciptaan lapangan pekerjaan baru. Kurangnya partisipasi masyarakat dianggap sebagai penyebab. Tulisan ini menawarkan pariwisata berbasis masyarakat sebagai solusi.
Kata kunci: Geopark Kintamani, dampak ekonomi pariwisata, pariwisata berbasis masyarakat
Pariwisata adalah salah satu di antara sektor-sektor terpenting yang telah mendorong pembangunan ekonomi modern di seluruh dunia serta memainkan peran penting dalam proses ekonomi di beberapa negara maju dan berkembang (Chaiboonsri 2008 :65-94). Pariwisata adalah salah satu di antara industri terbesar dalam dunia. Ketenagakerjaan, pertukaran mata uang, dan faktor mutltiflier effects yang menjadi alasan utama untuk pemerintah negara berkembang untuk memanfaatkan pariwisata sebagai alat pembangunan bangsa (Radetzki-Stenner, 1989 :24-26, Waldner 1998 :25-26). Di Indonesia, sektor pariwisata menghasilkan devisa terbesar kedua dan Pulau Bali memberikan kontribusi yang paling penting (UNDP 2003 p.i).
Sektor pariwisata mendorong perekonomian dari banyak individu. Sebagai implikasi dari kesiapan setiap sektor pendukung dan sektor utama seperti dalam hal fasilitas, infrastruktur dibandingkan dengan sektor usaha lainnya. Komprehensif Manajemen Proyek dan Pengembangan pariwisata untuk Bali, (Erawan, 1994 :12) menyimpulkan bahwa pariwisata telah menjadi generator utama di pulau Bali dalam dua puluh tahun terakhir. Selanjutnya, Erawan menyebutkan bahwa pariwisata dapat menjadi leading sector dalam pembangunan ekonomi. Namun, ada sedikit keraguan bahwa usaha pariwisata telah menyebabkan kenaikan besar dalam standar kehidupan dan pendapatan melalui tindakan dan pekerjaan kewirausahaan masyarakat yang tinggal di Pulau Bali (Ostrom, 2002 :113). Studi yang dilakukan oleh Geoffrey Wall mendeskripsikan kekhawatiran bahwa dengan banyak wisatawan yang berkunjng ke Pulau Bali maka pariwisata mendominasi ekonomi dan pembangunan sosial di pulau ini. Meskipun pariwisata dan wisatawan memiliki pengaruh besar pada perekonomian, norma dan aspirasi di beberapa daerah sosial, sektor pariwisata tetap menjadi kegiatan perifer atau tidak ada dalam komponen besar dari Pulau Bali(Wall, 1996 :123-137).
Artikel ini mengkaji kontribusi Batur Global Geopark terhadap perekonomian masyarakat lokal. Untuk menjelaskan masalah ini dilakukan perbandingan perbandingan dan perubahan taraf hidup yang terjadi
FOTO-FOTO GIAN SAPUTRA
Foto 1. Bentang alam Gunung Batur, Kintamani, di mana terdapat Batur Global geopark.
sebelum dan sesudah ditetapkannya kaldera Gunung Batur sebagai anggota Global Geopark Network (GGN) serta tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan pariwisata di Batur Global Geopark.
Batur Global Geopark merupakan daya tarik wisata baru yang berbasis alam. Kehadirannya memperkaya daya tarik wisata Bali yang dikenal didominasi akan seni dan budaya termasuk keramahtamahan penduduk.
Pengembangan Bali sebagai destinasi wisata pertama dilakukan pemerintah kolonial Belanda tahun 1910-an. Pemerintah Indonesia melanjutkannya sesudah kemerdekaan. Perkembangan yang semula pelan, alot, sedikit fasilitas, menjadi sangat pesat dan bahkan massif, ditandai fasilitas akomodasi yang jumlahnya mendekati seratus ribu kamar di seleuruh Bali.
Pada 2015, Bali mungkin menghadapi krisis air minum. Lebih dari 1.000.000 wisatawan mengunjungi Bali pada tahun 2001, dibandingkan dengan sekitar 2,5 juta pada tahun sebelumnya. Setiap tahun, 700 hektar lahan dibangun hotel, perumahan mewah untuk orang asing, atau jalan untuk meningkatkan jaringan komunikasi pulau yang memiliki 3,5 juta penduduk ini. Setiap hari, 13.000 meter kubik sampah yang dibuang ke tempat pembuangan sampah milik masyarakat umum, hanya setengah dari sampah tersebut yang didaur ulang. kemacetan lalu lintas yang diciptakan oleh pertumbuhan otomotif tak terkendali: ada 13% lebih banyak mobil setiap tahun (Philip 2012).
Pariwisata massal dianggap berdampak negatif untuk kelangsungan hidup dari destinasi pariwisata itu sendiri sebagai akibat dari itu akan timbul masalah di daerah tujuan wisata. Pernyataan ini ditekankan oleh Mowforth & Munt, yang berpendapat bahwa ekspansi bisnis massal telah menyebabkan berbagai masalah, yang semakin jelas selama beberapa tahun
terakhir. Ini termasuk kondisi ekonomi sosial, lingkungan dan budaya. Isu-isu ini biasanya terhubung dengan pariwisata massal (Mowforth :2003).
Sebuah pembangunan berkelanjutan dalam pariwisata (sustainable tourism) dipandang sebagai paradigma pembangunan alternatif yang mencoba untuk menjembatani antara developmentalis dan enviromentalist. Pembangunan berkelanjutan membutuhkan integrasi dari proses ekonomi dan ekologi melalui usaha paradigma dan perumusan kebijakan yang didasarkan pada kemitraan dan partisipasi dari pelaku pembangunan dalam mengelola sumber daya secara berkesinambungan (Baiquni, 2002).
Dalam pariwisata berkelanjutan isu-isu yang terkait adalah ekowisata, pembangunan pedesaan, warisan budaya dan alam, dampak lingkungan, pembangunan perkotaan, masyarakat adat, wisata alternatif, satwa liar, taman alam. Keragaman sudut pandangan tentang apa persis pariwisata berkelanjutan adalah dan kompleksitas konsep. Namun demikian, kita harus memahami bahwa pembangunan berkelanjutan pariwisata merupakan proses yang berkesinambungan dari peningkatan dan perbaikan (UNEP & UNWTP, 2005). Perlu dicatat bahwa mungkin proses yang berkesinambungan ini menjadi cara bagaimana kita mendapatkan manfaat tanpa mengorbankan lingkungan, dengan bantuan masyarakat setempat dan menunjukkan bahwa pariwisata adalah salah satu cara untuk membuat hidup lebih baik bagi masyarakat dan lingkungan.
Menyadari pentingnya melindungi alam demi keberlanjutan pariwisata di Bali dan peningkatan perekonomian bagi masyarakat lokal, pemerintah Indonesia dengan dukungan dari pemerintah daerah Bali memulai wacana untuk melindungi warisan budaya dan alam Bali. Idenya adalah untuk memasukkan beberapa daerah yang memiliki keunikan tersendiri kedalam organisasi yang berada dibawah naungan UNESCO bernama Global Geoparks Network (GGN) yang merupakan sebuah organisasi dunia untuk melindungi warisan alam yang memiliki nilai yang luar biasa (outstanding value). Geopark dianggap mewakili dan menjawab dua hal penting dalam pariwisata yang merupakan sektor ekonomi dan konservasi alam.
Berdasarkan hasil pertemuan dan kesepakatan dari Badan Geologi Nasional serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral yang diciptakan untuk tujuan pertemuan dengan UNESCO dalam rangka monitoring dan evaluasi pelaksanaan program Geopark Batur (Batur global Geopark, BGG), menjelaskan beberapa alasan mengapa Indonesia memilih keindahan kaldera Gunung Baturyaitu Kaldera Gunung Batur dianggap memiliki kekayaan sumber daya alam berupa Keanekaragaman Geologi yang terbentuk secara alami tanpa campur tangan manusia, keanekaragaman budaya dan keanekaragaman hayati dan memenuhi kualifikasi seluruh persyaratan yang diajukan oleh UNESCO (BGN, 2013).
Foto 2. Poster besar di kawasan Batur Global Geopark.
Metode yang digunakan pada kajian ini adalah metode kombinasi. Johnson dan Cristensen (2008) menyatakan bahwa penelitian kombinasi atau mixed research merupakan pendekatan dalam penelitian yang mengkombinasikan atau menghubungkan antara metode penelitian kuantitatif dan kualitatif. Instrument penelitian adalah kuesioner dengan pengambilan sampel secara accidental serta teknik penumpulan data kualitatif dilakukan dengan megadakan interview kepada sample yang telah ditentukan secara purposive.
Penelitian sebelumnya pada Geopark di seluruh dunia dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Härtling dan Meier (2010) yang berjudul Economic Effects of Geotourism in Geopark TERRA.vita, Northern Germany menyatakan bahwa terjadi peningkatan pendapat masyarakat sekitar terutama pada sektor penjualan makanan di retoran dan penginapan. Lebih lanjut dikatakan bahwa setelah melakukan penelitian, observasi, dan penyebaran kuesioner kepada para wisatawan yang terlibat dalam kegiatan
yang dipromosikan oleh geopark serta wawancara dengan orang-orang yang tinggal di sekitar kawasan geopark, dapat disimpulkan bahwa kegiatan geopark memiliki kontribusi terhadap pembangunan ekonomi masyarakat.
Biaya akomodasi seperti tempat perkemahan dan hostel sebanding dengan yang diperkirakan dalam studi lain yang menjadi rujukan dalam studi Härtling. Rata-rata untuk semua jenis akomodasi dihitung pada € 38,5. Penelitian tersebut dilakukan di sembilan lokasi dengan menghitung pendapatan kotor yang dihasilkan dari wisatawan pada saat musim liburan. Dengan demikian, sekitar €12.300.000 pendapatan kotor yang dihasilkan di sembilan lokasi, menghasilkan laba bersih sekitar €10.700.000 dan efek ekonomi regional secara langsung dan tidak langsung sekitar € 6 juta. Sekitar 300 lapangan pekerjaan baru yang dihasilkan oleh kegiatan wisata di sembilan lokasi yang dianalisi serta sekitar 900 pekerjaan yang benar-benar diciptakan oleh geopark.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada saat itu, Mari Elka Pangestu, mengatakan bahwa beliau percaya dengan adaya pengakuan UNESCO dan pengembangan ekowisata di daerah Batur Geopark akan membawa kesejahteraan bagi Bali, terutama untuk masyarakat lokal di Batur (viva.co.id). Beliau mengutip keberhasilan Geopark Gunung Taishan di Cina sebagai contoh. Mari mengatakan bahwa pengakuan UNESCO terhadap Gunung Taishan Geopark di Cina telah membawa dampak positif pada masyarakat setempat. Pada tahun 2007, terdapat kenaikan jumlah wisatawan sebesar 200.000 wisatawan dan menghasilkan devisa sebesar US $3.000.000 juta.
Sejak Geotourism dan Geoparks berpeluang meningkatkan pembangunan pedesaan, UNWTO ST-EP (Sustainable Tourism for Elimination Poverty) program menawarkan strategi mengurangi kemiskinan dengan melibatkan masyarakat lokal dalam kegiatan geopark. Sejalan dengan ini, praktisi dan pihak berwenang geopark harus mengadopsi kebijakan positif untuk merangsang partisipasi masyarakat lokal untuk kemakmuran ekonomi lokal, pengentasan kemiskinan dan pembangunan berkelanjutan. Visi baru ini memberikan kesempatan bagi negara-negara berkembang dalam mengentaskan kemiskinan dan perbaikan ekonomi (Errami, 2015).
Sejalan dengan tujuan global UNWTO, Batur Global Geopark juga bisa dilihat sebagai usaha untuk dapat digunakan sebagai alat untuk mengentaskan kemiskinan. Patut dijadikan perhatian adalah: apakah dampak positif dari Batur Geopark dapat menyentuh masyarakat setempat? Apakah dengan ditetapkannya Batur Geopark sebagai anggota dari Global Geopark Network menguntungkan masyarakat lokal? Dalam penelitian ini, masyarakat setempat adalah orang-orang yang tinggal di daerah Batur
Tabel 1. Hasil Kuesioner Perubahan Taraf Hidup Masyarakat Lokal terhadap
Penetapan Batur sebagai Geopark
Geopark. Batur Geopark dianggap sebagai salah satu produk pariwisata berkelanjutan karena UNWTO mendefinisikan pariwisata berkelanjutan sebagai kegiatan usaha pariwisata yang bertujuan untuk mengelola semua sumber daya sedemikian rupa bahwa kebutuhan ekonomi, estetika dan sosial dapat diisi dengan tetap menjaga integritas budaya, keanekaragaman hayati, proses dan life support systems (Shah et al 2002: 1).
Dalam penelitian ini, disebarkan 54 kuesioner kepada masyarakat setempat yang hidupnya bergantung pada sektor pariwisata. Dalam kuesioner ini peneliti ingin mendapatkan gambaran tentang perubahan aktivitas pariwisata dan pendapatan masyarakat lokal sebelum dan sesudah ditetapkannya Batur sebagai anggota Global Geopark Network. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan accidental sampling dikarenakan peneliti tidak memiliki data yang valid teradap jumlah populasi masyarakat setempat yang terlibat dalam kegiatan pariwisata selama penelitian. Penyebabnya adala ketiadaan sensus yang dilakukan pada 15 desa yang masuk dalam radius Batur Geopark sehingga data yang didapat merupakan data umum di Kabupaten Bangli oleh karena itu, peneliti tidak didukung dengan ketersediaan data oleh pihak berwenang setempat.
Berdasarkan hasil kuesioner, sebagian besar masyarakat lokal yang memiliki pekerjaan di sektor pariwisata bahkan tidak merasakan manfaat dari penetapan Batur sebagai jaringan geopark global. Selain itu, mereka juga tidak merasa ada perubahan dalam standar hidup mereka sejak Batur Geopark diresmikan UNESCO.
Dengan hasil ini, maka pemahaman lebih lanjut mengenai prinsip-prinsip dari geopark dan pembangunan berkelanjutan sangat diperlukan. Adapun prinsip pembangunan berkelanjutan oleh WTO (2002: 10) yang
Foto 3. Pesona Batur Global Geopark.
dapat digunakan sebagai pegangan umum menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan harus menaati tiga prinsip, yaitu: (1) keberlanjutan ekologis; (2) kontinuitas sosial budaya dan (3) keberlanjutan ekonomi, baik untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Menekankan bahwa dalam pelaksanaan pembangunan pariwisata berkelanjutan, manfaat ekonomi harus berdampak pada masyarakat, tetapi berbeda kenyataannya yang terjadi pada masyarakat lokal di kawasan Batur Geopark.
Mbaiwa dan Stronza (2009) menegaskan bahwa masyarakat setempat secarahistoris hidupberdampingandengansebuah atraksiwisatautama.Oleh karena itu, keterlibatan masyarakat lokal dalam pengembangan pariwisata tidak dapat diabaikan karena peran penting masyarakat. Keterlibatan masyarakat lokal dalam pengembangan pariwisata sangat penting dalam menjembatani kesenjangan antara pemerintah dan penggunaan sumber daya di daerah tujuan wisata. Terlepas dari kontribusi ekonomi yang masyarakat setempat dapat diperoleh dari pariwisata, keterlibatan masyarakat juga dapat berguna bagi pengembangan pariwisata karena dapat menciptakan manajemen lingkungan yang efektif berdasarkan pengetahuan tradisional, lokal dan ilmiah, pengembangan ekonomi, pemberdayaan sosial, budaya perlindungan warisan dan penciptaan pengalaman interpretatif dan alam berbasis untuk wisata dan belajar mengapresiasi lintas-budaya.
Berdasarkan hal tersebut, peneliti kembali membagikan 54 kuesioner dengan teknik accidental sampling untuk masyarakat lokal di daerah Batur Geopark yang memiliki pekerjaan di bidang pariwisata dan memiliki kontak langsung dengan wisatawan untuk mengetahui keterlibatan mereka dalam kegiatan pariwisata yang dicanangkan pemerintah setempat. Pekerjaan mereka antara lain adalah penjual buah, supir, pemandu wisata, penjual souvenir, pedagang asongan, penjual anjing, pengrajin dan penjual makanan.
Tabel 2. Keterlibatan Masyarakat Lokal dalam Kegiatan dan pengembangan Parwisata di Batur Geopark
Pertanyaan |
Ya |
Tidak |
Tidak Tahu |
Apakah Pemerintah setempat melibatkan dan mengajak anda untuk berpartisipasi langsung dalam kegiatan pariwisata di Batur Geopark ? |
4 |
43 |
7 |
Apakah anda dilibatkan secara langsung dalam pengambilan keputusan? |
12 |
28 |
14 |
Apakah anda merasa kurangnya keterlibatan seluruh masyarakat setempat dalam pengembangan kawasan Batur Geopark? |
23 |
23 |
8 |
Dapat disimpulkan bahwa masyarakat merasa bahwa mereka kurang dilibatkan secara langsung dan cenderung untuk berinisiatif mengambil keuntungan dengan membuka usaha tanpa sosialisasi, edukasi dan ajakan partisipatif oleh oleh pihak-pihak yang berwenang dalam kegiatan pariwisata di Geopark Batur dan merasa tidak berperan dalam pengambilan keputusan. Pentingnya pengaruh masyarakat dan keinginan yang tertanam untuk berpartisipasi dan membangun kapasitas masyarakat untuk pengembangan pariwisata merupakan suatu hal yang fundamental dalam pariwisata berkelanjutan. Partisipasi masyarakat dapat disimpulkan sebagai suatu proses dimana anggota masyarakat diberi suara dan pilihan untuk berpartisipasi dalam isu-isu yang mempengaruhi kehidupan maasyarakat (Aref, 2010)
Menurut pernyataan dari beberapa masyarakat lokal yang telah diwawancarai, mereka tidak memiliki keinginan untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang direncanakan pemerintah setempat karena mereka merasa bahwa mereka tidak diharapkan untuk terlibat dan mereka tidak penting untuk terlibat.
-
4.1 Pariwisata Berbasis Masyarakat sebagai Solusi
Pariwisata berbasis masyarakat merupakan pendekatan dalam pengembangan pariwisata dimana penekanannya adalah masyarakat setempat (baik yang terlibat secara langsung dalam industri pariwisata atau
tidak terlibat namun merupakan anggota dan bagian masyarakat lokal) dalam bentuk memberikan akses dan juga kesempatan dalam pengelolaan serta pengembangan pariwisata yang berdampak postif dalam pemberdayaan politik melalui kehidupan demokrasi, termasuk pembagian keuntungan dari kegiatan pariwisata lebih adil bagi masyarakat setempat (Hausler 2005). Lebih lanjut, Hausler menyampaikan bahwa gagasan tersebut sebagai bentuk perhatian yang sangat penting untuk pengembangan pariwisata yang sering mengabaikan hak-hak masyarakat lokal disuatu destinasi pariwisata.
Suansri (2003:14) mendefinisikan pariwisata berbasis masyarakat sebagai pariwisata yang memperhitungkan aspek-aspek kelestarian lingkungan, budaya dan sosial. pariwisata berbasis masyarakat adalah suatu komunitas instrumen pembangunan dan konservasi lingkungan. Dengan kata lain pariwisata berbasis masyarakat adalah alat untuk mencapai pembangunan pariwisata berkelanjutan.
Ernawati (2010) kemudian menjelaskan bahwa pariwisata berbasis masyarakat adalah model manajemen pariwisata yang dikelola oleh masyarakat setempat yang berusaha untuk meminimalkan dampak negatif dari pariwisata terhadap lingkungan dan budaya dan pada saat yang bersamaan akan menciptakan dampak ekonomi yang positif. Masyarakat yang tinggal di sekitar objek dan daya tarik wisata merupakan bagian dari objek wisata itu sendiri. Konsep pariwisata berbasis masyarakat berarti bahwa manajemen pariwisata yang dikelola oleh masyarakat setempat yang bersangkutan (langsung maupun tidak), ini termasuk keseluruhan tahapan manajemen pengelolaan dan perencanaan serta evaluasi pariwisata, seperti persiapan dari keseluruhan produk dan jasa yang dibutuhkan oleh wisatawan.
Kehendak masyarakat untuk terlibat dalam pariwisata merupakan dasar yang kuat terhadap keberhasilan pengembangan pariwisata berbasis masyarakat. Keberhasilan pengembangan konsep pariwisata berbasis masyarakat pada dasarnya dapat dilakukan melalui dua teknik: (1) partisipasi masyarakat (2) pengorganisasian masyarakat. Kedua teknik ini adalah proses pemberdayaan yang berarti pembangunan harus berasal dari, oleh dan untuk masyarakat. Konsep ini juga dapat dipahami sebagai salah satu gerakan sosial dan sebuah program.
Partisipasi masyarakat dalam setiap tahap pengembangan pariwisata di destinasi pariwisata dikatakan sebagai syarat utama keberhasilan destinasi terebut (Pitana, 1999 dalam Prasiasa, 2013). Tetapi, ketika dilihat lebih dalam, apakah masyarakat, dalam hal ini masyarakat lokal yang bermukim disuatu destinasi atau objek pariwisata siap untuk berpartisipasi dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan yang rendah? Tentu sebelum melibatkan seluruh lapisan masyarakat dalam kegiatan pariwisata dan pengimplementasian pariwisata berbasis masyarakat dimana masyarakat
memiliki kendali dalam mengelola kegiatan pariwisata, peran pemerintah sangat diperlukan dalam upaya pemberdayaan masyarakat melalui pembangunan kapasitas (capacity building).
Gamba 1. Stuktur Parsipasi Msyarakat daam Perencanan
Sumber: Geddesian dalam Soemarmo (dalam Irma Purnamasari tesis)
Yang dapat dideskripsikan sebagai berikut:
Survei
Perspektif merupakan hal yang sangat subjektif terlebih dalam perencanaan suatu kawasan pariwisata terpadu yang akan dikelola oleh masyarakat lokal. Pelibatan masyarakat untuk terjun ke lapangan sangat diperlukan sehingga mereka melihat masalah yang ada secara langsung. Dengan memberikan fakta yang terjadi diharapkan masyarakat dikawasan tersebut memiliki ide untuk membuat rencana sesuai dengan kondisi lapangan.
Analisis
Peran pemerintah dan lembaga atau perusahaan sosial sangat penting dalam tahapan ini. Mulai dari membagikan kuesioner, membantu masyarakat lokal memahami isi kuesioner, dan menganalisis hasil kuesiner yang diisi oleh masyarakat setempat. Diskusi dengan masyarakat perlu dilakukan oleh pemerintah dalam upaya mencari dan mengumpulkan informasi atas keinginan, kebutuhan serta harapan seluruh anggota dan lapisan masyarakat. Hasilnya akan sangat beragam dan diperlukan analisis mendalam sebelum membuat blueprint master plan.
Perencanaan
Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan selanjutnya koordinator atau perwakilan masyarakat bertemu dengan perwakilan pemerintahan untuk menyusun perencanaan pembangunan. Keterlibatan masyarakat sangat esensial dikarenakan masyarakat lokal adalah pelaku dari perencaan tersebut sehingga harus ada penyesuaian antara kemampuan masyarakat dan rencana yang dirancang. Keterlibatan pihak ketiga (lembaga dan perusahaan) sangat diperlukan dalam pengembagan dan peningkatan masyarakat seperti pelatihan dan edukasi.
-
4.2 Peran Perusahaan dalam Pariwisata Berbasis Masyarakat
Setiap perusahaan pada dasarnya berorientasi pada keuntungan baik keuntungan jangka panjang maupun jangka pendek. Namun dalam pariwisata berbasis masyarakat, keuntngan perusahaan bukanlah satu-satunya hal
yang menjadi tujuan perusahaan melainkan fokus utama terletak kepada masyarakat. Merupakan suatu polemik dimana perusahaan membutuhkan profit untuk kegiatan operasional serta keuntngan bagi pemilik. Lalu, apa jenis perusahaan yang tepat untuk dilibatkan dalam pariwisata berbasis masyarakat?
Sebuah perusahaan sosial (social enterprise) adalah bisnis sosial yang didirikan untuk memasok kesempatan kerja nyata bagi penduduk lokal dengan target yang diprioritaskan (pengungsi, imigran, individu dengan masalah mental atau cacat, masyarakat atau kelompok orang yang hidup didaerah terpencil, serta pengembangan keterampilan dan pelatihan bagi masyarakat yang termmarjinalisasi). Tujuan dari perusahaan sosial adalah untuk mencapai target yang diukur dari pencapaian sosial dan lingkungan. Uang tidak dijadikan alat ukur sebagai keberhasilan dalam pencapaian target perusahaan (Rebutin, 2009).
Tipologi perusahaan sosial-ekonomi harus dianggap sebagai salah satu definisi karakteristik karena terdapat banyak jenis perusahaan sosio-ekonomi. Peran khusus dimana perusahaan sosial-ekonomi dapat digunakan untuk mewujudkan pariwisata berbasis masyarakat di Batur Geopark adalah; Pertama dengan bertindak sebagai pendukung, melalui pengembangan kapasitas usaha dan memberikan akses terhadap modal; Kedua, sebagai kendaraan untuk produk dan layanan masyarakat. Perhatian utama bahwa perusahaan sosial-ekonomi harus memenuhi kebutuhan masyarakat. Dengan memberikan produk atau layanan yang dapat menutupi kesenjangan di pasar, maka ada kesempatan untuk membangun sebuah perusahaan social-ekonomi dan oleh sebab itu, ada celah untuk mendapatkan keuntunganpribadi, sementara masih memberikan keuntungan bagi masyarakat.
Perusahaan sosial-ekonomi lebih banyak mengembangkan kemampuan di beberapa bidang ekonomi seperti pertanian dan untuk menyediakan layanan public (Quarter, 2003 dan Ninacs, 2002). Peningkatan kemampuan mengacu pada fleksibilitas dan keterampilan perbaikan untuk memfasilitasi tindakan pengembangan masyarakat. Pendekatan yang signifikan di mana perusahaan social-ekonomi terbiasa membangun kemampuan untuk pengembangan pariwiata berbasis komunitas adalah melalui acara perdagangan, dengan dukungan organisasi perusahaan komersial atau konstruksi serta dukugan dari pemangku kepentingan masyarakat.
Organisasi-organisasi ini juga fleksibel, dalam arti mereka dapat tumbuh diberbagai skala industri termasuk pariwisata. Seperti menjadi relawan untuk pelatihan bagi masyarakat sekitar. Kegiatan ini memenuhi beberapa tujuan pariwisata berbasis masyarakat, dalam hal ini dengan operasi bersama anggota masyarakat secara proaktif, memperkuat fleksibilitas masyarakat asli untuk menyelesaikan masalah (Laverack, 2009 :172-185).
Sebagai feedback, prinsip-prinsip ekonomi yang terkait dengan sistem distribusi manfaat yang timbul dari pengembangan industri pariwisata, seperti yang terkait dengan prinsip-prinsip ekonomi Hatton (1999) diterjemahkan ke dalam tiga bentuk: (1) joint venture, dimana diwajibkan untuk menyisihkan keuntungan untuk masyarakat (dalam bentuk tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) atau bagi hasil); (2) asosiasi masyarakat yang dibentuk untuk mengelola kegiatan pariwisata di mana keuntungan dibagikan kepada masyarakat secara adil oleh masyarakat itu sendiri; (3) perekrutan usaha kecil atau menengah bagi masyarakat. Hatton tidak merekomendasikan upaya individu dalam pariwisata berbasis masyarakat, karena ditakutkan keuntungan dari kegiatan pariwisata hanya dirasakan oleh anggota masyarakat yang terlibat langsung, sementara orang-orang yang tidak terlibat secara langsung dalam kegiatan pariwisata tidak diuntungkan.
Penetapan Batur sebagai anggota Global Geopark Network ternyata tidak berdampak terhadap peningkatan pendapatan dan taraf hidup masyarakat lokal. Hal tersebut bisa diakibatkan dari kurangnya partisipasi langsung masyarakat dalam kegiatan yang direncanakan pemerintah setempat dan kurangnya keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan. Maka dari itu, pariwisata berbasis masyarakat bisa dijadikan sebagai salah satu solusi dalam meningkatkan partisipasi dan keterlibatan masyarakat lokal. Namun, sebelum dimulai implementasi, perencanaan merupakan hal utala yang harus dilakukan oleh seluruh pihak dan stakeholders yang terlibat. Memahami keinginan, kebutuhan dan mendengarkan aspirasi masyarakat dalam perencanaan dan pengembangan pariwisata berasis masyarakat merupakan hal yang sangat fundamental dikarenakan masyarakat merupakan roda penggerak dan aspek utama dalam pariwisata berbasis masyarakat.
Sumber Daya alam yang yang didukung sumberdaya manusia, modal fisik dan sosial akan menerangi aspek penting dari kemampuan setiap individu untuk mencapai kualitas kehidupan yan lebih baik melalui kolaborasi antara para peneliti universitas, instansi pemerintah, masyarakat, pelaku bisnis perhotelan dan operator pariwisata. Sehubungan dengan itu, penelitian lebih lanjut akan sangat diperlukan untuk menentukkan program-program dalam jenis panel interpretasi, program akademik yang melibatkan experiential learning, modul pendidikan umum bagi para pemangku kepentingan, serta program pembinaan masyarakat setempat. Dampak tertentu dari program pariwisata berbasis masyarakat harus dimonitor untuk menjamin kelangsungan dan menjamin partisipasi seluruh pemangku kepentingan.
Ucapan Terima Kasih
Terimakasih penulis haturkan kepada seluruh pihak yang telah memberikan kontribusi terhadap penulisan jurnal ini. Kepada Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M. Litt. selaku Ketua Program Studi Magister Kajian Pariwisata Universitas Udayana dan Pembimbing I, serta kepada Dr. Ir. Syamsul Alam Paturusi, MSP. selaku Wakil Ketua Program Studi Magister Kajian Pariwisata Universitas Udayana dan pembimbing II. Bapak, Ibu, Suami dan seluruh angkatan 2013/2014 Double Degree Program Magister Kajian Pariwisata Universtas Udayana.
Daftar Pustaka
Aref, F., Ma’rof, R., & Sarjit, S. G. 2010. ‘Community Capacity Building: A Review of its Implication’. Tourism Development. Journal of American Science, 6(1). p. 172-180
Badan Geologi Nasional, Bandung. 2013. “Geoparks: Utilizing Conservation-based Geoheritages for sistaainable Imporvement of People’s Welfare”. Workshop Kepariwisataan tentang Geopark. Bangli: Kintamani
Baiquni, M, 2002. ‘Integrasi Ekonomi dan Ekologi dari Mimpi Menjadi Aksi,’ Wacana, III, 12, p.37
Chaiboonsri, C., & Chaitip, P. 2008. ‘A Structural Equation Model: Thailand’s International Tourism Demand for Tourist Destination’. Annals of the University of Petrosani, Economics, 8(1) p. 65-94
Errami et al. (eds.). 2015. ‘Geosites, Sites of Special Scientific Interest, and Potential Geoparks in the Anti-Atlas (Morocco)’. Geoheritage to Geoparks Part of the series Geoheritage, Geoparks and Geotourism p. 57-79
Erawan, I N. 1994. Pariwisata dan Pembangunan Ekonomi : Bali sebagai kasus (Tourism and Economic Development: Case Study of Bali). Denpasar: Upada Sastra.
Ernawati Ni Made, 2010. Analisis Pariwisata-Tingkat Kesiapan Desa Tihingan-Klungkung, Bali Sebagai Tempat Wisata Berbasis Masyarakat. Denpasar: Fakultas Pariwisata Universitas Udayana
Härtling, Joachim W. and Irene Meier. 2010. Economic Effects of Geotourism in Geopark TERRA.vita, Northern Germany. In http://www.georgewright. org/271hartling.pdf access 19/08/2015
Hatton, Michael J. 1999. Community-Based Tourism in the Asia-Pacifik. OPEC Publication #99-TO-01.1.
Hausler, N. 2005. Definition of Community Based Tourism. Hanover: Tourism Forum International at the Reisepavillon
Johnson, R.B. & Christensen, L. B. 2008. Educational Research: Quantitative, Qualitative, and Mixed Approaches (3rd ed.). Thousand Oaks, CA : Sage.
Laverack, G., & Thangphet, S. 2009. ‘Building community capacity for locally managed ecotourism in Northern Thailand’. Community Development Journal.
44(2) p. 172–185
Mbaiwa, Joseph E and Amanda L Stronza. 2009. ‘The Challenges And Prospects For Sustainable Tourism And Ecotourism In Developing Countries’. The SAGE Handbook of Tourism Studies. p. 333-351
Mitchell, Jonathan and Caroline Ashley. 2007. Pathways to Prosperity – How can tourism reduce poverty: A review of pathways, evidence and methods. In Can tourism offer pro-poor pathways to prosperity? Examining evidence on the impact of tourism on poverty. ODI Briefing Paper.
Mowforth, M and Munt, I. 2003. Tourism and Sustainability : Development and New Tourism in the Third World. Second Edition. Routledge :London
Ninacs, W., & Toye, M. 2002. A review of the theory and practice of social economy/ économie sociale in Canada. Canada: Social Research and Demonstration Corporation.
Ostrom, R. 2000. ‘Bali’s Tourism Interests: Local Responses to Suharto’s Globalization Policies’. Southeast Asian Journal of Social Science, 28(2) p. 111–130
Philip, Bruno. 2012. How Mass Tourism Is Destroying Bali And Its Culture. http:// www.worldcrunch.com/food-travel/how-mass-tourism-is-destroying-bali-and-its-culture/c6s5949/#ixzz3gM4qI5Yo diakses 11/07/2015
Prasiasa, Dewa Putu Oka. 2013. Industri Pariwisata. Jakarta : Salemba Humanika
Purnamasari, Irma. 2008. Partisipasi Masyarakat dalam Perencanaan Pembangunan (Studi di Kecamatan Cibadak Kabupaten Sukabumi) Tesis, Magister Administrasi Publik. Semarang: Universitas Diponegoro
Quarter, J., Mook, L., & Richmond, B. 2003. What is the social economy? (Research Bulletin No. 13). University of Toronto Centre for Urban and Community Studies. http://www.urbancenter. utoronto.ca/pdfs/researchbulletins/13.pdf Diakses 07/07/2015
Radetzki-Stenner, M. 1989. Internationaler Tourismus und Entwicklungsländer: die Auswirkungen des Einfach-Tourismus auf eine ländliche Region der indonesischen Insel Bali. Münster, Germany: LIT-Verlag.ccc p. 24-26
Rebutin, Julia Anna. 2009. Social enterprise and tourism, the key to a better integration of indigenous populations. HAL Id: dumas-00418823 http:// dumas.ccsd.cnrs.fr/dumas-00418823 diakses 4/07/2015
Rieländer, K. 1998. ‘Tourismus in Bali: ökonomische, religiöse und ökologische Konsequenzen, In G. Schucher (Ed.)’, Asien zwischen Ökonomie und Ökologie - Wirtschaftwunder ohne Grenzen? (Mitteilungen des Instituts für Asienkunde, Nr. 295). Hamburg, Germany: Institut für Asienkunde. p. 49-67
Suansri, P. 2003. Community Based Tourism Handbook. Thailand: REST Project
UNEP and UNWTO. 2005. ‘Making Tourism More Sustainable’. A Guide for Policy Makers, p.12
United Nations Development Programme & World Bank. (UNDP & WB). (2003). Bali beyond the tragedy: Impact and Challenge for Tourism-led Development in Indonesia. Consultative Group Indonesia. Indonesia: UNDP/WB
Waldner, R. 1998. Bali - Touristentraum versus Lebenstraum?: Ökosystem und Kulturlandschaft unter dem Einfluss des internationalen Tourismus in Indonesien. Berlin, Germany: Lang
Wall, G. 1996. ‘Perspectives on Tourism in Selected Balinese Villages’. Annals of Tourism Research 23 (1) p. 123–137.
World Tourism Organization, 2002. Guide for local authorities on developing sustainable tourism. Madrid: WTO
http://m.life.viva.co.id/terkait/341414/6 diakses 20/08/2015
Profil Penulis
Putu Swasti Asparini Syahrijati, adalah dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Pakuan Bogor dan dosen di Sekolah Tinggi Pariwisata Bogor. Ia menyelesaikan program sarjana di Sekolah Tinggi Pariwisata Nusa Dua, Bali, pada tahun 2012. Mengikuti Double Degrre Program (DDIP) di Universitas Udayana pada tahun 2013 dan telah menyelesaikan program magister pariwisata di Université Paris 1 Pantéon-Sorbonne, pada tahun 2015 dengan konsentrasi pada Dévelopemenet et Aménagement Touristique Des Territoires (DATT). Tahun 2013 pernah bekerja di sebagai dosen di Sekolah Tinggi Pariwista Bali International.
268
JUMPA Volume 4 Nomor 2, Januari 2018
Discussion and feedback