Timbangan Buku

Potensi Pariwisata Warisan Budaya

I Nyoman Darma Putra Email: [email protected]


Judul Buku Penulis Penerbit Tebal


Warisan Budaya, Perspektif Masa Kini

I Wayan Ardika

Udayana University Press, 2015

114 halaman

Buku ini membahas tentang warisan budaya (cultural heritage) dalam era global. Sementara warisan budaya pada dirinya sendiri mengandung pengertian yang berasal dari masa silam, era global adalah situasi masa kini. Kesuluruhan spirit uraian dalam buku ini ibarat mencari jalan ke luar dari paradoks dua kutub. Apakah fungsi dan peran warisan budaya dari masa lalu untuk kehidupan masa kini? Itulah kira-kira

pertanyaan yang hendak dijawab dalam buku ini sebagai solusi dari paradok.

Sebagai seorang guru besar arkeologi yang juga menekuni ilmu kepariwisataan, I Wayan Ardika adalah orang yang memiliki kapasitas dan kompetensi dalam membahas ihwal warisan budaya pada era kini khususnya untuk dunia industri pariwisata. Dalam buku ini, Ardika memberikan argumentasi kuat tentang pentingnya warisan budaya dari masa lampau untuk dikelola dalam kehidupan masa kini (sesuai judulnya), dan bahkan masa depan. Selain untuk kepentingan pelestarian warisan sejarah, kohesi sosial, sumber pengetahuan, lambang identitas, warisan budaya juga memiliki potensi dikembangkan sebagai daya tarik wisata.

Dalam buku ini, I Wayan Ardika tidak saja membahas ihwal tinggalan arkeologi sebagai artefak dari zaman purbakala tetapi juga bagaimana warisan budaya tersebut memasuki era baru sebagai daya tarik wisata. Menurutnya, warisan budaya memiliki nilai yang signifikan untuk industri pariwisata. Lebih jauh Ardika menulis “Pariwisata budaya dalah industri terbesar di dunia, dan pariwisata warisan budaya (heritage tourism) merupakan sektor yang paling pesat perkembangannya” (p.6).

Cakupan Isi

Cakupan isi buku ini tercermin dari judul-judul bab. Empat bab pertama adalah “Kawasan Cagar Budaya dalam Perspektif Pengelolaan Sumber Daya Budaya” (Bab 1, hlm. 1-16), “Museum sebagai Daya Tarik Waisata: Perspektif Multikulturalisme” (Bab 2, hlm. 17-27); “Pemanfaatan Warisan Budaya untuk Membangkitkan Jiwa Nasionalisme di Era Global” (Bab 3, hlm. 2838); “Pencurian Pratima/ Benda Sakral di Bali pada Era Global” (Bab 4, hlm. 39-56).

Empat bab berikutnya adalah “Pengelolaan Benda Cagar Budaya sebagai Daya Tarik Wisata” (Bab 5, hlm. 57-72); “Pura Besakih Ditinjau dari Perspektif Arkeologi” (Bab 6, hlm. 73-85); “Satu Tempat Suci Dua Umat: Toleransi Antarumat di Bali” (Bab 7, hlm. 86-98); “Warisan Budaya Bersama Bangsa-bangsa di Asia Tenggara” (Bab 8, hlm. 99-112).

Warisan budaya dalam buku ini hadir dalam berbagai wujud, mulai dari tinggalan arkeologi, pura, benda sakral, kota tua, dan museum. Sejalan dengan keragaman itu, pendekatan dalam kajiannya pun bersifat multidisipliner, yakni melihat berbagai bentuk warisan budaya dan melihatnya dari berbagai konteks seperti praktik agama, nasionalisme, multikulturalisme, dan tentu saja pariwisata.

Kajian multidisiplinernya beragam tetapi terfokus pada pentingnya pelestarian warisan dan terbukanya pemanfaatan, termasuk di dalamnya sebagai daya tarik wisata. Secara umum, kajian terhadap pemanfaatan warisna budaya sebagai daya tarik wisata sengat positif, meski demikian dia juga menunjukkan berbagai dampak negatif yang muncul akibat

pemanfaatan tersebut.

Dalam kajiannya terhadap peran warisan budaya sebagai daya tarik wisata, Ardika sering mengacu pada inisiatif UNESCO yang mengajak warga dunia khususnya masyarakat pemilik warisan budaya untuk melestarikan warisannya. Inisiatif ini ditempuh dengan mencatat warisan budaya luar biasa sebagai warisan budaya dunia atau UNESCO World Cultural Heritage. Penetapan sebuah warisan budaya sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO selalu berkorelasi positif dalam popularitasnya sebagai daya tarik wisata yang ditandai dengan jumlah kunjungan wisatawan. Untuk hal in, misalnya, Ardika menulis:

Jutaan wisatawan mengunjungi situs warisan budaya setiap tahun, sehingga pariwisata warisan budaya (heritage tourism) menjadi isu penting terkait dengan pengelolaan situs warisan budaya tersebut (p. 6)

Dalam analisisnya, Ardika tidak saja menjadikan warisan budaya di Bali atau Indonesia sebagai ilustrasi tetapi juga di negara lain di dunia seperti Kota Lijiang di Cina, Angkor Wat di Kamboja, dan Orissa di India.

Kota Lijiang, menurut Ardika, ditetapkan sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO tahun 1996. Saat itu, jumlah wisatawan yang berkunjung ke kota itu adalah 1,06 juta, sepuluh tahun kemudiannya menjadi 4,33 juta, kemudian meningkat sampai 15 kali dalam waktu 15 tahun (2015:107).

Akan tetapi, tulis Ardika, sejak meningkatnya angka kunjungan, penduduk lokal menghadapi berbagai masalah mulai dari polusi udara, sampah, dan pembangunan artshop serta fasilitas pariwisata yang berlebihan. Ini terjadi karena terjadi perubahan bahwa Lijiang kemudian menjadi “milik” wisatawan, bukan lagi milik penduduk lokal Noxi.

Pengalaman seperti ini juga dirasakan oleh warga Kumano Kodo di Jepang ketika hutam mereka dijadikan World Nature Heritage Site oleh UNESCO, yang mengakibatkan adanya larangan bagi warga setempat untuk “mencari kebutuhan hidup” di hutan, termasuk kayu bakar. Kasus seperti di Lijiang dan yang lainnya yang tersaji dalam buku ini patut dijadikan pelajaran pelestarian demi keberlanjutan (sustainability).

Daya Tampung

Isu penting dalam buku ini yang mendapat penekanan adalah pentingnya pelestarian dengan memperhatikan carrying capacity (daya tampung). Di berbagai daerah, pengelola wisata selalu berkeinginan untuk mendapatkan banyak pengunjung karena ini berkaitan dengan pendapatan ekonomi, namun pada saat yang sama kelebihan menerima tamu dari kapasitas yang ada (over capacity) memberikan ancaman terhadap kelestarian situs atau daya tarik wisata.

Tempat yang terlalu ramai tidak akan memberikan kualitas kunjungan pada wisatawan. Namun, persoalannya bukan itu saja, tetapi pada ancaman akan situs arkeologi atau warisan budaya yang dikunjungi. Warisan budaya dunia seperti Borobudur, misalnya, akan sangat terancam kelestariannya bisa dikunjungi jutaan wisatawan yang naik ke bagian candi. Peran ahli pelestarian atau pun konservasi mutlak perlu dalam hal ini. Atau, seperti yang terjadi di Lijiang di mana penduduk lokal merasa terasing di daerahnya sendiri.

Membatasi daya tampung atau mengelola dengan manajemen waktu kunjungan yang baik adalah salah sat solusinya. Persoalan ini menjadi masalah bagi banyak warisna budaya di dunia. Yang tak kalah pentingnya, seperti ditegaskan Ardika di artikel terkahir, yaitu meniru gagasan mengelola warisan budaya dengan melibatkan masyarakat (berbasis masyarakat) seperti yang dilakukan di Kamboja dan Laos.

Dari uraian di atas tampak jelas bahwa buku ini sangat bermanfaat bagi mahasiswa kajian pariwisata sebaga pengantar untuk memahami ihwal warisan budaya kaitannya dengan pengelolaannya sebagai daya tari wisata.

Hanya saja, karena artikel tertulis pendek-pendek dan semula merupakan makalah lepas yang disajikan dalam berbagai seminar. Bukti bahwa isi buku merupakan artikel lepas tersendiribisa dilihat dari fakta di mana setiap artikel diakhiri dengan Daftar Pustaka, padahal kalau dijadikan buku, semua rujukan itu dipasang sekali di bagian belakang.

Kiranya perlu ditegaskan bahwa setidaknya ada dua hal yang absen di sini yaitu koneksitas antara satu artikel dengan yang lain, dan pendalaman yang dapat memenuhi keingintahuan yang lebih rinci dari sekadar gambaran umum.

Penulis, I Nyoman Darma Putra, adalah dosen

Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana yang sejak 1 Maret 2014 menjadi Ketua Prodi Magister (S-2) Kajian Pariwisata,

Program Pascasarjana Unud.

JUMPA Volume 1 Nomor 2, Januari 2015

153