Kajian Pengembangan Budidaya Ikan Kerapu dan Rumput Laut di Perairan Timur Pulau Serangan
on
JMRT, Volume 2 No 2 Tahun 2019, Halaman: 1-5
JMRT
JOURNAL OF MARINE RESEARCH AND TECHNOLOGY
journal homepage: https://ojs.unud.ac.id/index.php/JMRT
ISSN: 2621-0096 (electronic); 2621-0088 (print)
Kajian Pengembangan Budidaya Ikan Kerapu dan Rumput Laut di Perairan Timur Pulau Serangan
Septiana Novita Saria, I Dewa Nyoman Nurweda a*, Elok Faiqoha, I Nyoman Giri Putraa
a Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Udayana, Bali, Indonesia
-
*Corresponding author, email:nurweda14@unud.ac.id
ARTICLE INFO ABSTRACT
Article history:
Received: July 23th 2018
Received in revised form: December 4th 2018
Accepted: December 21th 2018
Available online: August 5th 2019
Keywords: Conformity Grouper Fish Seaweed
Grouper and seaweed are Indonesian fishery export commodities. One of the regions contributing to the production of groupers and seaweed is the northern waters of Serangan, Bali. However, over the past few years, the production of groupers and seaweed in the northern waters of Serangan has decreased. With these conditions, an effort is needed to increase the production of grouper and seaweed more optimally. One of these efforts is the expansion of area for the development of grouper and seaweed aquaculture in other places, because at present in the northern waters of the attack the condition is not conducive due to the dense sea traffic activities. One place to be used as a place to develop grouper and seaweed aquaculture is the eastern waters of Serangan because it is not too busy with sea traffic activities in the region. To see the potential of the eastern waters of Serangan, it is necessary to study the physical, chemical and biological parameters of these waters. Through the study of these water parameters, it aims to find suitable locations for the development of grouper aquaculture and the development of seaweed cultivation in terms of water quality. The results showed that, in the eastern and northern waters of Serangan, are 60% and 65.21% respectively of the condition of the waters is quite suitable to support the development of grouper aquaculture. Whereas, in the eastern waters of Serangan Island, at the north and central parts, about 64.8% of the condition of the waters is quite appropriate to support the development of seaweed cultivation. Suggestions that can be given through this research is that an economic and socio-cultural review is needed in the eastern waters area of Serangan as a place for developing grouper and seaweed aquaculture.
2019 JMRT. All rights reserved.
Salah satu komoditas ekspor perikanan Indonesia adalah ikan kerapu (Kusumawati et al, 2013), yakni harga ekspor ikan kerapu di Indonesia pada tahun 2018 adalah $ 13.2/kg, dimana selama 4 tahun terakhir, jumlah ekspor ikan kerapu di Indonesia mencapai 5.32 % dari total produksi sebesar 16.8 ton/tahun (Tridge, 2018). Selain komoditas ekspor, ikan kerapu termasuk sebagai komoditas masyarakat lokal (Nusabali, 2017). Komoditas perikanan utama lainnya adalah rumput laut dimana selama 5 tahun terakhir nilai ekspor rumput laut mengalami peningkatan sebesar 6.02 %/tahun (KKP-RI, 2018). Permintaan pasar rumput laut yang terus meningkat, berpeluang untuk Indonesia dalam memanfaatkan potensi produksi rumput laut yang lebih intensif (Hasni, 2015).
Pulau Serangan termasuk dalam wilayah Denpasar selatan yang strategis untuk melakukan pengembangan budidaya laut, dimana pada dasarnya perairan utara Serangan sudah dimanfaatkan masyarakat sebagai tempat budidaya ikan kerapu dan rumput laut. Berdasarkan data dari dinas perikanan kelautan tahun 2018 bahwa produksi ekspor ikan kerapu di provinsi Bali didapatkan, bahwa periode bulan Juli 2015 sebesar 146.48 ton telah mengalami penurunan pada periode juli 2016 sebesar 58.63
ton, sedangkan produksi rumput laut selama periode 2013 - 2015 mengalami penurunan yaitu dari 175 ton menjadi 129 ton. Berdasarkan survei lapangan, bahwa perairan utara Serangan utara sebagai tempat penghasil ikan kerapu dan rumput laut, mengalami kondisi yang tidak kondusif.
Menurut Ernawati et al (2016) menyatakan bahwa adanya aktivitas yang padat lalu lintas laut menjadikan perairan utara Serangan kurang sesuai untuk pengembangan budidaya laut. Dengan adanya hal tersebut, maka perlu dilakukan penelitian eksplorasi untuk melihat potensi lokasi budidaya khususnya ikan kerapu dan rumput laut di tempat yang berbeda. Salah satu tempat yang memiliki potensi untuk dikembangkan adalah perairan timur Serangan. Berdasarkan survei lapangan bahwa perairan timur Serangan memiliki kondisi tidak padat aktivitas masyarakat seperti tempat berlabuh kapal dan letaknya strategis yakni akses jalan mudah. Menurut Arthana et al (2012) menyatakan bahwa Pulau Serangan memiliki sumber daya fisik yang spesifik untuk pengembangan budidaya ikan kerapu ataupun rumput laut.
Dengan adanya latar belakang tersebut, maka dibutuhkan penelitian yang berkaitan dengan pencarian lokasi untuk pengembangan budidaya ikan kerapu dan rumput laut di perairan
timur Pulau Serangan ditinjau dari kesesuaian parameter fisika, kimia dan biologi perairan di perairan timur Pulau Serangan.
Pengukuran data lapangan di perairan timur Pulau Serangan dilakukan pada tanggal 27 Februari dan 2 Maret 2018, pada dua hari sebelum purnama dan dua hari setelah purnama, yakni pada saat tersebut kondisi perairan mengalami kondisi pasang yang tinggi dan surut yang rendah, sehingga pengukuran data tersebut dapat mewakili keadaan dikondisi ekstrim dan data yang didapatkan dapat mewakili pada kondisi waktu yang lainnya.
-
2.2. Alat Penelitian
Alat penelitian ini meliputi tali ukur, secchi disk, water checker, lagrarian, kertas pH, refraktometer, dissolve oksigyen (DO), plankton net, global positioning system (GPS), alat dasar selam, kertas whatman dan spektofotometer.
-
2.3. Pelaksanaan Penelitian
-
2.3.1. Pelaksanaan Penentuan Pengambilan Titik
-
Penentuan wilayah sangat berperan penting dalam pemilihan lokasi budidaya ikan kerapu dan rumput laut. Penelitian ini dilakukan di perairan timur Serangan, dalam penelitian ini dibagi menjadi 3 lokasi yaitu lokasi A di sebelah utara, lokasi B di sebelah tengah, dan lokasi C di sebelah selatan. Perairan Serangan bagian barat tidak dijadikan sebagai tempat penelitian karena daerah tersebut, terlalu padat aktivitas manusia. Menurut Putra (2010) bahwa perairan barat Serangan dekat dengan sumber bahan limbah pencemar dari bahan bakar kapal dan industri ikan. Dengan latar belakang tersebut, maka pada penelitian ini dilakukan di perairan timur Serangan (Gambar 1).
JIWHHH_________llii∣m∣WE_________HSiElUWf_________IiWSJWL
Gambar 1. Peta lokasi penelitian
Pembagian ketiga lokasi berdasarkan kemungkinan pengaruh sumber zat hara yaitu Lokasi A tidak padat dengan aktivitas manusia, Lokasi B bersebelahan dengan Teluk dan Lokasi C bersebelahan dengan teluk Benoa. Selain itu, wilayah perairan Serangan ini termasuk dalam wilayah perlintasan kapal dari teluk Benoa (Sudiarta et al, 2013). Menurut Putra (2017) bahwa
adanya aktivitas kapal, berpengaruh terhadap parameter arus laut dan berpengaruh terhadap penyebaran zat hara di perairan.
-
2.3.2. Pengukuran Data Lapangan
Data yang diambil meliputi data nitrat, fosfat, kepadatan fitoplankton, kecepatan arus, kedalaman perairan, total suspended solis (TSS), total kadar oksigen, pH perairan, salinitas, material dasar perairan, suhu perairan dan kecerahan perairan. Adapun parameter yang dianalisis lebih lanjut, diantaranya:
-
a. Kecepatan arus
Analisis data kecepatan arus digunakan rumus pada persamaan 1 (Kreyzig, 1993), sebagai berikut:
v — s/t (1)
Keterangan:
v = Kecepatan arus (m/dt) s = Jarak tempuh (m)
t = Waktu tempuh (dt)
-
b. Fitoplankton
Untuk menghitung dan mengidentifikasi kelimpahan
fitoplankton, berpedoman pada Yamaji (1976) yaitu dengan
menggunakan persamaan 2.

( 2)
Keterangan:
N = Kelimpahan individu fitoplankton (Individu/l)
Z = Jumlah individu fitoplankton
X = Volume air sampel yang tersaring (40 ml)
Y = Volume 1 tetes air (0.06 ml)
V = Volume air yang disaring (100 l)
-
c. TSS (Total Suspended Solid)
Perhitungan TSS menggunakan rumus dari APHA (1989) yaitu
dengan menggunakan persamaan 3.
- ^-B)^10<>l>
TSS =-------mg/l
Keterangan:
A = Berat kertas saring dan residu setelah pemanasan (mg)
B = Berat kering filter (mg)
V = Volume sampel air laut (ml)
-
2.3.3. Analisis Parameter yang diperoleh dari Lapangan
Dari pengukuran parameter fisika, kimia dan biologi perairan yang didapatkan pertitik tersebut, selanjutnya setiap parameter dirata-ratakan yaitu data dari titik 1 dan 2 dirata-ratakan menjadi satu hasil menjadi hasil lokasi A, titik 3 dan 4 menjadi satu hasil lokasi B, titik 5 dan 6 menjadi satu hasil lokasi C. Perataan tersebut didukung dengan perhitungan standar deviasi yang berfungsi untuk mengetahui tingkat homogen dari data yang diperoleh. Standar deviasi menggunakan rumus Sudjana (2016) yaitu menggunakan persamaan 4.
(4)
Keterangan:
Xi = Nilai subyek ke-i
X2 = Nilai rataan dari seluruh subyek n = Jumlah data
-
2.4. Waktu dan Tempat
-
2.4.1. Penilaian Parameter Fisika, Kimia dan Biologi Perairan
-
Hasil perataan setiap parameter, selanjutnya dimasukkan kedalam penilaian skoring untuk masing masing budidaya.
Tabel 1. Penilaian paremeter fisika, kimia dan biologi untuk budidaya ikan kerapu.
Variabel |
Kisaran |
Nilai (A) ket 1 |
Bobot (B) ket 2 |
Skor (A x B) ket 3 |
Kecepatan |
20 - 50 |
5 |
3 |
15 |
Arus (cm/dt) |
10 - 19 & 51 - 75 |
3 |
9 | |
< 10 & > 75 |
1 |
3 | ||
TSS |
< 25 |
5 |
3 |
15 |
(mg/l) |
26 - 50 |
3 |
9 | |
> 50 |
1 |
3 | ||
Kedalaman |
15 - 25 |
5 |
3 |
15 |
Perairan (m) |
5 - 15 & 26 - 35 |
3 |
9 | |
< 5 & > 35 |
1 |
3 | ||
Material Dasar |
Berpasir/pecahan karang |
5 |
2 |
10 |
Perairan |
Pasir berlumpur |
3 |
6 | |
Lumpur |
1 |
2 | ||
Oksigen |
> 6 |
5 |
2 |
10 |
Terlarut (mg/l) |
4 - 6 |
3 |
6 | |
< 4 |
1 |
2 | ||
Kecerahan |
> 5 |
5 |
2 |
10 |
Perairan (m) |
3 - 5 |
3 |
6 | |
< 3 |
1 |
2 | ||
Suhu Perairan |
28 - 30 |
5 |
2 |
10 |
25 - 27 & 31 - 32 |
3 |
6 | ||
< 25 & > 35 |
1 |
2 | ||
Salinitas (ppt) |
30 - 35 |
5 |
2 |
10 |
20 - 29 |
3 |
6 | ||
< 20 & > 35 |
1 |
2 | ||
Kepadatan |
>15.000 & < 5x10 5 |
5 |
1 |
5 |
Fitoplankton |
2.000 - 15.000 & 5x105 |
3 |
3 | |
(sel/l) |
< 2.000 & > 106 |
1 |
1 | |
pH |
6.5 - 8.5 |
5 |
1 |
5 |
4 - 6.4 & 8.5 - 9 |
3 |
3 | ||
< 4 & > 9.5 |
1 |
1 | ||
Fosfat (mg/l) |
0.2 - 0.5 |
5 |
1 |
5 |
0.6 - 0.7 |
3 |
3 | ||
< 0.2 & > 0.8 |
1 |
1 | ||
Nitrat (mg/l) |
0.9 - 3.2 |
5 |
1 |
5 |
0.7 - 0.8 & 3.3 - 3.4 |
1 |
3 | ||
< 0.7 & > 3.4 |
1 | |||
Total Skor Nilai Tertinggi |
125 |
Sumber: Kangkan (2006). Keterangan:
-
1. Angka penilaian berdasarkan petunjuk DKP (2002), yaitu 5: baik, 3: sedang dan 1: kurang.
-
2. Nilai bobot berdasarkan pertimbangan pengaruh variabel dominan terhadap budidaya yang dilakukan melalui kajian
pustaka dan diskusi ekspert yang di analisis melalui SPSS dan selanjutnya dikorelasi menggunakan petunjuk Sudjana (2016).
-
3. Skor adalah Σ = A x B
Tabel 2. Penilaian parameter fisika, kimia dan biologi untuk budidaya rumput laut.
Variabel |
Kisaran |
Nilai (A) ket1 |
Bobot (B) ket 2 |
Skor (A x B) ket 3 |
Fosfat |
0.2 - 0.5 |
5 |
3 |
15 |
(mg/l) |
0.1 - 0.2 & 0.5 - 1 |
3 |
9 | |
< 0.1 & > 1 |
1 |
3 | ||
Nitrat |
0.9 - 3.2 |
5 |
3 |
15 |
(mg/l) |
0.7 - 0.8 & 3.3 - 3.4 |
3 |
9 | |
< 0.7 & > 3.4 |
1 |
3 | ||
Kedalaman |
1 - 10 |
5 |
3 |
15 |
Perairan (m) |
11 - 15 |
3 |
9 | |
< 1 & > 15 |
1 |
3 | ||
Kecerahan |
> 3 |
5 |
3 |
15 |
Perairan (m) |
1 - 3 |
3 |
9 | |
< 1 |
1 |
3 | ||
Kecepatan |
20 - 30 |
5 |
3 |
15 |
Arus (cm/dt) |
10 - 20 & 30 - 40 |
3 |
9 | |
< 10 & > 40 |
1 |
3 | ||
TSS |
< 25 |
5 |
2 |
10 |
(mg/l) |
25 - 50 |
3 |
6 | |
> 50 |
1 |
2 | ||
Salinitas (ppt) |
22 - 34 |
5 |
2 |
10 |
30 - 32 |
3 |
6 | ||
< 20 & > 30 |
1 |
2 | ||
Suhu Perairan |
24 - 30 |
5 |
2 |
10 |
(0C) |
20 - 24 |
3 |
6 | |
< 20 & > 30 |
1 |
2 | ||
Material Dasar |
Karang |
5 |
1 |
5 |
Perairan |
Pasir |
3 |
3 | |
Pasir/Berlumpur |
1 |
1 | ||
Kepadatan |
>15.000 & < 5x10 5 |
5 |
1 |
5 |
Fitoplankton |
2000 - 15.000 & 5 x 10 5 |
3 |
3 | |
(Sel/l) |
< 2000 & > 106 |
1 |
1 | |
Oksigen |
> 6 |
5 |
1 |
5 |
Terlarut (mg/l) |
4 - 6 |
3 |
3 | |
< 4 |
1 |
1 | ||
pH |
6.5 - 8.5 |
5 |
1 |
5 |
4 - 6.4 & 8.5 - 9 |
3 |
3 | ||
< 4 & > 9.5 |
1 |
1 | ||
Total Skor Nilai Tertinggi |
115 |
Sumber: Kangkan (2006)
Keterangan:
-
1. Angka penilaian berdasarkan petunjuk DKP (2002), yaitu 5:
baik, 3: sedang dan 1: kurang.
-
2. Nilai bobot berdasarkan pertimbangan pengaruh variabel dominan terhadap budidaya yang dilakukan melalui kajian pustaka dan diskusi ekspert yang dianalisis melalui SPSS dan selanjutnya dikorelasi menggunaka petunjuk Sudjana (2016).
-
3. Skor adalah Σ = A X B
-
2.4.2. Evaluasi Penentuan Kesesuaian Parameter Fisika, Kimia dan Biologi Perairan
Berdasarkan jumlah skor yang didapatkan dari hasil skoring, maka dievaluasi kesesuaian parameter perairan untuk budidaya ikan kerapu dan rumput laut menurut Utojo (2004) yakni untuk budidaya ikan kerapu, menggunakan persamaan 5.
Nilai skor hasil evaluasi =
Total skor setiap stasiun
VNilai skor tertinggi keseluruhan (115)
x 100%
(5)
Sedangkan untuk budidaya rumput laut, menggunakan persamaan 6.
Nilai skor hasil evaluasi =
Total skor setiap stasiun
VNilaj skor tertinggi keseluruhan (125)
x 100%
(6)
Selanjutnya dikategorikan dalam kisaran nilai (%) yang tertera pada Tabel 3.
Table 3. Tingkat kategori kesesuaian kualitas air
No |
Kisaran Nilai (Skor) |
Tingkat Kesesuaian |
Evaluasi |
1 |
85 - 100 % |
S1 |
Sangat Sesuai |
2 |
60 - 84% |
S2 |
Cukup Sesuai |
3 |
< 60% |
N |
Tidak Sesuai |
Sumber: Utojo (2004)
Berdasarkan evaluasi kesesuaian dari pengukuran data kualitas air di perairan timur Pulau Serangan untuk pengembangan budidaya ikan kerapu dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Evaluasi kesesuaian parameter perairan untuk budidaya ikan kerapu
Lokasi |
Hasil Skoring |
Evaluasi |
A |
60 % |
Cukup Sesuai |
B |
56.52 % |
Tidak Sesuai |
C |
60 % |
Cukup Sesuai |
Salah satu habitat ikan kerapu adalah hidup di dasar perairan (Puspitasari, 2017). Umumnya pengelolaan budidaya ikan kerapu di laut digunakan sistem keramba apung, dan yang perlu diperhatikan adalah dari faktor keamanan lingkungan, faktor kemudahan akses lokasi, sarana prasarana dan faktor kualitas perairan yang mendukung (WWF, 2011). Dari penelitian ini, berdasarkan parameter yang telah didapatkan, bahwa parameter pH, salinitas, suhu, TSS dan material dasar perairan di lokasi A, B dan C telah memenuhi kriteria yang dibutuhkan untuk budidaya ikan kerapu. Namun, didapatkan pula parameter primer yang menjadi pertimbangan dalam pelaksanaan budidaya ikan kerapu diantaranya, parameter oksigen terlarut (DO), arus, kecerahan dan kedalaman.
DO perairan, didapatkan berkisar 2.06 - 2.93 mg/l. DO yang optimum untuk ikan kerapu berkisar 4 - 6 mg/l (WWF, 2011). Menurut Mayunar et al (1995), bahwa ikan memerlukan oksigen 1 mg/l untuk bertahan hidup. Dengan demikian, oksigen di lokasi A, B dan C, telah memenuhi kebutuhan ikan untuk bertahan hidup. Namun untuk mencapai kebutuhan DO pada ikan kerapu yang lebih optimal di lokasi A, B, C, maka dibutuhkan masukan terhadap parameter tersebut yakni untuk memperbaiki sirkulasi
dan oksigen agar selalu terjaga maka dilakukan pembersihan keramba secara rutin (Kangkan, 2006).
Kecepatan arus, berkisar 3 - 5 mg/l. Menurut Afu (2016), kisaran arus dibawah 20 cm/dt tergolong arus rendah. Kecepatan arus yang rendah, menyebabkan penempelan hewan bioufoulling pada keramba akibat sirkulasi yang rendah (Kangkan, 2006), sehingga dapat dilakukan masukan terhadap parameter arus tersebut, berupa pembersihan keramba secara rutin untuk mengurangi penempelan bioufoulling.
Kecerahan dalam budidaya ikan kerapu merupakan variabel sekunder. Kecerahan di lokasi A berkisar 5.87 m. Kecerahan di lokasi A ini telah memenuhi persyaratan budidaya ikan kerapu. Menurut WWF (2011), bahwa kecerahan yang baik berkisar > 5 m. Kecerahan yang bagus dapat berpengaruh baik terhadap kemampuan ikan dalam melihat dan mengambil makanan (Kangkan, 2006). Namun, kecerahan di lokasi B dan C < 5 m. Berdasarkan pengamatan bahwa lokasi B dan C terdapat hutan mangrove, sehingga serasah mangrove tersebut terlarut ke perairan dan mengakibatkan kekeruhan dan dikarenakan lokasi bersebelahan dengan teluk. Menurut WWF (2011), aktivitas yang ada di teluk, mengakibatkan kecerahan perairan rendah. Berdasarkan hal tersebut, bahwa lokasi B dan C, membutuhkan masukan atau perlakuan terkait parameter kecerahan perairan apabila dijadikan sebagai tempat budidaya, sehingga dalam penelitian ini, sulit untuk diberikan masukan atau perlakuan mengenai parameter tersebut.
Berdasarkan nilai kedalaman di lokasi B yang memiliki kedalaman lebih dangkal bila dibandingkan lokasi A dan C. Kisaran kedalaman lokasi B adalah 5 m. Kisaran optimum kedalaman untuk keramba adalah > 5 m (DKP, 2002). Parameter kedalaman sangat penting, sehingga kedalaman termasuk dalam variabel primer karena berkaitan dengan akumulasi sisa pakan, penetrasi cahaya, kerusakan jaring dan memberikan ruang untuk penempatan instalasi budidaya, sehingga hasil penguraian sisa pakan dapat berlangsung dengan baik (Kangkan, 2006). Kedalaman perairan untuk keramba tancap minimal 1 m pada saat surut terendah dan memiliki jarak minimal 1 m dari bagian dasar (WWF, 2011). Jarak tersebut dapat memudahkan dalam mengakumulasikan sisa pakan jatuh kedasar perairan.
Berdasarkan kajian kesesuaian berdasarkan faktor fisika, kimia dan biologi bahwa lokasi A dan C, sebesar 60 % dan 65 % masing-masing kondisi perairan telah mendukung kegiatan budidaya kerapu sedangkan lokasi B, kurang sesuai dijadikan tempat budidaya kerapu karena faktor pertimbangan dari parameter kedalaman dan penetrasi cahaya yang masuk ke perairan. Kedalaman yang terlalu dangkal dapat mempengaruhi proses pelaksanaan kegiatan budidaya ikan kerapu.
-
3.2. Kajian Kesesuaian Perairan untuk Budidaya Rumput Laut.
Berdasarkan evaluasi pengukuran data kualitas air untuk kesesuaian lokasi pengembangan budidaya rumput laut di perairan timur Pulau Serangan dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Evaluasi kesesuaian kualitas air untuk budidaya rumput laut.
Lokasi |
Hasil Skoring |
Evaluasi |
A |
64.8 % |
Cukup Sesuai |
B |
64.8% |
Cukup Sesuai |
C |
55.2% |
Tidak Sesuai |
Rumput laut hidup menepel pada substrat, sehingga dalam penentuan kesesuaian lokasi hal yang perlu diperhatikan adalah dari faktor keamanan lingkungan, faktor kemudahan akses lokasi, dan faktor kualitas perairan yang mendukung (Wiryana, 2017).
Dari penelitian ini, berdasarkan parameter yang telah didapatkan, bahwa parameter pH, salinitas, suhu, TSS, material dasar perairan dan kecerahan di lokasi A, B dan C telah memenuhi kriteria yang dibutuhkan untuk budidaya rumput laut. Namun didapatkan pula parameter primer yang menjadi sebuah pertimbangan dalam melakukan budidaya rumput laut, yaitu parameter arus, kedalaman, fosfat dan nitrat
Kecepatan arus didapatkan berkisar 3 - 5 cm/dt. Menurut Insan et al (2014), bahwa kisaran arus yang baik untuk rumput laut berkisar 20 - 40 cm/dt. Menurut Prasetyo (2007), bahwa arus yang lemah mengakibatkan menepelnya alga penganggu sebagai akibat dari terhambatnya sirkulasi air laut, sehingga berpengaruh dalam proses fotosintesis. Dengan kondisi tersebut, diperlukan sebuah masukan atau perlakuan dari variabel kecepatan arus, yaitu dapat dicegah dengan perawatan dan pembersihan kotoran secara teratur dan rutin.
Fosfat didapatkan berkisar 0.01 mg/l dan nitrat didapatkan berkisar 0.1 mg/l. Kisaran fosfat dan nitrat kurang mencukupi untuk budidaya rumput laut, sementara nitrat dan fosfat termasuk syarat penting untuk budidaya rumput laut. Nitrat dan fosfat digunakan oleh tanaman untuk proses fotosintesis (Patahiruddin, 2018). Nitrat dan fosfat berpengaruh terhadap proses metabolisme rumput laut, namun pada kondisi yang berlebih dapat menyebabkan peledakan mikroalga (Kangkan, 2006). Berdasarkan data pengukuran didapatkan nitrat dan fosfat yang belum memenuhi standar untuk budidaya rumput laut, sehingga dalam hal ini sulit untuk memberikan masukan atau perlakuan yang berkaitan dengan parameter tersebut.
Kedalaman di lokasi A dan B berkisar 5 - 8 m. Kisaran tersebut telah memenuhi kriteria yang sesuai untuk budidaya rumput laut metode lepas dasar dan metode apung, sehingga menjadikan lokasi A dan B ideal untuk budidaya rumput laut. Dengan kedalaman yang cukup maka penetrasi cahaya dapat masuk ke kolom perairan. Adanya kecerahan yang baik, dapat berpengaruh baik terhadap fotosintesis rumput laut (Kangkan, 2006).
Namun untuk kedalaman di Lokasi C kurang memenuhi kriteria untuk budidaya rumput laut, karena kedalaman lebih dari 10 m. Untuk metode lepas dasar tidak sesuai untuk dilakukan, karena syarat utama adalah adanya penetrasi cahaya yang masuk kedasar perairan (Kangkan, 2006). Penetrasi cahaya di lokasi tersebut hanya berkisar 3.5 meter. Kedalaman yang optimum untuk pertumbuhan rumput laut adalah kedalaman yang masih terdapat cahaya matahari masuk dalam perairan karena peran cahaya matahari sebagai sumber energi untuk fotosintesis (Maturbongs, 2015).
Berdasarkan kajian kesesuaian berdasarkan faktor fisika, kimia dan biologi bahwa lokasi A dan B sebesar 64.8 %, masing-masing kondisi perairan telah mendukung kegiatan budidaya rumput laut sedangkan lokasi C, kurang sesuai dijadikan tempat budidaya rumput laut karena faktor pertimbangan dari parameter kedalaman dan penetrasi cahaya yang masuk ke perairan. Kedalaman yang terlalu dangkal dapat mempengaruhi proses fotosintesis rumput laut (Kangkan, 2006).
Berdasarakan hasil penelitian ini didapatkan bahwa kajian parameter fisika, kimia dan biologi perairan didapatkan bahwa di perairan timur Serangan bagian utara atau lokasi A dan selatan atau lokasi C, sebesar 60 % dan 65.21% masing-masing kondisi perairan telah mendukung untuk kegiatan budidaya ikan kerapu sedangkan perairan timur Serangan bagian utara atau lokasi A dan tengah atau lokasi B, sebesar 64.8% kondisi perairan telah mendukung untuk kegiatan budidaya rumput laut. Saran yang dapat di berikan melalui penelitian ini adalah diperlukan kajian
ulang secara ekonomi dan social budaya di Pulau Serangan terkait sebagai tempat pengembangan budidaya rumput laut dan kerapu.
Daftar Pustaka
Afu, L.O.A., Winarsih., Emiyarti., 2016. Distribusi Total Suspended Solid Permukaan di Perairan Teluk Kendari. Jurnal Sapa Laut. 1. 54 - 59.
A.P.H.A., 1989. Standar Methods. Wangshinton.
Arthana, I. W., Pertami, D., Hendrawan, I.G., Perwira, I.Y., Wijayanto, D.B., Ulinuha, D., 2012. Pemetaan Potensi Kawasan Budidaya Rumput Laut di Perairan Tenggara Pulau Bali. Laporan Penelitian: Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Udayana. 1 - 35.
D.K.P., 2002. Modul Sosialisasi dan Orentasi Penataan Ruang Laut, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Jakarta: Ditjen Pesisir dan Pulau-pulau kecil. Direktorat Tata ruang Laut dan Pulau-pulau Kecil.
Ernawati, N.M., Dewi, A.P.W.K., 2016. Kajian Kesesuaian Kualitas Air untuk Pengembangan Keramba Jaring Apung di Pulau Serangan, Bali. Jurnal Ecotropic. 10. 1 - 10.
Hasni., 2015. Perdagangan Luar Negeri Rumput Laut in Zamroni., 2015. Info Komoditi Rumput Laut. Al Mawardi Prima Anggota IKAPI DKI Jaya.118.
Insan, I., Ferawati, E., Widyartini, D.S., 2014. Studi Komonitas Rumput Laut pada Berbagai Substrat di Perairan Pantai Permisan Kabupaten Cilacap. Scripta Biologica. 1. 55 - 60.
Kangkan, A. L., 2006. Studi Kelayakan Lokasi untuk Pengembangan
Budidaya Laut berdasarkan Parameter Fisika, Kimia dan Biologi di Teluk Kupang Nusa Tenggara Timur. Program Pascasarjana UNDIP. 129.
Kusumawati, D., Asih, N.Y., Ismi, S., 2013. Peningkatan Produksi dan Kualitas Benih Ikan Kerapu melalui Program Hibridisasi. Jurnal Ilmu Kelautan Tropis. 5. 333 - 342.
KKP-RI., 2018. Produktivitas Perikanan Indonesia. Flash Presentation pada Forum Merdeka Barat 9 Kementerian Komunikasi dan Infoormatika. Jakarta 19 Januari 2018.
Kreyzig, E., 1993. Advanced Engineering Mathematics. Wangshinton.
Maturbongs, M. R., 2015. Pengaruh Tingkat Kekeruhan Perairan terhadap Komposisi Spesies Makro Algae Kaitannya dengan Proses Upwelling pada Perairan Rutong-Leahari. Jurnal Agricola. 5. 1 – 10.
Mayunar, R.,Purba., Imanto, P.T., 1995. Pemilihan Lokasi untuk Budidaya Ikan Laut.
Nusabali.,2017. Nelayan Serangan Pilih Budidaya Kerapu. Bulletin Bali 10 Juli 2017.
Patahiruddin, 2018: Analisis Kandungan Nitrat dan Phosfat di Tambak Berbeda Terhadap Pertumbuhan Rumput Laut (Gracilaria verrucosa) Papenfuss. Jurnal Phinisi.12. 119 - 228.
Putra, G.D.K., 2010. Status Mutu Air Laut di Pelabuhan Benoa Bali Pasca Pengembangan Kawasan Pelabuhan. SN-KPK II, Udayana.
Putra., 2017. Karakteristik Arus Laut Perairan Teluk Benoa Bali. Loka Riset Sumber daya dan Kawasan Pesisir BRSDMKP-KKP.
Puspitasari, D., 2017. Teknik Pembesaran Ikan Kerapu Cantik pada Keramba Jaring Apung di Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP) Situbondo, Jatim. Universitas Airlangga. 1-75.
Prasetyo, T., 2007. Parameter Oseanografi sebagai Faktor Penentu
Pertumbuhan Rumput Laut Kappaphyycus alvaarezii di Pulau Pari Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Ilmu dan Teknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. 78.
Sudiarta, K., Hendrawan, I.G., Putra, K.S., Dewantama, I.M.I. 2013. Kajian Modeling Dampak Perubahan Fungsi Teluk Benoa untuk Sistem Pendukung Keputusan (Decision Support System) dalam Jejaring KKP Bali. Laporan Conservation International Indonesia (CII), Jakarta.
Sudjana., Budino., Koster., 2016. Ukuran Penyebaran Data. Buku: Statistika Dasar. 1 - 95.
Tridge.,2018.SuplierGroupers.https://www.tridge.com/intelligences/grouper/I D/supplier.
Utojo., Mansyur, A., Pirzan, A.M., Tarunamulia., Pantjara, B., 2004.
Identifikasi Kelayakan Lokasi Lahan Budidaya Laut di Perairan Teluk Saleh, Kabupaten DOMPU Nusa Tenggara Barat. Makassar. Jurnal Penelitian Kelautan dan Perikanan Torani. 10. 1 - 18.
Wiryana.,I.W.S.A., Adi, D.G.S., Kawana, I.M., 2017. Potensi Pengembangan Budidaya Rumput Laut E .Cottoni di Kawasan Perairan Kelurahan Serangan Kota Denpasar Berbasis SIG. Jurnal Gema Argo. 23. 92 - 10.
WWF., 2011. Seri Panduan Perikanan Skala Kecil Budidaya Ikan Kerapu. World Wildlife Fund for Nature - Sustainable Seafood, Jakarta.
Yamaji, J., 1976. Illustration of Marine Plankton in Ariana D., Samiaji, J., Nasution, S., 2013. Komposisi Jenis dan Kelimpahan Fitoplankton
Perairan Laut Riau. Riau Pekanbaru. 1 - 30.
5
Discussion and feedback