JMRT, Volume 4 No 2 Tahun 2021, Halaman: 29-36

JMRT


JOURNAL OF MARINE RESEARCH AND TECHNOLOGY journal homepage: https://ojs.unud.ac.id/index.php/JMRT

ISSN: 2621-0096 (electronic); 2621-0088 (print)

Deteksi Perubahan Garis Pantai Menggunakan Teknik Geospasial, Studi Kasus Kecamatan Tejakula

Hesti Apriantia*, IGB Sila Dharmaa, I Gede Hendrawana, Nanin Anggarainib

  • aProgram Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Udayana, Bali, Indonesia

  • bResearcher, Remote Sensing Application Center, Indonesian National Institute of Aeronautics and Space, Jakarta, Indonesia

*Corresponding author, email: [email protected]

ARTICLE INFO


ABSTRACT


Article history

Received: August 31th 2020

Received in revised form: November 25th 2020

Accepted: January 28th 2021

Available online: August 31th 2021


Keywords:

Coastline

DSAS

Tejakula Subdistrict


The coastal area in Tejakula Subdistrict has many potential benefits for local people and the development of the region. Regarding its economic perspective, marine biodiversity can be utilized for tourism development. In terms of culture and history, this area has many archaeological findings ranging from prehistory until the colonial period. However, the recent study from Balai Arkeologi Bali stated the objects were sunk into underwater at a depth of 1-2 meters due to the abrasion process. Therefore, this research discussed the changes of shoreline in the Tejakula Subdistrict area as a preliminary study to protect and preserve its potential values. This research, both in terms of economy, culture, and history. The calculation of shoreline changes is using the Digital Shoreline Analysis System (DSAS) application with Net Shoreline Movement (NSM) and End Point Rate (EPR) methods. The results showed that the coastal segment in Tejakula District experienced an abrasion change with an abrasion rate of 0.89 m/year based on the SPOT satellite image analysis and 0.17 m/year from Landsat satellite imagery.

2021 JMRT. All rights reserved.

  • 1.    Pendahuluan

Balai Arkeologi Bali menyatakan bahwa terdapat peninggalan budaya masa lalu di wilayah pantai Kecamatan Tejakula kini tenggelam di kedalaman 1-2 meter akibat adanya proses abrasi (Sumerata et al., 2017). Wilayah ini menyimpan data dan informasi akan kedigdayaan budaya masa lalu di Indonesia, khususnya di Bali. Sejak tahun 1961, arkeolog sudah melakukan penelitian terkait tinggalan arkeologi yang ada di wilayah Tejakula. Benda-benda arkeologi yang ditemukan di wilayah pantai Tejakula merupakan bukti bahwa daerah ini sudah dimanfaatkan oleh manusia dari masa prasejarah untuk aktivitas berburu, bermukim, mengolah makanan, dan berdagang (Ardika dan Bellwood, 1987; Suastika, 2008; Vita et al., 2006). Adanya benda peninggalan masa lalu ini dapat dijadikan potensi untuk pembangunan daerah yang lebih luas melalui pendidikan sejarah dan budaya.

Daerah pantai di wilayah Kecamatan Tejakula juga dimanfaatkan untuk kegiatan ekonomi seperti perikanan, budidya rumput laut, tambak garam dan industri pariwisata (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Buleleng, 2014). Banyaknya potensi tersebut, diperlukan upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan sumber daya pesisir yang berkelanjutan. Salah satunya adalah melakukan pemantauan perubahan garis pantai di Wilayah Tejakula. Pada dasarnya lingkungan pantai akan selalu berubah menuju keseimbangan. Perubahan yang terjadi merupakan hasil interaksi dari sejumlah faktor alam dan antropogenik. Faktor alam yang berperan dalam perubahan garis

pantai adalah gelombang, arus dan pasang surut. Faktor manusia yang berperan meliputi kegiatan-kegiatan pembangunan yang tidak memperhatikan tata ruang dan alih fungsi lahan (Dahuri, 2001; Halim et al., 2016; Hendrik, 2016).

Perubahan garis pantai dapat berupa erosi/abrasi dan akresi. Fenomena erosi, abrasi maupun akresi secara tidak langsung akan berdampak pada potensi dari suati pantai dan dapat mengganggu aktivitas masyarakat pesisir itu sendiri (Prasita, 2015; Setiyono, 1996). Maka dari itu daerah pantai yang dinamis begitu juga dengan garis pantainya perlu diamati perubahannya. Dari pengamatan yang dilakukan akan didapatkan informasi yang mampu menjelaskan proses-proses yang berlangsung. Hal ini sangat penting dalam menetapkan berbagai rencana pengelolaan maupun peraturan di kawasan pesisir (Chan dan Acharya, 2010; Kasim dan Siregar, 2012; Putra et al., 2015).

Dari penjabaran diatas penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan garis pantai dan laju perubahannya di Kecamatan Tejakula sebagai upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan sumber daya pesisir yang berkelanjutan. Pemantauan perubahan garis pantai pada penelitian ini menggunakan data citra satelit yang memiliki keuntungan dari ketersediaan data yang lengkap dan mudah diakses. Di sisi lain, cakupan citra satelit dan tingkat pengulangan akuisisi citra yang tinggi sehingga fenomena perubahan garis pantai yang sangat dinamis dapat dipelajari (Cracknell, 1999). Ada beberapa indikator untuk menentukan posisi garis pantai, dibagi kedalam dua kelompok yaitu (wet/dry line) dan/atau berdasarkan level pasang surut (tidal level) (Boak dan Turner 2005).

Definisi proksi garis pantai yang digunakan pada penelitian ini ialah berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menjelaskan bahwa garis pantai adalah batas pertemuan antara bagian laut dan daratan pada saat terjadi air laut pasang tertinggi (Highest High Water Level, HHWL).

  • 2.    Metode

    • 2.1    Lokasi Penelitian

Kecamatan Tejakula secara astronomis terletak pada 8˚6’37’’ -8˚9’31’’ LS dan 115˚17’15’’ - 115˚26’50’’ BT. Panjang ruas pantai mencapai 27,3 km dan luas wilayah 97,68 ha. Secara morfologi terdiri dari wilayah pesisir, wilayah daratan dan wilayah perbukitan dengan ketinggian 0 – 700 mdpl. Karakteristik pantai berbatu dan sedikit berpasir yang berwarna hitam. Hal ini diakibatkan dari proses vulkanik (Putra et al., 2015).

JMRT, Volume 4 No 2 Tahun 2021, Halaman: 29-36 QGIS 2.18.0 dan Microsoft office. Selain itu, digunakan GPS dan kamera digital untuk pengambilan data lapangan.

Tabel 1. Jenis dataset yang digunakan

Tahun

Satelit/ Sensor

Akuisisi

Level

Resolusi spasial

Tanggal

Jam

2007

SPOT 4/ HRVIR

23-052007

02:38: 02

L1G

20 m

2019

SPOT 6/ NAOMI

19-05

2019

02:12: 03

L1TP

1,5 m

1995

Landsat 5/ TM

26-051995

01:30:

55

2A

30 m

2019

Landsat 8/ OLI-TIRS

17-09

2019

02:24: 05

2A

30 m

  • 2.3    Pengolahan Data Citra

  • a)    Tahap Pra-Pengolahan Citra

Gambar 1. Peta lokasi penelitian

  • 2.2 Alat dan Bahan

Bahan pada penelitian ini terdiri dari :

  • 1.    Data citra satelit resolusi menengah yaitu citra satelit SPOT 4 (akuisisi 23 Mei 2007), SPOT 6 (akuisisi 19 Mei 2019) dan citra satelit Landsat 5 (akuisisi 26 Mei 1995 dan 17 September 2019). Data citra satelit SPOT didapatkan dari Pusat Teknologi Data - LAPAN, sedangkan data citra Satelit Landsat dapat diunduh secara gratis pada laman inderaja-catalog.lapan.go.id. Karakteristik citra yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 1.

  • 2.    Peta Rupa Bumi Indonesia tahun 2018 resolusi 1:25,000 yang didapat dari Badan Informasi Geospasial (BIG).

  • 3.    Peta Lingkungan Pantai Indonesia 1:50,000 Kabupaten Buleleng tahun 2018, Bali dari Badan Informasi Geospasial (BIG).

  • 4.    Data prediksi pasang surut daerah Kecamatan Tejakula tahun 2020 dari Badan Informasi Geospasial (BIG).

  • 5.    Peta Geologi skala 1:250,000 lembar Bali yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi tahun 1992.

Alat yang digunakan adalah perangkat komputer yang dilengkapi dengan perangkat lunak ENVI 5.3, Er Mapper 7.1, ArcGIS 10.7 yang berisikan toolbox DSAS 5.0, SAGA 7.0,

Nilai piksel data citra satelit yang digunakan merupakan nilai reflektansi permukaan (surface reflectance). Untuk mendapatkan nilai reflektansi permukaan, gangguan atmosfer perlu dihilangkan dengan koreksi atmosferik menggunakan metode FLAASH (Fast Line-of-Sight Atmospheric Analysis of Spectral Hypercubes). Metode FLAASH merupakan model koreksi absolut yaitu koreksi atmosfer yang menggunakan parameter atmosfer seperti aerosol, uap air, ozon dan gas lainnya (Guo dan Zeng, 2012; Kaufman et al., 1997). Parameter koreksi atmosfer yang digunakan dapat diketahui melalui metadata citra satelit. Tabel 2 secara spesifik menunjukkan parameter koreksi atmosfer yang digunakan pada penelitian ini.

Tabel 2. Input parameter koreksi atmosferik FLAASH pada citra Landsat 8 OLI/TIRS

Flight Date

Flight Time GMT (HH:MM:SS)

Sensor Type

Sensor Altitude (km)

September

17 2019

2:24:5

OLI/TIRS

705.0

Atmospheric Model

Aerosol Type

Longitude

Latitude

Tropical

Rural

115˚ 53’ 41.99’’

-8˚ 40’

44.40’’

Aerosol

Retrieval

Water Column Multipler

Water Retrieval

Initial Visibility (km)

2-Band(K-T)

1.00

No

40.00

Koreksi Geometrik pada penelitian ini dilakukan pada data citra Landsat 5 TM akuisisi tahun 1995. Hal ini dikarenakan level data yang digunakan adalah Level 1G dimana pada data level ini diperlukan akurasi lokasi secara manual. Koreksi geometrik pada penelitian ini dilakukan menggunakan software Er Mapper 7.1 dengan metode image to map registration. Cara ini dilakukan dengan meletakkan titik-titik control tanah (GCP) yang sama pada peta atau citra lain yang sudah terkoreksi yaitu peta RBI skala 1:25.000. Terdapat 25 titik kontrol yang terdistribusi secara merata. Nilai RMSE (Root Mean Square Error) selalu <0.5 piksel. Nilai RMSE mendekati nol maka akurasinya semakin baik. Selanjutnya citra dikoreksi dengan sistem transformasi polynomial orde linear diterapkan agar memberikan hasil yang baik dan tajam.

Hasil koreksi citra kemudian di cropping sesuai lokasi penelitian yaitu wilayah pesisir sepanjang Kecamatan Tejakula dengan letak astronomis 8˚6’37’’ - 8˚9’31’’ LS dan 115˚17’15’’ -115˚26’50’’ BT. Dikarenakan resoslusi spasial citra yang tidak seragam dilakukan proses yang dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Karakteristik citra yang digunakan

Data Citra

Akuisisi

Proses

Resolusi Awal

Resolusi Akhir

SPOT 4

23/5/2007

Pansharpening

20 m

10 m

SPOT 6

19/5/2019

Resampling

1,5m

10 m

Pansharpening merupakan teknik penggabungan citra multispektral dengan citra pankromatik sehingga menghasilkan citra baru dengan resolusi spasial yang sama dengan citra pankromatik dan visualisasi warna dari citra multispektral. Proses ini dilakukan pada citra satelit SPOT 4 akuisisi tahun 2007 dimana memiliki resolusi spasial 20 m akan diubah menjadi resolusi 10 m sesuai resolusi citra pankromatiknya. Proses pansharpening menggunakan metode Esri. Proses Resampling dilakukan pada citra satelit SPOT 6 akuisisi tahun 2019 dimana data ini memiliki resolusi spasial 1,5 m akan diubah menjadi 10 m sesuai dengan resolusi citra SPOT 4. Proses resampling menggunakan metode nearest dikarenakan metode ini meminimalkan perubahan pada nilai piksel. Hasil proses pansharpening dan resampling ini dapat dilihat pada Tabel 3. Proses ini dilakukan di aplikasi ArcGIS 10.3.

  • b)    Tahap Ekstraksi Garis Pantai

Untuk menggambarkan secara jelas batasan antara daratan dan perairan yang digunakan sebagai posisi garis pantai menggunakan teknik band ratio dan RGB composite. Formula yang digunakan untuk mengidentifikasi garis pantai pada penelitian ini adalah algoritma band ratio yang dikembangkan oleh Winarso, Judijanto, dan Budhiman (2001). Algoritma yang digunakan adalah sebagai berikut :

IF ≥ 1 then 1 else if (—) > 1 then 1 else 2 (1) Hijau∕                      Hijau∕

Tabel 4. Kombinasi band untuk masing-masing data

Landsat 5

IF (B4/B2)≥ 1 then 1 else if (B5/B2)≥ 1 then 1 else 2

Landsat 8

IF (B5/B3)≥ 1 then 1 else if (B6/B3)≥ 1 then 1 else 2

SPOT 4

IF (B3/B1)≥ 1 then 1 else if (B4/B1)≥ 1 then 1 else 2

SPOT 6

IF (B4/B3)≥ 1 then 1 else if (B4/B1)≥ 1 then 1 else 2

Pemilihan metode ini dikarenakan wilayah pantai Kecamatan Tejakula memiliki tipe pantai campuran yaitu berbatu sedikit berpasir dan terdapat vegetasi pohon kelapa. Hasil penelitian oleh (Alesheikh et al., 2007; Kasim dan Salam, 2016) menyatakan dengan metode ini informasi garis pantai akan akurat untuk semua tutupan lahan di sepanjang garis pantai, tapi akan bermasalah pada pantai dengan substrat berlumpur.

Hasil ekstraksi garis pantai kemudian dihitung tingkat kesalahannya menggunakan confusion matrix. Menurut (Han dan Kamber, 2001) confusion matrix adalah alat yang berguna untuk mengetahui seberapa baik classifier (metode ekstraksi garis pantai) memisahkan darat dan laut. Pada penggunaan confusion matrix didapatkan 4 (empat) istilah sebagai representasi hasil proses klasifikasi. Keempat istilah tersebut adalah True Positive (TP), True Negative (TN), False Positive (FP) dan False Negative (FN). Confusion Matrix dapat disajikan seperti Tabel 5.

Tabel 5. Confusion Matrix

Predicted class

Yes

No

Total

Actual class

Yes

TP

FN

P

No

FP

TN

N

Total

P’

N’

P+N

Sumber : Hand & Kamber, 2001

TP Sesuatu yang di prediksi adalah laut ternyata memang benar laut

FP Sesuatu yang di prediksi adalah laut tapi ternyata klasifikasinya bukan laut

FN Sesuatu yang diprediksi darat tetapi ternyata hasil deteksinya laut

TN Sesuatu yang diprediksi darat tetapi ternyata itu memang daratan

  • d)    Konversi Raster ke Vektor

Data citra yang telah terindentifikasi daratan dan lautan dikonversi formatnya menjadi format vektor (.shp) dengan menggunakan tools Raster to Polygon pada perangkat lunak ArcGIS 10.3. Hasil proses ini adalah data vektor dalam bentuk polygon. Data dalam bentuk polygon tersebut di digitasi agar mendapatkan garis pantai dengan format polyline.

  • e)    Tahapan Koreksi Pasang Surut

Mengingat waktu perekaman citra yang berbeda, koreksi pasang surut dilakukan untuk mengurangi kesalahan yang diakibatkan oleh perbedaan kondisi pasang surut pada saat perekaman citra satelit. Koreksi pasang surut perlu memperhitungkan kemiringan pantai (slope) menggunakan persamaan 2 (Darmiati et al., 2020). Pada penelitian ini pergeseran garis pantai ke posisi garis pantai berbasis pasut datum HHWL yaitu pasang tertinggi sesuai dengan definisi garis pantai berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 dimana garis pantai yang digunakan untuk penarikan batas pengelolaan wilayah laut dan wilayah administrasi daerah. Hal ini mengingat bahwa sumber daya arkeologi yang berada di sepanjang pesisir Kecamatan Tejakula merupakan tanggung jawab pemerintah daerah.

Nilai HHWL itu sendiri didapatkan dari menghitung konstanta pasang surut menggunakan metode least square. Data pasang surut merupakan data sekunder yang diperoleh dari instansi Badan Informasi Geospasial dengan koordinat stasiun pengamatan pada Latitude -8.1031 Longitude 115.3429.

c) Confusion Matrix


Tanβ


(2)


Keterangan : Tanβ adalah Kemiringan pantai (˚), d adalah Kedalaman perairan (m) dan m adalah Jarak mendatar garis pantai hingga kedalaman d (m).

Nilai kedalaman perairan (d) didapat dari kontur yang terdapat di Peta Lingkungan Pantai Kabupaten Buleleng. Nilai m didapatkan dari pengukuran jarak garis pantai dengan titik kedalaman perairan (d). Diambil satu titik pada garis pantai hasil deliniasi citra satelit, diasumsikan bahwa kondisi air laut mengalami kenaikan yang sama (Chen dan Chang, 2009).

Pergeseran garis pantai didasarkan pada konsep model satu garis dimana diasumsikan bahwa garis pantai bergerak menuju darat atau lepas pantai dengan satu profil dasar (Wicaksono, Wicaksono, Khakhim, Farda, dan Marfai, 2018). Jarak pergeseran garis pantai hasil koreksi terhadap HHWL dapat dihitung menggunakan persamaan berikut (Darmiati et al., 2020):

(3)


Keterangan: x adalah Jarak Pergeseran garis pantai hasil koreksi terhadap pasang surut, Ղ merupakan selisih posisi muka air pada saat akuisisi terhadap HHWL.

  • f)    Uji Akurasi

Uji akurasi dilakukan dengan menggunakan data titik koordinat yang didapatkan dari pengukuran di lapangan menggunakan GPS Garmin dengan tingkat kesalahan 3 meter. Pengujian ketelitian posisi mengacu pada perbedaan koordinat antara titik uji pada gambar atau peta dengan lokasi sesungguhnya. Pengukuran akurasi menggunakan root mean square error (RMSEr). Uji akurasi mengacu pada (Badan Informasi Geospasial, 2014) dengan persamaan 4 dan persamaan 5.

p2 _ ∑(Xpeta-Xcek)2+(Ypeta-Ycek)2 ^            n                       (4)

RMSE horizontal = —

(5)

Keterangan: n adalah Jumlah total pengecekan pada peta, X adalah nilai decimal degree koordinat pada sb.X dan Y adalah nilai decimal degree koordinat pada sb.Y.

  • g)    Data Pendukung

Data pendukung terdiri dari data angin, data angin yang digunakan untuk mendapatkan arah dan kecepatan angin pada lokasi penelitian didapatkan dari data prediksi harian Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika yang diunduh melalui laman dataonline.bmkg.go.id. Data angin diperlukan untuk peramalan gelombang. Data angin yang digunakan adalah data angin dengan periode waktu 30 tahun, mulai tahun 1991 sampai dengan tahun 2019 yang diperoleh dari Stasiun Badan Meteorologi I Gusti Ngurah Rai. Data angin yang diunduh adalah data kecepatan angin harian rata-rata dan data arah angin terbanyak. Arah angin kemudian dinyatakan dalam 8 penjuru arah angin (utara, timur laut, timur, tenggara, selatan, barat daya, barat dan barat laut) dalam bentuk mawar angin (windrose).

  • h)    Analisis Data

Perhitungan perubahan garis pantai dilakukan menggunakan plug-in software ArcGIS berupa DSAS. Statistik pada DSAS

JMRT, Volume 4 No 2 Tahun 2021, Halaman: 29-36 yang digunakan untuk menghitung perubahan garis pantai pada penelitian ini adalah Net Shoreline Movement (NSM) dan End Point Rate (EPR). Metode NSM yang mengukur jarak perubahan garis pantai berdasarkan transek yang memotong 2 garis pantai dan metode EPR yang menghitung laju perubahan garis pantai dengan membagi jarak antara garis pantai dengan waktunya. Rumus masing-masing statistik pada DSAS adalah sebagai berikut :

NSM = Selisih jarak antara garis pantai tertua dan terbaru di setiap transek

waktu antara garis pantai tertua dan terbaru

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Kecamatan Tejakula merupakan satu dari

(6)

(7)


Sembilan


kecamatan di Kabupaten Buleleng. Panjang ruas pantai mencapai 27,3 km yang merupakan garis pantai kedua terpanjang di Kabupaten Buleleng. Pemanfaatan kawasan Kecamatan Tejakula menurut Peraturan Daerah Kabupten Buleleng tahun 2013 dimana, wilayah pesisir Kecamatan Tejakula dikembangkan untuk berbagai kegiatan ekonomi seperti budidaya rumput laut, tambak garam dan penangkapan ikan hias dan wisata bahari. Selain itu, pantai di Kecamatan Tejakula dimanfaatkan sebagai kawasan suci. Wilayah perbukitannya dimanfaatkan sebagai hutan lindung dan perkebunan tanaman hortikultura.



Gambar 2. Pantai di Kecamatan Tejakula

Kecamatan Tejakula memiliki karakteristik pantai berbatu dan sedikit berpasir yang berwarna hitam. Hal ini diakibatkan dari proses vulkanik. Pantai berpasir hitam umumnya disebabkan oleh pelapukan batuan yang mengandung tanah alluvial (Astiti, Osawa, dan Nuarsa, 2019). Jika melihat peta geologi lembar Bali yang dibuat oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, karakteritstik substrat wilayah penelitian terdiri dari Batuan Alluvium (kerakal, kerikil, pasir, lanau dan lempung; sebagai endapan di pantai), Batuan Gunungapi Batukau, Batuan Gunungapi Batur, dan Batuan Gunungapi Kelompok Buyan-Bratan Purba (seperti breksi, lava, dan tuff).

  • 3.2    Pengolahan Citra

Metode ekstraksi garis pantai yang telah dilakukan dapat dilihat pada Gambar 3 dan Gambar 4. Formula band ratio pengembangan oleh Winarso dan Budiman (2001) pada studi kasus penelitian ini dapat mendeteksi garis pantai yang tertutup batu, sedikit berpasir dan vegetasi yang ada di sepanjang pantai Kecamatan Tejakula. Komposit RGB true color juga dilakukan untuk membantu mendeteksi garis pantai secara visual. Hasil perhitungan confusion matrix didapatkan nilai akurasi sebesar 96%.

SPOT 4 2007



Gambar 3. Hasil band ratio citra satelit SPOT

Landsat 5 1995


Landsat 8 2019


menghasilkan akurasi geometri paling rendah pada citra satelit SPOT.

  • 3.3    Kecepatan dan Arah Angin di Lokasi Penelitian

Hasil pengolahan data angin yang diperoleh dari website Badan Meteorologi Klimatologi dan Geosfisika menunjukkan kecepatan dan arah angin. Kecepatan dan arah angin ini akan digunakan guna mengetahui arah dominan angin, pembangkit gelombang dan analisa angkutan sedimen. Hasil rekapitulasi data angin dari tahun 1991 - 2019 ditampilkan dalam mawar angin yang kemudian dibedakan berdasarkan musim. Kecepatan dan arah angin selama 30 tahun dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 4. Hasil band ratio citra satelit Landsat

Hasil koreksi garis pantai terhadap pasang tertinggi (HHWL) dapat dilihat pada Tabel 6, berdasarkan nilai pergeseran garis pantai (x) menunjukkan bahwa garis pantai data citra perlu digeser menjorok ke daratan. Hal ini terjadi karena perekaman citra pada saat surut dan juga kemiringan dasar pantai yang landai.


Tabel 6. Koreksi pasang surut

Citra

HHWL (m)

d (m)

m (m)

η (m)

β C)

X (m)

SPOT 4/ HRVIR

1,7

2

80

0,11

0,08

-19,8

SPOT 6/

1,2

2

26

0,83

0,08

-4,6

NAOMI

Landsat 5/ TM

1,4

2

55

0,6

0,04

-20

Landsat 8/ OLI-

1,5

2

32

0,13

0,06

-22,83

TIRS


(a)

(c)


(b)

(d)


Dari hasil pengolahan data citra satelit yang telah dikoreksi pasang surut, langkah selanjutnya adalah menguji akurasi posisi garis pantai hasil interpretasi citra. Hal ini membutuhkan data lapangan yang digunakan untuk menghitung RMSE horizontal menggunakan persamaan. Keunggulan masing-masing citra satelit dalam ekstraksi garis pantai diketahui dari akurasi yang tinggi (RMSE rendah).

Tabel 7. Hasil uji akurasi

No

Citra Satelit

RMSEr

1

SPOT 4/ HRVIR

0,00079

2

SPOT 6/ NAOMI

0.00024

3

Landsat 5/ TM

0.00421

4

Landsat 8/ OLI-TIRS

0.00142

Dari tabel diatas RMSE data citra SPOT lebih kecil dibandingkan RMSE data citra Landsat. Hal ini dikarenakan resolusi spasial yang dimiliki dimana citra SPOT memiliki resolusi 10 m dan citra Landsat memiliki resolusi 30m. NIlai RMSE menunjukkan ketelitian posisi garis pantai yang mengacu pada perbedaan koordinat di lapangan dengan pada peta. Semakin rendah nilai RMSE, maka semakin teliti. Dengan menghitung akurasi geometri garis pantai menggunakan metode Winarso (2001) menggunakan citra Landsat dan citra SPOT (dalam RMSE) lalu dikonversi ke dalam ketelitian horizontal (CE90)

WINDSPEED (m/s)

I >=11.10 _| a so-11.10 I I 5.70-8.80 ■ 3.60-5.70 □ 210-3.60 H 0 50-2.10

(e)

Gambar 5. Windrose Angin di Area Penelitian Keterangan : (a) Musim Hujan (DJF), (b) Musim Peralihan I (MAM), (c) Musim Kemarau (JJA), (d) Musim Peralihan II (SON), (e) Kecepatan dan Arah Angin tahun 1991 hingga 2019.

Pada musim hujan (Desember-Februari) 64,27% arah angin dominan berasal dari arah barat dengan persentase kecepatan yang melibih 10 knots adalah 68,9%. Pada musim peralihan I (Maret-Mei) 42,80% arah angin dominan berasal dari arah barat, 28,7% berasal dari arah timur, dan 11,7% berasal dari tenggara. Kecepatan angin pada musim ini yang melibihi 10 knots 66,1%. Pada musim peralihan II (September-November), 15,97% arah angin berasal dari barat, 30,40% berasal dari arah timur dan 39,9% berasal dari arah tenggara. Kecepatan angin pada musim ini yang lebih dari 5 m/s adalah 65,7%. Pada musim kemarau (Juni-Agustus) angin berasal dari arah timur (43,53%) dan tenggara (39,5%). Kecepatan pada musim kemarau yang melibihi 10 knots adalah 66,7%.

  • 3.4    Perubahan Garis Pantai

Perubahan garis pantai di Kecamatan Tejakula diamati menggunakan dua citra satelit yang berbeda karateristiknya. Pengamatan variasi garis pantai menggunakan citra satelit Landsat dilakukan selama 24 tahun (1995 – 2019), sedangkan pengamatan variasi garis pantai menggunakan citra satelit SPOT dilakukan selama 12 tahun (2007 – 2019). Penggunaan dua citra satelit dengan karakteristik berbeda bertujuan untuk melihat variasi garis pantai pada skala spasial dan temporal yang berbeda. Perbandingan panjang garis pantai antar citra yang digunakan ditunjukkan dalam Tabel 8.

Gambar 6. Peta perubahan garis pantai signifikan

Melalui citra Landsat, dapat dilihat variasi garis pantai selama 24 tahun (1995 – 2019). Dalam rentang waktu 24 tahun tersebut, garis pantai di sebagian area mengalami akresi tetapi ada beberapa lokasi yang mengalami akresi. Dilihat dari panjang garis pantai antar citra diketahui bahwa garis pantai semakin berkurang dalam kurun waktu 24 tahun. Begitu juga jika dilihat melalui citra SPOT, dapat dilihat variasi garis pantai selama 12 tahun (2007 – 2019). Dalam rentang 12 tahun tersebut, garis pantai di sebagian Kecamatan Tejakula cenderung mengalami abrasi juga, tetapi tidak ada lokasi yang mengalami akresi. Adapun garis pantai yang berubah signifikan dapat dilihat pada Gambar 6.

Berdasarkan pengolahan data citra satelit SPOT dan citra satelit Landsat dari Tabel 8 menunjukkan bahwa garis pantai semakin berkurang dalam kurun waktu 24 tahun maupun 12 tahun. Tabel 9 menunjukkan rangkuman hasil statistik laju (EPR)

JMRT, Volume 4 No 2 Tahun 2021, Halaman: 29-36 dana perubahan garis pantai rata-rata per desa dari dua citra satelit yang berbeda.

Tabel 8. Perbandingan panjang garis pantai

No

Sumber

Tahun

Resolusi

Panjang

Data

Akuisisi

Spasial (m)

Garis Pantai

(km)

1

SPOT 4/ HRVIR

2007

10

27,07

2

SPOT 6/ NAOMI

2019

10

26,86

3

Landsat 5/

TM

1995

30

26

4

Landsat 8/ OLI-TIRS

2019

30

25,41

Tabel 9. Hasil statistik laju dan perubahan garis pantai

Nama Desa

SPOT

Landsat

EPR (m/thn)

NSM (m)

EPR (m/thn)

NSM (m)

Pacung

-1.50

-17.98

-0.33

-8.04

(Alasari)

Sembiran

-1.18

-14.14

-0.79

-18.85

Pacung

-1.05

-12.57

-1.30

-31.13

Julah

-1.51

-18.07

0.26

6.19

Bondalem

-0.92

-11.03

0.26

6.21

Tejakula

-0.07

-0.83

0.60

14.29

Les

-0.83

-9.91

-0.41

-9.79

Penuktukan

-0.82

-9.79

-0.34

-8.15

Sambirenteng

-0.27

-3.27

-0.07

-1.59

Tembok

-0.76

-9.09

0.38

9.00

Rata-rata

-0.89

-10.67

-0.17

-4.19

Dilihat dari Tabel 9 diketahui bahwa dalam kurun waktu 2007-2019 dan 1995-2019 telah terjadi perubahan garis pantai yang bersifat abrasi sebesar -10,67 m dengan laju abrasi 0,89 m/thn dan -4,19 m dengan laju abrasi 0,17 m/thn. Menurut (Wicaksono & Winastuti, 2020) pesisir Buleleng mengalami perubahan garis pantai akibat adanya proses fisik dan non fisik. Jika dilihat dari hasil pengolahan data angin dalam kurun waktu 30 tahun (1991-2019), kecepatan angin bisa mencapai 30 m/s. Angin berhembus didominasi oleh angin bertiup dominan dari arah Barat (25,28%), Timur (36,48%), dan Tenggara (25,5%).

Angin merupakan penyebab utama terbentuknya gelombang, angin yang kecepatannya lebih dari 10 knots atau 5 m/s mampu membangkitkan gelombang (Baharudin, 2009). Kecepatan angin yang melibihi 10 knots atau 5 m/s sebesar 65,9%. Faktor hidromika ini (angin, arus, gelombang) mampu memindahkan sedimen yang tersusun. Angin merupakan penyebab utama terbentuknya gelombang, Gelombang yang terbentuk kemudian pecah di daerah pantai akan membangkitakan arus susur pantai (longshore current) maupun arus tolak pantai (rip current) tergantung dari arah angin dominan (Dahuri, 2001; Purba dan Jaya, 2004). Arus inilah yang berfungsi sebagai media transportasi sedimen dan kemudian akan mmebentuk karakteristik pantai.

Secara geologi dilihat dari Peta Geologi Lembar Bali, Kecamatan Tejakula tersusun dari substrat aluvium (kerakal, kerikil, pasir, lanau dan lempung; sebagai endapan di pantai), batuan Gunungapi Batukau, batuan gunungapi batur, dan batuan gunungapi kelompok buyan-bratan purba (seperti breksi, lava, dan tuff). Kondisi geologi ini menyebabkan tanah pada wilayah penelitian lebih lunak dan bersifat lepas.

Pada penelitian Ardika (2000) wilayah Tejakula mengalami proses abrasi, khususnya di Desa Bondalem yang kurang lebih mencapai 1 m/thn. Fenomena abrasi tersebut diyakini menjadi penyebab terbawanya fragmen gerabah, logam dan juga rangka manusia hasil ekskavasi dekat Pura Sasahan berada di tepi pantai. Sumerata et al., (2017) juga meyakini adanya perubahan situs menjadi situs bawah air di Desa Bondalem disebabkan oleh proses abrasi. Berdasarkan hal tersebut, hasil penelitian ini dapat memperkuat asumsi yang dinyatakan oleh Ardika dan Sumerata. Jika pada penelitian tahun 2000 laju perubahan mencapai kurang lebih 1 m/thn dan bersifat abrasi, penelitian tahun 2019 menghasilkan jawaban yang serupa yaitu perubahan yang bersifat abrasi dengan laju 0,89 m/thn hasil pengolahan citra satelit SPOT dan 0,17 m/thn hasil pengolahan citra Landsat.

Perubahan garis pantai dengan laju kurang lebih 1 m/thn dapat merusak tinggalan arkeologi mengingat ukuran benda yang tidak besar dan dominan berupa pecahan. Berikut merupakan bentuk fisik benda arkeologi yang ditemukan di Desa Pacung oleh I Made Suastika (2008).

Perubahan garis pantai penelitian terdahulu dilakukan oleh Aryastana et al., (2017) menerangkan bahwa interval tahun 20092015 wilayah pesisir seluruhnya mengalami abrasi di Kabupaten Buleleng dengan rata-rata perubahan 8,46 m. Wicaksono dan Winastuti (2019) mendapati perubahan garis pantai di sebagian Kabupaten Buleleng cenderung mengalami akresi, tetapi ada beberapa lokasi yang mengalami abrasi masif. A. Putra, Husrin, & Ridwan (2013) menyatakan dari penelitiannya tentang analisa perubahan garis pantai di wilayah timur laut Bali umumnya terjadi fenomena abrasi di sepanjang pantai timur laut Bali.

Gambar 5. Serpihan dan bilah dari benda arkeologi

Perubahan garis pantai baik yang bersifat abrasi maupun akresi telah terjadi di pesisir Buleleng. Substrat daerah pantai di bagian utara Bali (Kabupaten Buleleng hingga Desa Kubu Tambahan) yang merupakan endapan alluvial hasil aktivitas gunung berapi secara umum mudah terlepas. Faktor hidrodinamika seperti arus, angin dan gelombang yang besar terjadi di bagian utara Bali sehingga mampu membawa dan mendeposisikan material substrat daerah pantai. Alih fungsi lahan di wilayah pesisir juga merupakan salah satu faktor perubahan garis pantai.

  • 4.    Kesimpulan

Berdasarkan dari hasil dan pembahasan yang telah diperoleh dari penelitian ini, kesimpulan yang dapat diambil adalah:

  • 1.    Perubahan garis pantai di Kecamatan Tejakula dalam kurun waktu 12 tahun berdasarkan citra SPOT

didapatkan perubahan yang bersifat abrasi sebesar 10,67 m. Sedangkan berdasarkan citra Landsat didapatkan perubahan garis pantai dalam kurun waktu 24 tahun yang bersifat abrasi sebesar 4,19 m

  • 2.    Laju perubahan garis pantai di Kecamatan Tejakula dalam kurun waktu 12 tahun berdasarkan citra SPOT sebesar 0,89 m/thn dan bersifat abrasi. Sedangkan, berdasarkan citra Landsat sebesar 0,17 m/thn dan bersifat abrasi dalam kurun waktu 24 tahun.

Ucapan Terima Kasih

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional yang telah memberikan data citra dan membantu dalam proses pengolahan data. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses pembuatan artikel ini.

Daftar Pustaka

Alesheikh, A. A., Ghorbanali, A., & Nouri, N. (2007). Coastline change detection using remote sensing. International Journal of Environmental Science and Technology, 4(1), 61–66.

https://doi.org/10.1007/BF03325962

Ardika, I. W. (2000). Archeological Reseaarch at Bondalem, Northeastern Bali. Indo Pacific Prehistory Association Bulletin 19, 81–83.

Ardika, I. W., & Bellwood, P. (1987). Sembiran : the beginnings of Indian contact with Bali. Antiquity, 65, 221–232.

Aryastana, P., Aedantha, I. M., Nugraha, A. E., & Candrayana, K. W. (2017). Coastline Changes Analysis In Buleleng Regency By Using Satellite Data. In W. U. Press (Ed.), Sustainability Design and Culture (pp. 106– 113). Denpasar.

Astiti SPC, Osawa T, and Nuarsa IW. 2019. Identification of Shoreline Changes Using Sentinel 2 Imagery Data in Canggu Coastal Area. ECOTROPHIC : Jurnal Ilmu Lingkungan (Journal of Environmental Science), 13(2), 191.

Badan Informasi Geospasial. (2014). Peraturan Kepala BIG Nomor 15 Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis Ketelitian Peta Dasar. Badan Informasi Geospasial. Bogor.

Boak, E. H., & Turner, I. L. (2005). Shoreline Definition and Detection : A Review. Journal of Coastal Research, 688–703.

https://doi.org/10.2112/03-0071.1

Chan, P., & Acharya, P. (2010). Shoreline change and sea level rise along coast of Bhitarkanika wildlife sanctuary, Orissa: An analytical approach of remote sensing and statistical techniques Title. International Journal Geom & Geos, 1(3), 436–455.

Cracknell, A. P. (1999). Remote sensing techniques in estuaries and coastal zones—An update. International Journal of Remote Sensing, 20(3), 485– 496. https://doi.org/10.1080/014311699213280

Dahuri, R. (2001). Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta: PT. Pradnya Paramitha.

Darmiati, Nurjaya, I. W., S, A., & Atmadipoera. (2020). Analisis Perubahan Garis Pantai di Wilayah Pantai Barat Kabupaten Tanah Laut Kalimantan Selatan. Jurnal Ilmu Dan Teknologi Kelautan Tropis, 12(1), 211–222.

Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Buleleng. (2014). Profil Investasi Perikanan dan Kelautan Kabupaten Buleleng Tahun 2014. Retrieved from http://repositorio.unan.edu.ni/2986/1/5624.pdf

Guo, Y., & Zeng, F. (2012). Atmospheric Correction Comparison of Spot-5 Image Based on Model Flaash and Model Quac. ISPRS - International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, XXXIX-B7(September), 7–11.

https://doi.org/10.5194/isprsarchives-xxxix-b7-7-2012

Halim, H., Halili, H., & Afu, L. (2016). Studi Perubahan Garis Pantai Dengan Pendekatan Penginderaan Jauh Di Wilayah Pesisir Kecamatan Soropia. Jurnal Sapa Laut (Jurnal Ilmu Kelautan), 1(1), 24–31.

Han, J., & Kamber, M. (2001). Data Mining: Concepts and Techniques.

https://doi.org/10.1051/rnd:19810112

Hendrik, B. S. (2016). Prinsip-prinsip Pembangunan Berkelanjutan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir. Jurnal Hukum Unsrat, 22(7), 1–7.

Kasim, F., & Salam, A. (2016). Identifikasi Perubahan Garis Pantai Menggunakan Citra Satelit serta Korelasinya dengan Penutup Lahan di Sepanjang Pantai Selatan Provinsi Gorontalo Identifikasi Perubahan Garis

Pantai Menggunakan Citra Satelit serta Korelasinya dengan Penutup Lahan di Sep. Jurnal Ilmiah Perikanan Dan Kelautan, 3(August 2019), 160– 167. https://doi.org/10.13140/RG.2.1.5108.0724

Kasim, F., & Siregar, V. P. (2012). Penilaian Kerentanan Pantai menggunakan Metode Integrasi CVI-MCA Studi Kasus Pantai Indramayu. Forum Geografi, 26(1), 65. https://doi.org/10.23917/forgeo.v26i1.5051

Kaufman, Y. J., Wald, A. E., Remer, L. A., Gao, B. C., Li, R. R., & Flynn, L. (1997). MODIS 2.1-μm channel - correlation with visible reflectance for use in remote sensing of aerosol. IEEE Transactions on Geoscience and Remote Sensing, 35(5), 1286–1298. https://doi.org/10.1109/36.628795

Prasita, V. (2015). Determination of Shoreline Changes from 2002 to 2014 in The Mangrove Conservation Areas of Pamurbaya using GIS. Procedia Earth and Planetary Science, 14, 25–32.

Purba, M., & Jaya, I. (2004). Analysis of Coast Line and Land Use Coverage Changes between Way Penet and Way Sekampung, Kabupaten Lampung Timur. Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan Dan Perikanan Indonesia, 11(2), 109– 121.

Putra, A., Husrin, S., & Ridwan, N. N. H. (2013). Analisa perubahan garis pantai di pesisir timur laut bali dengan menggunakan dataset penginderaan jauh (studi kasus lokasi situs kapal usat liberty, tulamben).

Putra, A., Husrin, S., Tanto, T. Al, Pratama, R., & Barat, S. (2015).

Kerentanan Pesisir Terhadap Perubahan Iklim Di Timur Laut Provinsi Bali. 43–50.

Setiyono, H. (1996). Kamus Oseanografi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Suastika, I. W. (2008). Traces of Human Life Style from the Palaeolithic Era to the Beginning of the First Century AD. In B. Hauser-Schaublin & I. W. Ardika (Eds.), Burials, Texts, and Rituals (1st ed., pp. 159–171).

Universitatsverlag Gottingen.

Sumerata, W., Keling, G., Hidayah, A. R., & Balai Arkeologi Bali. (2017). Potensi Sumberdaya Arkeologi Maritim di Pesisir Pantai Tejakula, Buleleng, Bali. Berkala Arkeologi Sangkhakala, 20(1), 66–78.

Vita, Astiti, N. K. A., & Sudiono. (2006). Berita penelitian arkeologi no. 51. (51).

Wicaksono, A., Wicaksono, P., Khakhim, N., Farda, N. M., & Marfai, M. A. (2018). Tidal Correction Effects Analysis on Shoreline Mapping in Jepara Regency. Journal of Applied Geospatial Information, 2(2), 145–151. https://doi.org/10.30871/jagi.v2i2.981

Wicaksono, A., & Winastuti, R. (2020). Kajian Morfodinamika Pesisir dan Kerawanan Abrasi Di Kabupaten Buleleng , Provinsi Bali. Seminar Nasional Pengelolaan Pesisir Dan Daerah Aliran Sungai K-5, (February).

Winarso, G., Judijanto, & Budhiman, S. (2001). The Potential Application Remote Sensing Data for Coastal Study. The 22nd Asian Conference on Remote Sensing, 42(3), 196.

36