Diagnosa Tumor Otak Berdasarkan Citra MRI (Magnetic Resonance Imaging)
on
Majalah Ilmiah Teknologi Elektro, Vol. 18, No. 2, Mei - Agustus 2019
DOI: https://doi.org/10.24843/MITE.2019.v18i02.P01 149
Diagnosa Tumor Otak Berdasarkan Citra MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Ida Bagus Leo Mahadya Suta1, Rukmi Sari Hartati2, Yoga Divayana3
[Submission: 19-12-2018, Accepted: 16-04-2019]
Abstract— Brain tumors are one of the most deadly diseases, one of the most common types is glioma, about 6 out of 100,000 patients are glioma sufferers. Digital imagery through Magnetic Resonance Imaging (MRI) is one method to help doctors analyze and classify brain tumor types. However, manual classification requires a long time and has a high risk of errors, so an automatic and accurate method is needed to classify MRI images. Convolutional Neural Network (CNN) is one of the solutions for automatic classification in MRI images. CNN is a deep learning algorithm that has the ability to learn on its own from the previous case. And from the research that has been done, the results obtained that CNN is able to complete the classification of brain tumors with high accuracy. Accuracy enhancements are obtained by developing the CNN algorithm either by determining the kernel value and / or activation function.
Intisari— Tumor otak menjadi salah satu penyakit yang paling mematikan, salah satu jenis yang paling banyak ditemukan adalah glioma sekitar 6 dari 100.000 pasien adalah penderita glioma. Citra digital melalui Magnetic Resonance Imaging (MRI) merupakan salah satu metode untuk membantu dokter dalam menganalisa dan mengklasifikasikan jenis tumor otak. Namun, klasifikasi secara manual membutuhkan waktu yang lama dan memiliki resiko kesalahan yang tinggi, untuk itu dibutuhkan suatu cara otomatis dan akurat dalam melakukan klasifikasi citra MRI. Convolutional Neural Network (CNN) menjadi salah satu solusi dalam melakukan klasifikasi otomatis dalam citra MRI. CNN merupakan algoritma deep learning yang memiliki kemampuan untuk belajar sendiri dari kasus kasus sebelumnya. Dan dari penelitian yang telah dilakukan, diperoleh hasil bahwa CNN mampu dalam mengenali jenis tumor otak dengan tingkat keberhasilan rata-rata diatas 90%. Peningkatan akurasi diperoleh dengan mengembangkan algoritma CNN baik melalui menentukan nilai kernel dan/atau fungsi aktivasi.
Kata Kunci— citra digital, convolutional neural network, deep learning, glioma, klasifikasi, kernel, magnetic resonance imaging, tumor otak.
Penyakit tumor otak adalah pertumbuhan sel otak yang abnormal di dalam atau di sekitar otak secara tidak wajar dan tidak terkendali. Glioma merupakan jenis tumor yang paling banyak ditemui dan memiliki tingkat kematian yang tinggi [1], sekitar 6 kasus per 100.000 pasien setiap tahunnya menderita glioma [2].
Berbagai cara dilakukan untuk deteksi dini penyakit tumor otak, salah satunya dengan anatomi citra kesehatan. Citra kesehatan sendiri ada beberapa macam, yaitu X-Ray, Computer Tomography (CT) Scan dan Magnetic Resonance Image (MRI). X-Ray memiliki kualitas citra yang buruk, sehingga tidak banyak informasi yang didapat, sedangkan CT-Scan lebih cocok untuk melihat perubahan dalam struktur tulang.
Tumor otak mengandung soft tissue dan ini tidak bisa dideteksi secara jelas lewat CT-Scan. MRI-Scan sangat sensitif dan sukses memberikan informasi citra yang baik [3], sehingga MRI mampu memberikan gambaran yang jelas antara soft tissue dan hard tissue dalam otak.
Segmentasi citra tumor otak memberikan informasi yang penting bagi dokter untuk perencanaan perawatan dan evaluasi tindak lanjut [1]. Namun dengan segmentasi secara manual membutuhkan waktu yang lama, sehingga segmentasi otomatis dibutuhkan untuk menyelesaikan permasalahan waktu tersebut.
Tidak hanya sebatas melakukan segmentasi otomatis, diperlukan suatu model yang mampu memberikan hasil klasifikasi dan analisa data. Deep learning (DL) merupakan sub bagian dari machine learning, yang fokus pada pengembangan sebuah sistem yang mampu belajar "sendiri" tanpa harus berulang kali di program oleh manusia. Convolutional Neural Network (CNN) merupakan salah satu algoritma DL yang fokus digunakan untuk menangani masalah analisa dan klasifikasi data citra digital.
Klasifikasi dari tumor membantu dokter untuk memutuskan jenis tumor yang diderita pasien. Teknik yang biasa digunakan adalah biopsi dan pengamatan langsung. Biopsi membutuhkan waktu yang lama sekitar 10 - 15 hari untuk uji laboratorium, sedangkan pengamatan langsung oleh dokter beresiko terjadi kesalahan. Oleh sebab itu deep learning dengan metode convolutional neural network menjadi salah satu solusi yang dapat membantu seorang dokter dalam mengklasifikasikan dan mendiagnosa tumor otak yang diderita pasien.
Pada jurnal ini, akan dibahas mengenai pengembangan apa saja yang dilakukan dalam rangka untuk meningkatkan performa baik dari sisi akurasi maupun waktu pengerjaan dari algoritma CNN dalam melakukan klasifikasi tumor otak glioma, baik jenis tumor Low Grade Gliomas (LGG) dan High Grade Gliomas (HGG).
-
II. STUDI LITERATUR
-
A. Tumor Otak
Penyakit tumor otak adalah pertumbuhan sel otak yang abnormal di dalam atau di sekitar otak secara tidak wajar dan tidak terkendali. Tumor otak dibagi menjadi dua yaitu, tumor otak primer dan sekunder. Tumor otak primer merupakan
p-ISSN:1693 – 2951; e-ISSN: 2503-2372
pertumbuhan sel yang tidak normal dan tidak terkontrol yang berasal dari sel otak itu sendiri. Terdapat beberapa jenis tumor otak primer, yaitu Glioma, Meningioma, Medulloblastoma. Sedangkan, tumor otak sekunder merupakan tumor yang menyebar ke otak dari kanker tubuh bagian lain.
Glioma merupakan jenis tumor otak yang paling banyak ditemukan dan memiliki tingkat kematian yang tinggi [4], dalam setahun 6 kasus per 100.000 pasien menderita tumor otak glioma [2]. Neoplasma ini dapat dibagi menjadi Low Grade Gliomas (LGG) dan High Grade Gliomas (HGG). Jenis tumor ini tidak bisa disembuhkan, baik dengan operasi, radioterapi maupun kemoterapi [2]. Umumnya, pasien yang menderita LGG memiliki harapan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan HGG. Biasanya, pasien yang menderita LGG mampu bertahan antara 6 sampai 15 tahun, namun pasien yang menderita Glioblastoma hanya memiliki harapan hidup sekitar 15 bulan [2].
-
B. Pengolahan Citra Digital
Pengolahan citra adalah suatu metode yang dilakukan terhadap suatu citra untuk mendapatkan hasil yang lebih sempurna agar informasi yang ada pada citra tersebut dapat dilihat lebih jelas. Tahapan dalam pengolahan citra digital yaitu:
-
1) Pre-Processing: suatu tahapan awal yang dilakukan untuk memperbaiki citra agar dapat mempermudah analisis citra sebelum citra tersebut diolah lebih lanjut. Proses preprocessing contohnya yaitu seperti rotation, scaling dan filtering.
-
2) Contrast Enhancement: suatu teknik yang digunakan untuk meningkatkan kontras citra. Dengan melakukan proses ini akan menghasilkan citra dengan intensitas terbaik agar informasi citra dapat diterima dengan baik.
-
3) Threshold: merupakan salah satu teknik yang digunakan untuk mensegmentasi citra. Teknik threshold mengkonversikan citra gray-level ke citra bilevel (binary). Dengan menerapkan teknik threshold pada suatu citra skala abu-abu, bagian background akan berubah menjadi warna hitam dan bagian foreground berubah menjadi warna putih sehingga daerah hasil segmentasi dapat terlihat lebih jelas.
-
4) Feauture Extraction: merupakan suatu proses untuk mengekstraksi nilai fitur atau informasi dari suatu objek pada citra yang telah disegmentasi dengan tujuan agar dapat dibedakan dengan objek lainnya. Hasil dari ekstraksi fitur dari suatu citra kemudian akan dijadikan nilai masukan pada tahap identifikasi atau klasifikasi untuk dapat mengidentifikasikan jenis citra tersebut.
-
5) Metric & Eccentricity Calculation: merupakan suatu cara untuk mengekstraksi fitur suatu objek pada citra berdasarkan bentuk objek tersebut. Parameter yang digunakan pada ektraksi fitur ini yaitu nilai metrik dan eccentricity. Metrik merupakan nilai perbandingan antara luas dan keliling objek.
-
C. Deep Learning
Pengembangan Artificial Neural Network (ANN) adalah sistem komputasi yang arsitektur dan operasinya diinspirasi dari pengetahuan tentang syaraf biologis di dalam otak
manusia. ANN terdiri dari beberapa neuron (selanjutnya disebut layer), layer pertama merupakan input yang mewakili nilai yang akan diamati berdasarkan prediksi yang dibuat. Sedangkan layer terakhir menghasilkan nilai dari prediksi. Layer antara input dan output disebut dengan hidden layer. (Gambar 1B).
Deep Learning atau juga dikenal dengan Deep Neural Network (DNN) adalah teknik dalan Neural Network yang menggunakan teknik tertentu seperti Restrict Boltzmann Machine (RBM) untuk mempercepat proses pembelajaran dalam ANN yang menggunakan lapis yang banyak (biasanya lebih dari 20 hidden layer) [5]. Dengan menggunakan banyak hidden layer memungkinkan untuk menyelesaikan keputusan yang lebih kompleks berdasarkan keputusan yang lebih sederhana [6].
Gambar 1: Perbandingan antara Deep Neural Network dengan Artificial Neural Network.
Convolutional Neural Network (CNN) adalah salah satu metode deep learning yang menjadi topik hangat untuk dilakukan reset. CNN biasanya digunakan untuk menyelesaikan permasalahan citra radiologi (x-ray, CT-Scan, USG, MRI).
-
D. Convolutional Neural Network
Convolutional Neural Network (CNN) adalah salah satu jenis neural network yang biasa digunakan untuk memproses citra. CNN bisa digunakan untuk mendeteksi dan mengenali objek pada sebuah citra. Secara garis besar CNN tidak berbeda jauh dengan neural network, CNN terdiri dari neuron yang memiliki weight, bias dan activation function. Secara umum CNN terdiri dari convolution, pooling dan fully connected layer [7]–[10]. Adapun arsitektur yang dimiliki oleh Convolutional Neural Network sebagai berikut.
Gambar 2: Arsitektur Convolutional Neural Network
-
1) Convolution Layer
Convolution Layer melakukan operasi konvolusi pada output dari layer sebelumnya (input layer). Layer ini adalah proses utama yang mendasari sebuah CNN.
Konvolusi adalah suatu istilah matematis yang berarti mengaplikasikan sebuah fungsi pada output fungsi lain secara berulang. Dalam pengolahan citra, konvolusi berati
DOI: https://doi.org/10.24843/MITE.2019.v18i02.P01 mengaplikasikan sebuah kernel pada citra disemua offset yang memungkinkan seperti yang ditunjukkan pada Gambar.3. Kotak hijau secara keseluruhan adalah citra yang akan dikonvolusi. Kernel bergerak dari sudut kiri atas ke kanan bawah. Sehingga hasil konvolusi dari citra tersebut dapat dilihat pada gambar disebelah kanannya.
Tujuan dilakukannya konvolusi pada data citra adalah untuk mengekstraksi fitur dari citra input. Konvolusi akan menghasilkan transformasi linear dari data input sesuai informasi spasial pada data. Bobot pada layer tersebut menspesifikasikan kernel konvolusi yang digunakan, sehingga kernel konvolusi dapat dilatih berdasarkan input pada CNN.
Gambar 3: Contoh Proses Convolution Layer
95 |
67 |
85 |
12 |
120 |
45 |
49 |
30 |
32 |
78 |
87 |
34 |
89 |
23 |
65 |
34 |
87 |
12 |
11 |
87 |
67 |
12 |
0 |
23 |
45 |
Pada layer inilah fungsi aktivasi diterapkan untuk menentukan neuron tersebut harus aktif atau tidak. Terdapat dua jenis fungsi aktivasi yang itu aktivasi liner (Sigmoid dan Tanh) serta non-liner Rectified Linear Unit (ReLU)
Gambar 4: Fungsi aktivasi linier Sigmoid dan Tanh
151
Gambar 5: Fungsi aktivasi non-linier ReLU
-
2) Pooling Layer
Pooling adalah proses mereduksi ukuran sebuah data citra. Dalam pengolahan citra, subsampling juga bertujuan untuk meningkatkan invariansi posisi dari fitur. Dalam sebagian besar CNN, metode pooling yang biasa digunakan adalah max pooling dan averange pooling [7]. Max pooling membagi output dari convolution layer menjadi beberapa grid kecil lalu mengambil nilai maksimal dari setiap grid untuk menyusun matriks citra yang telah direduksi sedangkan averange pooling mengambil nilai rata rata dari grid yang menyusun citra, seperti yang ditunjukkan pada Gambar.5. Grid yang berwarna hijau, ungu, kuning dan biru merupakan kelompok grid yang akan dipilih nilai maksimumnya atau nilai rata-ratanya. Sehingga hasil dari proses tersebut dapat dilihat pada kumpulan grid disebelah kanannya atau pada sisi bawahnya. Tujuan dari penggunaan pooling adalah mengurangi dimensi dari feature map (downsampling), sehingga mempercepat komputasi karena paramater yang harus diupdate semakin sedikit dan mengatasi overfitting [8].
Ida Bagus Leo Mahadya Suta: Diagnosa Tumor Otak Dengan…
3) Fully Connected Layer
Fully Connected Layer adalah layer yang biasanya digunakan dalam penerapan MLP dan bertujuan melakukan transformasi pada dimensi data agar data dapat diklasifikasikan secara linier.
p-ISSN:1693 – 2951; e-ISSN: 2503-2372
Gambar 6: Averange dan Max Pooling
Setiap neuron pada convolution layer perlu ditransformasikan menjadi data satu dimensi terlebih dahulu sebelum dapat dimasukkan ke dalam sebuah fully connected layer. Neuron pada setiap layer dikalkulasikan dengan menjumlahkan weight input dan nilai bias kemudian mengaplikasikannya kedalam fungsi aktivasi. Pada layer terakhir fungsi softmax digunakan untuk memperoleh nilai rentang probabilitas output. Rentangnya 0 sampai 1 dan jumlah semua probabilitasnya sama dengan satu. Persamaan softmax yaitu:
^i
aWj = y t pzt for ] = 1.....k (1)
∑k=ιe
Jurnal ini menggunakan metode studi literatur dengan mencari referensi teori yang relevan dengan kasus yang berasal dari jurnal internasional Institute of Electrical and Electronics Engineers (IEEE) dan Jurnal ScienceDirect.
-
A. Hasil
Berdasarkan jurnal yang telah dikumpulkan dan dicermati, dapat disimpulkan bahwa terdapat banyak metode dalam mendiagnosa penyakit tumor otak melalui citra digital MRI. Untuk menghasilkan diagnosa yang akurat tidak cukup hanya dengan citra MRI yang bagus. Diperlukan beberapa tahapan untuk memproses citra MRI sebelum digunakan oleh algortima deep learning.
Berdasarkan permasalahan diatas, [11] menggunakan metode Cascade Deep Convolutional Neural Network dengan dataset berasal dari BRATS 2013 dengan dua tipe tumor, yaitu LGG dan HGG. Pertama, dengan melakukan preprocessing citra MRI. Langkah ini dilakukan untuk menormalisasi citra digital dengan melakukan bias correction dengan formula N4TIK agar memiliki nilai zero-mean dan unit-variance. Dari kumpulan dataset yang sudah dinormalisasi, kemudian dibuat dua jenis filter yang berukuran 4x37x37 piksel dan 9x19x19 piksel yang merupakan bagian tengah dari filter 4x37x37. Terdapat dua tahap konvolusi pada penelitian ini, yaitu dengan menggabungkan output dari setengah pertama dan menjadikan input pada separuh tahap berikutnya. Pada lapisan konvolusi pertama, input adalah filter yang diekstrasi dari gambar MRI asli. Sementara, lapisan berikutnya mengambil feature maps yang dihasilkan lapisan sebelumnya sebagai input. Dalam satu jaringan berisi enam convolutional layers yang dimplementasikan untuk mempelajari feauture maps dengan ukuran kernel yang berbeda. Untuk fungsi non-liner, fungsi aktivasi Rectified Linear Unit (ReLU) digunakan untuk menghasilkan hasil yang terbaik melalui metode pencarian grid. Tiga max-pooling layer digunakan untuk mengurangi dimensi input ketika menuju layer berikutnya.
Penelitian [1] menggunakan dataset BRATS 2015 yang berisikan 20 MR scan dari pasien glioma. Sama seperti penelitian sebelumnya, citra MRI dilakukan tahap preprocessing sebelum mengekstrak informasinya. Digunakan
metode N4ITK untuk melakukan bias correction. Kemudian dilakukan normalisasi data dengan mengurangi nilai rata-rata dan membagi stadar deviasi. Selanjutnya, CNN mengekstraksi fitur citra dari layer - layer yang berbeda mulai dari yang dangkal ke yang lebih dalam. Berat dari convolution kernel disesuaikan selama proses pelatihan untuk menghasilkan karakteristik yang paling sesuai. Penelitian ini menggunakan tiga cascade convolutional layers berukuran 3x3x2 dimana setiap convolutional layers diikuti oleh satu activation layer dan normalization layer. Setelah semua convolution layer terhubung dalam fully-connected layer dan setiap lapisan ini dikuti oleh satu fungsi activation layer dan dropout layer. Fungsi aktivasi ReLU mengurangi waktu pembelajaran secara signifikan, namun dengan Leaky ReLU (LReLU) mampu mengatasi permasalahan gradien menghilang. Penambahan dropout layer pada fully connected layer dapat menaggulangi masalah over-fitting.
Peneliti [10] menggunakan 2D Convolutional Neural Network dengan dataset berapa MRI yang terdiri dari Astrocytoma, Glioblastoma, Oligodendroglioma dan tumor otak yang belum teridentifikasi, data berasal dari Repository for Molecular Brain Neoplasia Data (REMBRANDT) yang terdiri dari 65427 citra MRI dari 100 pasien dan Minimal Interval Resonance Imaging in Alzheimer's Disease (MIRIAD) dan Brain Images of Normal Subjects (BRAINS) yang berisikan 31244 citra MRI otak yang sehat. Untuk akurasi citra MRI pada penelitian ini menggunakan 8 layer yang terdiri dari 4 2D-Convolution layer, 2 max polling layer, 1 dropout layer dan 2 fully connected layer. Sebelumnya citra MRI di-resize menjadi 64x64 piksel untuk mengurangi ukuran file dan mempercepat feature extraction. Masing masing citra input memiliki 3 channel (channel RGB) sehingga input berukuran 64x64x3, layer pertama adalah Convolutional layer berukuran 5x5 sebanyak 16 dan menggunakan fungsi aktivasi ReLU. Citra output kemudian di downsampling menggunakan fungsi max pooling berukuran 2x2 sehingga diperoleh citra berukuran 32x32x16. Tahap selanjutnya dengan 2DConvolution layer berukuran 3x3x32, 3x3x64, 2x2x128 dan fungsi aktivasi ReLU. Untuk mendeteksi tumor pada tahap awal, perlu membedakan local feature pada citra MRI dipergunakan max pooling layer berukuran 2x2 yang pada akhirnya memdapatkan 512 fully connected layer, setalah itu proses dropout dilakukan melalui fungsi softmax untuk memperoleh hasil akhir yang sesuai.
-
B. Pembahasan
MRI lebih efektif dan aman dibandingkan dengan X-Ray dan CT-Scan [12]. Sebab tidak mengandung radiasi, sehingga tidak membahayan tubuh manusia [3].
Penelitian dalam jurnal [11], dengan dataset berjumlah 30 volume matrik yang mengandung sekitar 150 sampai 220 variasi dan perbandingan data traning dan testing dengan rasio 80:20 diperoleh beberapa kesimpulan. Citra MRI dengan yang mirip sangat mudah untuk diklasifikasikan. Oleh karena itu, hanya data pasien asli yang digunakan untuk mengevaluasi model. Sedangkan jika model terlatih memiliki sedikit variasi akan sangat sulit melakukan prediksi, namun masalah ini dapat teratasi dengan menambah jumlah model yang dilatih.
DOI: https://doi.org/10.24843/MITE.2019.v18i02.P01
Terlalu banyak fitur dalam fully connected layer akan menyebabkan over-fitting dan jika terlalu sedikit menyebabkan under-fitting. Jumlah fully connected layer juga menentukan hasil prediksi berdasarkan akurasi dan waktu penyelesaian. Dalam penelitian ini dibutuhkan 2048 layers untuk mendapatkan hasil yang memuaskan.
Berdasarkan jurnal [1], penelitian menggunakan 3D Convolutional Neural Networks. Tahap pertama dengan prepreprocessing dengan metode N4ITK untuk bias correction. Kemudian ditambahkan fungsi aktivasi LReLU untuk memperoleh hasil yang lebih baik dan terakhir menambakan fungsi dropout untuk menghindari over-fitting. Karena input layer selalu berubah selama pelatihan, hal ini dapat memperlambat kecepatan pelatihan karena membutuhkan tingkat pembelajaran yang lebih rendah dan lebih dalam. Untuk mengatasi masalah ini, peneliti mengadopsi teknik Batch Normalization yang mencegah perubahan kecil dalam parameter layer pada semua activation layer.
Berdasarkan penelitian [10] yang menggunakan 2D-CNN. Pada tahap awal proses citra digital hanya melakukan resize menjadi ukuran 64x64 dan tidak melakukan fungsi bias correction maupun merubah citra menjadi citra grayscale. Peneliti mencoba menggali pemanfaatan ukuran dan dimensi filter pada Convolutional layer, Max Pooling dan Fully Connected Layer. Dengan 8 layer tersebut, diperoleh hasil yang akurat (rata -rata diatas 99%). Jumlah layer harus diperhatikan, karena apabila terlalu banyak akan menyebabkan overfitting dan menghasilkan klasifikasi yang keliru.
[3]
[4]
[5]
[6]
[7]
[8]
[9]
[10]
[11]
[12]
153 “Health-related quality of life in high-grade glioma patients,” Chin. J. Cancer, vol. 33, no. 1, pp. 40–45, 2014.
R. Riley, J. Murphy, and T. Higgins, “MRI imaging in pediatric appendicitis,” J. Pediatr. Surg. Case Reports, vol. 31, no. January, pp. 88–89, 2018.
-
A. Pinto, V. Alves, and C. A. Silva, “Brain Tumor Segmentation using Convolutional Neural Networks in MRI Images,” IEEE Trans. Med. Imaging, vol. 35, no. 5, pp. 1240–1251, 2016.
-
B. J. Erickson, P. Korfiatis, Z. Akkus, and T. L. Kline, “Machine Learning for Medical,” no. 1, pp. 505–515, 2017.
-
J. Lee, S. Jun, Y. Cho, H. Lee, G. B. Kim, J. B. Seo, and N. Kim, “Deep Learning in Medical Imaging : General Overview,” vol. 18, no. 4, pp. 570–584, 2017.
W. Rawat, “Deep Convolutional Neural Networks for Image Classification : A Comprehensive Review,” vol. 2449, pp. 23 52-2449, 2017.
G. O. Yigit and B. M. Ozyildirim, “Comparison of convolutional neural network models for food image classification,” vol. 1839, 2018.
N. Sharma, V. Jain, and A. Mishra, “An Analysis of Convolutional Neural Networks for Image Classification,” Procedia Comput. Sci., vol. 132, no. Iccids, pp. 377–384, 2018.
N. M. Balasooriya and R. D. Nawarathna, “A sophisticated convolutional neural network model for brain tumor classification,” 2017 IEEE Int. Conf. Ind. Inf. Syst., pp. 1–5, 2017.
S. Hussain, S. M. Anwar, and M. Majid, “Brain Tumor Segmentation using Cascaded Deep Convolutional Neural Network,” 39th Annu. Int. Conf. IEEE Eng. Med. Biol. Soc., pp. 1998–2001, 2017.
S. S. "Gawande and V. Mendre, “Brain tumor diagnosis using image processing: A survey,” “RTEICT 2017 - 2nd IEEE Int. Conf. Recent Trends Electron. Inf. Commun. Technol. Proceedings,” vol. 2018– Janua, pp. 0–4, 2018.
Berdasarkan penelitian yang telah dibahas pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa sebuah citra MRI sebelum melakukan proses deep learning harus melewati preprocessing untuk mengurangi nilai bias correction dengan metode N4TIK. Algortima CNN dapat menyelesaikan klasifikasi dengan baik apabila didukung jumlah training data yang banyak dan bervariasi. Jumlah fully connected layer mempengaruhi akurasi dari hasil yang diperoleh, namun perlu diingat bahwa terlalu banyak jumlah layer akan mempengaru kecepatan waktu penyelesaian tugas. Memodifikasi fungsi aktivasi dari ReLU menjadi LReLU dapat meningkatkan akurasi dari penyelesaian algoritma sehingga nantinya jumlah fully connected layer bisa dikurangi.
Untuk penelitian selanjutnya, diperlukan optimasi yang difokuskan pada ukuran kernel dari Convolutional layer CNN dan juga fungsi aktivasi yang akan digunakan, sehingga dapat mengurangi jumlah fully connected layer yang berdampak pada kecepatan penyelesaian dalam mendiagnosa tumor otak dengan citra MRI.
Referensi
-
[1] W. Mengqiao, Y. Jie, C. Yilei, and W. Hao, “The multimodal brain tumor image segmentation based on convolutional neural networks,” 2017 2nd IEEE Int. Conf. Comput. Intell. Appl., pp. 336–339, 2017.
-
[2] L. Dirven, N. K. Aaronson, J. J. Heimans, and M. J. B. Taphoorn, Ida Bagus Leo Mahadya Suta: Diagnosa Tumor Otak Dengan…
p-ISSN:1693 – 2951; e-ISSN: 2503-2372
{ Halaman ini sengaja di kosongkan }
ISSN 1693 – 2951
Ida Bagus Leo Mahadya Suta: Diagnosa Tumor Otak Dengan…
Discussion and feedback