MEMBUKA PINTU PENGEMBANGAN MEDICAL TOURISM DI BALI
on
JUMPA 1 [2] : 134 - 149
ISSN 2406-9116
MEMBUKA PINTU PENGEMBANGAN MEDICAL TOURISM DI BALI
Putu Devi Rosalina
I Wayan Suteja Gde Bagus Brahma Putra Putu Diah Sastri Pitanatri Email penulis pertama: [email protected]
Abstract
As tourism industry is always increasing, nowadays, it does not only touch the leisure sector, it expands into health industry. Medical tourism is a combination of both health care and leisure activity. It is projected to grow US$38 until US$55 billion per year. In Asia, it successfully attracts visitors which increase by 20% every year because affordable price, yet high quality. Malaysia, Thailand, India and Singapore take this opportunity. These countries take control at least 80% of Asia market share. Unfortunately, Indonesia plays only a small part. Moreover, the data reveals a surprising truth that 57% of Malaysian patients are Indonesian. This raises a paradox, whether it is an irony or opportunity. Thus, this comparative study is conducted based on literature review in qualitative and analyzed through SWOT.
Bali is very potential. It already has three international hospitals, popular for its wellness tourism, rich for its unique culture, sophisticated medical equipments, professional medics and paramedics, and good image for the hospitality. The next important step is the synergy of every stakeholders which consists of government, academic, media, private sector and community. Those stakeholders have to be eager in seriously creating better regulation, offering an interesting medical tour package, and participating actively.
Key words: development strategy, medical tourism, swot analysis
Peranan industri pariwisata dalam pembangunan Bali sudah tidak perlu diragukan lagi. Keterbatasan sumber daya alam seperti migas, hasil hutan, ataupun industri manufaktur berskala besar menjadikan pariwisata sebagai
sektor andalan dalam pembangunan daerah ini. Budaya Bali yang didukung oleh kondisi alam yang indah serta penuh dengan nuansa spiritual, membuat Provinsi Bali berbeda dari destinasi pariwisata lainnya. Maka, sudah seharusnya sektor andalan ini melahirkan peluang baru dan dapat berfungsi sebagai katalisator dalam perkembangan dan menunjang pembangunan berkelanjutan.
Berbicaramengenaikegiatanpariwisata,sesuatuyangumumnyaterbayang adalah liburan, bepergian atau bersenang-senang di suatu lingkungan yang berbeda untuk menikmati hal baru. Salah satu definisi pariwisata dapat dikutip untuk mendukung pernyataan ini, seperti yang diungkapkan oleh Mathieson and Wall (1982) bahwa pariwisata adalah perpindahan sementara oleh sekelompok orang ke destinasi di luar tempat kerja dan tempat tinggal normalnya, aktivitas yang dilakukan selama tinggal di destinasi tersebut dan fasilitas yang diberikan untuk memenuhi kebutuhannya. Secara umum, dari mengekstrak definisi tersebut, lingkup pariwisata mencakup berbagai aktivitas dan fasilitas menarik yang disodorkan suatu daya tarik wisata untuk menghabiskan liburan para wisatawan.
Definisi ini kemudian semakin berkembang akibat munculnya pariwisata sebagai industri yang terlihat dari UNWTO (United Nations World Tourism Organization) berikut ini:
Tourism is a social, cultural and economic phenomenon which entails the movement of people to countries or places outside their usual environment for personal or business/professional purposes (UNWTO 2008:1)
Pariwisata kini diakui dan dianggap bukan hanya sebagai produk yang dapat memuaskan wisatawan, tetapi juga peluang bisnis yang untuk selanjutnya bahkan dapat menggerakkan laju perekonomian dari destinasi tersebut. Berdasarkan definisi yang diuraikan, motivasi wisatawan juga tidak lagi hanya sekedar menikmati hal baru tetapi juga meluas untuk tujuan perjalanan bisnis dan profesional.
Seiring dengan perkembangan jumlah wisatawan yang datang berkunjung ke Bali, maka peluang-peluang dalam industri pariwisata di Bali juga semakin meningkat. Salah satu peluang ini adalah dalam bidang kesehatan, mengingat bahwa kesehatan adalah salah satu kebutuhan utama bagi seluruh umat manusia. Seiring majunya teknologi saat ini masyarakat semakin termotivasi untuk menciptakan produk-produk kesehatan yang berkualitas dan memiliki tingkat kecanggihan tinggi. Jika produk kesehatan ini dikombinasikan dengan sentuhan pariwisata dan dikembangkan di Bali, maka sudah tentu segmen industri pariwisata kesehatan ini akan menjadi peluang yang strategis untuk pembangunan pariwisata di Bali.
Ekspansi pengembangan pariwisata yang kini menyentuh ke dunia
kesehatan juga membuka pintu akan munculnya produk baru di industri pariwisata yakni medical tourism (pariwisata medis). Pariwisata ini menggabungkan paket perjalan wisata, pelayanan hospitality, perawatan medis serta kelihaian para pelakunya dalam berbisnis untuk mengemas, mengelola dan menjual keseluruhannya kepada calon wisatawan.
Pariwisata medis membawa trend yang sangat menjanjikan ke depannya, Wong dkk (2014) mengungkapkan bahwa industri pariwisata medis secara global diramalkan menghasilkan pendapatan sebesar USD 38 sampai USD 55 miliar setiap tahunnya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Gan dan Frederick (2010), Amerikatelah memberikan proyeksi pendapatan yang akan dihasilkan dari segmen pariwisata kesehatan ini, yaitu mencapai US$ 80 miliar per tahun pada tahun 2017. Nilai tersebut menunjukkan bahwa negara sekelas Amerika juga telah serius menggarap segmen ini dan diharapkan mampu menopang perekonomian negara adidaya tersebut. Hal ini juga berarti bahwa globalisasi di bidang kesehatan merupakan keuntungan bagi Amerika dalam industri pariwisata.
Di Asia sendiri, dengan pemeran utama yakni Malaysia, Thailand, India dan Singapura dikatakan akan dapat memegang kendali sekurang-kurangnya 80% dari Asia market share. Dalam penelitian oleh George dan Nedela (2008) India memproyeksikan pendapatan dari pariwisata medis sebesar US$ 2,3 juta pada tahun 2012. Angka proyeksi tersebut diperkirakan masih akan terus meningkat hingga saat ini. Sejalan dengan India, Malaysia juga tidak ketinggalan dalam mengelola peluang ini. Indonesia adalah pangsa pasar yang potensial bagi Malaysia. Tercatat angka mendekati US$ 1 miliar setiap tahunnya dikeluarkan oleh ‘konsumen’ dari Indonesia untuk ‘menikmati’ pariwisata medis di Malaysia.
Tabel 1 Perbandingan Rata-rata Biaya Medis (dalam USD)
Treatment |
United State |
Malaysia |
Thailand |
Singapore |
India |
Heart Bypass (CABG) |
136,000 |
14,000 |
13,000 |
23,000 |
7,000 |
Angioplasty |
57,000 |
8,750 |
3,800 |
27,750 |
3,300 |
Knee Replacement |
45,000 |
10,900 |
11,400 |
16,700 |
6,800 |
Gastric Bypass |
33,000 |
8,600 |
16,700 |
20,000 |
5,500 |
Sumber: Wong dkk. 2014
Secara umum, hal-hal yang mempengaruhi motivasi wisatawan untuk melakukan jenis perjalanan wisata ini adalah karena biaya, waktu, regulasi, pilihan medis dan kesediaannya, kualitas, memperoleh kesenangan dan ketersediaan informasi. Setidaknya terdapat dua faktor utama sebagai alasan wisatawan untuk akhirnya memilih melakukan pariwisata medis, yakni faktor pendorong dan penarik. Bye (2007) memberikan beberapa alasan yang dapat digolongkan sebagai faktor pendorong, antara lain: Tidak adanya beberapa perawatan medis di negaranya; Asuransi kesehatan di
negaranya tidak meliputi perawatan medis yang diinginkan. Sedangkan, faktor penarik seperti: destinasi pariwisata medis memberikan operasi cepat dan perawatan medis lainnya; Penawaran harga yang lebih murah termasuk obat dan pemeriksaan; Beberapa prosedur medis tertentu yang hanya dilakukan oleh destinasi pariwisata medis tersebut.
Pada hakikatnya pembanguan kesehatan bertujuan untuk mencapai kemampuan hidup sehat bagi seluruh rakyat agar dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat secara optimal. Karena itu, untuk menilai pembangunan kesehatan, salah satu pendekatan yang bisa digunakan adalah dengan melihat faktor mana yang lebih ditekankan saat menyelenggarakan pelayanan kesehatan. Dalam paradigma sakit (kuratif), penekanan lebih diberikan pada upaya untuk mengobati gangguan penyakit yang muncul, sedangkan paradigma sehat (preventif) lebih menekankan pada upaya apa yang bisa digunakan untuk menghindari terjadinya suatu penyakit.
Melalui perkembangan dan trend pariwisata medis yang terus meningkat merupakan peluang bagi Bali sendiri dan menjadi sesuatu yang sangat potensial untuk dikembangkan di masa yang akan datang. Dengan melihat keberhasilan pariwisata medis di negara-negara tetangga tentu memberi harapan dan peluang bagi Bali untuk dapat berkembnag menjadi daerah tujuan wisata medis yang menjadi pilihan wisatawan. tentunya dengan melakukan peningkatan prasarana, sarana, tenaga kesehatan, regulasi dan faktor penunjang lainnya. Serta direncanakan secara menyeluruh agar konsep pengembangan wisata medis ini bisa terwujud.
Berdasarkan pemaparan tersebut, maka dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif terhadap data sekunder artikel ini akan membahas tentang medical tourism di India dan Malaysia serta peluang pengembangan medical tourism di Bali. Pemilihan India dan Malaysia dikarenakan kemiripan alam dan budaya dengan Indonesia. Oleh karena itu, dapat mempermudah Bali, khususnya,untuk melakukan observasi dan modifikasi terhadap pengembangan produk medical tourism. Setelah data dikumpulkan kemudian dikomparasi secara deskriptif dan dianalisis berdasarkan SWOT, yang terdiri kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman.
Pariwisata medis bukanlah hal yang baru lagi dalam pariwisata global, beberapa ahli telah banyak merumuskan tentang pengertian pariwisata medis ini. Seperti Laws (1996:199) memberikan definisi pariwisata medis sebagai berikut:
A travel from home to other destination to improve one’s health condition as one type of leisure, this includes getting indigenous and alternative medical services, and any other form of tourism undertaken with the purpose of addressing a health concern.
Dengan kata lain, pariwisata medis dianggap sebagai bentuk baru bagi industri pariwisata yang merupakan difusi antara kebutuhan suatu individu untuk mendapatkan perawatan kesehatan dengan keinginannya untuk berwisata dalam waktu yang bersamaan. Kehadiran ini yang kemudian memunculkan istilah borderless patient dan menjamurnya rumah sakit bertaraf internasional baik di Negara maju maupun di Negara berkembang.
Pariwisata medis merupakan bagian dari wisata kesehatan, dimana wisata kesehatan itu sendiri terdiri dari dua cabang yaitu medical tourism dan wellnes tourism. Wisata medis dengan wellnes tourisam memiliki perbedaan yang mendasar walupun sama-sama terkait dengan kesehatan. Wellnes tourism lebih menekankan pada kegiatan wisata pada tempat-tempat kesehatan dengan upaya untuk menjaga kesehatan serta kebugaran jasmani dan rohani seseorang. Sedangkan medical tourism lebih pada kegiatan pengobatan untuk menyembuhkan suatu penyakit yang disertai dengan kegiatan wisata.
Bila dirumuskan dalam suatu formula, Rahma (2012) mengutip dari Tourismos: An International Multidisciplinary Journal of Tourism bahwa medical tourism terbentuk pada Gambar 1.
Gambar 1
Formula Medical Tourism
Xtedical and Healthcare Sen ices + Tourism and Travel Sen ices + Support Sen ices ________________________MEDICAL IOl RISVl________________________
Sumber: http://mutupelayanankesehatan.net/
Selanjutnya, Cohen (2008:227) mengklasifikasikan empat karakteristik wisatawan medis yaitu:
-
1. Medicated tourist, yaitu wisatawan yang sebenarnya bertujuan untuk berlibur di suatu destinasi, namun karena mengalami insiden dan diharuskan untuk mendapatkan pengobatan.
-
2. Medical tourist proper, yaitu wisatawan yang semula memang sakit kemudian datang kesuatu negara dengan tujuan untuk berobat, kemudian setelah sembuh mereka mengambil kesempatan untuk mengikuti paket liburan di daerah tersebut.
-
3. Vacationing patient, wisatawan yang semula memang sakit kemudian datang ke suatu negara dengan tujuan untuk berobat, tetapi pada fase penyembuhan mereka melakukan kegiatan wisata di negara tersebut.
-
4. Mere Patient, yaitu pasien yang datang dengan tujuan hanyauntuk berobat dan melakukan penyembuhan tanpa melakukan kegiatan wisata atau mengunjungi tempat-tempat wisata di sekitar destinasi tersebut.
Klasifikasi diatas memberi gambaran bahwa antara medical dan tourism selalu memiliki keterkaitan antar keduanya. Dikembangkan secara sengaja atau tidak fasilitas untukmedical telah menjadi komponen vital dan sangat dibutuhkan dalam keberlangsungan kegiatan pariwisata di suatu daerah tujuan. Sehingga adanya fasilitas kesehatan akan menjadi salah satu syarat penting yang harus terpenuhi oleh sebuah destinasi agar menjadi daerah tujuan wisata yang ideal.
India kini menjadi industri farmasi terbesar di dunia dengan produksi dan ekspor obat ke lebih dari 180 negara. Sarana dan infrastrukturnya juga sangat lengkap dengan teknologi canggih dan berkualitas standar Amerika. Data statistik juga mengungkapkan bahwa industri medical tourism di India mencapai $333 juta. Populernya medical tourism di India juga tidak terlepas dari keunikan yang ditawarkan, pelayanan yang diberikan berupa holistic medicinal services, meliputi: meditasi, ayurweda, allopathy, dan lain-lain. Prospek medical tourism ini sangat mencengangkan sebab diramalkan akan tumbuh 13% sampai enam tahun ke depan dan menghasilkan $17 milyar setiap tahunnya. Dengan prospek tersebut, semakin menjamur pula paket yang tersedia termasuk penjemputan di bandara, pengurusan visa dan penginapan. Uniknya, penyediaan sektor ini sebagian besar dari sektor swasta bukan pemerintah.
Sektor di Negara ini terus tumbuh selama lima tahun terakhir, sampai menyentuh sebesar 25% dari pendapatan sektor privat. Setiap tahunnya, sekitar 10.000-12.000 wisatawan medis melakukan perjalanan ke India hanya untuk perawatan kesehatan Ditemukan bahwa motivasi utama wisatawan dari Negara industri memilih India antara lain: mahalnya perawatan kesehatan di negaranya, waiting time yang lama untuk operasi sampai beberapa tahun serta asuransi kesehatan yang tidak mencakup perawatan selektif seperti operasi plastik. Bahkan, seringkali asuransi kesehatannya sendiri yang juga ikut menawarkan medical tourism kepada pasien sebagai alternatif lain. Bahkan, diwarnai pula dengan hadirnya paket wisata yang mencakup perawatan medis, travel dan pelayanan hospitality dan sightseeing.
Dalam rangka promosi, poin penjualan yang dilakukan sangat unik, seperti keefektifan biaya dan kombinasinya dengan daya tarik wisata, bahkan tak jarang dikemas dengan terapi dan metode perawatan tradisional. Slogan yang disodorkan juga sangat menarik yakni “First World treatment at Third World prices.” Keberhasilan promosi tentunya tidak bisa terlepas dari sinergitas para penjual produk wisata. Hebatnya, India mampu mengkoordinasikannya dengan baik, misalnya Kerala sebagai destinasi medical tourism, serta AIMS sebagai penyedia medical treatment. Di samping
itu, strategi pemasarannya juga lebih terfokus pada e-marketing, word of mouth, usaha pemasaran dengan target pasar yang berbeda, membangun kantor perwakilan di Negara lain serta mengikuti kegiatan internasional seperti seminar dan eksibisi, serta untuk membangun hubungan jangka panjang dilakukan pula kerja sama dengan universitas.
Namun, dibalikkeberhasilannyayangluarbiasa, dalampengembangannya medical tourism justru menemui beberapa hambatan. Hal ini dijabarkan dalam beberapa trend kunci oleh TRAM yang secara umum mengungkapkan bahwa dapat menumbuhkan intervensi pemerintah, menumbuhkan munculnya sektor privat, memunculkan kompetisi yang besar, menjamurnya penawaran paket wisata, melanjutkan adanya hambatan akan perluasan medical tourism dikarenakan kurangnya kerja sama pemerintah untuk pembayaran, bahkan dapat membatasi pertumbuhan di wilayah lainnya. Beberapa peningkatan juga harus perlu diperhatikan seperti: membenahi citra yang buruk dengan anggapan bahwa kurang aman bepergian di India; menaikkan standar kualitas; meningkatkan infrastruktur; menyederhanakan prosedur; menyediakan upaya hukum yang cepat.
Medical Tourism di India sudah menjadi sumber pendapatan utama yang tumbuh 30% per tahunnya. Pelayanan yang diterima pasien seperti International Patient Care yang mencakup tiket pesawat, transportasi lokal, pelayanan terjemahan, akomodasi bintang lima, juga dengan pilihan masakan global. Banyaknya ekspatriat India yang bekerja di Inggris dan Amerika semakin menambah kepercayaan pasien akan profesionalitasnya. Namun, terjadi pula kompetisi dengan negara lainnya seperti Thailand, Singapura dan negara Asia lainnya. Secara keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa medical tourism menghadirkan kesempatan bagi rumah sakit untuk tumbuh dengan melihat potensi pasar secara internasional, namun juga harus diiringi dengan kesiapan dalam kompetensi sehingga dapat bersaing secara kompetitif. Dalam rangka menjaga keberlanjutan dari tumbuhnya bisnis ini, diperlukan perhatian pada baik bisnis maupun pertimbangan klinis. Komitmen yang utuh juga menjadi tonggak agar setiap pemangku kebijakan dapat berkoordinasi dengan baik sehingga pendapatan menguntungkan berbagai sektor.
Malaysia merupakan salah satu negeri yang memiliki daya tarik tersendiri di Kawasan BenuaAsia. Nama Malaysia begitu terkenal khususnya dalam dunia pariwisata melalui brand imagenya Truly Asia yang telah membesarkan namanya dalam persaingan pariwisata global. Selain kecerdasan Negara Malaysia didalam memilih branding image dalam memasarkan kepariwisataannya mereka juga sangat cerdas didalam memanfaatkan peluang dalam kepariwisataan, salah satunya dengan pengembangan pariwisata medis
(medical tourism) yang saat ini tengah menjadi trend perjalanan masyarakat dunia.
Negara Malaysia merupakan salah satu destinasi tujuan wisata medis yang terkemuka di Kawasan Asia maupun dunia. Selain didukung oleh daya tarik wisata yang sangat menarik baik alam maupun budayanya, kemampuan mereka mengkemas dan mengkombinasi antara pariwisata dan kesehatan juga menjadi faktor penting dalam keberhasilan pariwisata medis di Negara ini. Menurut Malaysia Healtcare Travel Councile/MHTC (2015) terdapat beberapa alasan keberhasilan pariwisata medis di Malaysia diantaranya:
-
1. Pelayanan kesehatan Malaysia menawarkan keahlian khusus dalam aneka disiplin medis dan melakukan perawatan yang termasuk perawatan paling rumit di dunia sehingga setara dengan beberapa pusat kesehatan terkenal di dunia.
-
2. Tim medis dalam rumah sakit berisi spesialis medis berpengalaman yang pernah mengenyam pendidikan di beberapa institusi medis paling diakui dunia, terutama di Australia, Inggris, dan Amerika Serikat.
-
3. Perawatan medis dilakukan dengan fasilitas mutakhir berisi peralatan yang sesuai dengan standar internasional serta kualitas tinggi dalam perawatan medis juga dijaga dalam hal teknolgi, dan tingkat profesionalitas tenaga medis.
-
4. Ditengah-tengah meroketnya biaya medis Malaysia menawarkan layanan berkualitas dengan harga yang terjangkau dibandingkan dengan keadaan medis internasional saat ini pada umumnya, terutama di Amerika Serikat dan Eropa, sehingga layanan kesehatan Malaysia dapat terjangkau oleh kalangan pasien dari seluruh dunia.
-
5. Selain menawarkan keterampilan dan peralatan medis para tenaga mereka juga tetap mengutamakan keramah-tamahan terhadap pasien sehingga memberikan kenyamanan bagi setiap pasien yang berobat.
-
6. Kegiatan pariwisata medis didukung penuh oleh pemerintah Malaysia sehingga wisatawan medis mendapatkan jaminan akan perawatan berkualitas, regulasi, standar keselamatan, dan hukum yang mengatur industri ini.
-
7. Tak kalah penting adalah adanya keuntungan liburan bagi para wisatawan medis yang datang kesini.
Dengan keunggulan tersebut maka tidak salah jika kegiatan pariwisata medis di Malaysia terus mengalami peningkatan dari tahun ketahun sehingga mampu menjadi penghasil devisa yang cukup besar bagi Negara Malaysia. Berdasarkan hasil penelitian Meghan Ormond dkk.(2013) tercatat bahwa pendapatan pemerintah Malaysia dari kegiatan pariwisata medis adalah sebesar MYR 683 juta. Berdasarkan data dari Malaysia Healtcare Travel Councile/MHTC (dalan Suleiman, 2013) jumlah pendapatan dan tingkat
Tabel 2 Medical Tourism Receipts/Revenue in Malaysia 2000-2011 | ||
Year |
Value (RM Million) |
Growth (%) |
2000 |
33 |
48.4 |
2001 |
44 |
35.7 |
2002 |
36 |
-18.7 |
2003 |
59 |
63.6 |
2004 |
105 |
78.2 |
2005 |
151 |
43.8 |
2006 |
204 |
35.0 |
2007 |
254 |
24.6 |
2008 |
299 |
17.8 |
2009 |
288 |
-3.7 |
2010 |
378 |
31.5 |
2011 |
511 |
34.9 |
Sumber : Malaysia Healtcare Travel Councile/MHTC (dalam Suleiman, 2013) |
pertumbuhan pariwisata medis di Malaysia dapat dilihat pada Tabel 2. Dari tabel tersebut dilihat bahwa pendapatan dari kegiatan pariwisata medis di Malaysia terus mengalami peningkatan dari tahun ketahun. Peningkatan tersebut juga dipengaruhi oleh jumlah pasien asing yang datang untuk berobat terus meningkat. Jumlah pasien asing yang berobat ke Malaysia beserta pertumbuhannya dari tahun 2000-2011 dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3 Total Number of Foreign Patients in Malaysia | ||
Year |
Number of Foreign Patients |
Growth Rate (%) |
2001 |
75,210 |
33.99 |
2002 |
84,585 |
12.47 |
2003 |
102,946 |
21.71 |
2004 |
174,189 |
69.20 |
2005 |
232,161 |
33.28 |
2006 |
296,687 |
27.79 |
2007 |
341,288 |
15.03 |
2008 |
374,063 |
9.60 |
2009 |
336,000 |
- 10.18 |
2010 |
392,956 |
16.95 |
2011 |
583,296 |
48.44 |
Sumber : Malaysia Healtcare Travel Councile/MHTC (dalan Suleiman, 2013)
Hal menarik dari tingginya kunjungan wisaatwan medis ke Malaysia adalah asal wisatawan medis yang justru didominasi oleh Indonesia. Pada tahun 2011 tercatat sekitar 57% wisatawan asing yang datang berasal dari Indonesia. Ini tentu menjadi hal yang sangat menarik sebagai bahan kajian, kenapa orang Indonesia begitu banyak yang berobat ke Malaysia. Serta alasan-alasan yang melatarbelakangi masyarakat Indonesia lebih memilih
Malaysia dalam kegiatan wisata medis membutuhkan studi penelitian yang lebih lanjut. Tetapi dengan tingginya minat orang Indonesia melakukan wisata medis menjadi indicator bahwa masyarakat Indonesia begitu meminati jenis wisata ini. Data perbandingan jumlah kunjungan wisatawan untuk kegiatan wisata medis di Malaysia dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2
Kedatangan Wisatawan Medis ke Malaysia Tahun 2011
Sumber : Malaysia Healtcare Travel Councile/MHTC (dalan Suleiman, 2013)
Berkaca dari peluang dan perkembangan pariwisata medis di Negara tetangga, maka merupakan peluang tersendiri bagi Indonesia khususnya Bali untuk dapat mengembangkan jenis pariwisata yang serupa. Bali sendiri sebenarnya memiliki potensi yang cukup besar untuk dikembangkan sebagai medical tourism. Kearifan lokal mengenai pengobatan tradisional dapat menjadikan pondasi kuat untuk diperkenalkan sebagai daya tarik wisata. Bahkan, Bali sangat populer dalam Health & Wellness Tourism.
Berdasarkan Diparda Bali (2012:10), tercatat bahwa 454.047 wisman (15,7%) melakukan kegiatan pariwisata yang berhubungan dengan kesehatan dan pembugaran. Satu hal lagi yang lebih menguatkan Bali dalam bahwa Indonesia juga sudah menyediakan layanan kesehatan bernama SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) yang ditetapkan dalam Undang-Undang No. 40 tahun 2004.
Berdasarkan Data Bank Dunia, dari tahun 2012, Indonesia menghabiskan GDP yang cukup rendah pada pelayanan publik dan private, yakni hanya sebesar 2,7% padahal dengan rata-rata ASEAN sebesar 3,9%. Bahkan, Malaysia, Thailand dan Filipina menghabiskan sekitar 4% dari GDP. Sejalan
Foto 1. Rumah sakit Sanglah Denpasar memiliki Wing International (Foto Internet).
dengan Lock (2013) yang juga mengemukakan bahwapengeluaran pariwisata medis di Indonesia mendekati 1 miliar US Dollar untuk Malaysia dan angka ini diperkirakan akan terus berkembang mencapai 30 persen dalam satu tahun. Hal ini berarti bahwa mungkin sebagian besar orang Indonesia ragu akan kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan di Indonesia sehingga pada akhirnya lebih memilih untuk berobat ke Malaysia. Fenomena ini tentu saja dapat merugikan Indonesia dan merupakan salah satu bentuk kebocoran dalam sektor perekonomian.
Kementerian Kesehatan Indonesia sebenarnya sudah mencanangkan Indonesia sebagai tujuan wisata medis semenjak tahun 2012. Persiapan dari segi fisik, Indonesia sendiri sudah memiliki 19 rumah sakit diakreditasi secara internasional oleh Joint Comission International dengan jumlah tenaga kesehatan sebanyak 891.897 pada tahun 2014. Bali sebagai salah satu primadona destinasi di Indonesia, juga sudah mencoba mempersiapkan rumah sakit yang bertaraf internasional. Sampai saat ini, setidaknya sudah ada 3 rumah sakit yang diakui secara internasional yakni Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah (Foto 1), Bali International Medical Centre yang juga mengadakan kerja sama dengan Courtyard Marriot Bali serta Bali Royal Hospital (Lihat Foto 2).
Terkait dengan kesiapan sarana dan prasarana, baik Rumah Sakit pemerintah maupun swasta sudah menyambut baik jenis pariwisata ini.
BRgS
MOSKIfAL
RIPAC
Royal International
PatientAssistance Center
Foto 2. Rumah sakit Bros yang menyediakan layanan internasional (Foto Internet).
RSUP Sanglah mengaku sudah mempersiapkan kualitas dan pelayanan dengan difokuskannya Medical Tourism di Wing International Amerta sebagai program unggulan (Bali Post, 10/5/2015, p.1). Beberapa langkah yang diambil RSUP antara lain standarisasi kualitas pelayanan, sertifikasi kompetensi untuk tenaga kesehatan serta peningkatan hospitality sehingga bisa memberikan pelayanan yang maksimal. Di samping itu, Bali Royal Hospital bahkan melakukan promosi sampai ke Jerman dalam acara ITB (Internationale Tourismus-Börse) Berlin pada tahun 2013 dan 2014 yang juga bekerja sama dengan Dinas Pariwisata Provinsi Bali. Pada acara tersebut, BROS berkesempatan meluncurkan paket perdana yang khusus dibuat untuk dipasarkan pada program medical tourism. Terdapat empat paket yang ditawarkan, seperti: paket medical check up, bayi tabung, bedah plastik dan paket orthopedy.
Selain memiliki beberapa rumah sakit bertaraf internasional, Bali juga memiliki tenaga kesehatan yang mendukung untuk pelaksanaan pariwisata medis di masa yang akan datang. Dokter ahli dan tenaga medis serta non medis yang dimiliki Bali sudah relatif memadai. Pada tahun 2013 tercatat memiliki 366 dokter ahli dan 2.438 tenaga medis dan non medis. Keadaan tersebut didukung oleh keunggulan Bali yang memiliki berbagai macam pengobatan tradisional yang bisa dikombinasikan pasca perawatan medis berlangsung.
Pariwisata medis merupakan salah satu bentuk liberalisasi jasa dalam bidang kesehatan. Hal ini berarti dalam jangka waktu dekat, liberalisasi harus disambut dengan sertifikasi sumber daya manusia yang bergerak di bidang kesehatan dan pembangunan sarana pendukung pariwisata medis. Hal lain yang menguatkan Bali untuk bisa mengembangkan pariwisata medis ini
adalah bahwa Bali memiliki universitas terkemuka untuk mencetak sumber daya manusia di bidang kesehatan.
Jumlah Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing (TK-WNA) di Bali sendiri juga terus meningkat. Tercatat pada tahun 2012 mencapai 12 orang, dibanding pada tahun 2007 yang hanya 6 orang. Sementara itu data dari Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), jumlah total dokter asing yang teregistrasi adalah 151 orang. Jumlah itu terbagi atas teregistrasi bersyarat untuk dokter, dokter gigi, dan spesialis sejumlah 12 orang, teregistrasi sementara untuk dokter, dokter gigi, dan spesialis sejumlah 5 orang, dan persetujuan alih iptek untuk spesialis dan spesialis gigi mencakup 134 orang. Kehadiran TK-WNA ini membawa harapan sekaligus tantangan untuk baik meningkatkan kualitas melalui penyerapan profesionalitas mereka atau tergeser akibat serbuannya dan stereoptip yang terlanjur melekat di masyarakat yang lebih mempercayai profesionalitas TK-WNA dibanding tenaga lokal.
Salah satu kelemahan yang merupakan penyebab bocornya aliran pasien dari Indonesia adalah semakin mudahnya akses ke Singapore dan Malaysia dari berbagai bandara internasional di Indonesia. Untuk itu, kuantitas tenaga kesehatan ini sebaiknya ekuivalen serta memenuhi jumlah pasien. Dengan demikian, jika memang medical tourism menjadi sesuatu besar yang akan datang, sudah seharusnya mulai saat ini pemerintah mengambil langkah yang besar pula untuk mempersiapkan dan menghadapinya sehingga pada akhirnya Indonesia khususnya Bali dapat menjadi salah satu tourist receiving countries dan mampu bersaing secara kompetitif.
Dengan demikian, berjalannya medical tourism juga membutuhkan sinergitas dengan instansi pemerintahan lainnya seperti pemerintah, akademisi, pelaku pariwisata, masyarakat dan media. Berikut diberikan ilustrasi mengenai bagaimana model pengembangannya:
Model pengembangan ini sangat menekankan konsep mutualisme dan kolaborasi yang harus dimulai dan dilaksanakan secara holistik. Jika dilihat dari sisi pemerintah, aspek yang disoroti adalah memberikan dukungan kebijakan kepada akademisi serta pihak swasta. Pemerintah dalam hal ini bertindak sebagai controller bagi pariwisata medis. Sementara itu, pihak swasta mempersiapkan segala sarana dan prasarana, serta juga ikut berpartisipasi aktif sehingga menunjukkan pertumbuhan industri bagi pemerintah. Dukungan akademisi juga sangat penting dalam memberikan saran mengenai arah kebijakan yang sebaiknya ditetapkan pemerintah, serta berperan pula dalam mentransfer teknologi dan pengetahuan bagi pihak swasta. Disamping itu, partisipasi masyarakat dalam mendukung pengembangan ini serta media dalam menyebarkan informasi juga menjadi tonggak keberhasilan pengembangan Medical Tourism di Bali.
Gambar 3
Model Pengembangan Medical Tourism di Bali
Melihat trend pasar perkembangan Medical Tourism saat ini, Asia merupakan area potensial dalam menarik wisatawan. Secara keseluruhan, jumlah pasien asing yang mengunjungi Asia tumbuh sekitar 20% setiap tahunnya dengan nilai industri berkisar pada USD 4 Milyar USD. Peluang yang sangat besar ini, sebaiknya dimanfaatkan oleh Bali yang popularitasnya sudah terkenal di mancanegara. Disamping itu, berhasilnya RSUP Sanglah masuk ke dalam salah satu Rumah Sakit terakreditasi Internasional dalam Joint Commission International merupakan tahap awal sekaligus rintisan bagi kualitas fasilitas pelayanan kesehatan di Bali.
Selain popularitas destinasi, fasilitas yang canggih serta modern, Bali juga disempurnakan oleh profesionalitas tenaga medisnya. Berdasarkan kualitas edukasi, Universitas di Bali mampu melahirkan tenaga medis berkualitas yang bahkan beberapa mahasiswa dari Malaysia dan India ikut mengenyam pendidikan di Bali. Keramah-tamahan masyarakatnya juga menjadi nilai tambah dalam mempengaruhi calon wisatawan medis untuk akhirnya memutuskan mendapatkan pelayanan kesehatan di Bali. Dengan demikian, kombinasi antara keindahan daya tari wisata, profesionalitas sumber daya manusia, serta pelayanan yang hospitable menjadi landasan untuk Bali dalam melangkah mewujudkan medical tourism. Tindakan selanjutnya yang harus dilakukan adalah membangun sinergitas dan komitmen dari pemerintah, para pelaku pariwisata, akademisi, para ahli dan masyarakat untuk mengembangkan dan memajukan medical tourism di Bali.
Ucapan Terimakasih
Penulis menyampaikan terimakasih kepada seluruh pihak yang memberikan masukan, inspirasi an bantuan dalam penyusunan artikel ini. Ucapan terima kasih kami ucapkan kepada Prof. I Nyoman Darma Putra, M.Litt., selaku Ketua Program Studi Kajian Pariwisata Universitas Udayana yang telah membantu penulisan ini dengan beberapa referensi penting, dan Prof. I Made Sukarsa, MS, selaku pengampu mata kuliah Ekonomi Pariwisata di Program Studi Kajian Pariwisata Universitas Udayana. Ucapan terimakasih kepada program studi atas kesempatan yang diberikan untuk membawakan artikel ini dalam kegiatan Seminar “Membuka Pintu Pengembangan Medical Tourism di Bali”. Terima kasih pula kepada Rizal Kurniansah, SST.Par, selaku ketua panitia seminar, serta peserta seminar dan rekan-rekan seangkatan yang telah ikut berpartisipasi memberikan saran dalam penyempurnaan artikel ini.
Daftar Pustaka
Asrianti, Tifa. 2011. “Poor Healthcare in Indonesia Boosts Medical Tourism”.
Diunduh dari: www.thejakartapost.com
Bali Post. 10 Mei 2015. Bali Menuju Medical Tourism: RSUP Sanglah yang Paling Siap, hal. 1 & 23
_____. 10 Mei 2015. Bali Harus Punya Daya Saing, hal. 1 & 23
Bye, Howard D. 2007. “Shopping Abroad for Medical Care: The Next Step in Controlling the Escalating Health Care Costs of American Group Health Plans?”. Diunduh dari: http://www.tilj.org/content/journal/49/num3/Bennie583.pdf pada tanggal 28 April 2015
Gan, Lydia L & James R. Frederick. 2010. Consumers’ Attitudes toward Medical Tourism. Diunduh dari: http://ssrn.com/abstract=1837062 pada tanggal 28 April 2015
Dinas Pariwisata Provinsi Bali. 2012. Analisis Pasar Wisatawan mancanegara. Denpasar: Dinas Pariwisata Provinsi Bali
George, Babu P. & Alexandru Nedelea. 2008. Medical Tourism: The Next Big Thing To ComeGeorge dan Nedela. Diunduh dari: http://ssrn.com/abstract=1264925 pada tanggal 28 April 2015
Laws, E. 1996. Health tourism: A business opportunity approach. In S. Clift and S.J. page (Eds.) Health and the International Tourist (pp. 199-214), Routledge: London and New York.
Lock, Stephen. 2013. “Medical Tourism in Southeast Asia: Indonesia’s Opportunity Cost”. Diunduh dari: www.edelman.id
Mathieson, A. and Wall, G. 1982. Tourism: Economic, Physical and Social Impact.
Longman. London
Ormond, M. and Sulianti, D. 2014. “More than medical tourism: Lessons from Indonesia and Malaysia on South-South intra-regional medical travel, Current
Issues in Tourism”. Netherland: Wageningen University
Rahma, Puti Aulia. 2012. “Fenomena Medical Tourism dan Potensi Indonesia Menjadi Negara Tujuan Medical Tourism”. Diunduh dari: http:// mutupelayanankesehatan.net/ index.php/component/content/article/19-headline/150 pada tanggal 24 April 2015
Sitorus, Ropesta. 2015. “Indonesia Layak Jadi Destinasi Wisata Medis”. Diunduh dari: http://bali.bisnis.com/read/20150423/20/51181/indonesia-layak-jadi-destinasi-wisata-medis- pada tanggal 24 April 2015
Suleiman,Tan Sri Dato‘ Dr Abu Bakar . 2013. Medical Tourism – Malaysia.Kuala Lumpur: International Medical University.
Wong, Kee Mun dkk. 2014. Medical Tourism Destination SWOT Analysis: A Case Study of Malaysia, Thailand, Singapore and India. Diunduh dari: http://www. shs-conferences.org/articles/shsconf/pdf/2014/09/shsconf_4ictr2014_01037. pdfpada tanggal 28 April 2015.
Profil Penulis
Putu Devi Rosalina adalah mahasiswa Semester II Magister Kajian Pariwisata Universitas Udayana angkatan 2014. Penulis menamatkan pendidikannya pada jenjang S1 di Jurusan Sastra Inggris Universitas Udayana. Saat ini, penulis bekerja sebagai Instruktur Bahasa Inggris di STPBI dan Guru Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing di Alliançe Francaise de Bali.
I Wayan Suteja adalah mahasiswa Semester II Magister Kajian Pariwisata Universitas Udayana angkatan 2014. Studi S1 yang ditempuh adalah pada jurusan Destinasi Pariwisata, Fakultas Pariwisata, Universitas Udayana. Penulis kini aktif sebagai pelaku usaha di sektor pariwisata yakni wiraswasta muda di bidang Wellness Tourism dan kuliner. Email: [email protected]
Gde Bagus Brahma Putra adalah mahasiswa Semester II Magister Kajian Pariwisata Universitas Udayana angkatan 2014. Penulis sebelumnya telah menyelesaikan pendidikan jenjang S1 dan S2 pada Jurusan Ekonomi Pembangunan Universitas Udayana dengan konsentrasi Pembangunan Daerah. Beberapa aktivitas yang sedang dijalankannya saat ini adalah mengajar di Universitas Hindu Indonesia dan Universitas Mahasaraswati Denpasar, serta staff pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Bali. Email: [email protected]
Putu Diah Sastri Pitanatri adalah mahasiswa Semester II Magister Kajian Pariwisata Universitas Udayana angkatan 2014. Penulis telah menyelesaikan S1-nya pada Jurusan Hospitality STP Nusa Dua Bali. Penulis sebelumnya memiliki pengalaman bekerja di perusahaan swasta pada sektor pariwisata. Kini, aktivitas yang dijalaninya adalah sebagai Dosen Muda STP Nusa Dua Bali. Email: [email protected]
JUMPA Volume 1 Nomor 2, Januari 2015
149
Discussion and feedback