JUMPA 4 [2] : 240 - 252

p-ISSN 2406-9116 e-ISSN 2502-8022

PENGEMBANGAN EKOWISATA BERWAWASAN KEARIFAN LOKAL DI WILAYAH EKS KARESIDENAN BESUKI, JAWA TIMUR

I Ketut Mastika Universitas Jember E-mail: [email protected]

Abstract

The objective of this study is to channel creative potential in creating an eco-tourism. The research was carried out in the area a national park in the region of the ex Besuki Residency, East Java. This study used ethical and emic perspectives. The results show that the development of responsible and sustainable of eco-tourism require figure of mobilisers, community togetherness, public appreciation of the natural resources, community openness to receive visitors, the growth of natural-based creative economy sectors, and the government’s attention in providing infrastructure especially for accessibility. The novelty of this study is the importance of understanding the development of eco-tourism which is based of creative instinct, appreciating local wisdom’s values, understanding, comprehending and embracing the meaning and essence of keeping the relationship between humans and humans, nature and the Creator in balance. Intellectual capability with local indigenous power is such the main factor for a responsible, beneficial, and sustainable development of eco-tourism.

Keyword:    ecotourism, community based tourism, special

interest tourism, local wisdom, sustainable tourism development

Abstrak

Tujuan kajian ini adalah menggali potensi kreatif dalam mengemas ekowisata yang bertanggung jawab dan berkelanjutan. Penelitian dilaksanakan di kawasan taman nasional di wilayah eks Karesidenan Besuki, Jawa Timur. Studi menggunakan perspektif etik dan emik. Hasil penelitian menunjukkan pembangunan ekowisata bertanggung jawab dan berkelanjutan mengisyaratkan adanya tokoh penggerak, kebersamaan masyarakat, apresiasi masyarakat terhadapp alam, keterbukaan masyarakat menerima wisatawan, tumbuhnya sektor ekonomi kreatif berbasis alam, dan perhatian pemerintah dalam menyiapkan infrastruk-

tur terutama untuk aksesibilitas. Keaslian dan nilai dari kajian ini adalah pentingnya memahami pengembangan ekowisata didasarkan pada basis naluri kreatif, menghargai nilai-nilai kearifan lokal, mengerti, memahami serta menghayati arti dan makna menjaga keseimbangan hubungan manusia dengan manusia, alam, dan hubungaan dengan Sang Pencipta. Kemampuan intelektual dengan kekuatan lokal merupakan faktor utama bagi pengembangan ekowisata bertanggungjawab, bermanfaat, dan berkelanjutan.

Kata kunci: ekowisata, pariwisata berbasis masyarakat, kearifan lokal, pariwisata bersifat khusus, pariwisata berkelanjutan

  • 1.    Pendahuluan

Sektor pariwisata sudah lama dikenal sebagai sektor ekonomi yang terandalkan. Hal tersebut dimungkinkan karena cakupan kegiatannya sangat luas, memperbesar multiflier effect dalam kesempatan kerja, peluang usaha, dan distribusi pendapatan, sehingga sumbangan ekonomisnya dapat dirasakan oleh masyarakat, pemerintah daerah (pajak/retribusi) maupun pemerintah pusat berupa pajak dan devisa (Damanik, 2005). Melalui komitmen dan kebijakan pemerintah yang tepat dalam mencapai kondisi tersebut, terbuka ruang yang lebih lebar bagi masyarakat (khususnya: local community) untuk memperoleh distribusi dan redistribusi sumberdaya pariwisata.

Model implementasi program pengembangan pariwisata untuk memajukan masyarakat setempat adalah peningkatan fungsi-fungsi usaha pariwisata yang berbasis masyarakat (community based tourism atau CBT). Model CBT ditandai dengan keterlibatan masyarakat dalam perencanaan, pengelolaan, dan evaluasi daya tarik wisata. Dalam proses keterlibatan dan pengelolaan daya tarik wisata berbasis masyarakat itu, sebagian besar manfaat ekonomi dari kegiatan pariwisata dinikmati oleh masyarakat (Putra ed. 2015). Dalam buku Pariwisata Berbasis Masyarakat Model Bali, Putra menunjukkan tujuh model pariwisata berbasis masyarakat di Bali sebagai contoh pengelolaan daya tarik wisata (DTW) atau potensi wisata yang memberikan keuntungan sosial budaya dan ekonomi bagi masyarakat, seperti pengelolaan DTW Tanah Lot oleh masyarakat Beraban dan Pantai Pandawa oleh masyarakat Desa Kutuh. Dua dari tujuh contoh ini menunjukkan kemampuan masyarakat mengelola potensi wisata di desanya dan kemampuan mereka untuk mengelola manfaat ekonomi dari daya tarik itu guna peningkatan kesejahteraan masyarakat seperti pemberian beasiswa, pembagian dana untuk biaya ritual keagamaan, dan sebagainya.

Dalam pengembangan pariwisata menjadi penting untuk menonjolkan sifat kreatif masyarakat lokal, perlu memberikan stimulan berupa apresiasi cara bagaimana mengemas kegiatan sosial dan budaya menjadi salah satu label produk ekowisata. Mendorong terciptanya segmen pasar wisatawan yang menginginkan keunikan produk yang direpresentasikan oleh simbol-simbol lokal serta tan wujud atau intangible (Ashley dan Haybom, 2004).

Kondisi eksisting pengembangan DTW di sekitar kawasan taman nasional: Meru Betiri (TNMB); Alas Purwo (TNAP); Taman Nasional Baluran (TNB); dan Taman Wisata Alam (TWA) Ijen. Dalam Tabel berikut dicantumkan secara ringkas program pengembangan ekowisata dan fasilitas serta angka kunjungan.

Pengembangan Ekowisata


Fasilitas


Tingkat Kunjungan Tahun 2015

  • •    Wana farma/social forestry di TNMB,

    •    Pesanggrahan/home stayWisman : 12.196

    •    Sarana wisata air        Wisnus : 66.770

    •    Cafetaria/warung kuliner

    lokal


  • •    Wisata Mangrove Bedul di TNAP,

  • •    Program Bio-Gas, Kredit Lunak di

TNB dan pemberdayaan masyarakat Mushola sekitar taman nasional,            MCK

  • •    Penambangan belerang di TWA Pusat informasi wisata Kawah Ijen.

Berdasarkan program pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan ekowisata di kawasan sekitar taman nasional khususnya dan wilayah eks Karesidenan Besuki pada umumnya, maka permasalahan penelitian adalah; “Bagaimana masyarakat sekitar mengembangkan ekowisata berbasis usaha kreatif dan wawasan kearifan lokal.” Masalah ini menjadi penting untuk memahami realitas pengelolaan ekowisata berbasis masyarakat yang mampu meningkatkan kesejateraan ekonomi penduduk lokal.

  • 2.    Metode

Berdasarkan permasalahan dan konteks penelitian, yaitu untuk menggali pengetahuan dan pengembangan kreativitas yang bersifat lokal serta kasuistik, penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan paradigma naturalistik, pendekatan emik (emic view/persepsi informan) dan pendekatan etik (ethic view/interpretasi peneliti berdasarkan konsep/ teori dan hasil-hasil kajian yang relevan.

Lokasi penelitian adalah di kawasan wilayah eks Karesidenan Besuki, Jawa Timur yang meliputi wilayah: Kabupaten Jember, Kabupaten Bondowoso, Kabupaten Situbondo, dan Kabupaten Banyuwangi. Di kawasan ini terdapat tiga kawasan taman nasional (TN) yaitu: TN Alas Purwo, TN Meru Betiri, TN Baluran) dan satu kawasan taman wisata alam (TWA) Ijen, demikian juga terdapat banyak kawasan agro yang dikelola oleh BUMN maupun swasta,

industri kecil dan menengah yang berbasis masyarakat lokal, kawasan pertanian masyarakat, serta kawasan bahari dengan masyarakat pesisir. Hampir seluruh kawasan ini masih memiliki enclave-enclave kemiskinan yang memerlukan sentuhan pemberdayaan dan memperoleh akses pemanfaatan sumberdaya yang ada di sekelilingnya.

  • 3.    Beberapa Konsep

    • 3.1    Pariwisata dan Ekowisata

Pariwisata melibatkan aktivitas sosial yang kompleks, baik dari sisi wisatawan yang terdiri atas berbagai latar belakang sosial dan budaya, maupun masyarakat yang dikunjungi memiliki nilai-nilai sosial dan budaya yang berbeda-beda pula. Selain itu, juga ada keterlibatan stakeholders pariwisata yang lain seperti biro perjalanan, transportasi, pemandu wisata, dan pedagang di DTW. Di sinilah perlu adanya keselarasan atau komplementaritas antara kepentingan wisatawan dan pemenuhan kebutuhan wisatawan oleh penyedia jasa pariwisata (Soekadijo, 2005). Pembangunan pariwisata seharusnya jangan sampai mengabaikan manfaat yang diterima oleh masyarakat lokal. Mereka perlu diberdayakan sebagai pihak yang memiliki local knowledge, local resources, dan local accountability. Pemberdayaan bisa dilakukan melalui penyadaran kemampuan (enabling), penguatan potensi (empowering), dan kemandirian (autonomy). Tujuannya agar masyarakat lokal dapat menjadi pelaku aktif dalam kegiatan pariwisata dan membangun jaringan bisnis pariwisata. Masyarakat lokal akan memiliki tanggung jawab moral yang tinggi dalam pemanfaatan sumberdaya yang mereka miliki, karena kegiatan yang dilakukan secara langsung berkaitan dengan keberadaan sumberdaya tersebut yang akan mempengaruhi kehiduapan mereka. (Pitana, 1999).

Ekowisata sebagai suatu bagian logis dari pembangunan yang berkelanjutan, memerlukan pendekatan dari berbagai disiplin, perencanaan yang hati-hati (baik secara fisik maupun pengelolaan) dan pedoman-pedoman serta peraturan-peraturan yang dapat menjamin pelaksanaan pariwisata berkelanjutan. Hanya melalui keterlibatan lintas sektoral ekowisata akan benar-benar mencapai tujuannya (Cabilos dan Lascurian dalam Linberg dan Hawkins, Ed., 1995).

  • 3.2    Pariwisata Minat Khusus

Salah satu definisi mengenai pariwisata minat khusus (special interest tourism) yang umum digunakan adalah suatu bentuk perjalanan wisata yang dilakukan atas dasar minat dan motivasi khusus wisatawan untuk melakukan kunjungan dan terlibat dalam suatu kegiatan wisata yang spesifik, dengan menekankan unsur kegiatan yang unik dan pengalaman yang berkualitas.

Motivasi wisata minat khusus adalah untuk menemukan sesuatu yang

baru/unik (novelty seeking). Wisata minat khusus memiliki unsur-unsur REAL travel, yaitu: Rewarding, Enriching, Adventuresome, dan Learning). REAL travel membentuk pengalaman berkualitas dimanifestasikan dalam bentuk wisata aktif (active travel) yaitu bentuk kegiatan wisata yang membawa pengunjung/wisatawan dalam suatu perjalanan wisata aktif yang melibatkan langsung wisatawan, baik secara fisik, mental, dan emosional, dengan karakteristik objek-objek yang dikunjunginya/dihadapinya (Studi Pengembangan Wisata Minat Khusus, UGM, 1997).

  • 3.3    Industri Kreatif

Karakteristik dalam industri kreatif menuntut adanya ide-ide dan solusi serta imajinasi yang cepat mengikuti umur sebuah teknologi/produk/desain atau tren yang berdurasi tidak lama. Industri memerlukan kemampuan spesifik manusia yang melibatkan kreativitas, keahlian dan bakat. Oleh karena itu, industri kreatif sulit ditiru karena lebih banyak melibatkan kemampuan otak kanan manusia, seperti aspek seni, design, play, story, humor, symphony, caring, beauty, empathy and meaning (Rahmintama, 2009).

Konsep ekonomi kreatif merupakan sebuah konsep ekonomi di era ekonomi baru yang mengintensifkan informasi dan kreativitas dengan mengandalkan ide dan stock of knowledge dari sumberdaya manusia (SDM) sebagai faktor produksi utama dalam kegiatan ekonominya. Struktur perekonomian dunia mengalami transformasi dengan cepat seiring dengan pertumbuhan ekonomi, dari yang tadinya berbasis sumberdaya alam (SDA) menjadi berbasis SDM, dari era pertanian ke era industri jasa dan informasi. Toffler (1970) dalam teorinya melakukan pembagian gelombang peradaban ekonomi ke dalam tiga gelombang. Gelombang pertama adalah gelombang ekonomi pertanian, ke dua, gelombang ekonomi industri, dan ke tiga, adalah gelombang ekonomi informasi. Kemudian diprediksikan gelombang ke empat yang merupakan gelombang ekonomi kreatif dengan berorientasi pada ide dan gagasan kreatif (Santos, 2007).

  • 3.4    Kearifan Lokal

Di dalam kehidupan masyarakat Indonesia terdapat nilai-nilai sosial yang membentuk kearifan lokal (local wisdom) dan telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Misalnya, gotong royong, kekeluargaan, musyawarah untuk mufakat, dan tepa selira (toleransi). Hadirnya kearifan lokal ini tak bisa dilepaskan dari nilai-nilai reliji yang dianut masyarakat Indonesia sehingga nilai-nilai kearifan lokal ini makin melekat pada diri mereka. Tak mengherankan, nilai-nilai kearifan lokal ini dijalankan tidak semata-mata untuk menjaga keharmonisan hubungan antar manusia, tetapi juga menjadi bentuk pengabdian manusia kepada Sang Pencipta (Suryadi, 2010).

Di beberapa daerah Indonesia, kearifan lokal masih dapat bertahan dan melekat di kehidupan masyarakat. Sistem pertanian subak di Bali, sistem pelestarian hutan oleh suku-suku pedalaman, sistem pengaturan mencari ikan di pedalaman Papua, sistem penetasan telur ayam dengan menggunakan gabah dan gerabah di Nusa Tenggara, dan lain-lain terbukti dapat diterapkan sejalan dengan kehidupan modern. Manusia modern seharusnya menyadari bahwa kearifan lokal itu bukanlah merupakan suatu yang ditemukan dan dikembangkan oleh para nenek moyang secara instan. Akan tetapi, kearifan lokal ini dikembangkan dalam waktu lama dan selaras dengan pelestarian lingkungan (Noor, 2014).

  • 3.5    Ekowisata dan Kemiskinan

Menurut Chambers (1983) kemiskinan berkaitan dengan masalah deprivasi sosial, akses ke sumberdaya, seperti: air, tempat tinggal, layanan kesehatan dan sanitasi, pendidikan serta transportasi. Akar masalah kemiskinan adalah ketergantungan, isolasi, ketidak-berdayaan (vulnerability) dan rendahnya harapan hidup. Oleh karena itu, kemiskinan mempunyai banyak sisi, diantaranya: ekonomi, sosial, dan politik (Haris dan White, 2005). Secara ekonomi penduduk miskin tidak mempunyai apa-apa (having nothing), secara sosial mereka tidak menjadi siapa-siapa (being nothing), dan secara politik mereka tidak memperoleh hak kecuali korban pembangunan (having no rights and having wrong).

Kemiskinan seyogyanya bersimpul pada empat konsep yang sudah dikenal selama ini. Baik kemiskinan absolut dan relatif maupun kemiskinan objektif dan subjektif. Kemiskinan absolut dan relatif adalah konsep kemiskinan yang mengacu pada kepemilikan materi dikaitkan dengan standar kelayakan hidup. Pendekatan objektif dan subjektif terhadap kemiskinan berkaitan erat dengan perkembangan pendekatan kualitatif partisipatoris. Kebutuhan kalori adalah pendekatan objektif, sedangkan kemiskinan subjektif lebih menekankan pada pemahaman pada konsep kemiskinan dari sudut pandang masyarakat miskin. Dengan menggali dan mengembangkan kearifan lokal, kemiskinan tidak hanya dapat dikurangi (relieving), tetapi juga dapat dihindari (preventing) karena lestarinya sumberdaya bagi generasi berikutnya (Soerjani, 2005).

Kearifan lokal mengandung norma dan nilai-nilai sosial yang mengatur bagaimana seharusnya membangun keseimbangan antara daya dukung lingkungan alam dengan gaya hidup dan kebutuhan manusia. Kearifan lokal dengan kearifan tradisional, adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman, atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia di dalam kehidupan komunitas ekologis. Kearifan lokal melahirkan masyarakat yang memiliki local indigenous sebagai modal sosial atau modal intelektual dalam pengembangan ekowisata (pariwisata berbasis

Foto 1. Peneliti wawancara dengan fungsionaris BAPPEDA Bapak Dr. Drs. Widi Harsono, S.H.

Foto 2. Peneliti mengadakan FGD dengan stakeholder ekowisata di kantor BAPPEDA Banyuwangi.

masyarakat). Apabila program pengembangan ekowisata telah sesuai dengan prinsip atau kriteria kecukupan ekowisata maka akan mampu meningkatkan ekonomi masyarakat lokal.

  • 4.    Hasil dan Pembahasan

    • 4.1    Identifikasi Potensi Ekowisata

Studi ini dilakukan dengan melakukan identifikasi terhadap potensi ekowisata berbasis industri kreatif berwawasan kearifan lokal yang terdiri atas empat karakteristik pengembangan ekowisata, yaitu: 1) Wisata Organik (WO); 2) Wisata Budaya Osing (WBO); 3) Desa Wisata (DW); dan 4) Wisata Kerajinan Batik (WKB). Masing-masing kelompok pengembangan ekowisata memiliki kekhasan, atraksi ekowisata yang merupakan keunggulan komparatif masing-masing yang dikemas secara kreatif dan inovatif.

Dalam kajian ditemukan informan kunci untuk masing-masing kawasan pengembangan ekowisata yang ada di setiap kabupaten lokasi penelitian.

Foto 3. Peneliti wawancara dengan warga pembuat jamu hutan rakyat tradisional didampingi ketua LSM lokal

Foto 4. Peneliti mengadakan pengamatan ke lokasi dan tanaman obat di desa Curah Nongko Jember.

Informan kunci adalah pemerintah, tokoh penggerak, pembina, para penggagas ide-ide kreatif yang selalu mengembangkan kreasi produk ekowisata kreatif dengan menggali potensi alam dan budaya lokal untuk kegiatan ekowisata yang atraktif, secara bertanggung jawab, dan lestari.

Di Kabupaten Banyuwangi, peneliti mewawancarai salah seorang fungsionaris BAPPEDA yaitu Widi Harsono yang mengatakan, bahwa: “Pemerintah Kabupaten Banyuwangi sangat berkomitmen dalam mendorong dan mengembangkan ekowisata mengingat potensi wisata alam dan budaya yang sangat indah serta beragam di wilayah kami.”

Di kawasan TNMB wilayah Jember peneliti melakukan observasi ke lokasi wana farma dan social forestry serta menemui masyarakat sekitar. Salah

Foto 5. Peneliti wawancara dengan staf kantor Balai Taman kawasan Nasional Baluran Situbondo

Foto 6. Sapi peternak yang digembalakan memasuki Taman Nasional Baluran.

seorang warga anggota kelompok wana farma dan pembuat jamu tradisional mengatakan, bahwa: “...kami sangat berterima kasih pendampingan dari UNEJ (tim peneliti Fakultas Farmasi) dalam proses pembuatan jamu yang higienis serta mendapat dukungan pemasaran dari LSM di wilayah kami.”

Kawasan TN Baluran Situbondo memiliki permasalahan adanya sapi penduduk lokal sering memasuki kawasan taman nasional. Untuk itu dilakukan sosialisasi bantuan program biogas dan bantuan kredit lunak agar masyarakat mampu membuka usaha rumah tangga yang memberi nilai ekonomis. Selain itu, masyarakat juga direkrut sebagai tenaga operator wisata alam di TNB.

Di Taman Nasional Alas Purwo (TNAP) pengembangan ekowisata Blok Bedul sudah dirasakan manfaat positif oleh masyarakat sekitar yang dahulunya sebagai perambah mangrove, kini sudah mengelola ekowisata dan menyediakan layanan kuliner serta fasilitas pendukung. Wawancara dengan salah seorang pemuda yang menjadi pengelola ekowisata Bedul mengatakan, bahwa: “...kami sudah mendapat pelatihan dalam pengelolaan hutan mangrove dan studi banding ke Bali, sehingga mampu membuat

Foto 7. Peneliti wawancara dengan Mas Eko salah seorang Pengurus Pengelola Wisata Mangrove Bedul wisata mangrove Blok Bedul TNAP Banyuwangi.

Foto 8. Sarana perahu Gondang Gandung bagi pengunjung.

paket wisata serta mendapat pelatihan bahasa inggris agar mampu menjadi eco-guide di desa kami.”

Berdasarkan hasil kajian dapat diidentifikasi dan dideskripsikan beberapa atraksi ekowisata yang ada di wilayah eks Karesidenan Besuki, sebagai berikut:

  • a.    Wisata Organik, penerapan industri kreatif berupa pemanfaatan metode pertanian organik sebagai daya tarik ekowisata yang didukung oleh daya tarik wisata alam dan wisata budaya lain dengan paket wisata sebagai berikut: 1) Jamu tradisonal dan kuliner organik; 2) Local home stay; 3) Plant adoption; 4) Field and Village Trackking;

  • 5)    Tubbing attractions; dan 6) Edukasi pertanian organik kepada anak-anak, siswa dan mahasiswa. Sedangkan nilai kearifan lokal yaitu interaksi pengunjung dengan kegiatan kehidupan masyarakat, pekerjaan di pedesaan, aktivitas dapur (kitchen) rumah tangga, even budaya, souvenir daur ulang alami.

  • b.    Wisata Budaya Osing, penerapan industri kreatif berupa pemanfaatan potensi kehidupan tradisional, seni budaya masyarakat Osing serta pemanfaatan akses wisata alam Kawah Ijen. Paket wisata, berupa: 1) Kawah Ijen dan pemikul belerang; 2) Tari Gandrung,

Memainkan Gedhongan; 3) Musik tradisional Angklung Paglak; 4) Tari Barong; 5) Cultural heritage; dan lainnya. Nilai kearifan lokal yang menonjol adalah kesadaran melestarikan warisan tradisi leluhur dan adat istiadat kehidupan sehari-hari masyarakat Osing, mengajarkan untuk hidup harmonis dan serasi sesama umat manusia, Tuhan dan alam sekitarnya.

  • c.    Desa Wisata, penerapan industri kreatif yang dikembangkan berupa potensi agro dan botani, perkebunan dan peternakan rakyat didukung wisata rekreasi kolam renang dan penginapan. Paket wisata berupa: 1) Kebun buah naga rakyat; 2) Peternakan lebah madu; 3) Sapi perah rakyat; 4) local home stay; 5) Field and village tracking; dan lainnya. Nilai kearifan lokal berupa peningkatan kesadaran dan apresiasi terhadap alam serta lingkungannya, memberi nilai tambah ekonomi bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal dengan memupuk modal sosial mereka melalui kelompok-kelompok kerja.

  • d.    Wisata Kerajinan Batik, penerapan industri kreatif berupa pemanfaatan potensi kerajinan batik rakyat didukung oleh potensi bahari dan wisata bahari Pasir Putih. Paket wisata dapat berupa: 1) Hasil kreasi batik; 2) Proses pembuatan batik; 3) Pendidikan dan pelatihan pembuatan batik; 4) Asesoris berbahan batik; 5) Atraksi wisata bahari. Nilai kearifan lokal berupa pengembangan Batik Lente sebagai khasanah budaya dengan motif kerang yang merupakan salah satu kekayaan laut sebagai simbol jati diri sosial budaya masyarakat pesisir.

Landasan pengembangan ekowisata berbasis industri kreatif berwawasan kearifan lokal dapat dirinci berdasarkan aspek filosofis, prinsipiil, dan aspek praktikanya. Masing-masing dapat dijelaskan sebagai berikut:

  • 1)    Aspek filosofis berupa “filosofi” konservasi mengenai kesamaan kesempatan untuk semua generasi akan datang menyebabkan pola pemanfaatan sumberdaya yang mampu memulihkan dirinya secara alami (even use over all time). Formulasinya berupa pengembangan konsep pembangunan pariwisata secara berkelanjutan yang diwujudkan adanya kerjasama stakeholder, yaitu; masyarakat lokal, pemerintah daerah, LSM dan Lembaga Pendidikan;

  • 2)    Aspek prinsipiil berupa: a) mengubah persepsi seseorang terhadap sumberdaya alam dan lingkungannya melalui edukasi kepada pengunjung; b) mengintegrasikan tujuan konservasi dan ekonomi melalui ekowisata; c) melibatkan secara aktif masyarakat lokal. Formulasinya adalah melalui pencapaian kriteria kecukupan ekowisata, yang meliputi: (i) tujuan pengelolaan; (ii) partisipasi aktif masyarakat lokal; (iii) peningkatan ekonomi lokal; (iv) produk ekowisata mengandung pendidikan dan pembelajaran; serta (v)

dampak negatif lingkungan minimal.

  • 3)    Aspek praktika berupa pemanfaatan lingkungan dengan tujuan konservasi melalui pengembangan ekonomi lokal yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat sekitar serta penyajian produk ekowisata yang edukatif. Formulasinya adalah pemanfaatan potensi kreatif masyarakat lokal dengan wawasan kearifan lokal sebagai atraksi ekowisata yang berbasis lanskap pedesaan atau kebaharian.

  • 5. Kesimpulan

Pengembangan ekowisata berbasis masyarakat lokal di wilayah taman nasional eks Karesidenan Besuki, Jawa Timur, sangatlah tepat, karena mereka adalah pemilik nilai-nilai dasar tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistem yang ada dilingkungan mereka, tertuang dalam nilai-nilai local indigenous secara turun temurun dari nenek moyang mereka. Pemaknaan pelestarian lingkungan dimulai melalui penggalian cerita tetua, pemahaman tradisional dari desa dengan nilai-nilai kearifan lokal mereka. Bukan dari orang luar, bahkan pemerintah sendiri harus menghormati nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat sepanjang dapat memberi manfaat secara terpadu dan optimal.

Keahlian dalam menggali dan mengembangkan nilai seni tradisional dan kreatifitas banyak dimiliki oleh penduduk lokal dengan naluri dan bakat alami mereka (nature and culture). Industri kreatif pedesaan semakin menarik dikembangkan ketika mendapat sentuhan inovasi, teknologi, serta diferensiasi produk. Hal-hal tersebut merupakan kekuatan dasar bagi pengembangan ekowisata desa. Ekowisata, Industri Kreatif, dan Kearifan Lokal merupakan “The Golden Triangle” modal dan kontribusi pariwisata bagi pembangunan pedesaan, konservasi, dan pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu, sudah seharusnya menjadi kesadaran, tekad, dan kebersamaan stakeholder bahu membahu memajukan ekowisata pedesaan yang berbasis industri kreatif berwawasan kearifan lokal.

Daftar Pustaka

Alvin Toffler. C., 2002. Pokoknya Kualitatif: Dasar-dasar Merancang dan Melakukan Penelitian Kualitatif, Jakarta: Pustaka Jaya.

Ashley, C. dan Haybom, G. 2004. “From Philanthropy of a Different Way of Doing Business”.Makalah pada Konferensi ATLAS Africa di Pretoria (Afsel), Oktober. Dalam Damanik, Janianton dkk. 2005. Penanggulangan Kemiskinan Melalui Pariwisata, Yogyakarta:Kepel Press.

Cabilos dan Lascurian dalam Linberg dan Hawkins, Ed. 1995. “Ekoturism Sebagai Suatu Gejala yang Menyebar Ke Seluruh Dunia”. Dalam Linberg at all (Ed). Ekoturisme, Edisi Indonesia, kerjasama PACT dan Yayasan Alami, Jakarta: Yayasan Alami.

Chambers, R., 1995. Rural Development: Putting the last first, England: Longman Group Limited.

Damanik, Janianton dan Helmut F. Weber. 2006. Perencanaan Ekowisata: Dari Teori ke Aplikasi, Yogyakarta: PUSPAR UGM dan Penerbit Andi.

Haris dan White, B., 2005. Destitution and poverty of its politic-with specialreference to South Asia. World Development, vol.33: pp 881-891.

Noor, R. 2014. Tergerusnya Kearifan Lokal, Kompasiana, https://www.kompasiana. com

Pitana, I Gede. 1999. Community Management Dalam Pembangunan Pariwisata, Analisis Pariwisata, Vol. 2 No. 2..

Pratiwi, S. 2008. Model Pengembangan Institusi Ekowisata untuk Penyelesaian Konflik di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Desertasi, Bogor: IPB.

Putra, I Nyoman Darma (ed). 2015. Pariwisata berbasis masyarakat model Bali. Denpasar: Buku Arti bekerja sama dengan Program Studi Magister Kajian Pariwisata, Universitas Udayana.

Rahmintama, 2009. 2009, Tahun Industri Kreatif: Industri kreatif itu apa sih? http://www.google.co.id/search?client=firefox-&rls=org.mozilla%3Aen-US%3 Aofficial & channel = s&hl = id & source=hp&q=konsep+industri+ kreatif & meta =&btnG=Penelusuran+Google. 24 April 2009.

Santos, Dos. 2007. Definisi Industri Kreatif, http://www.indonesiakreatif.net/ index.php/id page/read/definisi-ekonomi-kreatif.

Soekadijo, R.G. 1995. Anatomi Pariwisata: Memahami Pariwisata sebagai “Systemic Linkage”, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Soerjani, 2005. Krisis Kearifan Kita. Kompas, Kamis, 20 Oktober 2005, Dalam Pattinama, Marcus, J., 2009. Pengentasan Kemiskinan dengan Kearifan Lokal (Studi Kasus Di Pulau Buru- Maluku dan Surade Jawa Barat). Makara, Sosial Humaniora, Vol. 13 No. 1 Juli 2009: 1-12.

Suryadi, Dede, Berawal dari Kearifan Lokal, SWA Online. Diakses pada tanggal 28 November 2010 di Sorong.

Tim Penyusun, 1997. Studi Pengembangan Wisata Minat Khusus. Yogyakarta: UGM.

Profil Penulis

I Ketut Mastika adalah dosen pada Program Studi ilmu Administrasi Bisnis, Jurusan Ilmu Administrasi, FISIP, Universitas Jember, S3 pada Program Ilmu Administrasi FISIP Universitas Jember dengan Disertasi “Konstruksi Branding Ekowisata Desa Berwawasan Kearifan Lokal”.

252

JUMPA Volume 4 Nomor 2, Januari 2018